Di tengah malam yang sunyi, suara berisik dari ruang tamu mulai terdengar jelas di seluruh penjuru ruangan yang ada di dalam rumah kecil itu. Alyssa Xaviera, wanita sekaligus istri dari pria bernama Dio Andreas itu terlihat tengah duduk di sofa itu sembari memijit pelipisnya menahan lelah dan frustasi yang sudah mulai mencapai puncaknya.
Bau alkohol yang cukup menyengat itu mulai memenuhi dalam ruangan ketika Dio—suami Alyssa berjalan masuk dengan tubuh yang telah sempoyongan sambil memegang dua minuman keras. Wajah pria itu tampak sangat kusut, dengan mata yang sudah memerah. Alyssa bergegas menghampiri suaminya dan berdiri di hadapan Dio—sang suami. Kini, hanya tersisa jarak sekitar satu meter saja diantara Alyssa dan pria pemabuk itu. “Kamu mabuk lagi, Mas? Udah berapa kali aku bilang sama kamu, jangan pulang dalam keadaan mabuk seperti ini,” tegur Alyssa seraya menahan amarah di dalam hatinya. Meskipun sebenarnya Alyssa sudah sangat muak dan dongkol, tapi sebisa mungkin Alyssa tetap menahan emosinya agar Dio tidak semakin menjadi seperti biasanya. Ya, hal seperti ini bukanlah hal yang baru pertama kali Alyssa jumpai. Setiap malam Dio selalu pulang dalam keadaan mabuk, atau bahkan pria itu pasti marah-marah tidak jelas akibat kalah dalam pertarungan judi yang ia ikuti, sedangkan Alyssa hanya bisa pasrah menerima nasib pahitnya menjadi istri dari pria yang telah dijodohkan oleh kedua orang tuanya dahulu. “Diam. Kamu gak usah bawel, ya!” sahut Dio. “Gimana aku gak bawel kalau kamunya kayak gini terus, Mas! Aku cuma pengen kamu berubah.” Wanita bertubuh ramping nan putih itu menatap suaminya dengan mata yang mulai berkaca-kaca menahan tangis dan amarah yang tengah membuncah di dalam dirinya. Dio, pria bertubuh sedikit gempal itu lantas menggeram seraya melempar botol kosong yang ada di salah satu tangannya ke sembarangan arah. Dio kemudian menatap istrinya dengan tajam. Namun, detik berikutnya pria itu justru tersenyum miring. “Berubah seperti apa yang kamu inginkan, hah? Spiderman?” Dio terkekeh layaknya orang tak waras, sedangkan Alyssa memilih diam dengan perasaan yang telah bercampur aduk. Kaki Dio terseret mendekat ke arah Alyssa. “Kamu itu jadi cewek gak usah ngatur-ngatur. Di sini aku yang kepala keluarganya, bukan kamu!” seru Dio menatap Alyssa dengan tatapan menusuk. “Kepala keluarga? Kepala keluarga yang mana? Kepala keluarga siapa yang kamu maksud. Emang selama ini kamu pernah berperan sebagai kepala keluarga di dalam pernikahan kita ini?” sahut Alyssa menggebu. Dada wanita itu bahkan tampak naik turun menahan emosi yang masih bersarang di dalam dirinya. “Kamu pulang-pulang selalu bawa masalah, Mas. Mabuk, ngabisin uang buat berjudi. Apa sih gunanya itu semua? Apa nggak cukup bagi kamu kalau aku tiap hari harus kerja pontang-panting cari duit buat makan kita sehari-hari. Belum cukup itu, Mas?” Air mata Alyssa yang sejak tadi ia tahan pada akhirnya terjun bebas membasahi pipi mulusnya. Wanita itu tampaknya sudah tidak kuat lagi menghadapi sikap suaminya yang selalu semena-mena terhadapnya. “Berisik! Aku juga kerja, bukan kamu doang!” Mata Dio melotot. Namun, tubuhnya kemudian goyah dan hampir terjatuh. “Kerja kamu bilang? Kerja apaan kamu, hah? Semua duitmu juga selalu habis kamu pakai buat judi dan mabuk-mabukanmu yang gak jelas itu,” cela Alyssa. “Aku udah capek, Mas. Capek sama semua ini. Kamu nggak pernah mikirin aku, nggak pernah mikirin keluarga kecil kita.” Alyssa memandang sang suami dengan tatapan penuh kekecewaan. Dio yang tengah dipengaruhi alkohol itu lantas mendekat tepat di depan wajah Alyssa. Sorot matanya semakin tajam dan lebih menusuk dari yang sebelumnya. “Jangan hanya karena kamu ikut bantu aku cari duit, kamu bisa seenaknya ngatur-ngatur aku ya, Alyssa!” geram Dio. Alyssa menggeleng pelan, “Bukannya ngatur-ngatur, Mas. Aku cuma mau kita bisa hidup dengan lebih layak. Aku pengen kamu sadar kalau kita ini butuh uang buat hidup. Bukan hanya untuk makan, tapi juga buat bayar