Zara mengalihkan kesepiannya dengan tenggelam dalam pekerjaannya sebagai seorang dokter. Pagi-pagi sekali, ia sudah berangkat ke rumah sakit, mengenakan jas putih dan menyibukkan diri dengan pasien-pasiennya.
Baginya, pekerjaan di rumah sakit adalah satu-satunya tempat di mana ia merasa dihargai dan dibutuhkan. "Dokter Zara, pasien di ruang ICU memerlukan pemeriksaan tambahan," panggil seorang perawat. Zara mengangguk, lalu segera menuju ruang ICU. Sepanjang hari, ia berpindah dari satu ruangan ke ruangan lain, memastikan semua pasien mendapatkan perawatan terbaik. Pekerjaan ini adalah pelariannya, meskipun tubuh dan pikirannya kerap merasa lelah. Namun, bahkan di rumah sakit, pikirannya tetap melayang pada pernikahannya yang terasa hampa. Saat sedang mengisi catatan medis, ia sering terdiam, memikirkan bagaimana ia bisa memperbaiki hubungan dengan Rian. Zara duduk di kursi ruang istirahat setelah shift panjang. Tangannya memijat pelipis, matanya menatap kosong ke loker di depannya. Lelah fisik adalah hal biasa, tapi lelah emosional—itu yang lebih berat. Ketika ia membuka ponsel, ada pesan dari Rian: “Jangan lupa pulang cepat. Ada makan malam keluarga.” Zara menghela napas panjang. “Makan malam keluarga?” pikirnya. Sudah lama ia tidak merasa bagian dari apa pun yang disebut keluarga. Setelah beberapa jam, Zara akhirnya tiba di rumah, tubuhnya lelah tetapi pikirannya lebih kacau. Ia masuk ke dalam dan mendapati Rian di ruang tamu, jas kerjanya masih rapi. “Aku pulang,” ujar Zara, mencoba memecah keheningan. Rian melirik sekilas. “Kamu terlambat. Semua orang sudah selesai makan.” Zara berdiri mematung, mencoba meredam rasa kesalnya. “Aku baru selesai shift. Ada pasien kritis.” “Kamu selalu punya alasan,” balas Rian, tanpa emosi. “Aku bekerja, Rian. Ini bukan alasan.” Zara mendekati meja, menaruh tasnya dengan kasar. “Kamu tahu jadwalku tidak bisa ditebak.” “Dan aku juga punya tanggung jawab. Tapi setidaknya aku bisa menghormati waktu keluarga.” “Kalau begitu, kenapa kamu masih memintaku pulang?” Nada suara Zara mulai meninggi. Rian bangkit dari sofa, menyambar ponselnya. “Lupakan saja. Aku sudah selesai membahas ini.” Zara memandang punggung Rian yang berjalan ke kamar, dan ia merasa dadanya semakin sesak. “Kenapa kita harus seperti ini, Rian?” tanyanya lirih, lebih kepada dirinya sendiri. Keesokan harinya di rumah sakit, Zara sedang memeriksa seorang anak kecil yang menangis ketakutan. Ibunya tampak panik di sisi ranjang. “Tenang, Bu,” ujar Zara dengan lembut. “Tidak apa-apa. Ini hanya demam biasa. Kita akan beri obat penurun panas, dan anak Ibu akan segera membaik.” Anak itu menatap Zara dengan mata basah. Zara tersenyum tipis. “Kamu suka superhero, ya?” tanyanya, menunjuk gambar di baju anak itu. Anak itu mengangguk pelan. Zara melanjutkan, “Berani seperti superhero, ya. Ini hanya suntikan kecil. Nanti sakitnya hilang.” Beberapa menit kemudian, anak itu tertawa kecil saat Zara memberinya stiker sebagai ‘hadiah keberanian.’ Sang ibu memegang tangan Zara dengan erat. “Terima kasih, Dokter. Cara Anda menenangkan dia benar-benar luar biasa.” Zara hanya tersenyum, tetapi kata-kata itu memberinya kehangatan kecil di tengah hari yang berat. Setelah itu, Zara duduk di ruang kerjanya, menatap kalender di meja. Hari ulang tahunnya tinggal dua minggu lagi, tapi ia tahu Rian tidak akan mengingatnya. Ia mencoba mengingat kapan terakhir kali ulang tahunnya terasa istimewa, tapi ingatan itu terasa begitu jauh. Hatinya terasa berat. Zara sadar bahwa rumah tidak lagi menjadi tempat pulang yang nyaman, dan Rian... mungkin hanya menjadi seseorang yang kebetulan berbagi atap dengannya. "Dokter Zara, ada pasien baru di IGD," lapor seorang perawat, yang masuk ke ruangannya dengan tergesa-gesa. Zara segera bangkit. Ia tidak banyak bertanya, hanya mengangguk dan berjalan cepat menuju IGD. Dalam pikirannya, fokus utama adalah memastikan kondisi pasien stabil. Namun, saat ia sampai di IGD, langkahnya terhenti. Di depan pintu, ia melihat seseorang yang tak asing sedang berdiri dengan canggung, mengenakan kemeja kerja yang berantakan dan ekspresi penuh rasa bersalah. Itu Rian. Suaminya. Rian berdiri dengan jas kerjanya yang masih rapi, tangan dimasukkan ke dalam saku celana, wajahnya datar. Tak ada tanda kepanikan, hanya kesan dingin yang biasa. Zara mencoba mengabaikan keterkejutannya. Ia mendekati pasien dan mulai memeriksa kondisinya dengan profesional. “Bagaimana kejadiannya?” tanya Zara, setengah kepada pasien, setengah kepada perawat. Sebelum ada yang menjawab, suara rendah dan datar Rian terdengar dari belakangnya. “Aku yang menabraknya,” katanya singkat. Zara mendongak, menatap suaminya dengan alis terangkat. “Kamu?” Rian hanya mengangguk kecil tanpa menambahkan apa pun. Zara menghela napas panjang, berusaha menahan emosinya. Ia kembali fokus pada pasien, memeriksa luka-lukanya sambil memberikan instruksi kepada tim medis. "Pastikan dilakukan rontgen untuk memeriksa lengan yang patah. Luka di pelipisnya cukup dijahit, tapi pantau kondisinya untuk memastikan tidak ada gegar otak,” kata Zara kepada perawat, lalu melirik Rian. “Kamu tinggal di sini.” Rian tidak menjawab, hanya mengangguk kecil lagi. Setelah pasien dibawa untuk pemeriksaan lanjutan, Zara menarik napas dalam-dalam lalu mendekati Rian di koridor. “Jelaskan, apa yang terjadi?” tanyanya, berusaha menjaga suaranya tetap tenang. Rian memasukkan kedua tangannya ke saku celana lagi, menatap lurus ke depan, bukan ke arah Zara. “Dia muncul tiba-tiba di depan mobilku. Aku tidak sempat mengerem.” “Kamu mengemudi terlalu cepat?” tebak Zara. Rian hanya mengangkat bahu sedikit. “Mungkin.” Zara merasa dadanya menghangat dengan amarah yang ia tahan. “Rian, ini serius. Apa kamu sadar kalau dia bisa saja cedera lebih parah? Kenapa kamu tidak lebih hati-hati?” “Dia baik-baik saja, kan?” Rian berkata dengan nada datar, seakan pernyataan itu sudah cukup menjelaskan segala sesuatunya. Zara menatapnya, ragu sejenak. Ada ketegangan di antara mereka yang tidak pernah benar-benar bisa ia pahami. “Kenapa aku merasa kamu tidak peduli?” Rian mendengus pelan. “Kamu cukup melakukan pekerjaanmu sendiri.” “Dan kamu menganggap aku tidak bisa membagi perhatian antara pekerjaan dan hubungan kita?” Zara bertanya, suaranya naik sedikit. Ia merasa disakiti oleh kata-kata Rian, yang lebih sering berbicara dengan dingin daripada membuka diri. Rian tampak tidak tahu bagaimana harus menjawab. “Itu bukan maksudku. Hanya saja...” Rian berhenti, seakan berpikir keras, tapi kata-kata yang tepat tidak kunjung keluar. “Aku tidak butuh pertengkaran ini, Zara,” katanya akhirnya, suaranya tetap rendah dan penuh ketegasan. “Aku akan pulang.” Zara terkejut, merasa seolah kata-kata itu adalah sebuah penolakan. “Jadi kamu hanya akan pergi begitu saja?” Rian menatapnya sekilas, matanya yang tajam menyapu wajah Zara. “Aku tidak pernah menginginkan ini menjadi drama. Aku hanya melanjutkan hidupku seperti biasa, Zara. Kamu seharusnya bisa melakukannya juga,” ujarnya tanpa