Alyssa segera berjalan cepat dengan kedua tangannya yang telah penuh dengan bawaannya. Di tangan kanannya, Alyssa memegang nampan besar berisi hidangan yang akan ia sajikan untuk suaminya, termasuk nasi dan lauk pauk seperti tumisan yang telah ia masak tadi dan juga tempe yang telah ia goreng, serta piring dan sendok yang sudah tertata rapi di atasnya, sedangkan di tangan kirinya, Alyssa membawa sebuah teko yang berisi air putih, serta dua gelas yang ia jepit di antara jemari dan bagian pegangan tekonya. Alyssa tampak fokus dan sangat berhati-hati agar ia tak menjatuhkan apa yang dia bawa.
“Lama banget, sih!” omel Dio kesal. “Maaf, Mas.” Hanya itu yang Alyssa katakan agar Dio tidak semakin marah. Pria itu lantas mengambil makan dengan terburu-buru layaknya orang yang sudah satu minggu tidak makan. Setelah Dio selesai mengambil sarapannya, Alyssa kemudian ikut menyusul mengambil sarapan pada piringnya. Keduanya makan bersama di piring mereka masing-masing. Tak ada percakapan diantara keduanya. Suasana terasa hening sampai makanan di piring mereka habis tak bersisa. Selesai makan Alyssa lantas membawa semua piring-piring dan gelas kotor itu ke dalam dapur, Alyssa kemudian mencucinya di wastafel. Untungnya meski rumah Alyssa saat ini cukup kecil, tapi dapurnya sudah ada wastafelnya. Jika tidak, mungkin kesengsaraan Alyssa akan semakin bertambah. Wanita itu kemudian masuk ke dalam kamarnya untuk berganti pakaian. Keluar dari kamar Alyssa telah mengenakan pakaian yang lebih tertutup dibandingkan sebelumnya yang hanya memakai daster sebatas lutut. Kini, Alyssa tampak memakai celana panjang model cutbray yang ia padukan dengan baju atasan serta kardigan lengan panjang yang cukup menutupi tubuh mulusnya. Alyssa bergegas meninggalkan rumah sembari menenteng plastik besar untuk wadah pakaian-pakaian tetangga yang akan ia cuci nanti. Ya, rutinitas Alyssa setiap pagi adalah ke rumah-rumah para pelanggannya untuk mengambil pakaian yang akan ia cuci. Setelah mencuci dan menjemur pakaian-pakaian itu, Alyssa akan melanjutkan aktifitasnya dengan menggosok pakaian pelanggannya yang telah ia cuci kemarin. Sore hari sebelum Alyssa berangkat bekerja di tempat angkringan, wanita itu pasti menyempatkan waktunya untuk mengantar pakaian para customernya terlebih dahulu. Itulah keseharian Alyssa setiap harinya saat ini. Meski Alyssa bisa saja bekerja di kantoran, tapi saat ini Alyssa lebih memilih bekerja sebagai laundry pakaian dan bekerja di tempat angkringan milik tetangganya ketika malam hari. Alyssa rela mengubur gengsinya demi bisa tetap mengurus kebutuhan suaminya di rumah, dan agar ia bisa tetap mengerjakan pekerjaan rumahnya supaya Dio tidak marah. “Permisi, ini Alyssa, Bu,” seru Alyssa dengan sedikit menaikkan volume suaranya agar penghuni rumah customernya mendengar panggilannya. “Iya, Mbak Al. Sebentar saya ambil pakaiannya dulu,” sahut Bu Eni, salah satu pelanggan laundry Alyssa. “Tumben siangan ngambilnya Mbak Al?” tanya Bu Eni sembari memberikan pakaian kotornya pada Alyssa. “Iya, Bu, tadi saya bangunnya kesiangan. Maaf ya, Bu, saya jadi terlambat ngambil pakaiannya,” jawab Alyssa tak enak hati. “Iya, gak apa-apa Mbak Al, yang penting Mbak Al sehat aja saya udah bersyukur. Soalnya kalau Mbak Al sakit nanti nggak ada yang cuciin pakaian kami. Kalau saya udah angkat tangan Mbak Al, udah capek duluan saya ngurusin dagangan,” ujar Bu Heni seraya terkekeh. Setelah bercandaan sejenak dengan Bu Heni, Alyssa kembali melangkahkan kakinya menuju rumah costumer-nya yang lain. Satu per satu Alyssa hampiri untuk mengambil pakaian kotor mereka hingga tiba-tiba ada salah satu customer laundry-nya yang memberikan pertanyaan yang membuat Alyssa terkejut sekaligus merasa tak enak hati pada para tetangga-tetangganya. “Tadi malam Mas Dio pulang malam ya, Mbak Al? Itu, tadi ada yang cerita katanya dia malam tadi ngelihat Mas Dio pulang dalam keadaan mabuk, apa benar itu Mbak Al?” tanya Bu Sumi, dan Alyssa hanya mampu menjawabnya dengan anggukan kepala seraya tersenyum kikuk. Wanita itu tampaknya cukup malu karena suami sering pulang dalam keadaan mabuk atau bahkan marah-marah tidak jelas. “Terus keadaan Mbak Al bagaimana, apa ada yang terluka? Dengar-dengar katanya tadi malam kalian sempat ribut juga, terus gak lama kemudian ada suara benda pecah gitu,” ucap Bu Sumi dengan ekspresi khawatir. “Saya baik-baik aja kok, Bu. Gak ada yang luka sama sekali,” sahut Alyssa tersenyum lembut. “Beneran gak ada yang luka, Mbak Al? Gak bohong, kan? Terus ini tangannya kenapa dibalut plester luka gini?