Rian terdiam di atas tangga, tubuhnya membeku seolah-olah udara dingin tiba-tiba memenuhi rumah besar itu. Kata-kata Zara menggema di telinganya, begitu tajam, begitu jelas.
Ia menatap Zara dari kejauhan, matanya menyipit, mencoba mencari jawaban di wajah istrinya. Tapi yang ia temukan hanyalah amarah yang membara, disertai kesedihan yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. “Zara...” suara Rian akhirnya keluar, serak dan nyaris tak terdengar. Zara tidak menoleh. Tangannya mengepal, kukunya menekan telapak tangannya sendiri hingga terasa sakit. Ia tidak ingin menunjukkan kelemahan lagi. “Aku serius, Rian,” katanya dengan tegas, meskipun suaranya bergetar. Rian turun perlahan, satu langkah demi satu langkah. Tapi Zara mengangkat tangannya, menghentikan gerakannya. “Jangan mendekat,” katanya, matanya yang sembab menatap langsung ke arah Rian. “Kamu sudah terlalu jauh dariku selama ini, Rian. Tidak perlu berpura-pura peduli sekarang.” Rian menelan ludah, merasa dadanya sesak. “Apa yang kamu bicarakan? Kenapa tiba-tiba seperti ini?” Zara tertawa kecil, namun tidak ada keceriaan di dalamnya. “Tiba-tiba? Ini bukan tiba-tiba, Rian. Aku sudah menahan ini selama lima tahun. Bertahan dengan diam kamu, rahasia kamu, sikap dingin kamu. Aku lelah.” Rian menggeleng, mencoba memprotes, tapi Zara memotongnya. “Aku bahkan tidak tahu siapa kamu, Rian. Aku tidak tahu apa yang kamu sembunyikan dariku. Aku lelah mencoba memahami seseorang yang bahkan tidak mau berbagi apa-apa denganku.” “Zara, kamu tidak mengerti,” Rian akhirnya berbicara, mencoba mendekatinya lagi. Tapi Zara tetap bergeming, tatapannya tidak berubah. “Kamu benar,” katanya dengan nada getir. “Aku tidak mengerti. Dan kamu tidak pernah memberiku kesempatan untuk mengerti.” Rian menarik napas dalam-dalam, wajahnya berubah gelap. “Kamu pikir aku tidak punya alasan? Aku melakukan ini semua untuk kamu.” Zara terdiam sesaat, memproses kata-kata Rian. “Melakukan apa? Menyembunyikan semuanya dariku? Membuatku merasa seperti orang asing di rumahku sendiri? Itu demi aku?” Rian tidak menjawab, rahangnya mengeras. “Lihat? Kamu tidak bisa menjawab. Karena kamu tahu aku benar.” Zara melangkah mendekatinya kali ini, matanya tajam. “Aku tidak tahu lagi apa yang kamu pikirkan, Rian. Aku tidak tahu apa yang kamu rencanakan. Tapi aku tidak bisa hidup seperti ini lagi.” Rian membuka mulutnya untuk berbicara, tetapi suara itu tidak keluar. Ia hanya bisa menatap Zara, wanita yang berdiri di depannya dengan hati yang terluka parah. “Aku mau kita berpisah, Rian,” kata Zara dengan nada pelan tapi penuh kepastian. “Aku tidak mau terus menjadi istri yang kamu abaikan. Aku berhak untuk bahagia.” Hening melingkupi mereka. Rian berdiri diam, pandangannya kosong, sementara Zara merasa dadanya semakin sesak. Air matanya tidak lagi mengalir, tapi hatinya terasa seperti kaca yang pecah menjadi ribuan serpihan. “Kalau itu maumu,” akhirnya Rian berkata, suaranya rendah dan datar. Zara menatapnya, mencari tanda-tanda emosi di wajahnya, tapi tidak ada apa-apa. Wajah Rian tetap seperti biasa. Dingin, tak terbaca. “Besok aku akan bicara dengan pengacara,” lanjut Rian sebelum berbalik dan naik kembali ke tangga tanpa menoleh lagi. Zara berdiri di sana, tubuhnya lunglai, menatap punggung pria yang selama ini berusaha ia cintai. “Kamu... benar-benar...” Ucapan Zara tertahan, suaranya bergetar, tidak mampu melanjutkan kalimatnya. Ia menunduk, mengusap wajahnya dengan tangan yang gemetar. Rian tidak menjawab, tidak memberi sedikit pun penjelasan atau permohonan maaf. Zara menggeleng