Share

Kedatangan Istri Pertama.

Saat tiba di rumah setelah berbelanja, Bintang langsung berlari menuju kamarnya, mengunci diri di dalam kamar dan tak kuasa menahan isak tangisnya sepanjang hari. Meskipun malam telah menjelang, ia masih terus menyendiri, tak mengizinkan suaminya masuk kecuali saat sang pelayan mengantarkan makanannya.

"Tuan, Nyonya Bintang masih menangis tanpa henti hingga saat ini. Kondisinya sangat mengkhawatirkan," lapor Bibi, pelayan setia mereka, pada tuannya, Douglass, yang sedang duduk tenang di ruang keluarga sambil mengisap rokoknya dengan dingin.

Douglass mendengus, matanya menyala penuh kekesalan, "Biarkan dia menghabiskan air matanya. Setelah semua itu habis, dia tak akan bisa menangis lagi." Ucapnya dengan nada tegas dan arogan, seolah tak ada belas kasihan dalam hatinya.

Bibi pelayan hanya bisa menghela napas panjang, merasa iba melihat nasib majikannya, sebelum mengundurkan diri dari ruangan tersebut. Di balik ekspresi beku yang ditampilkan oleh Douglass, hatinya bersikeras menduga bahwa Bintang merancang segala adegan ini sebagai upaya untuk melelehkan hatinya dan membatalkan perjanjian pernikahan mereka yang penuh intrik. Maka dari itu, dia berusaha keras untuk tak terpengaruh dan tidak peduli dengan tangisan Bintang yang sesungguhnya menjadi lantunan paling hancur dalam hidupnya.

Bintang mengusap air matanya yang jatuh satu per satu, perasaan hancur menyelimuti hatinya. Sambil mengusap perutnya yang semakin membesar, ia berbisik pada janin yang tumbuh di dalam kandungan, "Kamu akan tetap bersama dengan Mama. Mama tak akan membiarkan siapa pun merebutmu dariku. Kuat ya, Sayang. Kamu anak hebat, dan kamu adalah penyemangat Mama dalam menghadapi segala cobaan ini."

Bintang bertekad untuk melarikan diri bersama anaknya jika Douglass tak kunjung membatalkan surat perjanjian pernikahan mereka. Hatinya pilu dan tak sanggup membayangkan jika harus terpisah dari bayi yang sedang tumbuh di rahimnya. Bayang-bayang itu sudah cukup untuk membuatnya terpuruk dan hancur berkeping-keping.

Terjadi kegaduhan di pagi hari di rumah besar itu. Tiba-tiba, Freya hadir menggebrak pintu, membuat jantung Douglass nyaris melompat dari tempatnya. Wajahnya merah padam, dan rasa terkejut terpancar begitu jelas.

"Kenapa? Terkejut?" Freya melempar senyum sinis, penuh emosi yang memuakkan pada suaminya.

"Freya... Bagaimana bisa kau berada di sini?" Douglass menelan ludah, berusaha keras untuk tetap tenang, seolah melawan gemuruh dalam dadanya.

Douglas tidak menyangka bahwa istrinya akan mengetahui semua rahasia yang selama 8 bulan ini ia sembunyikan. Setelah melihat kedatangan istrinya di rumah ini, dan ia menduga kalau Freya telah menyewa detektif untuk memata-matainya selama ini.

"Ha!" Freya tertawa penuh luka, mengejek suaminya yang berusaha tenang. "Sudahlah! Hentikan sandiwaramu itu! Suami yang selama ini aku puja, aku hormati, dan aku cintai ternyata memiliki hati yang serakah!" Setiap kata yang terlontar dari bibir Freya menekankan rasa sakit, pengkhianatan, dan kekecewaan yang menghantui hatinya.

"Tenangkan dirimu dulu, Freya. Aku akan menjelaskan semuanya padamu." Douglass berusaha bernegosiasi dengan istri pertamanya, menahan amukan yang mendalam.

Freya menepis tangan Douglass yang hendak menyentuhnya. "Tenang? Bagaimana aku bisa tenang!" pekiknya dengan emosi yang meluap-luap, kemarahan dan sakit hati bergelayut di nadanya. Suaminya tetap bersikap dingin seolah tak peduli bagaimana perasaannya. "Lepaskan aku, biarkan aku menghadapi wanita jalang itu!!!" Dengan keberanian yang menjulang, Freya mencoba melangkah lebih dalam ke rumah itu.

Namun, Douglass menahannya. "Aku tidak mengizinkanmu menemuinya!" tegasnya, suaranya terasa menusuk bagaikan pedang yang tajam. Wajahnya dingin, dan matanya bersinar penuh tekad. Douglass takut jika Freya akan menyakiti Bintang, terlebih lagi kondisi Bintang saat ini sedang hamil tua. Ia juga sangat memikirkan kesehatan Bintang yang belakangan ini kurang baik.