listrik, air, dan kebutuhan lainnya. Bukannya malah kamu gunakan untuk judi dan mabuk-mabukan seperti yang kamu lakukan ini,” ucap Alyssa. “Diam!” bentak Dio melotot. “Kamu ini jadi istri terlalu berisik banget, ya? Aku capek, mau istirahat. Aku gak butuh denger ocehanmu itu. Kamu gak perlu ceramahin aku.” Dio lantas membalikkan badannya. Pria itu kemudian mengangkat botol satunya yang ada di sebelah tangannya dan langsung menenggaknya dengan rakus. “Biarkan aku bersantai. Kamu nggak tau betapa stresnya hidup ini. Aku ingin bersantai, bersantai, hahahaha.” Dio tertawa kencang sembari berjalan menuju kamarnya. Pria itu seperti orang gila yang kehilangan akal sehat. Alyssa mematung menatap punggung suaminya yang makin menjauh. Ada rasa menyesal karena ia dahulu mau menerima perjodohan itu. Namun, sebagai seorang anak, Alyssa tentu kalah dengan perintah ataupun keputusan dari kedua orang tuanya. Kini, ia hanya bisa menerima nasib dan kenyataan bahwa suaminya bukanlah pria baik seperti yang sanjung-sanjungkan oleh orang tuanya dulu. Flashback. “Al, nanti malam kita akan kedatangan tamu penting. Tolong kamu dandan yang cantik ya, Nak,” pinta Herlina—ibu Alyssa. Alyssa yang sedang mengunyah makan malamnya spontan menoleh ke arah sang ibu. “Tamu penting siapa, Ma?” tanya Alyssa dengan alis yang saling bertautan. Herlina yang mendapat pertanyaan dari anaknya sontak menoleh pada suaminya. “Papa akan menjodohkan kamu dengan anaknya teman bisnis papa.” Bukan Herlina yang mengatakannya, tapi Heri—ayah dari Alyssa. Alyssa yang mendengarnya spontan terkejut. Wanita itu lantas menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Al gak mau dijodoh-jodohin,” tolak Alyssa. “Gak ada penolakan. Pokoknya papa mau nanti malam kamu udah harus siap karena kita akan bahas rencana pertunangan kalian,” pungkas Heri tak bisa dibantah. “Papa apa-apaan, sih. Pokoknya Al gak mau dijodoh-jodohin!” seru Alyssa dengan kesal. “Al, dengerin Mama. Semua ini demi kelancaran bisnis papa kamu. Papa kamu lagi butuh dana investor yang cukup besar. Lagian mama lihat juga anak yang mau dijodohkan sama kamu itu kelihatannya baik, kok, mama sudah bertemu satu Minggu yang lalu. Iya kan, Pa?” ucap Herlina panjang lebar demi meyakinkan anak semata wayangnya. “Iya, Dio kelihatannya anak baik, kok. Lagian keluarganya juga kan udah terjamin bibit bebet bobotnya, jadi kamu gak perlu khawatir," ujar Heri ikut menimpali ucapan istrinya. “Ya tapi kan Al belum kenal dia, Pa, masa iya langsung dijodohin?” keluh Alyssa. “Ya sudah kalau gitu nanti malam saja kenalannya, sekalian bahas rencana pertunangan kalian. Papa yakin kamu pasti bakal suka.” Kini, Alyssa hanya bisa menangis meratapi nasibnya yang begitu pahit. Setelah menikah dengan pilihan kedua orang tuanya, bukannya kehidupan Alyssa semakin baik dan bahagia seperti yang dikira oleh kedua orang tuanya, Alyssa justru harus menanggung semua beban biaya hidupnya bersama Dio. Bukan hanya biaya bulanan seperti air dan listrik, atau hanya sekedar untuk makan sehari-hari, tapi Alyssa juga harus membayarkan hutang-hutang suaminya yang selalu meminjam sana-sini untuk berjudi dan minum-minuman di diskotik. Bagaimana jika kamu yang berada di posisi Alyssa, stress bukan? Jadi, siapa yang lebih stres di sini, Alyssa atau Dio? Alyssa berjalan ke arah sofa dan memilih menenangkan dirinya di sana. Banyak hal yang mengganggu pikirannya, dan banyak hal yang ia sesali karena tidak memiliki prinsip yang kuat dalam hidupnya. Semasa hidupnya sejak kecil hingga dewasa, Alyssa selalu menuruti kemauan kedua orang tuanya, dan begitu menikah dengan Dio pun Alyssa juga selalu menurut pada suaminya. Alyssa tidak berani membantah, atau dia yang akan kena amuk suaminya. Kini, Alyssa sudah benar-benar lelah menjalani hidupnya. Ia ingin menyerah, namun takdir memaksanya untuk terus berjuang menjalani hidupnya yang pahit itu. ***** “Hey, Alyssa, bangun!” seru Dio membangunkan Alyssa yang tertidur di sofa ruang tamu. Namun, Alyssa sama sekali