“ tanya Bu Sumi beruntun. “Saya gak bohong kok, Bu. Saya beneran baik-baik aja. Ini tangan saya tadi cuma kena pisau sedikit, waktu saya lagi potong-potong sayuran,” ujar Alyssa sedikit berbohong. Memang benar Alyssa tidak kenapa-kenapa, badannya tidak ada yang luka, namun tangannya dibalut plester bukanlah karena terkena pisau, melainkan karena tak sengaja tertancap pecahan beling bekas botol minuman keras yang dilemparkan suaminya tadi malam. **** Sesampainya di rumah, dengan menenteng empat plastik besar berwarna merah, Alyssa lantas segera bergegas ke belakang untuk mencuci pakaian para costumernya. Dengan telaten Alyssa mencuci pakaian-pakaian kotor itu sampai selesai. Tampak hari sudah sangat terik, Alyssa lantas segera mengeringkan dan menjemur pakaian-pakaian yang telah ia cuci tadi. Begitu selesai dengan cuciannya dan Alyssa pun telah berganti pakaian, wanita itu kemudian mengambil pakaian yang tadi malam ia letakkan di dalam keranjang, yakni pakaian laundry milik tetangga-tetangganya yang telah ia cuci kemarin, dan kini Alyssa membawa pakaian itu ke ruang televisi untuk ia gosok terlebih dulu sebelum nantinya akan dia antar baju-baju tersebut ke para pemiliknya. Terlihat Dio yang sedang bersantai di atas sofa sembari menonton televisi. Alyssa hanya bisa mendengus kesal melihat kelakuan suaminya yang pemalas itu. “Kalau bukan karena dijodohkan sama orang tua, gak sudi aku jadi istrinya. Bisanya hanya menghabiskan duitku saja. Aku jadi hidup miskin gini gara-gara dia,” gerutu Alyssa di dalam hati. Wanita itu melewati suaminya begitu saja. Tak peduli jika Dio akan terganggu waktu bersantainya. Lagi pun, enak banget dia santai-santai, sedangkan Alyssa justru banting tulang kerja dari pagi sampai malam gak ada habisnya hanya untuk menghidupi keluarganya. Boro-boro membeli pakaian atau barang yang Alyssa inginkan, bisa cukup buat makan aja Alyssa udah bersyukur banget. Saat sedang menggosok, Alyssa dengan sengaja mengangkat tinggi-tinggi pakaian yang akan dia lipat, lalu membentangkan kain itu seperti layar besar yang tentunya menghalangi pandangan suaminya yang sedang menonton televisi. Wajah Alyssa tersirat ekspresi yang cukup tenang, namun penuh maksud tersembunyi di dalamnya. Dio mendongakkan kepalanya dari sofa yang ia tiduri, pria itu jelas terganggu dengan tangan istrinya. Namun, sementara itu Alyssa tetap berpura-pura tidak menyadari situasi yang sedang dia permainkan tersebut. Dengan gerakan perlahan dan penuh keanggunan, Alyssa melipat kain itu seperti tidak ada yang terjadi apa-apa, lalu ia mengangkat pakaian lain dan mengulanginya lagi, seolah-olah itu adalah bagian dari rutinitasnya. Sesekali senyum tipis tersirat di bibir Alyssa, memperlihatkan bahwa dia sangat sadar akan apa yang sedang dia lakukan. Dio yang lama-kelamaan kesal pun lantas berdecak, kemudian mengomentari kelakuan istrinya. “Kamu bisa gak sih, gak usah diangkat-angkat gitu pakaiannya? Ganggu tau, gak?” omel Dio. “Ya gak bisa, Mas, kan harus aku jembreng dulu biar rapi. Lagian ini spontanitas kalau lagi gosok, ya emang harus gini,” sahut Alyssa tanpa menoleh sedikit pun kepada suaminya. “Spontanitas-spontanitas! Ganggu aja,” oceh Dio, sedangkan Alyssa tetap menampilkan muka datarnya meski sebenarnya ia mati-matian harus menahan tawa akibat kelakuan yang dia lakukan saat ini. Dio yang sudah kepalang kesal akhirnya memilih pergi meninggalkan ruang televisi. Lelaki itu berjalan keluar menuju teras rumah sembari menenteng sebungkus rokok dan juga korek api yang ia ambil dari atas meja. Di teras, pria duduk di kursi kayu yang terletak di dekat pintu masuk. Dio kemudian mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya dengan korek yang ia bawa tadi. Asap perlahan mengepul seraya pikirannya menerawang jauh memikirkan bagaimana caranya agar ia bisa mendapatkan uang banyak dalam waktu dekat untuk membayar semua hutang-hutangnya. Di sisi lain, Alyssa yang menyadari suaminya pergi pun tersenyum puas. Rencananya untuk mengganggu suaminya yang pemalas itu akhirnya berhasil juga. Namun, baru saja Alyssa merasa menang, senyum wanita itu seketika luntur saat telinganya tak