Rian terdiam di atas tangga, tubuhnya membeku seolah-olah udara dingin tiba-tiba memenuhi rumah besar itu. Kata-kata Zara menggema di telinganya, begitu tajam, begitu jelas.
Ia menatap Zara dari kejauhan, matanya menyipit, mencoba mencari jawaban di wajah istrinya. Tapi yang ia temukan hanyalah amarah yang membara, disertai kesedihan yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. “Zara...” suara Rian akhirnya keluar, serak dan nyaris tak terdengar. Zara tidak menoleh. Tangannya mengepal, kukunya menekan telapak tangannya sendiri hingga terasa sakit. Ia tidak ingin menunjukkan kelemahan lagi. “Aku serius, Rian,” katanya dengan tegas, meskipun suaranya bergetar. Rian turun perlahan, satu langkah demi satu langkah. Tapi Zara mengangkat tangannya, menghentikan gerakannya. “Jangan mendekat,” katanya, matanya yang sembab menatap langsung ke arah Rian. “Kamu sudah terlalu jauh dariku selama ini, Rian. Tidak perlu berpura-pura peduli sekarang.” Rian menelan ludah, merasa dadanya sesak. “Apa yang kamu bicarakan? Kenapa tiba-tiba seperti ini?” Zara tertawa kecil, namun tidak ada keceriaan di dalamnya. “Tiba-tiba? Ini bukan tiba-tiba, Rian. Aku sudah menahan ini selama lima tahun. Bertahan dengan diam kamu, rahasia kamu, sikap dingin kamu. Aku lelah.” Rian menggeleng, mencoba memprotes, tapi Zara memotongnya. “Aku bahkan tidak tahu siapa kamu, Rian. Aku tidak tahu apa yang kamu sembunyikan dariku. Aku lelah mencoba memahami seseorang yang bahkan tidak mau berbagi apa-apa denganku.” “Zara, kamu tidak mengerti,” Rian akhirnya berbicara, mencoba mendekatinya lagi. Tapi Zara tetap bergeming, tatapannya tidak berubah. “Kamu benar,” katanya dengan nada getir. “Aku tidak mengerti. Dan kamu tidak pernah memberiku kesempatan untuk mengerti.” Rian menarik napas dalam-dalam, wajahnya berubah gelap. “Kamu pikir aku tidak punya alasan? Aku melakukan ini semua untuk kamu.” Zara terdiam sesaat, memproses kata-kata Rian. “Melakukan apa? Menyembunyikan semuanya dariku? Membuatku merasa seperti orang asing di rumahku sendiri? Itu demi aku?” Rian tidak menjawab, rahangnya mengeras. “Lihat? Kamu tidak bisa menjawab. Karena kamu tahu aku benar.” Zara melangkah mendekatinya kali ini, matanya tajam. “Aku tidak tahu lagi apa yang kamu pikirkan, Rian. Aku tidak tahu apa yang kamu rencanakan. Tapi aku tidak bisa hidup seperti ini lagi.” Rian membuka mulutnya untuk berbicara, tetapi suara itu tidak keluar. Ia hanya bisa menatap Zara, wanita yang berdiri di depannya dengan hati yang terluka parah. “Aku mau kita berpisah, Rian,” kata Zara dengan nada pelan tapi penuh kepastian. “Aku tidak mau terus menjadi istri yang kamu abaikan. Aku berhak untuk bahagia.” Hening melingkupi mereka. Rian berdiri diam, pandangannya kosong, sementara Zara merasa dadanya semakin sesak. Air matanya tidak lagi mengalir, tapi hatinya terasa seperti kaca yang pecah menjadi ribuan serpihan. “Kalau itu maumu,” akhirnya Rian berkata, suaranya rendah dan datar. Zara menatapnya, mencari tanda-tanda emosi di wajahnya, tapi tidak ada apa-apa. Wajah