tak bergerak sedikit pun. Dio yang melihat istrinya tak kunjung bangun pun akhirnya semakin meninggikan suaranya dengan tangan yang masih menepuk-nepuk lengan Alyssa agar cepat bangun. “Alyssa, bangun! Udah jam berapa ini, kamu belum masak, belum beres-beres rumah! Jadi cewek malas betul, sih!” Alyssa yang mendengar suara berisik pun lantas membuka kedua matanya dan mendudukkan dirinya. Wanita itu kemudian mencoba melihat di sekitarnya. Deg! Jantungnya hampir copot saat melihat suaminya yang sudah ada di belakangnya dengan kedua tangan yang diletakkan di pinggang kanan dan kirinya bersiap untuk memarahi Alyssa. Ya, itulah kebiasaan Dio jika Alyssa telat bangun. “M—mas, kamu udah bangun?” tanya Alyssa terkejut sekaligus takut. “Mis, kimi idih Bingin,” ejek Dio menirukan ucapan Alyssa dengan bibir yang ia buat-buat. “Cepet bangun! Lihat tuh udah jam berapa!” Dio menunjuk jam di dinding. “Udah siang bukannya cepetan beres-beres rumah, masak, ini malah enak-enakan tidur di sini,” sungut Dio emosi. “M—maaf, Mas. Tadi malam aku gak sengaja ketiduran di sini,” ungkap Alyssa apa adanya. Ya, setelah semalaman Alyssa berperang dengan pikiran dan batinnya, tanpa sengaja mata wanita itu terpejam begitu saja dan tertidur dengan sangat pulas di atas sofa yang ada di dalam ruang tamu tersebut. Sofa yang sudah tidak lagi empuk disertai dengan warna yang telah pudar hingga kehilangan warna kecerahan aslinya, juga terdapat beberapa noda yang cukup sulit untuk dihilangkan. Bagian-bagian yang sering diduduki pun bahkan sudah mulai kempis, sehingga akan terasa sangat tidak nyaman jika untuk ditiduri. Namun, faktor fisik yang terlalu lelah membuat Alyssa bisa tertidur dengan mudah di atas sofa yang telah terlihat usang itu. Jika bukan karena dibangunkan oleh suaminya, mungkin Alyssa akan tetap tidur di atas sofa itu dengan nyenyak, tapi sayangnya Alyssa harus bangun karena hari sudah akan siang. Alyssa mendongak ke arah dinding untuk melihat jam. Matanya seketika terbelalak saat mengetahui bahwa ternyata ia baru terbangun di saat waktu menunjukkan pukul 09.00 pagi. Hari sudah akan siang, tapi ia baru terbangun. Namun, mengingat apa yang telah terjadi tadi malam membuat Alyssa sebenarnya malas untuk beraktivitas, tapi jika ia tidak segera beberes rumah, Dio akan semakin memarahinya. Nasib memiliki suami yang mudah emosi membuat Alyssa harus menyetok kesabaran yang lebih banyak lagi dan lagi. Alyssa lantas berdiri meninggalkan sofa yang tadi ia tiduri. Tujuan pertamanya adalah dapur karena hari sudah cukup terik tapi ia sama sekali belum memasak. Namun, baru saja Alyssa melangkahkan kakinya, wanita itu spontan menghela nafas saat matanya melihat pecahan-pecahan botol yang masih bertebaran di mana-mana akibat tadi malam Dio membuangnya dengan asal. Mau tak mau Alyssa harus membersihkan lantai terlebih dahulu agar pecahan beling itu tidak mengenai kaki penghuni rumahnya, sedangkan Dio, pria itu justru terlihat asik memainkan ponselnya dengan bersandar pada punggung sofa. Sungguh enaknya hidup laki-laki satu ini, huft. Alyssa mengambil sapu lantai dan juga serok sampah yang biasa ia letakkan di dekat dapur. Wanita itu kemudian mulai mengayunkan salah satu tangannya guna membersihkan pecahan-pecahan botol tersebut. Ada satu dua pecahan botol yang tidak mau masuk ke dalam serokan sampah ketika di sapu, sehingga mau tak mau Alyssa mengambil pecahan beling itu menggunakan tangannya dengan hati-hati. Namun, meski Alyssa sudah berusaha mengambil beling itu dengan hati-hati, tapi karena bentuknya yang kecil, tipis dan runcing membuat Alyssa cukup kesusahan mengambilnya hingga tanpa sengaja jarinya tertancap pecahan beling tersebut. “Aw!” Alyssa meringis merasakan sedikit perih di bagian jari telunjuknya. Wanita itu lantas segera mencabut beling itu dengan hati-hati. Jarinya seketika mengeluarkan darah saat Alyssa berhasil mencabut pecahan beling itu. Alyssa kemudian segera menaruh beling itu pada serok sampah di hadapannya, dan mengelap begitu