sengaja mendengar suara dering telepon dari ponsel milik Dio—suaminya. Alyssa yang merasa penasaran lantas segera mengecilkan siaran televisi di hadapannya, kemudian wanita itu berusaha mendengarkan dengan seksama isi percakapan yang akan dibahas oleh suaminya dalam sambungan telepon tersebut Dari yang Alyssa dengar, tampaknya teman Dio akan mengajak Dio untuk keluar malam nanti. Entah mereka akan ke klub seperti biasa yang suaminya lakukan, atau justru ke tempat lain yang mungkin Alyssa belum ketahui. Yang jelas, dari yang Alyssa dengar adalah mereka akan keluar malam nanti. “Main terus kerjanya. Gak mikirin istri sama sekali. Bahan-bahan di rumah udah habis bukannya kerja yang giat malah main melulu. Dia punya otak gak, sih?” gerutu Alyssa kesal. “Kalo aku udah gak bisa sabar lihat aja nanti, gak akan aku pikirin dia lagi. Aku tinggal kerja di kantoran sekalian tahu rasa, biar dia gak ada yang ngurusin, gak akan ada yang masakin dia,” oceh Alyssa sembari tangannya terus menggosok pakaian milik para pelanggannya. **** “Mas, beras dan bahan-bahan mentah buat masaknya udah habis. Aku mau belanja buat masak besok. Kamu ada uang, kan?” Alyssa yang telah menyelesaikan gosokannya mencoba meminta uang kepada sang suami untuk berbelanja bahan pokok yang telah habis guna memasak besok pagi. “Kamu juga kerja, 'kan? Pakai uang kamu dulu. Aku lagi gak punya uang,” sahut Dio dengan entengnya. Alyssa yang mendengar jawaban menyebalkan dari mulut suaminya itu spontan menghela nafas dengan kasar. Fisik dan pikiran yang sudah amat lelah membuat Alyssa tidak bisa lagi menahan sabar atas sikap suaminya. “Uang aku kan udah buat bayar hutang-hutang kamu, Mas. Buat keperluan lainnya juga seperti pembalut, pembersih muka, detergen. Kamu kan gak pernah ngasih uang lebih untuk beli itu, jadi ya aku beli pakai uangku,” balas Alyssa yang dengan sengaja mengeluarkan unek-uneknya supaya suaminya sadar jika Dio selama ini selalu memberikan uang bulanan yang sebenarnya tidak cukup untuk biaya hidup mereka. “Lagian masa iya gaji kamu udah habis, padahal kan kamu cuma ngasih sebagian doang ke aku? Lima ratus ribu untuk sebulan mana cukup, Mas?” komentar Alyssa. “Kamunya aja yang boros! Kamu sebagai istri harusnya bisa pintar-pintar mengatur keuangan. Bukannya ngeluh terus,” tukas Dio. “Ngeluh terus katamu? Kurang sabar apa aku sama kamu, Mas? Hutang-hutang kamu sama rentenir dan pinjol-pinjol itu juga aku yang bayar! Belanja bulanan pun juga selalu aku tambahin pakai uang pribadiku sendiri. Sedangkan kamu? Kamu cuma ngasih lima ratus ribu buat satu bulan, selebihnya? Kamu gunakan sendiri untuk foya-foyamu yang gak jelas itu. Buat berjudi, mabuk-mabukan. Bukannya tambah kaya malah tambah miskin!” seru Alyssa dengan emosi yang tak bisa ia tahan lagi. “Plak!!” Dio yang sudah kepalang emosi menampar pipi Alyssa begitu saja dengan cukup kencang. Alyssa yang tak menduga akan mendapat sebuah tamparan dari tangan suaminya hanya bisa memandang sang suami dengan tatapan sendu. Kekecewaan dan rasa sakit di hatinya semakin dalam, namun ia bingung harus bertindak apa. “Jaga ucapan kamu, ya. Jangan bikin aku semakin stress dengan keadaan kita sekarang ini,” bisik Dio sembari menunjuk wajah Alyssa dengan jari telunjuknya. "Aku yang lebih stres, Mas. Aku pusing setiap kali debt collector datang ke sini menagih hutang-hutang kamu yang menumpuk itu. Aku pusing setiap kali para pinjol meneror nomorku agar aku cepat membayar tagihanmu. Aku pusing ngatur keuangan setiap bulannya yang selalu kurang karena kamu hanya memberiku uang sedikit. Aku juga pusing ngelihat kamu yang selalu pulang dalam keadaan mabuk dan marah-marah gak jelas. Aku yang lebih pusing, Di, aku yang lebih stress! Aku capek kalau terus hidup seperti ini.” Dio yang sudah di puncaknya emosi, seketika mengepalkan kedua tangannya. Namun, wajah yang awalnya memperlihatkan ekspresi marah itu tiba-tiba berubah begitu saja hanya dalam sekejap. Entah apa yang terlintas di pikiran Dio, pria itu tiba-tiba menyeringai seakan-akan menemukan sesuatu yang sepertinya cukup menyeramkan. “Oh, jadi kamu udah nggak sanggup hidup sama aku? Baiklah, aku turuti keinginanmu. Kamu mau uang, 'kan? Kamu mau hidup enak seperti dulu, 'kan? Kalau gitu lebih baik sekarang kamu siap-siap, kita akan pergi ke suatu tempat yang bisa bikin kamu senang.” Entah apa yang dimaksud