Rian tetap seperti biasa. Dingin, tak terbaca. “Besok aku akan bicara dengan pengacara,” lanjut Rian sebelum berbalik dan naik kembali ke tangga tanpa menoleh lagi. Zara berdiri di sana, tubuhnya lunglai, menatap punggung pria yang selama ini berusaha ia cintai. “Kamu... benar-benar...” Ucapan Zara tertahan, suaranya bergetar, tidak mampu melanjutkan kalimatnya. Ia menunduk, mengusap wajahnya dengan tangan yang gemetar. Rian tidak menjawab, tidak memberi sedikit pun penjelasan atau permohonan maaf. Zara menggeleng perlahan, air matanya jatuh tanpa bisa dihentikan. “Jadi, pernikahan ini benar-benar akan berakhir?” pikirnya, dadanya terasa sesak. Rian akhirnya melangkah lagi, kali ini tanpa berhenti. Langkah-langkahnya terdengar menggema di tangga marmer rumah mereka yang luas, setiap bunyi seakan menghantam hati Zara. Pagi harinya, tanpa banyak bicara, Zara mulai mengemas barang-barangnya. Ia memilih pakaian secukupnya, menyelipkan beberapa barang penting ke dalam koper kecil. Setiap tarikan resleting terasa seperti simbol perpisahan yang ia butuhkan. Tangannya gemetar, tapi ia terus melanjutkan. Saat semua selesai, Zara menarik kopernya menuju pintu kamar. Namun, suara derit roda koper di lantai marmer yang hening membuat Rian terbangun. "Zara?" panggil Rian, suaranya berat dan masih mengantuk. Zara tidak menjawab. Ia melangkah keluar dari kamar, menarik kopernya ke tangga dengan tekad bulat. Namun, baru beberapa langkah menuruni tangga, suara berat dan tegas Rian memecah keheningan. "Zara, berhenti!" Zara berhenti sejenak, tapi bukan karena perintah itu. Ia hanya menarik napas dalam-dalam, mencoba menguatkan hatinya. Perlahan, ia menoleh, menatap Rian yang berdiri di puncak tangga dengan piyamanya. "Zara, kamu tidak boleh pergi!" serunya lagi, kali ini dengan nada lebih dingin, lebih menuntut. Zara mengangkat dagunya sedikit, memperlihatkan tatapan penuh luka tapi penuh keberanian. “Apa hakmu menahanku, Rian?” Rian mulai melangkah turun, mendekatinya. “Hakku sebagai suamimu. Kamu tidak bisa meninggalkan rumah ini begitu saja.” Zara mendengus kecil, sinis. “Suami? Kau bahkan tidak bertindak seperti seorang suami." Rian terdiam sejenak, rahangnya mengeras. “Zara, kamu tahu ini bukan hanya tentang kita. Jika kamu pergi, ini akan menjadi skandal keluarga. Semua orang akan membicarakan kita. Apa kamu mau itu terjadi?” “Skandal?” Zara tertawa pendek, penuh ironi. “Kamu selalu memikirkan reputasi keluarga, perusahaan, dan orang lain. Pernahkah kamu memikirkan aku, Rian? ?” “Zara, dengar aku—” “Tidak!” potong Zara tajam. “Aku sudah cukup mendengarkanmu. Rumah ini bukan lagi rumah. Ini seperti penjara bagiku!” Rian terdiam di tengah tangga, matanya menatap Zara dengan intens. Ia mencoba membaca pikiran istrinya, mencoba mencari celah untuk membalas kata-katanya. Tapi Zara tidak memberinya kesempatan. Ia menarik kopernya dengan satu tarikan keras, melanjutkan langkahnya menuruni tangga. Rian bergerak cepat, melangkah turun untuk mengejar Zara. Tangannya terulur, meraih pegangan koper Zara, menghentikan