"Kau ingin melindunginya? Apa secinta itu kau dengan wanita jalang itu!" teriak Freya, emosinya melonjak bak samudra yang berombak tinggi. Air matanya tumpah dengan deras, tiada henti menetes dari pipinya, seperti mencoba menghapus perihnya yang tak tertahankan.

"Kau adalah wanita yang tetap akan kucintai selamanya, Fre!" kata Douglass sambil meraih kedua pundak istrinya, menatap Freya dalam-dalam hingga sampai ke relung jiwanya. Kesungguhan terukir jelas dalam sorot matanya, suara hatinya bergetar tulus dan tak tergoyahkan. "Percayalah padaku," bisik Douglass dengan lembut, seolah membelai hati Freya yang hancur. Tanpa ragu, ia merengkuh Freya dalam dekapan hangatnya, seolah ingin melindungi istrinya dari badai duka yang menghantui.

Freya meronta, dan melepaskan pelukan itu dengan emosi yang membuncah. “Ucapanmu hanyalah omong kosong! Kalau cinta kenapa kau mendua?!” teriak Freya sambil memukul dada bidang suaminya berulang kali.

Douglass menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Suaranya dingin dan tajam, "Karena kau tidak bisa memberikan apa yang aku inginkan!"

"Apa maksudmu? Aku selama ini sudah berusaha untuk menjadi istri yang sempurna untukmu, Doug!"

Kata-kata Douglass terasa seperti pisau tajam yang mengiris hati Freya, "Apa kau memberikanku keturunan, Freya?!"

Jantung Freya seketika seperti terhantam batu besar ketika mendengar kejujuran suaminya. Bumi yang dipijak seolah akan runtuh mendengar keberanian ini. Air matanya semakin deras mengalir dan membanjiri pipi mulusnya. Wanita cantik dengan lekuk tubuh proposional itu hancur berkeping-keping.

"Bukankah kau tidak keberatan jika kita tidak memiliki anak?" gumam Freya dengan suara lirih dan penuh luka.

"Itu dulu." Jawab Douglass tegas, padat dan jelas, membuat hati Freya semakin tercabik-cabik oleh rasa sakit yang mendalam.

Kemudian, Douglass mencubit dagu Freya, memaksanya untuk menatapnya langsung ke dalam mata. Suaranya kembali lembut bak malaikat, "Percayalah padaku, pernikahan ini hanya sementara. Setelah bayi itu lahir, aku akan segera menceraikannya. Hanya kamu yang selalu ada di hatiku, Fre," ucap Douglass dengan suara lembut, penuh kasih sayang, dan penyesalan.

Freya menggeleng pelan, tentu ia tidak akan mempercayai suaminya begitu saja.

Tanpa disadari oleh mereka, sejak tadi Bintang menguping pembicaraan mereka dari dekat tangga. Wanita hamil itu memeluk perut buncitnya dengan perasaan hancur dan air mata berlinang.

“Nyonya.” Bibi pelayan terkejut saat melihat Nyonya Bintang bersembunyi di dekat tangga.

“Sttt!” Bintang langsung menempelkan jari ke bibir. “Bibi, tolong bantu aku pergi dari sini. Aku tidak mau mereka mengambil anakku.” Bintang memohon dengan suara parau sambil menggenggam tangan Bibi pelayan.

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Fanysah Andin
𝘺𝘦𝘴... 𝘱𝘨 𝘭𝘩 𝘺𝘨 𝘫𝘢𝘶𝘩... 𝘥𝘶𝘶𝘶𝘩 𝘵𝘶𝘭𝘪𝘴𝘢𝘯 𝘯𝘺 𝘬𝘦𝘤𝘪𝘭 𝘹... 𝘴𝘬𝘵 𝘮𝘵 𝘬𝘶 𝘣𝘤 𝘯𝘺... 𝘥𝘪 𝘤𝘳 𝘥𝘪 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘢𝘵𝘶𝘳𝘯 𝘯𝘺 𝘬𝘰𝘬 𝘨𝘬 𝘥𝘢
goodnovel comment avatar
Asie Viera Chueng
ayo cepat pergi bintang biar di Doug ga bisa mengambil anak mu. dan kuharap pemuda bermata sipit itu mau membantu bintang melarikan diri dari rmh itu.
goodnovel comment avatar
N.vinata
YESS Good .. Bintang.. pergilah kau..sejauh mungkin...biarkan Dough hidup dengan Freya...aku yakin kau pasti bisa melalui semuanya..tanpa uang dari dough
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status