oleh Dio, tapi dilihat dari matanya, sepertinya pria itu memiliki rencana licik yang akan membuat hidup Alyssa semakin sengsara. Alyssa mengernyit bingung, merasa ada yang janggal dengan ucapan suaminya. “Apa maksud kamu, Mas?” tanyanya waspada. “Sudahlah, ikuti saja perintahku. Cepat bersiap-siap sekarang, atau aku akan menamparmu lagi,” ancam Dio membuat nyali Alyssa ciut. “Tapi aku harus berangkat kerja, Mas!” sela Alyssa. “Tidak perlu. Biar aku telpon Mak Yati agar kamu diizinkan libur hari ini,” sahut Dio cepat. Alyssa merasa cemas, namun ia tetap mengikuti perintah suaminya. Dengan malas Alyssa masuk ke dalam kamar untuk berdandan sesuai yang disuruh oleh suaminya, sedangkan di sisi lain, tepatnya di teras rumah, Dio yang melihat Alyssa sudah masuk ke dalam kamar pun lantas bergegas menelpon seseorang. Tampak dari obrolannya bahwa Dio sedang melakukan negosiasi dengan cukup serius kepada seseorang dibalik sambungan telepon tersebut sampai akhirnya tak lama kemudian panggilan itu terputus, menandakan obrolan mereka telah selesai. “Emangnya kita mau ke mana sih, Mas?” tanya Alyssa curiga. “Sudah, diam! Kamu ini cerewet sekali, sih. Tinggal ikuti langkahku saja kok ribet,” seru Dio yang merasa risih mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Alyssa. Dengan wajah tak terbaca, Dio membawa Alyssa keluar malam itu menggunakan kendaraan roda dua miliknya. Pria berpawakan sedikit gemuk itu mengendarai motornya tanpa mengatakan tujuannya pada sang istri yang kebingungan akan dibawa ke mana, hingga tak lama kemudian tiba-tiba roda dua yang mereka naiki berhenti tepat di depan sebuah klub malam yang terlihat mulai ramai, diiringi dengan khas suara musik yang berdentum keras, serta lampu-lampu yang cukup menyilaukan. “Deg! Kenapa ke sini?” batin Alyssa gelisah. Ia takut apa yang menjadi prasangkanya akan menjadi kenyataan. “Dio, kamu ngapain ke sini? Aku nggak mau masuk ke tempat kayak gini. Kamu apa-apaan sih bawa aku ke tempat kayak gini,” omel Alyssa sembari membalikkan badannya dan berjalan menjauh dari suaminya. Dio yang melihat Alyssa ingin kabur itu lantas dengan cepat segera mencengkram pergelangan tangan istrinya dengan kuat, menahan Alyssa agar tidak kabur darinya. “Mau ke mana kamu?” Dio berusaha menghentikan langkah Alyssa. “Aku mau pulang!” sahut Alyssa kesal. “Sekali lagi kamu mencoba kabur, aku tidak akan segan-segan menamparmu lagi dan menyeretmu kembali ke sini.” Lagi-lagi pria itu selalu mengancam istrinya. Akhirnya, mau tak mau Alyssa kembali mengikuti perintah suaminya. Ia tak punya pilihan lain selain menuruti perintah Dio untuk mengikutinya ke dalam klub itu. Dalam hati, Alyssa berharap bahwa ia hanyalah salah paham. Alyssa berusaha tetap berpikir positive bahwa Dio tak akan mungkin menjerumuskan dirinya. Sesampainya di dalam, Dio meminta Alyssa untuk duduk terlebih dulu di salah satu sofa yang ada di dekat meja bar, setelahnya pria itu menghampiri seorang lelaki bertubuh tegap yang Alyssa tidak ketahui dia siapa. Tampak dari jauh bahwa Dio seperti sedang berdiskusi entah membahas apa. Setelahnya kedua orang itu pergi ke salah satu sudut yang terlihat sangat gelap, namun samar-samar Alyssa bisa melihat ada seseorang di sana. Entah apa yang dilakukan oleh suaminya, tapi yang jelas tak lama setelah itu dia kembali menghampiri Alyssa dan meminta Alyssa untuk mengikutinya lagi. Dengan perasaan tak nyaman Alyssa mengikuti langkah kaki suaminya yang ternyata membawanya ke salah satu sudut yang tadi dihampiri oleh suaminya—Dio. Di sana, tampak seorang pria yang tengah duduk santai dengan tenang sembari memegang putung rokok yang baru saja dia hisap. Asap mengepul mengelilingi wajah pria tersebut. Namun, pria itu seolah tak terganggu dengan kumpulan asap yang ia ciptakan dan justru malah tampak sangat menikmati kumpulan asap rokok tersebut. Dari pakaiannya, terlihat jelas bahwa pria itu bukanlah lelaki dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, tetapi justru sebaliknya. Alyssa yakin kalau lelaki itu adalah pria mapan kaya raya yang hidupnya tak susah seperti dirinya. Setelan hitam yang rapi dan terlihat berkelas, pria itu tampak sangat menonjol di antara orang-orang lainnya, bahkan auranya dingin dan terlihat penuh kuasa. Alyssa seketika curiga dan merasa ada yang aneh dengan pria di hadapannya itu saat lelaki tersebut