langkahnya di dekat pintu utama. “Zara, jangan lakukan ini,” katanya, kali ini dengan nada lebih lembut. Zara menatap tangan Rian yang mencengkeram koper itu, lalu mendongak menatap wajahnya. “Lepaskan, Rian.” “Tidak. Aku tidak akan membiarkanmu pergi.” Zara menghela napas panjang, menahan air mata yang sudah menggenang di matanya. “Apa yang sebenarnya kamu inginkan dariku, Rian? Kamu tidak mencintaiku. Kamu tidak peduli padaku. Lalu, kenapa kamu ingin aku tetap tinggal?” “Karena aku...” Rian terdiam, lidahnya kelu. Kata-kata itu seperti tersangkut di tenggorokannya. Zara tertawa kecil, getir. “Lihat? Bahkan untuk menjawab pertanyaan sederhana itu, kamu tidak bisa.” Rian melepas pegangannya perlahan, tapi tetap berdiri di hadapan Zara, mencoba menghalanginya pergi. “Zara, kita bisa membicarakan ini. Jangan bertindak gegabah.” “Gegabah?” Mata Zara melebar karena marah. “Rian, aku sudah bertahan selama ini. Aku lelah, Rian. Aku lelah mencintai seseorang yang tidak pernah mencintaiku kembali.” "Kamu... Mencintaiku?" tanya Rian, tak yakin dengan apa yang dia dengar. Rian berusaha membuka mulutnya untuk membalas, tapi suara telepon rumah yang berdering tiba-tiba memecah ketegangan. Rian menoleh ke arah sumber suara, lalu kembali menatap Zara. “Aku harus menjawab itu,” katanya, suaranya penuh keraguan. Suara telepon rumah kembali berdering. Zara, menoleh ke arah sumber suara, wajahnya penuh kemarahan. Tanpa berpikir panjang, ia berjalan ke arah meja tempat telepon berada. Tangannya terulur cepat, lalu dengan satu gerakan penuh amarah, ia meraih telepon itu dan melemparkannya ke lantai. “Telepon sialan ini, selalu saja mengganggu!” teriak Zara, suaranya menggema di ruangan besar itu. “Zara, apa yang kamu lakukan?” suara Rian terdengar tajam, tapi ia tetap berdiri di tempatnya. Belum sempat Zara menjawab lagi, suara ponselnya tiba-tiba berdering, menggantikan suara telepon rumah yang tergeletak hancur di lantai. Tangannya gemetar saat mengambil ponsel itu dari dalam tas. Layar ponsel menampilkan nama rumah sakit tempat Jerry dirawat. Nafasnya terhenti sesaat. Dengan ragu, Zara menekan tombol jawab. “Halo?” suaranya serak, nyaris berbisik. Zara membeku. Matanya melebar, dan ponsel hampir terlepas dari genggamannya. Hatinya campur aduk antara lega, cemas, dan bingung. “Dia sadar?” bisiknya, memastikan bahwa ia tidak salah dengar. Jerry sadar, apa yang harus ia lakukan sekarang? Pikirnya, sambil memandang Rian yang tetap diam.Sinar matahari masuk melalui celah-celah tirai rumah sakit, menerangi ruang rawat yang penuh dengan alat medis. Setelah bertahun-tahun terbaring dalam koma, Jerry akhirnya membuka matanya perlahan.Pandangannya kabur, suara mesin monitor berdetak pelan di telinganya. Ia mencoba memahami di mana dirinya berada, tapi yang ia rasakan hanyalah kesulitan bernapas dan tubuh yang terasa kaku.Perawat yang masuk ke kamar terdiam sesaat, matanya melebar. “Tuan Jerry, Anda sudah sadar! Tunggu sebentar, saya akan memanggil dokter,” katanya sambil terburu-buru keluar dari ruangan.Jerry mencoba bergerak, mengangkat tangannya yang terasa berat, tapi tubuhnya menolak. Dalam diam, ia memejamkan mata, mencoba mengingat apa yang terjadi. Tetapi, yang ia temukan hanyalah kekosongan dan pertanyaan besar tentang bagaimana ia bisa berakhir di tempat ini.Kabar bahwa Jerry sadar menyebar cepat di keluarga Hendrawan. Zara, yang sedang berada di rumah, menerima telepon dari rumah sakit. Tan