perlahan, air matanya jatuh tanpa bisa dihentikan. “Jadi, pernikahan ini benar-benar akan berakhir?” pikirnya, dadanya terasa sesak. Rian akhirnya melangkah lagi, kali ini tanpa berhenti. Langkah-langkahnya terdengar menggema di tangga marmer rumah mereka yang luas, setiap bunyi seakan menghantam hati Zara. Pagi harinya, tanpa banyak bicara, Zara mulai mengemas barang-barangnya. Ia memilih pakaian secukupnya, menyelipkan beberapa barang penting ke dalam koper kecil. Setiap tarikan resleting terasa seperti simbol perpisahan yang ia butuhkan. Tangannya gemetar, tapi ia terus melanjutkan. Saat semua selesai, Zara menarik kopernya menuju pintu kamar. Namun, suara derit roda koper di lantai marmer yang hening membuat Rian terbangun. "Zara?" panggil Rian, suaranya berat dan masih mengantuk. Zara tidak menjawab. Ia melangkah keluar dari kamar, menarik kopernya ke tangga dengan tekad bulat. Namun, baru beberapa langkah menuruni tangga, suara berat dan tegas Rian memecah keheningan. "Zara, berhenti!" Zara berhenti sejenak, tapi bukan karena perintah itu. Ia hanya menarik napas dalam-dalam, mencoba menguatkan hatinya. Perlahan, ia menoleh, menatap Rian yang berdiri di puncak tangga dengan piyamanya. "Zara, kamu tidak boleh pergi!" serunya lagi, kali ini dengan nada lebih dingin, lebih menuntut. Zara mengangkat dagunya sedikit, memperlihatkan tatapan penuh luka tapi penuh keberanian. “Apa hakmu menahanku, Rian?” Rian mulai melangkah turun, mendekatinya. “Hakku sebagai suamimu. Kamu tidak bisa meninggalkan rumah ini begitu saja.” Zara mendengus kecil, sinis. “Suami? Kau bahkan tidak bertindak seperti seorang suami." Rian terdiam sejenak, rahangnya mengeras. “Zara, kamu tahu ini bukan hanya tentang kita. Jika kamu pergi, ini akan menjadi skandal keluarga. Semua orang akan membicarakan kita. Apa kamu mau itu terjadi?” “Skandal?” Zara tertawa pendek, penuh ironi. “Kamu selalu memikirkan reputasi keluarga, perusahaan, dan orang lain. Pernahkah kamu memikirkan aku, Rian? ?” “Zara, dengar aku—” “Tidak!” potong Zara tajam. “Aku sudah cukup mendengarkanmu. Rumah ini bukan lagi rumah. Ini seperti penjara bagiku!” Rian terdiam di tengah tangga, matanya menatap Zara dengan intens. Ia mencoba membaca pikiran istrinya, mencoba mencari celah untuk membalas kata-katanya. Tapi Zara tidak memberinya kesempatan. Ia menarik kopernya dengan satu tarikan keras, melanjutkan langkahnya menuruni tangga. Rian bergerak cepat, melangkah turun untuk mengejar Zara. Tangannya terulur, meraih pegangan koper Zara, menghentikan langkahnya di dekat pintu utama. “Zara, jangan lakukan ini,” katanya, kali ini dengan nada lebih lembut. Zara menatap tangan Rian yang mencengkeram koper itu, lalu mendongak menatap wajahnya. “Lepaskan, Rian.” “Tidak. Aku tidak akan membiarkanmu pergi.” Zara menghela napas panjang, menahan air mata yang sudah menggenang di matanya. “Apa yang sebenarnya kamu inginkan dariku, Rian? Kamu tidak mencintaiku. Kamu tidak peduli padaku. Lalu, kenapa kamu ingin aku tetap tinggal?” “Karena aku...” Rian terdiam, lidahnya kelu. Kata-kata itu seperti tersangkut di tenggorokannya. Zara tertawa kecil, getir. “Lihat? Bahkan untuk menjawab pertanyaan sederhana itu, kamu tidak bisa.” Rian melepas pegangannya perlahan, tapi tetap berdiri di hadapan Zara, mencoba menghalanginya pergi. “Zara, kita bisa membicarakan ini. Jangan bertindak gegabah.” “Gegabah?” Mata Zara melebar karena marah. “Rian, aku sudah bertahan selama ini. Aku lelah, Rian. Aku lelah mencintai seseorang yang tidak pernah mencintaiku kembali.” "Kamu... Mencintaiku?" tanya