emosi, seakan berbicara tentang hal yang paling biasa. Zara merasa perasaan kecewanya semakin dalam, namun ia tahu bahwa berdebat lebih lama dengan Rian hanya akan sia-sia. Pria itu memang selalu begitu, dingin dan terpisah dari dunia sekitarnya. Tanpa kata-kata lebih, Rian berbalik dan melangkah pergi, langkahnya yang mantap dan tanpa ragu meninggalkan Zara dalam kebisuan yang semakin pekat. Zara menghela napas pelan, sambil menyugar rambutnya. Matanya berkaca-kaca. Zara menatap punggung Rian yang semakin menjauh, dan untuk sesaat ia merasa seolah dunia di sekelilingnya menghilang. Dia ingin berteriak, ingin menghentikan langkahnya, namun ia tahu itu tidak akan mengubah apa pun. Rian sudah membuat pilihannya. Dan dia, sekali lagi, harus berdiri di tengah kesendirian, berhadapan dengan keteguhan hati pria yang tidak pernah mampu membuka diri untuknya.Sesampainya di rumah, Zara merasa tubuhnya lelah, meskipun pikirannya masih penuh dengan kekacauan yang terjadi di rumah sakit. Pikirannya melayang antara pasien yang baru saja dia tangani dan pertemuan yang membingungkan dengan Rian. Saat memasuki rumah besar mereka, udara terasa sepi, dan hanya ada sedikit suara yang menggema di ruang tamu. Begitu membuka pintu kamar, matanya langsung tertuju pada Rian yang sudah berbaring di tempat tidur. Piyama biru yang dikenakannya membuatnya terlihat tenang, tapi ekspresinya tetap datar, tak terpengaruh oleh kejadian siang tadi. Zara berdiri di pintu sejenak, memandangnya dengan hati yang campur aduk. Ada rasa lelah yang dalam, tetapi juga rasa ingin tahu yang semakin memuncak. “Kamu tidak tidur?” tanyanya, suara lembut namun tetap menyimpan ketegasan. Rian tidak menjawab langsung. Matanya masih terpejam, seolah menikmati ketenangan yang ada. Akhirnya, ia membuka matanya perlahan dan menoleh ke arah Zara. “Aku sudah tidur,” jawabnya datar,
Zara duduk di tepi ranjang rumah sakit. Sudah berminggu-minggu sejak terakhir kali ia datang ke sini. Ruangan itu dipenuhi bau khas obat-obatan, bercampur dengan aroma antiseptik yang menusuk. Meski sudah terbiasa dengan pekerjaannya sebagai dokter, tetapi entah mengapa ruangan ini terasa berbeda untuknya. Jerry, pria yang pernah hampir menjadi suaminya, terbaring tak bergerak di hadapannya. Wajahnya pucat, tubuhnya seolah kehilangan kehidupan, hanya bergantung pada alat medis di sekitarnya selama lima tahun terakhir. Zara mengulurkan tangan, ragu-ragu sebelum akhirnya menyentuh jemari Jerry yang dingin. “Jerry…” Suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan ruangan itu. “Aku di sini.” Ia menunduk, menatap wajah Jerry yang diam tak bereaksi. Ada sesuatu yang begitu menyakitkan melihatnya dalam keadaan seperti ini. Pria yang dulu begitu tegas dan penuh percaya diri kini hanya menjadi sosok yang tak berdaya. “Aku tahu aku seharusnya sering datang. Tapi… aku takut,” ucapnya, mencoba men
Zara membuka pintu rumah dengan letih. Hatinya masih berat setelah kunjungan ke rumah sakit. Namun, langkahnya langsung terhenti saat melihat sosok yang duduk di ruang tamu.Bu Hanan, ibu Jerry sekaligus ibu mertuanya ada di sana.Wanita itu duduk tegak dengan ekspresi dingin, seolah telah menunggunya selama berjam-jam."Bu Hanan...?" Zara bertanya pelan, setengah tidak percaya. "Kenapa Ibu ada di sini?"Namun, alih-alih menjawab, Bu Hanan hanya menatapnya tajam. Zara menutup pintu perlahan, wanita itu tak berkata sepatah pun, hanya duduk dengan tangan terlipat di pangkuan, ekspresinya penuh ketegasan yang tidak memberi ruang untuk protes."Ibu..." suara Zara bergetar ketika akhirnya ia memberanikan diri berbicara lagi, "apa yang membawa Ibu ke sini malam-malam begini?"Bu Hanan tetap diam sejenak, mengamati Zara dari ujung kepala hingga kaki, seolah sedang menilai sesuatu yang tak kasat mata. Lalu, dia menarik napas panjang dan berbicara dengan nada rendah namun menusuk."Kamu pulan