saja darah di jarinya pada baju daster yang ia kenakan. Tak ada waktu baginya untuk mengeluh hanya karena jarinya terkena pecahan beling. Lagi pun, jarinya hanya berdarah sedikit, jadi bagi Alyssa ia tak perlu mengeluh berlebihan. Setelah dirasa lantainya sudah bersih dan aman dari pecahan beling, Alyssa gegas membuang pecahan beling itu ke dalam tong sampah yang terletak di luar rumahnya. Alyssa bergegas kembali ke dapur setelah membuang pecahan-pecahan botol minuman keras tersebut. Wanita itu tampak akan mengambil beras. “Yaaah, berasnya tinggal sedikit. Cukup gak ya sampai nanti malam? Semoga aja cukup, deh. Kalaupun tidak cukup ya harus tetap dicukup-cukupin,” ucap Alyssa dengan lirih. Bibirnya tersenyum miris mengingat keuangannya yang sangat mengenaskan. Sambil mencuci beras, pikiran Alyssa tak berhenti memikirkan banyak hal. “Mas Dio ada uang gak, ya? Kalau nanti sore aku tidak beli beras dan ternyata nasinya habis, lalu makan malam kami bagaimana? Apa mas Dio mau nahan lapar? Ah, pasti dia tidak mau, dan pasti nanti aku juga yang harus nahan lapar sampai besok,” batin Alyssa yang tengah dilanda rasa bingung bagaimana caranya ia bilang kepada Dio nanti kalau berasnya sudah habis, sedangkan Dio setiap dimintain uang selalu saja marah-marah dan mengatakan bahwa Alyssa terlalu boros. Padahal Alyssa sudah sangat-sangat menghemat dan mengatur segala kebutuhan rumah tangganya dengan sebaik mungkin. Namun, pengeluaran tak terduga seperti membayar hutang-hutang suaminya saat tiba-tiba ada rentenir yang datang ke rumahnya untuk menagih tunggakan yang belum dibayarkan oleh Dio, dan beberapa pinjol yang juga ikut meneror nomornya sebab suaminya selalu meminjam duit di berbagai aplikasi menggunakan nomor istrinya tanpa sepengetahuan Alyssa. Bayangkan, betapa stress-nya hidup Alyssa harus menanggung beban yang cukup berat semenjak menikah dan menjadi istri dari seorang Dio Andreas, sangat menyedihkan bukan? Setelah memasukkan beras ke dalam Magicom dan menancapkan kabelnya, Alyssa kemudian membuka kulkas untuk mengambil sayuran segar yang akan ia masak. Namun, nafas berat kembali ia hembuskan saat melihat sayur-mayur yang juga tinggal sedikit. Hanya tinggal beberapa macam sayuran yang ada di dalam kulkas, dan Alyssa tentunya harus pintar-pintar mengolah sayuran itu agar bisa menjadi masakan yang enak untuk suaminya. Dengan buru-buru Alyssa merajang bahan-bahan masakan itu hingga hanya dalam waktu setengah jam saja masakan telah siap. Alyssa lantas segera menaruh lauk-pauk itu ke dalam wadah untuk ia bawa ke ruang televisi. Ya, Dio selalu makan sambil menonton televisi. Rumah kecil nan sempit, juga ruangan yang terbatas membuat mereka tidak memiliki ruangan khusus yang bisa mereka gunakan untuk makan bersama. Hanya ada ruang TV, dapur, 1 kamar mandi, dan 1 kamar. Untuk melempit dan menggosok pakaian pun Alyssa lakukan di ruang televisi. Kadang Alyssa merindukan rumah ibunya yang cukup nyaman dan luas. Namun, semua telah terkubur dalam kenangan. “Alyssaaaaa!! Mana sarapannya?” teriak Dio dari ruang tamu.Alyssa segera berjalan cepat dengan kedua tangannya yang telah penuh dengan bawaannya. Di tangan kanannya, Alyssa memegang nampan besar berisi hidangan yang akan ia sajikan untuk suaminya, termasuk nasi dan lauk pauk seperti tumisan yang telah ia masak tadi dan juga tempe yang telah ia goreng, serta piring dan sendok yang sudah tertata rapi di atasnya, sedangkan di tangan kirinya, Alyssa membawa sebuah teko yang berisi air putih, serta dua gelas yang ia jepit di antara jemari dan bagian pegangan tekonya. Alyssa tampak fokus dan sangat berhati-hati agar ia tak menjatuhkan apa yang dia bawa. “Lama banget, sih!” omel Dio kesal. “Maaf, Mas.” Hanya itu yang Alyssa katakan agar Dio tidak semakin marah. Pria itu lantas mengambil makan dengan terburu-buru layaknya orang yang sudah satu minggu tidak makan. Setelah Dio selesai mengambil sarapannya, Alyssa kemudian ikut menyusul mengambil sarapan pada piringnya. Keduanya makan bersama di piring mereka masing-masing. Tak ada percakapan dianta