Dengan perlahan, Jerry menyingkirkan selimut dari tubuhnya dan mencoba turun dari tempat tidur. Langkahnya goyah, tubuhnya terasa lemah, namun ada sesuatu yang mendorongnya untuk berdiri. Suara langkahnya membuat Zara menoleh dengan terkejut.“Jerry! Apa yang kamu lakukan? Kamu harus istirahat!” seru Zara panik. Ia melangkah cepat ke arahnya, berniat membantunya kembali ke tempat tidur.Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh Jerry, pria itu meraih tangannya lebih dulu. Pegangan Jerry lembut, tapi tegas, seolah meminta Zara untuk tidak pergi. Mata mereka bertemu, dan Zara merasakan sebuah gelombang emosi menghantam hatinya.“Zara…” suara Jerry terdengar pelan, serak, namun penuh rasa. “Kamu mencoba menyembunyikan semuanya dariku, tapi aku bisa melihatnya. Kamu tidak bahagia, bukan?”Zara mematung. Kata-kata itu seperti membuka pintu yang selama ini ia kunci rapat. Semua rasa sakit, frustrasi, dan kehampaan yang ia pendam selama lima tahun terakhir terasa seperti ke
Zara segera meraba ponselnya untuk menelepon ambulan, tetapi tangan Rian tiba-tiba bergerak, meski lemah, pria itu mencoba menghentikannya.“Jangan…” gumam Rian, suaranya serak, hampir tidak terdengar.“Rian! Apa yang terjadi padamu? Kamu sakit?” Zara bertanya, suaranya bergetar, campuran antara cemas dan takut.Rian membuka matanya sedikit, tatapannya kabur. Ia mencoba tersenyum kecil, tetapi itu lebih terlihat seperti ekspresi menyakitkan.“Aku hanya… terlalu banyak minum…”“Kenapa kamu seperti ini? Apa yang sebenarnya terjadi?” Zara mendesak, matanya berkaca-kaca.Rian tidak langsung menjawab. Ia menatap Zara dengan pandangan yang sulit dijelaskan, seolah ada sesuatu yang ingin ia katakan tetapi terlalu sulit untuk diungkapkan. Setelah beberapa saat, ia tertawa kecil, tawanya hambar dan penuh ironi.“Kamu tidak perlu khawatir. Aku tidak akan mati hanya karena minuman,” katanya pelan. Ia menutup matanya lagi, kepalanya bersandar ke sofa.Zara hanya
Jantung Zara berdetak lebih cepat. Pandangannya terpaku pada layar ponsel, dan ia tidak tahu harus berbuat apa. Sudah seminggu lebih sejak Jerry sadar dari koma, tapi Rian tidak pernah membahas atau bertanya soal kondisinya."Apakah dia sudah menjenguk kakaknya?" pikir Zara.Sejak hari itu, Zara merasa semakin jauh dengan Rian. Tetapi dia tidak pernah membahas lagi soal permintaannya untuk bercerai malam itu. Seolah, itu hanyalah angin lalu. Setelah apa yang terjadi semalam, Zara mulai meragukan keputusannya.Ponselnya kembali berdering. Zara menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menjawab. Akhirnya, dengan ragu, ia menggeser layar untuk menerima panggilan.“Halo…” suaranya nyaris berbisik, terdengar serak akibat tangisannya tadi.“Zara?” Suara Jerry terdengar lembut di ujung telepon, tetapi ada nada cemas di dalamnya. “Kamu baik-baik saja?”Pertanyaan itu membuat Zara terdiam sejenak. "Apakah suaraku terdengar seburuk itu hingga Jerry t