menatap Alyssa sekilas, lalu setelahnya pria itu memandang Dio dengan senyum tipis seolah ada harta Karun di hadapannya. “Ini yang gua ceritakan tadi, Roy,” kata Dio sembari menyerahkan Alyssa seakan wanita itu adalah barang dagangan. “Istri gua, sesuai dengan perjanjian.” Alyssa tersentak. Mulutnya menganga tak percaya. “Apa maksud kamu, Mas? Perjanjian apa yang kamu maksud? Kamu jual aku?”Dio hanya menatap dingin. “Aku hanya ingin menuruti keinginanmu. Kamu tidak mau hidup susah denganku, 'kan? Maka ikutlah bersama Roy,” kata Dio.Alyssa menggeleng. “Enggak, Di, aku gak mau. Aku gak kenal sama dia, aku gak mau ikut dia. Aku mau pulang aja.” Alyssa berbalik. Pikirannya hanya ingin pulang. Ia tak mau dijual seperti ini. Benar-benar cara yang sangat hina. Apakah ia serendah itu? Apa mereka pikir Alyssa sama dengan hewan yang bisa dijual secara bebas? Benar-benar biadab sekali mereka.Namun, Dio yang melihat Alyssa akan kabur pun lantas menahan Alyssa dan berusaha membujuk wanita itu agar Alyssa mau ikut bersama Roy. “Al, aku mohon sama kamu, ikutlah dengan Roy. Aku yakin dia bisa menjamin kehidupan kamu dengan sangat layak.” Dio menatap mata Alyssa, berusaha meyakinkan istrinya.“Aku gak butuh kehidupan layak kalau caranya kayak gini. Kamu anggap aku apa sih, Di? Kamu pikir aku hewan yang bisa kamu jual seenaknya? Aku ini istri kamu, Di, istri kamu!” Alyssa menangis terse
Bagai dihantam batu, perasaan Alyssa terluka mendengarnya. Ia seolah seperti wanita murahan yang bisa dengan mudahnya diperintahkan untuk melakukan hal hina seperti itu. Statusnya masih menjadi istri dari pria lain, tetapi kini ia justru disuruh melayani lelaki lain sebab ulah suaminya sendiri. Entah apa salahnya sehingga takdirnya seperti ini. Dalam keadaan saat ini ingin rasanya Alyssa menjerit sekencang-kencangnya untuk meluapkan emosi di dalam dirinya, namun semua itu harus ia tahan demi keamanan dirinya.Selesai dengan acara minumnya, Roy mengajak Alyssa pulang ke rumahnya. Meski sebenarnya enggan, tapi mau tak mau Alyssa harus menuruti apa yang dikatakan oleh Roy, atau nyawanya yang mungkin nanti akan terancam.Di dalam mobil, meski Roy dan Alyssa duduk berdekatan, tapi keduanya sama-sama tak ada yang membuka suara. Keduanya sama-sama memilih diam dengan pikiran mereka masing-masing. Sesampainya di kediaman Roy yang tampak sangat megah nan mewah, rumah dengan cat berwarna putih
Belum sempat Alyssa menoleh, dengan gerakan yang sangat cepat Roy memindahkan nasi yang telah dikunyah dari mulutnya ke mulut Alyssa menggunakan bibirnya, Alyssa yang terkejut berusaha memberontak, tapi tak bisa karena Roy menahan tengkuknya dengan salah satu tangan pria itu, sedangkan tangan yang lainnya Roy gunakan untuk menekan kedua pipi Alyssa agar wanita itu membuka mulutnya. Setelah makanan itu masuk ke dalam mulut Alyssa, dengan cepat Roy langsung menahan dagu Alyssa agar mulut wanita itu tidak terbuka. “Telan, cepat!” titah Roy dengan halus, namun penuh penekanan bahwa dia tidak mau dibantah.Alyssa menggeleng. Wanita itu ingin memuntahkan makanan di mulutnya, tapi mulutnya tidak bisa ia buka karena ditahan oleh Roy. “Telan, atau aku yang akan memakanmu,” ancam Roy sekali lagi, namun Alyssa tetap menggeleng mencerminkan penolakannya pada Roy.Roy yang kesal lantas kembali mengunyah makanan itu dan memindahkannya ke mulut Alyssa lagi untuk yang ke dua kalinya. Namun, jika yang
Di tempat lain, seorang pria berumur 33 tahun dengan mengenakan kemeja kasual yang dibuka beberapa kancing bagian atasnya, pria itu tampak sedang bersantai di salah satu sofa yang ada di sebuah klub malam. Lampu neon berwarna biru dan ungu memantulkan bayangan pria itu, sementara musik EDM berdentum keras dari speaker di sekitarnya. Di meja depannya, terdapat botol-botol minuman keras disertai gelas-gelas kaca yang telah berjejer rapi. Aroma minuman, rokok, dan wangi parfum yang menusuk hidung bercampur menjadi satu memenuhi udara. Pria itu tampak tertawa lepas bersama beberapa teman lelakinya yang juga terlihat sedang menikmati suasana malam. "Malam ini kita bisa habiskan malam panjang kita bersama wanita-wanita yang kita inginkan. Tinggal pilih mau yang mana, mereka akan dengan senang hati melayani kita sepuasnya, hahahaha." Pria itu tertawa sembari mengangkat tangannya untuk kembali menghisap rokok yang ia selipkan pada jari-jarinya. Di lain sofa, beberapa wanita berpakaian min