Dio hanya menatap dingin. “Aku hanya ingin menuruti keinginanmu. Kamu tidak mau hidup susah denganku, 'kan? Maka ikutlah bersama Roy,” kata Dio.Alyssa menggeleng. “Enggak, Di, aku gak mau. Aku gak kenal sama dia, aku gak mau ikut dia. Aku mau pulang aja.” Alyssa berbalik. Pikirannya hanya ingin pulang. Ia tak mau dijual seperti ini. Benar-benar cara yang sangat hina. Apakah ia serendah itu? Apa mereka pikir Alyssa sama dengan hewan yang bisa dijual secara bebas? Benar-benar biadab sekali mereka.Namun, Dio yang melihat Alyssa akan kabur pun lantas menahan Alyssa dan berusaha membujuk wanita itu agar Alyssa mau ikut bersama Roy. “Al, aku mohon sama kamu, ikutlah dengan Roy. Aku yakin dia bisa menjamin kehidupan kamu dengan sangat layak.” Dio menatap mata Alyssa, berusaha meyakinkan istrinya.“Aku gak butuh kehidupan layak kalau caranya kayak gini. Kamu anggap aku apa sih, Di? Kamu pikir aku hewan yang bisa kamu jual seenaknya? Aku ini istri kamu, Di, istri kamu!” Alyssa menangis terse
Bagai dihantam batu, perasaan Alyssa terluka mendengarnya. Ia seolah seperti wanita murahan yang bisa dengan mudahnya diperintahkan untuk melakukan hal hina seperti itu. Statusnya masih menjadi istri dari pria lain, tetapi kini ia justru disuruh melayani lelaki lain sebab ulah suaminya sendiri. Entah apa salahnya sehingga takdirnya seperti ini. Dalam keadaan saat ini ingin rasanya Alyssa menjerit sekencang-kencangnya untuk meluapkan emosi di dalam dirinya, namun semua itu harus ia tahan demi keamanan dirinya.Selesai dengan acara minumnya, Roy mengajak Alyssa pulang ke rumahnya. Meski sebenarnya enggan, tapi mau tak mau Alyssa harus menuruti apa yang dikatakan oleh Roy, atau nyawanya yang mungkin nanti akan terancam.Di dalam mobil, meski Roy dan Alyssa duduk berdekatan, tapi keduanya sama-sama tak ada yang membuka suara. Keduanya sama-sama memilih diam dengan pikiran mereka masing-masing. Sesampainya di kediaman Roy yang tampak sangat megah nan mewah, rumah dengan cat berwarna putih
Belum sempat Alyssa menoleh, dengan gerakan yang sangat cepat Roy memindahkan nasi yang telah dikunyah dari mulutnya ke mulut Alyssa menggunakan bibirnya, Alyssa yang terkejut berusaha memberontak, tapi tak bisa karena Roy menahan tengkuknya dengan salah satu tangan pria itu, sedangkan tangan yang lainnya Roy gunakan untuk menekan kedua pipi Alyssa agar wanita itu membuka mulutnya. Setelah makanan itu masuk ke dalam mulut Alyssa, dengan cepat Roy langsung menahan dagu Alyssa agar mulut wanita itu tidak terbuka. “Telan, cepat!” titah Roy dengan halus, namun penuh penekanan bahwa dia tidak mau dibantah.Alyssa menggeleng. Wanita itu ingin memuntahkan makanan di mulutnya, tapi mulutnya tidak bisa ia buka karena ditahan oleh Roy. “Telan, atau aku yang akan memakanmu,” ancam Roy sekali lagi, namun Alyssa tetap menggeleng mencerminkan penolakannya pada Roy.Roy yang kesal lantas kembali mengunyah makanan itu dan memindahkannya ke mulut Alyssa lagi untuk yang ke dua kalinya. Namun, jika yang
Di tempat lain, seorang pria berumur 33 tahun dengan mengenakan kemeja kasual yang dibuka beberapa kancing bagian atasnya, pria itu tampak sedang bersantai di salah satu sofa yang ada di sebuah klub malam. Lampu neon berwarna biru dan ungu memantulkan bayangan pria itu, sementara musik EDM berdentum keras dari speaker di sekitarnya. Di meja depannya, terdapat botol-botol minuman keras disertai gelas-gelas kaca yang telah berjejer rapi. Aroma minuman, rokok, dan wangi parfum yang menusuk hidung bercampur menjadi satu memenuhi udara. Pria itu tampak tertawa lepas bersama beberapa teman lelakinya yang juga terlihat sedang menikmati suasana malam. "Malam ini kita bisa habiskan malam panjang kita bersama wanita-wanita yang kita inginkan. Tinggal pilih mau yang mana, mereka akan dengan senang hati melayani kita sepuasnya, hahahaha." Pria itu tertawa sembari mengangkat tangannya untuk kembali menghisap rokok yang ia selipkan pada jari-jarinya. Di lain sofa, beberapa wanita berpakaian min