Rian, tak yakin dengan apa yang dia dengar. Rian berusaha membuka mulutnya untuk membalas, tapi suara telepon rumah yang berdering tiba-tiba memecah ketegangan. Rian menoleh ke arah sumber suara, lalu kembali menatap Zara. “Aku harus menjawab itu,” katanya, suaranya penuh keraguan. Suara telepon rumah kembali berdering. Zara, menoleh ke arah sumber suara, wajahnya penuh kemarahan. Tanpa berpikir panjang, ia berjalan ke arah meja tempat telepon berada. Tangannya terulur cepat, lalu dengan satu gerakan penuh amarah, ia meraih telepon itu dan melemparkannya ke lantai. “Telepon sialan ini, selalu saja mengganggu!” teriak Zara, suaranya menggema di ruangan besar itu. “Zara, apa yang kamu lakukan?” suara Rian terdengar tajam, tapi ia tetap berdiri di tempatnya. Belum sempat Zara menjawab lagi, suara ponselnya tiba-tiba berdering, menggantikan suara telepon rumah yang tergeletak hancur di lantai. Tangannya gemetar saat mengambil ponsel itu dari dalam tas. Layar ponsel menampilkan nama rumah sakit tempat Jerry dirawat. Nafasnya terhenti sesaat. Dengan ragu, Zara menekan tombol jawab. “Halo?” suaranya serak, nyaris berbisik. Zara membeku. Matanya melebar, dan ponsel hampir terlepas dari genggamannya. Hatinya campur aduk antara lega, cemas, dan bingung. “Dia sadar?” bisiknya, memastikan bahwa ia tidak salah dengar. Jerry sadar, apa yang harus ia lakukan sekarang? Pikirnya, sambil memandang Rian yang tetap diam.Sinar matahari masuk melalui celah-celah tirai rumah sakit, menerangi ruang rawat yang penuh dengan alat medis. Setelah bertahun-tahun terbaring dalam koma, Jerry akhirnya membuka matanya perlahan.Pandangannya kabur, suara mesin monitor berdetak pelan di telinganya. Ia mencoba memahami di mana dirinya berada, tapi yang ia rasakan hanyalah kesulitan bernapas dan tubuh yang terasa kaku.Perawat yang masuk ke kamar terdiam sesaat, matanya melebar. “Tuan Jerry, Anda sudah sadar! Tunggu sebentar, saya akan memanggil dokter,” katanya sambil terburu-buru keluar dari ruangan.Jerry mencoba bergerak, mengangkat tangannya yang terasa berat, tapi tubuhnya menolak. Dalam diam, ia memejamkan mata, mencoba mengingat apa yang terjadi. Tetapi, yang ia temukan hanyalah kekosongan dan pertanyaan besar tentang bagaimana ia bisa berakhir di tempat ini.Kabar bahwa Jerry sadar menyebar cepat di keluarga Hendrawan. Zara, yang sedang berada di rumah, menerima telepon dari rumah sakit. Tan
Dengan perlahan, Jerry menyingkirkan selimut dari tubuhnya dan mencoba turun dari tempat tidur. Langkahnya goyah, tubuhnya terasa lemah, namun ada sesuatu yang mendorongnya untuk berdiri. Suara langkahnya membuat Zara menoleh dengan terkejut.“Jerry! Apa yang kamu lakukan? Kamu harus istirahat!” seru Zara panik. Ia melangkah cepat ke arahnya, berniat membantunya kembali ke tempat tidur.Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh Jerry, pria itu meraih tangannya lebih dulu. Pegangan Jerry lembut, tapi tegas, seolah meminta Zara untuk tidak pergi. Mata mereka bertemu, dan Zara merasakan sebuah gelombang emosi menghantam hatinya.“Zara…” suara Jerry terdengar pelan, serak, namun penuh rasa. “Kamu mencoba menyembunyikan semuanya dariku, tapi aku bisa melihatnya. Kamu tidak bahagia, bukan?”Zara mematung. Kata-kata itu seperti membuka pintu yang selama ini ia kunci rapat. Semua rasa sakit, frustrasi, dan kehampaan yang ia pendam selama lima tahun terakhir terasa seperti ke