Rian terdiam di atas tangga, tubuhnya membeku seolah-olah udara dingin tiba-tiba memenuhi rumah besar itu. Kata-kata Zara menggema di telinganya, begitu tajam, begitu jelas.Ia menatap Zara dari kejauhan, matanya menyipit, mencoba mencari jawaban di wajah istrinya. Tapi yang ia temukan hanyalah amarah yang membara, disertai kesedihan yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.“Zara...” suara Rian akhirnya keluar, serak dan nyaris tak terdengar.Zara tidak menoleh. Tangannya mengepal, kukunya menekan telapak tangannya sendiri hingga terasa sakit. Ia tidak ingin menunjukkan kelemahan lagi.“Aku serius, Rian,” katanya dengan tegas, meskipun suaranya bergetar.Rian turun perlahan, satu langkah demi satu langkah. Tapi Zara mengangkat tangannya, menghentikan gerakannya.“Jangan mendekat,” katanya, matanya yang sembab menatap langsung ke arah Rian. “Kamu sudah terlalu jauh dariku selama ini, Rian. Tidak perlu berpura-pura peduli sekarang.”Rian menelan ludah, merasa
Sinar matahari masuk melalui celah-celah tirai rumah sakit, menerangi ruang rawat yang penuh dengan alat medis. Setelah bertahun-tahun terbaring dalam koma, Jerry akhirnya membuka matanya perlahan.Pandangannya kabur, suara mesin monitor berdetak pelan di telinganya. Ia mencoba memahami di mana dirinya berada, tapi yang ia rasakan hanyalah kesulitan bernapas dan tubuh yang terasa kaku.Perawat yang masuk ke kamar terdiam sesaat, matanya melebar. “Tuan Jerry, Anda sudah sadar! Tunggu sebentar, saya akan memanggil dokter,” katanya sambil terburu-buru keluar dari ruangan.Jerry mencoba bergerak, mengangkat tangannya yang terasa berat, tapi tubuhnya menolak. Dalam diam, ia memejamkan mata, mencoba mengingat apa yang terjadi. Tetapi, yang ia temukan hanyalah kekosongan dan pertanyaan besar tentang bagaimana ia bisa berakhir di tempat ini.Kabar bahwa Jerry sadar menyebar cepat di keluarga Hendrawan. Zara, yang sedang berada di rumah, menerima telepon dari rumah sakit. Tan
Dengan perlahan, Jerry menyingkirkan selimut dari tubuhnya dan mencoba turun dari tempat tidur. Langkahnya goyah, tubuhnya terasa lemah, namun ada sesuatu yang mendorongnya untuk berdiri. Suara langkahnya membuat Zara menoleh dengan terkejut.“Jerry! Apa yang kamu lakukan? Kamu harus istirahat!” seru Zara panik. Ia melangkah cepat ke arahnya, berniat membantunya kembali ke tempat tidur.Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh Jerry, pria itu meraih tangannya lebih dulu. Pegangan Jerry lembut, tapi tegas, seolah meminta Zara untuk tidak pergi. Mata mereka bertemu, dan Zara merasakan sebuah gelombang emosi menghantam hatinya.“Zara…” suara Jerry terdengar pelan, serak, namun penuh rasa. “Kamu mencoba menyembunyikan semuanya dariku, tapi aku bisa melihatnya. Kamu tidak bahagia, bukan?”Zara mematung. Kata-kata itu seperti membuka pintu yang selama ini ia kunci rapat. Semua rasa sakit, frustrasi, dan kehampaan yang ia pendam selama lima tahun terakhir terasa seperti ke