Keesokan paginya saat Roy sampai di ruang makan, matanya tak melihat keberadaan Alyssa sedikit pun. Pria itu lantas bertanya pada kepala pelayannya—Bi Ningrum. “Alyssa belum bangun?” “Tadi sudah saya bangunkan, Tuan, tapi belum ke bawah juga, sepertinya Nyonya ketiduran lagi, atau mungkin Nyonya sedang bersiap-siap,“ jawab Bi Ningrum tak pasti. “Panggil lagi, bilang sudah saya tunggu di ruang makan,” pungkas Roy tegas. “Baik, Tuan.” Bi Ningrum lantas menuju ke kamar Alyssa lagi. Mengetuk pintu itu beberapa kali sampai Alyssa membukakan pintu kamarnya. “Nyonya, sudah ditunggu Tuan di ruang makan,” ungkap Bi Ningrum. Alyssa menjawab dengan anggukan kepalanya. “Sebentar, saya cuci muka dulu.” Belum sempat Bi Ningrum menjawab, Alyssa langsung berlari ke arah kamar mandi, lalu mencuci wajahnya dan menyikat giginya dengan cepat agar pria itu tidak marah. Selesai menyeka wajahnya dengan handuk kecil, Alyssa lantas buru-buru keluar dari kamarnya. Terlihat Bi Ningrum yang masih berdir
“Kau tak ganti baju? Apa mau aku gantikan?” Suara Roy memecah lamunan Alyssa yang sejak tadi bengong dengan rasa keterkejutannya. “Tidak perlu. Aku bisa ganti sendiri,” sahut Alyssa cepat. Wanita itu berbalik berniat mengambil pakaian, namun tiba-tiba ia teringat sesuatu. “Mmm, Roy?” panggil Alyssa ragu. “Yes, Baby?” jawab Roy seraya tersenyum manis, membuat jantung Alyssa seketika berdisko. “Ak—aku ... aku tidak membawa pakaian,” ungkap Alyssa takut-takut membuat Roy terkekeh kecil. Pria itu tiba-tiba merangkulkan salah satu tangannya pada pinggang Alyssa seraya melangkah maju hingga Alyssa spontan terdorong ke belakang. Roy terus melangkah maju sembari tangan satunya merapikan rambut Alyssa. Tubuh Alyssa terdorong ke belakang sampai akhirnya wanita itu terpentok pada sebuah lemari yang tampak besar dan cukup panjang. Roy menunduk, mensejajarkan mukanya dengan wajah Alyssa, menatap bibir tipis nan seksi itu, sedangkan Alyssa, nafas wanita itu sampai tercekat di tenggorokan s
Alyssa sontak melotot terkejut saat mendengar lenguhan Roy. Pria itu menggosok-gosok lembut hidungnya pada bahu Alyssa, lalu menghirup aroma tubuh bagian tengkuk Alyssa. Alyssa hanya bisa menahan rasa geli akibat yang dilakukan Roy. “R—roy, bisa tolong agak jauhan?” pinta Alyssa hati-hati. “Tidak bisa, Baby. Aku tak bisa jauh darimu,” balas Roy dengan tenang. Pria itu masih tampak nyaman memeluk tubuh Alyssa. “Al, bolehkah aku minta sekarang?” tanya Roy. Deg! Hati Alyssa semakin panik mendengar permintaan Roy. Sepertinya kali ini ia tak akan selamat. Tanpak Alyssa menggigit bibir bawahnya, sedangkan tangannya memilin-milin ujung baju piyamanya untuk menutupi rasa takutnya. “Aku menginginkanmu, ku mohon,” bisik Roy di telinga Alyssa. “Aku janji akan melakukannya dengan lembut,” ucap Roy bersungguh-sungguh. “T—tapi ... eemmhh.” Alyssa merutuki dirinya di dalam hati karena ia kelepasan mengeluarkan desahannya meski ia sudah berusaha semaksimal mungkin menahan rasa geli akiba
Alyssa yang takut, lantas membuka kedua matanya dengan cepat, menatap mata Roy dengan takut-takut. Air matanya hampir tumpah, namun sebisa mungkin Alyssa tetap menahan dirinya agar tidak menangis di depan Roy. “Kenapa kau tidak mau meminum obatnya? Aku hanya memintamu minum obat, Alyssa, bukan menyuruhmu melakukan yang lain. Ini juga demi kesembuhanmu, kenapa sepertinya kau sangat sulit diberitahu?” ucap Roy setengah berbisik. “M–maafkan aku.” Hanya itu kalimat yang mampu keluar dari bibir Alyssa, bahkan saat berbicara, Alyssa pun tak berani menatap mata Roy. Alyssa kemudian memalingkan wajahnya menatap ke arah lain. Air matanya sudah hampir keluar, sebab itulah ia tak berani menatap mata Roy. “Aku tidak butuh permintaan maafmu, Alyssa. Aku hanya ingin kau meminum obatmu, itu saja. Bisa, ‘kan?” Alyssa mengangguk tanpa menatap Roy. Roy yang melihatnya lantas mengangkat salah satu tangannya, memegang dagu Alyssa dan mengarahkannya agar menatapnya kembali. Tes! Tanpa Roy s