Keesokan paginya saat Roy sampai di ruang makan, matanya tak melihat keberadaan Alyssa sedikit pun. Pria itu lantas bertanya pada kepala pelayannya—Bi Ningrum. “Alyssa belum bangun?” “Tadi sudah saya bangunkan, Tuan, tapi belum ke bawah juga, sepertinya Nyonya ketiduran lagi, atau mungkin Nyonya sedang bersiap-siap,“ jawab Bi Ningrum tak pasti. “Panggil lagi, bilang sudah saya tunggu di ruang makan,” pungkas Roy tegas. “Baik, Tuan.” Bi Ningrum lantas menuju ke kamar Alyssa lagi. Mengetuk pintu itu beberapa kali sampai Alyssa membukakan pintu kamarnya. “Nyonya, sudah ditunggu Tuan di ruang makan,” ungkap Bi Ningrum. Alyssa menjawab dengan anggukan kepalanya. “Sebentar, saya cuci muka dulu.” Belum sempat Bi Ningrum menjawab, Alyssa langsung berlari ke arah kamar mandi, lalu mencuci wajahnya dan menyikat giginya dengan cepat agar pria itu tidak marah. Selesai menyeka wajahnya dengan handuk kecil, Alyssa lantas buru-buru keluar dari kamarnya. Terlihat Bi Ningrum yang masih berdir
“Kau tak ganti baju? Apa mau aku gantikan?” Suara Roy memecah lamunan Alyssa yang sejak tadi bengong dengan rasa keterkejutannya. “Tidak perlu. Aku bisa ganti sendiri,” sahut Alyssa cepat. Wanita itu berbalik berniat mengambil pakaian, namun tiba-tiba ia teringat sesuatu. “Mmm, Roy?” panggil Alyssa ragu. “Yes, Baby?” jawab Roy seraya tersenyum manis, membuat jantung Alyssa seketika berdisko. “Ak—aku ... aku tidak membawa pakaian,” ungkap Alyssa takut-takut membuat Roy terkekeh kecil. Pria itu tiba-tiba merangkulkan salah satu tangannya pada pinggang Alyssa seraya melangkah maju hingga Alyssa spontan terdorong ke belakang. Roy terus melangkah maju sembari tangan satunya merapikan rambut Alyssa. Tubuh Alyssa terdorong ke belakang sampai akhirnya wanita itu terpentok pada sebuah lemari yang tampak besar dan cukup panjang. Roy menunduk, mensejajarkan mukanya dengan wajah Alyssa, menatap bibir tipis nan seksi itu, sedangkan Alyssa, nafas wanita itu sampai tercekat di tenggorokan s
Alyssa sontak melotot terkejut saat mendengar lenguhan Roy. Pria itu menggosok-gosok lembut hidungnya pada bahu Alyssa, lalu menghirup aroma tubuh bagian tengkuk Alyssa. Alyssa hanya bisa menahan rasa geli akibat yang dilakukan Roy. “R—roy, bisa tolong agak jauhan?” pinta Alyssa hati-hati. “Tidak bisa, Baby. Aku tak bisa jauh darimu,” balas Roy dengan tenang. Pria itu masih tampak nyaman memeluk tubuh Alyssa. “Al, bolehkah aku minta sekarang?” tanya Roy. Deg! Hati Alyssa semakin panik mendengar permintaan Roy. Sepertinya kali ini ia tak akan selamat. Tanpak Alyssa menggigit bibir bawahnya, sedangkan tangannya memilin-milin ujung baju piyamanya untuk menutupi rasa takutnya. “Aku menginginkanmu, ku mohon,” bisik Roy di telinga Alyssa. “Aku janji akan melakukannya dengan lembut,” ucap Roy bersungguh-sungguh. “T—tapi ... eemmhh.” Alyssa merutuki dirinya di dalam hati karena ia kelepasan mengeluarkan desahannya meski ia sudah berusaha semaksimal mungkin menahan rasa geli akiba
Dengan cepat Roy mengangkat tubuh Alyssa dan membawanya ke atas ranjang. Roy mencoba menyadarkan Alyssa dengan cara menekan dada Alyssa berharap bisa memompa keluar air yang telah memenuhi paru-paru wanitanya. Setelah beberapa kali mencoba dan Alyssa belum tersadar juga, Roy yang sudah diambang keputusasaan dengan rasa panik yang luar biasa, pria itu meneteskan air matanya merasa takut kehilangan Alyssa. “Sayang, tolong bangunlah, Baby. Jangan buat aku panik seperti ini,“ pinta Roy dengan suara serak. “Alyssa, aku mohon jangan tinggalkan aku,” rengek pria itu dengan tangan yang masih terus menekan dada Alyssa. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya usaha Roy membuahkan hasil. Air mengalir keluar dari mulut Alyssa. Roy lantas mengusap pipi Alyssa dengan lembut. “Syukurlah kamu udah sadar, baby.” Baru saja Roy merasa lega, di detik berikutnya rasa panik kembali merasukinya saat tiba-tiba Alyssa kembali memejamkan kedua matanya. “Sayang? Al, kamu jangan bikin aku khawatir lagi, d