Zara segera meraba ponselnya untuk menelepon ambulan, tetapi tangan Rian tiba-tiba bergerak, meski lemah, pria itu mencoba menghentikannya.“Jangan…” gumam Rian, suaranya serak, hampir tidak terdengar.“Rian! Apa yang terjadi padamu? Kamu sakit?” Zara bertanya, suaranya bergetar, campuran antara cemas dan takut.Rian membuka matanya sedikit, tatapannya kabur. Ia mencoba tersenyum kecil, tetapi itu lebih terlihat seperti ekspresi menyakitkan.“Aku hanya… terlalu banyak minum…”“Kenapa kamu seperti ini? Apa yang sebenarnya terjadi?” Zara mendesak, matanya berkaca-kaca.Rian tidak langsung menjawab. Ia menatap Zara dengan pandangan yang sulit dijelaskan, seolah ada sesuatu yang ingin ia katakan tetapi terlalu sulit untuk diungkapkan. Setelah beberapa saat, ia tertawa kecil, tawanya hambar dan penuh ironi.“Kamu tidak perlu khawatir. Aku tidak akan mati hanya karena minuman,” katanya pelan. Ia menutup matanya lagi, kepalanya bersandar ke sofa.Zara hanya
Jantung Zara berdetak lebih cepat. Pandangannya terpaku pada layar ponsel, dan ia tidak tahu harus berbuat apa. Sudah seminggu lebih sejak Jerry sadar dari koma, tapi Rian tidak pernah membahas atau bertanya soal kondisinya."Apakah dia sudah menjenguk kakaknya?" pikir Zara.Sejak hari itu, Zara merasa semakin jauh dengan Rian. Tetapi dia tidak pernah membahas lagi soal permintaannya untuk bercerai malam itu. Seolah, itu hanyalah angin lalu. Setelah apa yang terjadi semalam, Zara mulai meragukan keputusannya.Ponselnya kembali berdering. Zara menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menjawab. Akhirnya, dengan ragu, ia menggeser layar untuk menerima panggilan.“Halo…” suaranya nyaris berbisik, terdengar serak akibat tangisannya tadi.“Zara?” Suara Jerry terdengar lembut di ujung telepon, tetapi ada nada cemas di dalamnya. “Kamu baik-baik saja?”Pertanyaan itu membuat Zara terdiam sejenak. "Apakah suaraku terdengar seburuk itu hingga Jerry t
Di kamar, suasana terasa semakin tegang. Rian duduk di ujung ranjang, sementara Zara berdiri di dekat jendela, merenung, dengan pandangan kosong yang menembus keluar. Rian memerhatikan setiap gerakan Zara, menyadari betapa dalamnya pikiran istrinya, namun hatinya tetap kokoh dengan keputusan yang sudah diambil.“Zara, aku tahu kamu peduli pada Jerry,” suara Rian pecah, lembut namun penuh penekanan. “Tapi kita tidak bisa membiarkan perasaan itu mengaburkan kenyataan. Dia sudah melakukan banyak hal yang merusak hidup kita. Kita tidak bisa membiarkan dia melangkah bebas begitu saja.”Zara menoleh, menatap Rian dengan mata yang dipenuhi kebingungannya. “Tapi… Rian, dia juga manusia. Dia punya sisi baik, dan aku tahu itu. Aku ingin dia mendapatkan kesempatan untuk berubah.”Rian mendekat, bergeser dengan langkah pelan hingga berada di belakang Zara. Tangannya meraih tangan Zara, lembut namun tegas. “Aku mengerti perasaanmu, tapi ingat, ada batasnya. Aku tidak akan membiarkan
Hari itu, Zara mengatur pertemuan dengan Arka di sebuah kafe yang cukup tenang di pusat kota. Ia mengenakan gaun sederhana berwarna biru muda, dengan mantel panjang untuk melindungi tubuhnya dari angin yang cukup dingin.Saat ia tiba, Arka sudah duduk di salah satu sudut kafe. Pria itu tampak rapi seperti biasa, mengenakan kemeja hitam yang dipadukan dengan jas abu-abu.“Zara,” sapa Arka dengan senyum tipis.Zara tersenyum kecil dan duduk di hadapannya. “Terima kasih sudah meluangkan waktu.”Arka mengangguk. “Tentu. Aku juga ingin berbicara denganmu.”Zara terdiam sejenak, memperhatikan ekspresi pria di depannya. Sekalipun Rian menyebutnya sebagai Riko, tidak ada jejak kebencian atau kesombongan di wajahnya saat ini.“Kamu mengenal Luna dengan baik, kan?” tanya Zara akhirnya.Arka menghela napas pelan. “Dia adikku. Tentu saja aku mengenalnya.”“Tapi kamu tidak datang saat pemakamannya.”Arka menatap Zara dengan mata yang dalam. “Karena aku tidak i