“Bantu apa?” tanya Alyssa bingung. “Bantu membuatmu melupakan masa lalumu yang menyakitkan itu,” jawab Roy sungguh-sungguh. Alyssa tak menjawab. Wanita itu kembali memalingkan wajahnya menatap hamparan luas pemandangan di luar restoran. Kembali terjadi keheningan di antara mereka. Keduanya sama-sama menatap pemandangan dengan pikiran mereka masing-masing. “Alyssa,” panggil Roy dengan tenang. Alyssa menoleh, menatap wajah yang tampak tak sedatar biasanya. “Apa selama kau bersamaku, aku belum bisa membuatmu nyaman sedikit pun?” tanya Roy sembari menatap dalam mata Alyssa. Alyssa tersenyum kecut. “Aku tidak bisa menjawabnya,” ujar Alyssa memalingkan wajahnya. “Kenapa?” sahut Roy dengan dahi berkerut. “Jawabannya ada di dirimu sendiri.” “Maksudmu?” tanya Roy tak mengerti. Bukannya menjawab, Alyssa malah bangkit dari tempat duduknya dan bersiap pergi. Roy yang melihat Alyssa akan pergi lantas ikut berdiri, lalu memegang pergelangan tangan Alyssa. “Mau ke mana?” tanya R
Suasana di dalam ruangan terlihat luas nan mewah. Hanya dengan melihatnya sekilas saja sudah tampak jelas jika ruangan itu adalah ruangan eksklusif yang tidak sembarang orang bisa memasukinya. Desain interior yang dirancang dengan material berkualitas tinggi, dinding tampak di marmer serta dihiasi dengan panel kayu dan sedikit tambahan wallpaper premium. Lampu gantung kristal dengan cahaya lembut yang mampu menciptakan atmosfer hangat nan intim, juga tak tertinggal terdapat lukisan seni dan bunga segar yang dapat memberikan sentuhan estetika. Meja makan berbahan kayu yang panjangnya sekitar dua setengah sampai tiga meter, di atasnya sudah dipasang table runner atau yang biasa disebut dengan taplak meja. Tampak aksesoris seperti napkin kain, piring porselen, dan gelas kristal yang sudah tertata rapi di atas meja. Bangku-bangku saling berhadapan tampak sejajar dan rapi. Berbagai hidangan juga telah disajikan di atas meja. Alyssa menoleh pada Roy, “Mau makan sama siapa saja?” tan
“Ck, bisa jalan yang bener gak, sih!” omel Alyssa dengan kesal. Wanita itu benar-benar malu karena tak sengaja menabrak badan Roy, ditambah lagi ia terkejut saat mendengar pertanyaan random dari mulut pria dingin di hadapannya itu. Roy terkekeh. “Makanya kalau jalan yang fokus, lihat ke depan.” “Ini juga tadi udah fokus, kamunya aja yang tiba-tiba berhenti gak bilang-bilang,” sahut Alyssa. Roy yang melihat Alyssa mengomel justru tersenyum. Pandangannya fokus pada bibir Alyssa yang terlihat menggemaskan. Andai ia tak mengendalikan dirinya seperti sekarang, sudah pasti Roy langsung melahap habis bibir wanita di hadapannya itu. Alyssa yang menyadari Roy justru fokus pada bibirnya, seketika wanita itu langsung merinding takut. Ia tak ingin dirinya digarap oleh Roy lagi. Dengan cepat Alyssa berjalan keluar dari kamarnya meninggalkan Roy begitu saja, sedangkan Roy justru terkekeh melihat Alyssa yang sedang menghindarinya. “Bi, makan malamnya kalian makan aja, saya dan Alyssa mau ma
Dengan sedikit panik Roy keluar dari kamarnya, berjalan cepat menuruni anakan tangga menuju ke lantai bawah, tepatnya ke dapur tempat para pelayan sedang menyiapkan makan siang untuknya dan Alyssa. “Bi, Alyssa ke mana?” tanya Roy to the point. Bi Ningrum yang mendengar suara majikannya lantas langsung meninggalkan pekerjaannya begitu saja, lalu menghampiri tuannya, sedangkan kerjaannya spontan langsung digantikan oleh pelayan lainnya atas inisiatif dari teman sesama para pelayan di sana. “Maaf, Tuan, Nyonya tadi minta pindah ke kamarnya, jadi saya antarkan Nyonya ke kamar beliau,” jawab Bi Ningrum menunduk. “Oh ….” Roy menggantung kalimatnya. “Oke,” lanjutnya kemudian. Pria itu lantas berbalik, berjalan menaiki tangga sembari memikirkan sesuatu. Bi Ningrum yang melihat tuannya sepertinya sudah puas dengan jawabannya pun lantas kembali masuk ke dapur untuk melanjutkan pekerjaannya. Namun, baru saja Bi Ningrum akan melanjutkan pekerjaannya, tiba-tiba suara Roy kembali terdengar