Zara segera meraba ponselnya untuk menelepon ambulan, tetapi tangan Rian tiba-tiba bergerak, meski lemah, pria itu mencoba menghentikannya.“Jangan…” gumam Rian, suaranya serak, hampir tidak terdengar.“Rian! Apa yang terjadi padamu? Kamu sakit?” Zara bertanya, suaranya bergetar, campuran antara cemas dan takut.Rian membuka matanya sedikit, tatapannya kabur. Ia mencoba tersenyum kecil, tetapi itu lebih terlihat seperti ekspresi menyakitkan.“Aku hanya… terlalu banyak minum…”“Kenapa kamu seperti ini? Apa yang sebenarnya terjadi?” Zara mendesak, matanya berkaca-kaca.Rian tidak langsung menjawab. Ia menatap Zara dengan pandangan yang sulit dijelaskan, seolah ada sesuatu yang ingin ia katakan tetapi terlalu sulit untuk diungkapkan. Setelah beberapa saat, ia tertawa kecil, tawanya hambar dan penuh ironi.“Kamu tidak perlu khawatir. Aku tidak akan mati hanya karena minuman,” katanya pelan. Ia menutup matanya lagi, kepalanya bersandar ke sofa.Zara hanya
Jantung Zara berdetak lebih cepat. Pandangannya terpaku pada layar ponsel, dan ia tidak tahu harus berbuat apa. Sudah seminggu lebih sejak Jerry sadar dari koma, tapi Rian tidak pernah membahas atau bertanya soal kondisinya."Apakah dia sudah menjenguk kakaknya?" pikir Zara.Sejak hari itu, Zara merasa semakin jauh dengan Rian. Tetapi dia tidak pernah membahas lagi soal permintaannya untuk bercerai malam itu. Seolah, itu hanyalah angin lalu. Setelah apa yang terjadi semalam, Zara mulai meragukan keputusannya.Ponselnya kembali berdering. Zara menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menjawab. Akhirnya, dengan ragu, ia menggeser layar untuk menerima panggilan.“Halo…” suaranya nyaris berbisik, terdengar serak akibat tangisannya tadi.“Zara?” Suara Jerry terdengar lembut di ujung telepon, tetapi ada nada cemas di dalamnya. “Kamu baik-baik saja?”Pertanyaan itu membuat Zara terdiam sejenak. "Apakah suaraku terdengar seburuk itu hingga Jerry t
Di ruang kerjanya yang luas, Rian duduk dengan pandangan kosong menatap layar komputer. Laporan yang seharusnya ia tinjau sudah terbuka sejak satu jam yang lalu, tetapi pikirannya sama sekali tidak ada di sana.Sejak pagi, pikirannya dipenuhi oleh Zara dan apa yang terjadi semalam. Ia menggenggam cangkir kopi yang sudah dingin, memutar ulang kejadian malam tadi di benaknya. Zara, wanita yang menjadi istrinya, selalu menjadi misteri baginya.Semalam, untuk pertama kalinya, mereka tidur bersama. Tetapi pagi tadi, saat dia memutuskan untuk pergi dengan kata-kata dingin, ada sesuatu yang membuat dadanya terasa berat. Ia tidak tahu kenapa, atau mungkin ia tahu, tetapi menolak mengakuinya.Pintu ruangannya diketuk pelan, membuyarkan lamunannya. “Masuk,” kata Rian singkat, suaranya rendah.Seorang pria muda, asisten pribadinya, masuk dengan membawa dokumen. “Tuan Rian, ini laporan terakhir dari divisi pemasaran. Anda diminta untuk meninjau sebelum rapat sore ini.”Rian
Zara berdiri di depan pintu, tangan bersedekap di dada. Pandangannya tertuju pada Jerry yang masih duduk di sofa ruang tamu. Tatapannya serius, tetapi di balik sikap tegasnya, ada pergolakan yang tidak bisa ia abaikan.“Jerry, kamu tidak seharusnya ada di sini,” katanya akhirnya, suaranya datar tetapi tegas.Jerry mendongak, menatap Zara dengan sorot mata yang penuh rasa ingin tahu. “Aku merasa kita butuh waktu untuk menyelesaikan semuanya.”“Tidak di sini,” balas Zara cepat. “Ini rumahku, rumahku dan Rian. Aku tidak bisa membiarkanmu datang sesuka hati.”Jerry berdiri perlahan, posturnya masih menunjukkan kelemahan akibat pemulihannya. Tetapi tatapan tajamnya tidak pernah berubah. “Zara, aku hanya ingin tahu bagaimana kehidupanmu tanpa aku.”Zara mengepalkan tangannya, mencoba menahan gejolak emosinya. “Kamu harus pergi. Dan tolong, jangan datang ke sini lagi.”Jerry terdiam sejenak, matanya menatap Zara seolah mencoba mencari sesuatu yang tersembunyi. “Zara