“Tempat memanah? Untuk apa kita ke sini?” tanya Alyssa bingung. Roy menoleh, menatap wajah Alyssa seraya tersenyum lembut. “Untuk apa lagi? Ayo!” pungkas Roy menaikkan dagunya, memberi kode pada Alyssa agar masuk ke lapangan tempat bermain panah. “T--tapi ... aku tidak bisa bermain panah. Aku belum pernah mencobanya,” ucap Alyssa ragu. “Maka aku yang akan mengajarimu sampai kau bisa,” sela Roy. Pria itu terlihat cukup antusias untuk mengajari Alyssa bermain panah, olahraga yang belum pernah Alyssa coba. Keduanya berjalan memasuki lapangan tempat khusus untuk memanah. Roy menerima busur dan anak panah yang diberikan oleh anak buahnya, lalu meletakkan tas kulit berisi beberapa anak panah ke samping tubuhnya. “Aku tidak yakin bisa melakukannya,” ucap Alyssa pesimis. “Tapi aku yakin kau bisa melakukannya,” sela Roy penuh percaya diri. Pria itu lantas berdiri di belakang badan Alyssa, menggenggam kedua tangan Alyssa, lalu menuntunnya untuk memegang busur dan anak panah yang se
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya sang pemilik toko emas.“Saya ingin menjual gelang emas ini, Pak.” Dio menyodorkan gelang yang ia bawa.Pemilik toko emas lantas mengamati gelang tersebut dengan seksama. “Gelang ini bagus, kenapa dijual, Mas?”“Saya lagi butuh duit, makanya terpaksa harus saya jual ini gelang istri saya,” ujar Dio dengan ekspresi memelas supaya pria di hadapannya percaya dan kasihan kepadanya.“Oh, gitu.” Pria itu mengangguk paham. “Ya sudah, saya cek kadar emasnya dulu ya kalau gitu. Tunggu sebentar.” Pemilik toko emas itu lantas mulai memeriksa gelang yang Dio bawa menggunakan mesin penguji emas dan juga timbangan untuk memastikan kadar dan berat gelang tersebut.Setelah mengecek gelang itu beberapa saat, pria itu kembali menghadap Dio dengan tangannya membawa gelang yang akan dijual Dio tadi. “Gelang ini kadar emasnya 24 karat, dan beratnya 10 gram. Kalau sekarang harga pasarnya sekitar Rp1.533.000 per gram. Jadi totalnya sekitar Rp15.330.000. Bagaimana, mau?”Dio
Roy menoleh terkejut, menatap Alyssa dengan lekat, tatapan matanya terlihat jelas ada kesedihan sekaligus emosi secara bersamaan yang tengah pria itu sembunyikan.“Apa yang harus aku lakukan agar kau tidak pergi meninggalkanku?” tanya Roy.Tampaknya Roy mulai bingung harus bagaimana lagi agar ia bisa mengambil hati Alyssa.Alyssa memalingkan wajahnya menatap lain, menghindar dari tatapan Roy. “Aku lebih bahagia hidup sendiri. Aku ingin melupakan semua hal-hal buruk yang pernah terjadi selama hidupku,” ungkap Alyssa.Satu tangan Roy spontan mengepal, menahan emosi yang ingin meledak saat ia mendengar ungkapan sedih Alyssa. Rasanya ia ingin membunuh orang-orang yang telah membuat hati Alyssa hancur.Roy mengangkat tangannya yang lain, merangkul pinggang Alyssa, menariknya sedikit hingga badan keduanya saling bersentuhan. Tarikannya tak terlalu kuat, tetapi cukup untuk menyampaikan rasa takut kehilangan yang tersembunyi di dalam hatinya.Pria itu kemudian menundukkan kepala, wajahnya ia
Bola melambung jauh, meski tidak sempurna, Roy tetap bertepuk tangan kecil untuk mensupport Alyssa agar tidak mudah menyerah, “Keren, itu sudah cukup bagus untuk pemula, kau hanya tinggal terus latihan ritme.” Roy berbicara dengan suara excited, seolah ia benar-benar sangat menikmati apa yang ia lakukan saat ini, sedangkan Alyssa yang melihat reaksi excited di diri Roy membuat senyumnya seketika terbit di wajahnya. Wanita itu tampak tersenyum malu-malu namun sedikit puas dengan apa yang telah dia lakukan.Alyssa kembali mengulangi gerakan yang diajarkan Roy hingga beberapa kali, sesekali Roy membenarkan posisi Alyssa jika ada yang kurang tepat, tak lupa pria itu sedikit menyisipkan humor agar Alyssa tidak tegang saat mereka sedang mengulang latihan, “Kalau bolanya ke kolam, anggap saja kita mau main golf sambil berenang,” ucapnya. Mereka tertawa bersama sembari tetap melanjutkan latihan. Sesi latihan yang awalnya cukup tegang bagi Alyssa, berubah menjadi momen yang penuh kehangatan da
Alyssa yang semakin kesal lantas berdecak seraya menoleh kembali ke arah samping, “Aku sudah punya suami, Roy!” cetus Alyssa. “Gak pantes kalau ada laki-laki lain yang manggil saya seperti itu. Saya bukan wanita murahan,” lanjut Alyssa dengan tatapan menusuk.“Berarti kalau udah single boleh dong, aku panggil kamu sayang?” Pria itu tersenyum lebar. Senyum yang sejak tadi ia sembunyikan, pada akhirnya terlepas juga dari tempatnya hingga memperlihatkan ketampanannya yang hakiki. Alyssa hanya berdecak kesal dan tak menggubris ucapan pria di sampingnya. “Ini topinya, Nyonya.” Seorang wanita yang Alyssa duga sebagai maid atau pelayan di sana memberikan sebuah topi lebar pada Alyssa guna melindungi wajahnya dari sinar matahari. Alyssa lantas menerimanya dengan senang hati seraya menyertakan senyuman yang ia tampilkan di wajahnya.Kebetulan Alyssa tidak membawa topi karena Roy tadi tidak menyiapkannya sekalian, dan lagi Roy juga tidak mengatakan mereka akan berolahraga apa, jadi maklum saja