Zara duduk di ruang tamu keluarga Hendrawan, mengusap perutnya yang mulai membesar. Sudah beberapa hari sejak pemakaman Luna, tapi pikirannya masih dipenuhi oleh pria yang muncul hari itu. Arka. Kakak Luna yang tiba-tiba hadir dalam hidup mereka.Dia merasa ada yang janggal.Zara memang tidak begitu mengenal Luna secara pribadi, tapi dia tahu bahwa keluarga perempuan itu cukup terpandang. Seharusnya ada anggota keluarga yang datang di hari pemakamannya. Namun, yang muncul hanya Arka. Dan sekarang, pria itu tiba-tiba menjadi bagian dari kehidupannya lagi.Saat Rian masuk ke ruangan, Zara langsung menatapnya dengan penuh tanda tanya.“Kamu sudah menyelidiki Arka, kan?” tanyanya tanpa basa-basi.Rian terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Ya.”Zara mencondongkan tubuhnya ke depan, penasaran. “Dan? Siapa dia sebenarnya?”Rian menarik napas dalam. Dia tahu cepat atau lambat Zara pasti akan bertanya. “Arkana Rikovan… dia bukan orang asing bagiku,” katanya perlahan.
“Jadi, kau mengenalnya?” tanya Bu Hanan yang tampak bingung dengan reaksi Zara.Zara mengangguk perlahan, masih belum bisa menyembunyikan keterkejutannya. “Dia… dia dulu hampir menjadi pengacaraku.”Lena langsung menoleh tajam. “Apa?!”Pria itu mengangguk. “Namaku Arka. Aku memang seorang pengacara, dan saat itu aku menerima permintaan untuk menangani perceraianmu. Tapi sebelum semuanya dimulai, aku mendadak mendapat panggilan lain, dan ternyata kamu menarik kembali tuntutan itu.”Zara ingat. Saat itu, ia sangat berharap bisa mendapatkan pengacara yang bisa membantunya keluar dari pernikahannya dengan Rian. Arka adalah salah satu pengacara terbaik, tapi tiba-tiba ia menarik diri dari kasusnya, tanpa penjelasan yang jelas.Sekarang semuanya mulai masuk akal. Jika Arka adalah kakak Luna, mungkin itulah alasan dia mundur dari kasusnya, karena keterkaitan keluarganya dengan situasi yang lebih besar.“Kenapa kamu ingin bertemu denganku?” tanya Zara akhirnya, suara
Lena dan Zara turun dari mobil dengan langkah yang sedikit ragu. Udara sore yang sejuk menyelimuti halaman luas kediaman keluarga Hendrawan, tapi kehangatan itu tidak cukup untuk mengusir kegelisahan dalam hati Zara.Sudah berbulan-bulan sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di rumah ini. Sejak ia meninggalkan semua yang ada di sini dan memilih membangun hidup baru bersama Rian.Ia tidak pernah berpikir akan kembali, apalagi dalam keadaan seperti ini, membawa dua nyawa dalam kandungannya dan kembali sebagai istri Rian secara resmi, bukan hanya sekadar wanita yang terikat dalam pernikahan tanpa cinta seperti dulu.Pelayan-pelayan di rumah itu menyambut mereka dengan sopan, tapi Zara masih bisa merasakan sisa-sisa tatapan meremehkan yang dulu pernah ia terima. Meskipun kini Bu Hanan, ibu mertuanya, sudah mulai menunjukkan perubahan, trauma akan masa lalu masih melekat kuat di dalam hatinya.“Bu Hanan ada di dalam, Nona,” kata salah satu pelayan, membukakan pintu bes