Zara duduk di sebuah kafe kecil di sudut kota, ditemani secangkir kopi dan tatapan tajam sahabatnya, Lena. Setelah pagi yang melelahkan di rumah sakit, ia merasa butuh udara segar. Lena, seperti biasa, menjadi pelariannya dari kebisingan dunia.“Jadi, kamu benar-benar mau cerai, Zar?” Lena memecah keheningan, menatap Zara dengan ekspresi serius.Zara mengaduk-aduk es kopinya, memandangi butiran es yang mulai mencair. “Memangnya apa lagi yang bisa kuharapkan dari pria dingin itu?” jawabnya pelan, tetapi nadanya penuh kekecewaan.Lena menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Lima tahun, Zara. Menurutmu kenapa dia masih bertahan denganmu?”Pertanyaan itu membuat Zara menghentikan gerakannya. Ia menatap Lena, keningnya berkerut.“Apa maksudmu?” tanyanya hati-hati.Lena mendekat, meletakkan sikunya di meja sambil menatap Zara dengan pandangan penuh arti. “Coba pikirkan. Kalau di drama-drama, entah itu menikah kontrak atau pernikahan yang dipaksakan
Setiba di rumah, Rian keluar lebih dulu tanpa menunggu Zara. Pria itu masuk ke dalam rumah tanpa berkata apa-apa, meninggalkan Zara sendirian di luar.Setelah menenangkan diri di teras, Zara masuk ke dalam rumah. Lampu ruang tamu sudah menyala, tetapi suasana terasa sepi. Sepatu Rian sudah tergeletak di rak, menunjukkan bahwa pria itu langsung menuju kamarnya begitu tiba.Ia berdiri di ruang tamu untuk beberapa saat, memandangi ruang kosong yang terasa dingin. Matanya melirik ke arah sofa, tetapi ia tahu tak ada gunanya duduk terlalu lama di sana. Percuma ia mengulur waktu, dia akan tetap bertemu dengan Rian."Kenapa aku tetap berada di sini? Mengharapkan sesuatu yang tidak pernah ada," tanyanya dalam hati.Ia memutuskan untuk langsung menuju kamar, berharap Rian sudah tidur. Ia tidak ingin ada percakapan lagi malam ini, apalagi sekedar basa-basi.Namun, begitu ia membuka pintu kamar, langkahnya terhenti.Rian baru saja selesai mandi, hanya mengenakan handuk
Zara mengerjap pelan, kepalanya terasa sedikit berat. Ia duduk tegak, menyandarkan punggungnya di sofa, mencoba mengingat kejadian semalam.Apartemen itu sepi. Tak ada suara, tak ada tanda kehidupan. Hanya sunyi yang menemani."Bagaimana aku bisa ketiduran di sini?" gumamnya sambil melirik jam di pergelangan tangannya.Pukul tujuh pagi. Ia menggigit bibir bawah, menyesali kebodohannya. Berkas-berkas yang semalam ia bawa masih tergeletak di atas meja. Zara duduk tegak, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Zara menarik napas panjang, jemarinya dengan rapi merapikan berkas-berkas tersebut. Jika ingin mengetahui kebenaran, ia harus bergerak lebih dalam. Mendekati keluarga Hendrawan dari dekat adalah satu-satunya cara.Ia bangkit dari sofa, Zara mengambil tasnya dan memastikan tidak ada barang yang tertinggal. Pandangannya menyapu ruangan sekali lagi sebelum ia meninggalkan apartemen itu.Sesampainya di rumah, Zara langsung m
Pintu ruangan Jerry tiba-tiba terbuka tanpa ketukan, dan Luna melangkah masuk dengan percaya diri. Sepatunya berderap pelan di lantai, sementara senyum tipis menghiasi wajahnya. Jerry mengalihkan pandangannya dari layar laptop, menatap Luna dengan ekspresi tidak sabar."Luna, aku sedang sibuk. Kalau tidak penting, sebaiknya kamu pulang," kata Jerry dingin, menutup laptopnya dengan gerakan tegas."Sibuk?" Luna menyandarkan tubuhnya di sisi meja, menatap Jerry dengan mata berbinar. "Sepertinya kamu selalu sibuk belakangan ini. Tapi aku belum mendengar jawabanmu soal pernikahan kita."Jerry berdiri dari kursinya, menghela napas panjang. "Luna, aku sudah bilang, ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan itu."Luna tertawa kecil, melipat tangannya di depan dada. "Bukan waktu yang tepat? Kamu sudah mengatakan hal itu selama berminggu-minggu. Apa kamu menunggu sampai Zara melahirkan, setelah itu mengingkari janjimu?"Tatapan Jerry berubah tajam. "Jangan bawa-bawa Za