Di ruang kerjanya yang luas, Rian duduk dengan pandangan kosong menatap layar komputer. Laporan yang seharusnya ia tinjau sudah terbuka sejak satu jam yang lalu, tetapi pikirannya sama sekali tidak ada di sana.Sejak pagi, pikirannya dipenuhi oleh Zara dan apa yang terjadi semalam. Ia menggenggam cangkir kopi yang sudah dingin, memutar ulang kejadian malam tadi di benaknya. Zara, wanita yang menjadi istrinya, selalu menjadi misteri baginya.Semalam, untuk pertama kalinya, mereka tidur bersama. Tetapi pagi tadi, saat dia memutuskan untuk pergi dengan kata-kata dingin, ada sesuatu yang membuat dadanya terasa berat. Ia tidak tahu kenapa, atau mungkin ia tahu, tetapi menolak mengakuinya.Pintu ruangannya diketuk pelan, membuyarkan lamunannya. “Masuk,” kata Rian singkat, suaranya rendah.Seorang pria muda, asisten pribadinya, masuk dengan membawa dokumen. “Tuan Rian, ini laporan terakhir dari divisi pemasaran. Anda diminta untuk meninjau sebelum rapat sore ini.”Rian
Zara berdiri di depan pintu, tangan bersedekap di dada. Pandangannya tertuju pada Jerry yang masih duduk di sofa ruang tamu. Tatapannya serius, tetapi di balik sikap tegasnya, ada pergolakan yang tidak bisa ia abaikan.“Jerry, kamu tidak seharusnya ada di sini,” katanya akhirnya, suaranya datar tetapi tegas.Jerry mendongak, menatap Zara dengan sorot mata yang penuh rasa ingin tahu. “Aku merasa kita butuh waktu untuk menyelesaikan semuanya.”“Tidak di sini,” balas Zara cepat. “Ini rumahku, rumahku dan Rian. Aku tidak bisa membiarkanmu datang sesuka hati.”Jerry berdiri perlahan, posturnya masih menunjukkan kelemahan akibat pemulihannya. Tetapi tatapan tajamnya tidak pernah berubah. “Zara, aku hanya ingin tahu bagaimana kehidupanmu tanpa aku.”Zara mengepalkan tangannya, mencoba menahan gejolak emosinya. “Kamu harus pergi. Dan tolong, jangan datang ke sini lagi.”Jerry terdiam sejenak, matanya menatap Zara seolah mencoba mencari sesuatu yang tersembunyi. “Zara
Zara duduk di sebuah kafe kecil di sudut kota, ditemani secangkir kopi dan tatapan tajam sahabatnya, Lena. Setelah pagi yang melelahkan di rumah sakit, ia merasa butuh udara segar. Lena, seperti biasa, menjadi pelariannya dari kebisingan dunia.“Jadi, kamu benar-benar mau cerai, Zar?” Lena memecah keheningan, menatap Zara dengan ekspresi serius.Zara mengaduk-aduk es kopinya, memandangi butiran es yang mulai mencair. “Memangnya apa lagi yang bisa kuharapkan dari pria dingin itu?” jawabnya pelan, tetapi nadanya penuh kekecewaan.Lena menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Lima tahun, Zara. Menurutmu kenapa dia masih bertahan denganmu?”Pertanyaan itu membuat Zara menghentikan gerakannya. Ia menatap Lena, keningnya berkerut.“Apa maksudmu?” tanyanya hati-hati.Lena mendekat, meletakkan sikunya di meja sambil menatap Zara dengan pandangan penuh arti. “Coba pikirkan. Kalau di drama-drama, entah itu menikah kontrak atau pernikahan yang dipaksakan