Roy berjalan masuk ke dalam toko bunga tersebut. Tercium harum yang sangat wangi dengan aroma bunga yang berbeda-beda dan penuh warna. Penjual bunga yang melihat kedatangan seorang pria dengan setelan mahal nan keren, lantas menghampiri pria tersebut yang tak lain adalah Roy. “Selamat siang, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan ramah. “Saya ingin membeli bunga yang istimewa untuk istri saya. Tolong pilihkan bunga yang bisa membuat mood-nya menjadi lebih baik.” “Baik. Apakah ada bunga favorit yang disukai istri Bapak?” “Saya tidak tahu. Pilihkan saja bunga yang spesial dengan warna yang cantik untuknya,” pungkas Roy, masih dengan wajah yang datar. “Baik, Pak. Saya pilihkan dulu bunga-bunganya, nanti Bapak tinggal pilih yang cocok untuk diberikan pada istri Bapak. Mohon menunggu sebentar ya, Pak.” Wanita itu lantas bergegas memilihkan bunga-bunga yang spesial untuk pelanggannya, sedangkan Roy duduk menunggu bunga yang ia pesan sembari memainkan ponselnya. Selang
POV Roy. Aku tidak tau lagi harus bagaimana. Entah apa yang harus kulakukan agar Alyssa bisa menerimaku. Jujur aku mencintainya sejak pandangan pertama, tapi aku tahu saat itu Alyssa sedang terpuruk karena ditinggalkan oleh suaminya bersamaku. Aku tahu Alyssa bukanlah wanita biasa karena auranya begitu terpancar hingga membuatku tertarik dan melabuhkan hati ini padanya. Setiap melihatnya, rasanya aku jatuh cinta berkali-kali lipat padanya. Dia satu-satunya wanita yang mampu membuatku jatuh cinta. Dia juga yang mampu membuatku jadi bucin begini. Setiap hari aku selalu mengajak Alyssa makan bersama, tak jarang juga aku meminta Bi Ningrum untuk memanggil Alyssa agar segera turun dan makan bersamaku di ruang makan. Aku selalu berusaha mencari topik pembicaraan agar kami bisa mengobrol, tapi ia selalu menjawab dengan singkat sambil tersenyum tipis. Namun, aku tak pernah menyerah untuk mendapatkan hatinya. Aku bahkan selalu membawakan sesuatu setiap kali aku sampai rumah seusai pergi
Di kamar Roy, Bi Ningrum duduk di pinggir ranjang setelah sebelumnya ia mengetuk pintu dan meminta izin pada Alyssa untuk masuk ke dalam. Kini, wanita paruh baya itu menemani Alyssa sambil mengajak Alyssa mengobrol. Membicarakan banyak hal yang menarik untuk dibahas. Meski awalnya Alyssa masih agak canggung, tapi lama-kelamaan Bi Ningrum mampu mengambil hati Alyssa dan mereka bisa mengobrol dengan seru. “Oh iya, Bi, ini kamar Roy, ya?” tanya Alyssa pada Bi Ningrum. Bi Ningrum lantas mengangguk. “Iya, Nyonya.” “Oh, pantes banyak foto dia.” Alyssa manggut-manggut. “Trus kenapa saya dibawa ke sini, Bi?” tanya Alyssa kemudian. “Sprei Nyonya kemarin basah, jadi Tuan pindahin Nyonya ke sini,” ungkap Bi Ningrum. “Tapi sekarang sudah bisa dipake, kok, spreinya sudah Bibi ganti.” “Syukurlah, nanti saya bisa balik ke kamar kalau sudah tidak begitu lemas.” *** Di sisi lain, mobil Roy yang sudah sampai di depan bangunan besar yang biasa Roy jadikan basecamp sekaligus tempat penjar
Roy menatap Alyssa yang mengalihkan pandangannya. Pria itu tahu kalau Alyssa pasti sedang sedih dengan pikiran yang bersarang di kepala wanita itu. “Makanlah. Sarapan dulu, buka mulutmu.” Roy menyodorkan sendok di tangannya ke mulut Alyssa. Alyssa menoleh. “Aku bertanya, Roy,” ujar Alyssa menatap wajah pria di sampingnya. Tanpa menjawab, Roy kembali menyodorkan sendok di tangannya. “Makan dulu. Aaaaaa.” Alyssa membuka mulutnya dengan pandangan yang masih tertuju pada Roy. “Habiskan dulu makananmu, baru aku jawab pertanyaanmu,” pungkas Roy tak ingin dibantah. Akhirnya, mau tak mau Alyssa harus menahan rasa penasaran di dalam dirinya hingga sarapan itu habis nanti. Dengan patuh Alyssa memakan sarapan itu sampai habis, lalu menelan obat yang disodorkan Roy dengan diakhiri minum air mineral. Setelahnya Roy menaruh nampan itu di atas nakas, lalu membaringkan badannya di samping Alyssa dengan posisi miring ke arah Alyssa. Tangannya merapikan rambut Alyssa dengan lembut. “Apa yang