Cahaya matahari yang redup masuk melalui celah tirai, menyinari lantai putih ruangan itu. Lena berdiri di sudut ruangan, memandangi baki makanan yang masih utuh di meja kecil di samping tempat tidur.Ia mendesah pelan, mengambil baki itu dan menatap pasien yang duduk membelakanginya. Pria itu tetap diam di kursi roda, memandang kosong ke luar jendela, memperhatikan daun-daun yang berguguran di taman rumah sakit. Wajahnya tampak lelah, matanya sayu, seolah seluruh semangat hidup telah terkuras habis."Sampai kapan kamu akan seperti ini?" gumam Lena, mencoba menahan rasa sedih yang menyeruak di dadanya. "Kamu seperti kehilangan semangat hidup."Pria itu tidak langsung menjawab. Bahunya sedikit naik-turun saat ia menarik napas dalam. Suaranya akhirnya terdengar, pelan tetapi penuh dengan rasa putus asa. "Apa aku masih pantas hidup? Bahkan dokter-dokter terbaik pun tidak bisa menyembuhkanku."Lena terdiam, menatap pria itu dengan sorot mata penuh rasa
Zara kembali ke mobil, tangannya masih gemetar saat memegang setir. Ia menatap lurus ke depan, pikirannya berkecamuk. Apartemen lama Rian? Itu berarti tempat di mana Rian tinggal sebelum mereka menikah, tempat yang hampir ia lupakan."Seharusnya aku masih ingat tempatnya," gumamnya, lalu menyalakan mesin mobil.Perjalanan terasa panjang, meski jaraknya tidak terlalu jauh. Malam semakin larut, dan jalanan mulai lengang. Ketika Zara tiba di gedung apartemen lama itu, suasananya terasa berbeda, sepi dan sedikit menyeramkan.Ia turun dari mobil, menatap gedung itu dengan napas tertahan. Cahaya lampu di lorong hanya menyala sebagian, memberikan kesan yang suram. Zara melangkah pelan, memasuki lift.Ketika ia sampai di depan pintu apartemen Rian, tangannya berhenti di udara. Ia ragu sejenak sebelum membuka pintu."Aku harus melakukannya," bisiknya.Zara merogoh tasnya, mengambil kunci cadangan yang pernah Rian berikan dulu. Dengan tangan gemetar, ia membuka pintu.Pintu berderit pelan, dan
Zara mengetik nomor di ponselnya untuk yang ketiga kalinya, menempelkan ponsel di telinganya sambil berjalan mondar-mandir di ruang kerja Rian. Nada sambung lagi... tetapi tidak ada jawaban.“Sandi, angkat teleponnya!” gumam Zara dengan frustrasi, menekan tombol panggil sekali lagi. Namun, hasilnya tetap sama, tidak ada jawaban.Zara berusaha menghubungi Sandi sepanjang hari, sampai cahaya matahari yang tadinya menerangi ruangan kini perlahan redup, seiring dengan kegelisahan yang makin menguasai Zara. Setelah beberapa kali mencoba, Zara memutuskan untuk meninggalkan pesan suara.“Sandi, ini Zara, istri Rian Hendrawan. Aku butuh bicara denganmu, sekarang juga. Tolong hubungi aku kembali.”Ia mengakhiri panggilan itu, lalu menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. Matanya menatap kosong ke layar ponsel yang masih menyala di tangannya. 'Ada sesuatu yang sangat salah.'Zara berdiri, berjalan ke jendela, menatap keluar sambil memeluk