Dio terlihat sangat frustasi dengan keadaannya saat ini yang mendesaknya untuk mendapatkan uang hari ini juga karena esok Dio sudah harus memberikannya pada debt kolektor yang akan datang ke rumahnya lagi. Dengan wajah kusut Dio berjalan tergesa-gesa dari ruang televisi menuju ke kamarnya, pria itu mendorong pintu dengan kasar hingga terdengar suara yang berderit. Pandangannya langsung tertuju pada lemari pakaian yang tak begitu besar di sudut ruangan. Tanpa membuang waktu, Dio menghampirinya dan menarik pintu lemari dengan cepat. Pintu kayu itu terbuka lebar, menampakkan tumpukan-tumpukan pakaian yang sebagian masih tersusun dengan rapi, namun sebagiannya lagi sudah terlihat berantakan Pria itu kemudian mengobrak-abrik isi lemari dengan gelisah. Tangannya menyibak tumpukan baju milik istrinya satu per satu, melemparnya ke lantai tanpa peduli akan kekacauan yang ia ciptakan. Suara gesekan hanger dan pakaian yang jatuh berserakan memenuhi ruangan. Laci kecil di bagian tengah lemari
Di lain tempat, Alyssa yang sudah selesai selesai mengenakan pakaian yang disiapkan oleh Roy tadi, lantas keluar dari kamar mandi. Terlihat Roy yang tengah duduk di pinggir ranjang dengan posisi menghadap ke arah kamar mandi. Alyssa yang melihatnya lantas menatap ke arah lain seolah dirinya tak peduli dengan keberadaan Roy.Ia berjalan ke arah meja rias, lalu mendudukkan dirinya di atas kursi, sedangkan Roy bangkit dari ranjang dan berjalan menghampiri Alyssa yang sedang bersiap memoles wajahnya.Roy berdiri tepat di belakang Alyssa, meletakkan kedua telapak tangannya pada pinggang Alyssa dengan membungkukkan badannya. “Aku ganti baju dulu, nanti aku ke sini lagi,” ucap Roy sebelum dirinya mengecup pucuk kepala Alyssa dengan lembut.Alyssa terlihat tak menggubris sikap Roy sama sekali, namun saat Roy telah menjauh dari kamarnya, seketika pipi Alyssa tampak memerah. Ia tahu dirinya sangat membenci orang-orang di sekelilingnya termasuk Roy, tapi perlakuan Roy yang selalu mampu membuatny
Keadaan yang genting membuat Dio terpaksa harus membuka pintu rumahnya dan menghadapi rentenir itu seorang diri.“Ada apa ya, Pak?” tanya Dio pura-pura tidak tahu.“Ada apa ada apa, bayar hutangmu, nih!” sahut rentenir itu dengan nada tinggi seraya menunjukkan sebuah kertas perjanjian saat Dio meminjam uang.“Maaf, Pak, saya belum punya uang. Tolong kasih saya waktu.”Debt kolektor yang geram dengan jawaban Dio lantas menyela dengan cepat, disertai nada tinggi meluapkan emosinya, "Waktu? Sudah berapa kali kami kasih waktu buat kamu? Janjimu bulan lalu gimana? Bohong terus! Keluar sekarang juga, atau kami masuk secara kasar."“Saya nggak bohong, Pak. Saya memang belum punya uang, saya saat ini lagi susah. Saya juga lagi cari pinjaman lain untuk bayar hutang-hutang ke kalian. Tolong kasih saya waktu satu minggu lagi.”Salah satu dari debt kolektor itu spontan tertawa kecil dengan nada mengejek saat mendengar ucapan Dio. “Cari pinjaman? Kamu pikir kami bodoh? Kami udah sering denger alas
Terjadi keheningan beberapa saat. Roy yang masih setia memandangi wajah Alyssa sambil senyum-senyum tidak jelas seperti orang gila, sedangkan Alyssa fokus menonton televisi tanpa menggubris kelakuan Roy.Beberapa menit kemudian seseorang mengetuk pintu kamar Alyssa, “Permisi, Tuan.” Bi Ningrum menunduk hormat sebelum akhirnya ia masuk ke dalam sembari membawa dua wadah popcorn camilan untuk teman menonton Alyssa dan Roy.“Ini popcornnya, Tuan, Nyonya.” Bi Ningrum meletakkan popcorn itu di atas nakas.“Makasih, Bi,” ujar Alyssa tersenyum tipis.“Sama-sama, Nyonya,” balas Bi Ningrum dengan senyum ramahnya.Setelah melihat Bi Ningrum akan keluar, Alyssa lantas melirik sinis ke arah Roy. “Sudah dibikinin, tapi gak ngucapin terima kasih,” tegur Alyssa ngedumel.Roy mengangkat sebelah alisnya. “Mereka di sini untuk kerja, melakukan apa yang aku perintahkan, dan aku membayar mereka tidak sedikit,” balas Roy cuek. Alyssa hanya menanggapinya dengan merotasikan kedua bola matanya, merasa malas