Setiba di rumah, Rian keluar lebih dulu tanpa menunggu Zara. Pria itu masuk ke dalam rumah tanpa berkata apa-apa, meninggalkan Zara sendirian di luar.Setelah menenangkan diri di teras, Zara masuk ke dalam rumah. Lampu ruang tamu sudah menyala, tetapi suasana terasa sepi. Sepatu Rian sudah tergeletak di rak, menunjukkan bahwa pria itu langsung menuju kamarnya begitu tiba.Ia berdiri di ruang tamu untuk beberapa saat, memandangi ruang kosong yang terasa dingin. Matanya melirik ke arah sofa, tetapi ia tahu tak ada gunanya duduk terlalu lama di sana. Percuma ia mengulur waktu, dia akan tetap bertemu dengan Rian."Kenapa aku tetap berada di sini? Mengharapkan sesuatu yang tidak pernah ada," tanyanya dalam hati.Ia memutuskan untuk langsung menuju kamar, berharap Rian sudah tidur. Ia tidak ingin ada percakapan lagi malam ini, apalagi sekedar basa-basi.Namun, begitu ia membuka pintu kamar, langkahnya terhenti.Rian baru saja selesai mandi, hanya mengenakan handuk
Hari itu, Zara mengatur pertemuan dengan Arka di sebuah kafe yang cukup tenang di pusat kota. Ia mengenakan gaun sederhana berwarna biru muda, dengan mantel panjang untuk melindungi tubuhnya dari angin yang cukup dingin.Saat ia tiba, Arka sudah duduk di salah satu sudut kafe. Pria itu tampak rapi seperti biasa, mengenakan kemeja hitam yang dipadukan dengan jas abu-abu.“Zara,” sapa Arka dengan senyum tipis.Zara tersenyum kecil dan duduk di hadapannya. “Terima kasih sudah meluangkan waktu.”Arka mengangguk. “Tentu. Aku juga ingin berbicara denganmu.”Zara terdiam sejenak, memperhatikan ekspresi pria di depannya. Sekalipun Rian menyebutnya sebagai Riko, tidak ada jejak kebencian atau kesombongan di wajahnya saat ini.“Kamu mengenal Luna dengan baik, kan?” tanya Zara akhirnya.Arka menghela napas pelan. “Dia adikku. Tentu saja aku mengenalnya.”“Tapi kamu tidak datang saat pemakamannya.”Arka menatap Zara dengan mata yang dalam. “Karena aku tidak i
Zara duduk di ruang tamu keluarga Hendrawan, mengusap perutnya yang mulai membesar. Sudah beberapa hari sejak pemakaman Luna, tapi pikirannya masih dipenuhi oleh pria yang muncul hari itu. Arka. Kakak Luna yang tiba-tiba hadir dalam hidup mereka.Dia merasa ada yang janggal.Zara memang tidak begitu mengenal Luna secara pribadi, tapi dia tahu bahwa keluarga perempuan itu cukup terpandang. Seharusnya ada anggota keluarga yang datang di hari pemakamannya. Namun, yang muncul hanya Arka. Dan sekarang, pria itu tiba-tiba menjadi bagian dari kehidupannya lagi.Saat Rian masuk ke ruangan, Zara langsung menatapnya dengan penuh tanda tanya.“Kamu sudah menyelidiki Arka, kan?” tanyanya tanpa basa-basi.Rian terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Ya.”Zara mencondongkan tubuhnya ke depan, penasaran. “Dan? Siapa dia sebenarnya?”Rian menarik napas dalam. Dia tahu cepat atau lambat Zara pasti akan bertanya. “Arkana Rikovan… dia bukan orang asing bagiku,” katanya perlahan.