Kamar rumah sakit itu terasa sunyi, hanya suara detak jam di dinding dan desiran angin di luar jendela yang menemani seorang pria yang duduk di kursi roda.Wajahnya pucat, matanya redup, menatap daun-daun yang berjatuhan dari pohon di taman rumah sakit. Beberapa daun berguguran terbawa angin, jatuh dengan lembut ke tanah, seperti waktu yang berlalu tanpa bisa ia hentikan.Air mata mengalir pelan di pipinya. Tangannya yang lemah mengepal di pangkuannya, penuh rasa penyesalan yang tertahan."Sudah satu bulan..." gumamnya dengan suara yang hampir tak terdengar. Kata-kata itu seperti beban berat yang tak bisa ia lepaskan.Pintu kamar perlahan terbuka, dan seorang perawat muda masuk dengan langkah tenang. Perawat itu membawa catatan medis di tangannya, tersenyum lembut sebelum berbicara dalam bahasa Inggris."Good morning, Sir. How are you feeling today?" tanyanya ramah, sambil mendekati pria itu.Namun, pria itu tidak menoleh. Tatapa
Beberapa bulan berlalu, dan hidup Zara terasa seperti berada di lorong panjang yang penuh dengan bayangan masa lalu. Tidak ada kabar tentang Rian. Kekosongan yang ditinggalkan suaminya begitu nyata, menyisakan rasa hampa dan pertanyaan yang tak kunjung terjawab.Setiap pagi, Zara menjalani rutinitas yang sama. Bangun, sarapan seadanya, kemudian menatap kosong ke luar jendela. Kandungannya yang semakin besar seolah menjadi pengingat bahwa hidupnya tetap berjalan, meski hatinya masih terjebak dalam kekhawatiran.Di tempat lain, Hendrawan Group berjuang keras. Banyak proyek tertunda, dan beberapa klien mulai kehilangan kepercayaan. Meski Tuan Arman dan Jerry mencoba mengatasi situasi itu, mereka menghadapi tantangan besar.Di ruang rapat yang sunyi, Tuan Arman melemparkan tumpukan dokumen ke meja, ekspresinya penuh tekanan. "Ini tidak bisa dibiarkan lebih lama lagi. Semua proposal penting ada di tangan Rian. Kita bahkan tidak tahu detail rencana yang dia buat
Reno.Asisten pribadi Rian, yang selalu ada di sisinya. Jika ada orang yang tahu ke mana perginya Rian malam itu, maka orang itu pasti Reno.Dalam perjalanan kembali ke hotel, Zara duduk diam dengan tangan terkepal di atas pangkuannya. Jerry menatapnya dari samping, tahu bahwa pikirannya sedang kacau."Kita kembali ke Indonesia besok," kata Zara akhirnya. "Asistennya mungkin tahu lebih banyak daripada yang kita duga."Jerry mengangguk, matanya masih menatap Zara. Jika benar Rian tidak pernah pergi ke Korea, maka seseorang telah menjebaknya. Dan jika seseorang telah menjebaknya...Maka orang itu adalah seseorang yang ingin memastikan Rian tidak pernah ditemukan.Setelah kembali ke Indonesia, Zara dan Jerry langsung menuju ke kantor Hendrawan Corp. Namun, begitu mereka tiba, suasana terasa lebih hening dari biasanya.Tuan Arman duduk di ruang kerjanya, terlihat sibuk membaca beberapa dokumen. Bu Hanan juga ada di sana, den
Zara menatap layar komputer petugas bandara dengan tatapan kosong. Fakta bahwa Rian tidak naik pesawat ke Seoul membuat hatinya semakin gelisah."Kamu masih ingin mencarinya di Korea, Zara?" tanya Jerry pelan, matanya tajam mengamati ekspresi wanita di sampingnya.Zara menoleh, napasnya sedikit bergetar. "Ya, tentu saja. Sebelum berangkat, Rian mengatakan bahwa dia ingin menemui seseorang bernama Tuan Kang. Apa kamu tahu sesuatu tentang klien itu?"Jerry mengangguk, menyandarkan tangannya di meja informasi bandara. "Tuan Kang bukan sekadar klien biasa. Dia adalah investor besar yang selama ini tertarik bekerja sama dengan perusahaan kami. Tapi, dia juga bukan orang yang mudah ditemui. Banyak pengusaha yang harus berusaha keras hanya untuk mendapatkan pertemuan dengannya."Zara menyernyit. "Jadi, Rian benar-benar berencana bertemu dengannya?"Jerry menatap lurus ke depan, berpikir sejenak. "Jika memang begitu, kemungkinan besar Rian masih