Zara duduk di dalam mobil dengan gelisah. Hatinya dipenuhi berbagai perasaan yang bercampur aduk. Rian sudah memintanya untuk fokus pada kehamilannya, tapi ada sesuatu yang masih mengganjal pikirannya."Lena, sebelum kita pulang... Aku ingin bertemu dengan Jerry dulu," katanya tiba-tiba.Lena menoleh dengan alis berkerut. "Kamu yakin? Bukannya Rian sudah bilang untuk tidak terlalu memikirkan hal ini?""Aku tahu," Zara menghela napas. "Tapi aku merasa harus bertemu dengannya. Aku ingin mengucapkan terima kasih. Kalau bukan karena darahnya, mungkin aku dan bayi-bayiku..." Suaranya melemah, tak sanggup menyelesaikan kalimatnya.Lena terdiam sejenak, lalu akhirnya mengangguk. "Baiklah, kita mampir sebentar."Mobil pun berbelok menuju kantor polisi tempat Jerry ditahan. Begitu sampai, Zara langsung merasakan atmosfer yang dingin dan suram. Ruangan yang dipenuhi jeruji besi itu seakan menekan perasaannya.Petugas mengizinkan mereka untuk bertemu dengan Jerry di rua
Malam semakin larut, tetapi pikiran Rian tak bisa tenang. Ia duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptop yang menampilkan laporan keuangan terakhir. Lima miliar rupiah bukan hanya angka biasa, itu adalah serangan langsung terhadap perusahaan dan dirinya.Ia tahu bahwa menjadi pemimpin bukanlah hal mudah, tetapi semakin hari, semakin banyak yang ingin melihatnya jatuh. Apalagi setelah keluarga Hendrawan hancur, banyak pihak yang merasa kehilangan pegangan. Mereka mencari celah, dan sekarang, pencurian dana ini bisa jadi bagian dari permainan mereka.Zara berjalan mendekat, membawa secangkir teh hangat. "Kamu belum tidur?" tanyanya lembut.Rian tersenyum tipis, menerima cangkir itu. "Banyak yang harus kupikirkan."Zara duduk di sampingnya. "Menurutmu, ini ada hubungannya dengan keluarga Hendrawan?"Rian mengangguk. "Kemungkinan besar. Setelah keluarga kita jatuh, banyak pihak yang kehilangan perlindungan dan mulai bergerak sendiri. Aku tidak terkejut kalau sekara
Saat Jerry kembali digiring oleh dua polisi menuju mobil tahanan, Zara menghela napas berat. Ia ingin melepaskan segala kepenatan ini, tapi matanya terusik oleh sesuatu.Di kejauhan, di balik pohon yang sedikit tertutup kabut hujan, seorang pria tampak mengawasi mereka. Sosoknya tinggi, mengenakan jaket gelap dengan tudung yang menutupi sebagian wajahnya. Sekilas, Zara bisa melihat rahangnya yang tegas dan tatapan tajamnya yang menusuk.Zara menoleh ke Rian, memastikan apakah suaminya juga menyadarinya. Namun, Rian justru sibuk menyesuaikan tongkatnya di tanah becek."Rian..." Zara berbisik, sedikit menarik lengannya. "Ada seseorang di sana. Sejak tadi dia berdiri di balik pohon dan memperhatikan kita."Rian menoleh ke arah yang dimaksud, tapi pria itu segera berbalik, berjalan menjauh sebelum akhirnya menghilang di antara pepohonan pemakaman.Lena dan Sandi yang mendengar percakapan mereka ikut melihat ke sekitar. "Kamu yakin, Zara?" tanya Lena."Aku yakin.
"Zara, sebenarnya Jerry mendonorkan banyak darah untukmu. Jika bukan karena dia, aku tida tahu apa yang terjadi padamu dan si kembar." Rian berkata dengan berat hati, namun Zara harus tetap tahu.Zara terdiam sejenak, mencerna kata-kata Rian. Matanya menatap kosong ke depan, pikirannya melayang pada kejadian beberapa hari lalu, saat dirinya terbaring lemah, nyaris kehilangan segalanya."Jerry...?" gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.Rian mengangguk, menatap wajah Zara dengan serius. "Iya, dia yang menyelamatkanmu. Darahmu langka, dan rumah sakit tidak punya stok. Kalau bukan karena Jerry yang mendonorkan darahnya, aku nggak tahu apa yang akan terjadi."Zara menggigit bibirnya, perasaannya bercampur aduk. Jerry orang yang dulu sempat menjadi bagian dari hidupnya, kini terasa terikat dengan takdirnya dalam cara yang tidak pernah ia bayangkan."Jadi... aku hidup karena dia?" tanyanya pelan, lebih kepada dirinya sendiri."Bukan cuma kam