“Jadi, kau mengenalnya?” tanya Bu Hanan yang tampak bingung dengan reaksi Zara.Zara mengangguk perlahan, masih belum bisa menyembunyikan keterkejutannya. “Dia… dia dulu hampir menjadi pengacaraku.”Lena langsung menoleh tajam. “Apa?!”Pria itu mengangguk. “Namaku Arka. Aku memang seorang pengacara, dan saat itu aku menerima permintaan untuk menangani perceraianmu. Tapi sebelum semuanya dimulai, aku mendadak mendapat panggilan lain, dan ternyata kamu menarik kembali tuntutan itu.”Zara ingat. Saat itu, ia sangat berharap bisa mendapatkan pengacara yang bisa membantunya keluar dari pernikahannya dengan Rian. Arka adalah salah satu pengacara terbaik, tapi tiba-tiba ia menarik diri dari kasusnya, tanpa penjelasan yang jelas.Sekarang semuanya mulai masuk akal. Jika Arka adalah kakak Luna, mungkin itulah alasan dia mundur dari kasusnya, karena keterkaitan keluarganya dengan situasi yang lebih besar.“Kenapa kamu ingin bertemu denganku?” tanya Zara akhirnya, suara
Lena dan Zara turun dari mobil dengan langkah yang sedikit ragu. Udara sore yang sejuk menyelimuti halaman luas kediaman keluarga Hendrawan, tapi kehangatan itu tidak cukup untuk mengusir kegelisahan dalam hati Zara.Sudah berbulan-bulan sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di rumah ini. Sejak ia meninggalkan semua yang ada di sini dan memilih membangun hidup baru bersama Rian.Ia tidak pernah berpikir akan kembali, apalagi dalam keadaan seperti ini, membawa dua nyawa dalam kandungannya dan kembali sebagai istri Rian secara resmi, bukan hanya sekadar wanita yang terikat dalam pernikahan tanpa cinta seperti dulu.Pelayan-pelayan di rumah itu menyambut mereka dengan sopan, tapi Zara masih bisa merasakan sisa-sisa tatapan meremehkan yang dulu pernah ia terima. Meskipun kini Bu Hanan, ibu mertuanya, sudah mulai menunjukkan perubahan, trauma akan masa lalu masih melekat kuat di dalam hatinya.“Bu Hanan ada di dalam, Nona,” kata salah satu pelayan, membukakan pintu bes
Zara duduk di dalam mobil dengan gelisah. Hatinya dipenuhi berbagai perasaan yang bercampur aduk. Rian sudah memintanya untuk fokus pada kehamilannya, tapi ada sesuatu yang masih mengganjal pikirannya."Lena, sebelum kita pulang... Aku ingin bertemu dengan Jerry dulu," katanya tiba-tiba.Lena menoleh dengan alis berkerut. "Kamu yakin? Bukannya Rian sudah bilang untuk tidak terlalu memikirkan hal ini?""Aku tahu," Zara menghela napas. "Tapi aku merasa harus bertemu dengannya. Aku ingin mengucapkan terima kasih. Kalau bukan karena darahnya, mungkin aku dan bayi-bayiku..." Suaranya melemah, tak sanggup menyelesaikan kalimatnya.Lena terdiam sejenak, lalu akhirnya mengangguk. "Baiklah, kita mampir sebentar."Mobil pun berbelok menuju kantor polisi tempat Jerry ditahan. Begitu sampai, Zara langsung merasakan atmosfer yang dingin dan suram. Ruangan yang dipenuhi jeruji besi itu seakan menekan perasaannya.Petugas mengizinkan mereka untuk bertemu dengan Jerry di rua
Malam semakin larut, tetapi pikiran Rian tak bisa tenang. Ia duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptop yang menampilkan laporan keuangan terakhir. Lima miliar rupiah bukan hanya angka biasa, itu adalah serangan langsung terhadap perusahaan dan dirinya.Ia tahu bahwa menjadi pemimpin bukanlah hal mudah, tetapi semakin hari, semakin banyak yang ingin melihatnya jatuh. Apalagi setelah keluarga Hendrawan hancur, banyak pihak yang merasa kehilangan pegangan. Mereka mencari celah, dan sekarang, pencurian dana ini bisa jadi bagian dari permainan mereka.Zara berjalan mendekat, membawa secangkir teh hangat. "Kamu belum tidur?" tanyanya lembut.Rian tersenyum tipis, menerima cangkir itu. "Banyak yang harus kupikirkan."Zara duduk di sampingnya. "Menurutmu, ini ada hubungannya dengan keluarga Hendrawan?"Rian mengangguk. "Kemungkinan besar. Setelah keluarga kita jatuh, banyak pihak yang kehilangan perlindungan dan mulai bergerak sendiri. Aku tidak terkejut kalau sekara
Saat Jerry kembali digiring oleh dua polisi menuju mobil tahanan, Zara menghela napas berat. Ia ingin melepaskan segala kepenatan ini, tapi matanya terusik oleh sesuatu.Di kejauhan, di balik pohon yang sedikit tertutup kabut hujan, seorang pria tampak mengawasi mereka. Sosoknya tinggi, mengenakan jaket gelap dengan tudung yang menutupi sebagian wajahnya. Sekilas, Zara bisa melihat rahangnya yang tegas dan tatapan tajamnya yang menusuk.Zara menoleh ke Rian, memastikan apakah suaminya juga menyadarinya. Namun, Rian justru sibuk menyesuaikan tongkatnya di tanah becek."Rian..." Zara berbisik, sedikit menarik lengannya. "Ada seseorang di sana. Sejak tadi dia berdiri di balik pohon dan memperhatikan kita."Rian menoleh ke arah yang dimaksud, tapi pria itu segera berbalik, berjalan menjauh sebelum akhirnya menghilang di antara pepohonan pemakaman.Lena dan Sandi yang mendengar percakapan mereka ikut melihat ke sekitar. "Kamu yakin, Zara?" tanya Lena."Aku yakin.
"Zara, sebenarnya Jerry mendonorkan banyak darah untukmu. Jika bukan karena dia, aku tida tahu apa yang terjadi padamu dan si kembar." Rian berkata dengan berat hati, namun Zara harus tetap tahu.Zara terdiam sejenak, mencerna kata-kata Rian. Matanya menatap kosong ke depan, pikirannya melayang pada kejadian beberapa hari lalu, saat dirinya terbaring lemah, nyaris kehilangan segalanya."Jerry...?" gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.Rian mengangguk, menatap wajah Zara dengan serius. "Iya, dia yang menyelamatkanmu. Darahmu langka, dan rumah sakit tidak punya stok. Kalau bukan karena Jerry yang mendonorkan darahnya, aku nggak tahu apa yang akan terjadi."Zara menggigit bibirnya, perasaannya bercampur aduk. Jerry orang yang dulu sempat menjadi bagian dari hidupnya, kini terasa terikat dengan takdirnya dalam cara yang tidak pernah ia bayangkan."Jadi... aku hidup karena dia?" tanyanya pelan, lebih kepada dirinya sendiri."Bukan cuma kam
Setelah makan siang, Zara dan Rian akhirnya kembali ke kamar mereka. Kamar yang dulu terasa sepi dan sunyi kini terasa lebih hangat dengan kehadiran mereka berdua. Zara duduk di tepi tempat tidur, merasakan sedikit kelelahan setelah hari yang penuh kejadian.Rian yang meskipun masih harus menggunakan tongkat untuk berjalan, perlahan-lahan mendekati Zara. Dengan senyum tipis di wajahnya, dia duduk di sampingnya."Kamu sudah makan dengan baik, kan?" tanya Rian, memastikan kalau Zara baik-baik saja.Zara mengangguk, meskipun hatinya masih sedikit campur aduk. "Iya, Rian. Cuma... agak capek aja," jawabnya dengan nada ringan.Rian meraih tangan Zara dan menggenggamnya erat. "Aku ngerti, kok. Kita sudah melalui banyak hal, tapi kamu harus tahu, semuanya bakal baik-baik aja. Kita berdua bisa ngadepin ini bareng-bareng."Zara menatap tangan Rian yang menggenggamnya. Ada kehangatan yang datang dari sentuhan itu, sesuatu yang membuatnya merasa lebih tenang. "Aku cuma takut, Rian. Semua yang ter