Setiba di rumah, Rian keluar lebih dulu tanpa menunggu Zara. Pria itu masuk ke dalam rumah tanpa berkata apa-apa, meninggalkan Zara sendirian di luar.
Setelah menenangkan diri di teras, Zara masuk ke dalam rumah. Lampu ruang tamu sudah menyala, tetapi suasana terasa sepi. Sepatu Rian sudah tergeletak di rak, menunjukkan bahwa pria itu langsung menuju kamarnya begitu tiba.Ia berdiri di ruang tamu untuk beberapa saat, memandangi ruang kosong yang terasa dingin. Matanya melirik ke arah sofa, tetapi ia tahu tak ada gunanya duduk terlalu lama di sana. Percuma ia mengulur waktu, dia akan tetap bertemu dengan Rian."Kenapa aku tetap berada di sini? Mengharapkan sesuatu yang tidak pernah ada," tanyanya dalam hati.Ia memutuskan untuk langsung menuju kamar, berharap Rian sudah tidur. Ia tidak ingin ada percakapan lagi malam ini, apalagi sekedar basa-basi.Namun, begitu ia membuka pintu kamar, langkahnya terhenti.Rian baru saja selesai mandi, hanya mengenakan handukPagi itu, udara terasa berat meski matahari sudah naik perlahan di langit. Zara membuka matanya, merasakan dinginnya sisi ranjang yang kosong di sebelahnya. Namun, ketika ia berbalik, rasa dingin itu berganti keheranan.Rian masih di sana.Pria itu berbaring diam, punggungnya setengah menghadap Zara. Tubuhnya yang biasanya sigap dan cepat pagi-pagi kini tampak tenggelam dalam lipatan selimut, seperti seorang yang sedang mencari perlindungan."Rian tidak pernah seperti ini," gumamnya.Selama lima tahun pernikahan mereka, Zara sudah terbiasa bangun untuk mendapati Rian sudah pergi atau setidaknya sedang berdiri di depan cermin, menyelaraskan dasi dengan sempurna. Tetapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda.Zara duduk perlahan, tidak ingin mengganggu, tetapi rasa penasarannya semakin kuat. Ia melangkah ke kamar mandi, mencoba melawan pikiran-pikiran yang mulai bermunculan.Ketika ia kembali ke kamar, rambutnya setengah basah, Rian masih di sana. Namun kali ini, i
Zara berdiri di dapur, menatap bahan-bahan yang tersisa di atas meja. Air matanya telah berhenti, tetapi hatinya masih terasa berat. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya.“Dia mungkin tidak akan menghargai ini,” gumam Zara pelan, “tapi aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja.”Ia meraih panci kecil dari rak dan menuangkan air ke dalamnya. Kali ini, ia memutuskan untuk membuat sesuatu yang lebih sederhana, bubur ayam. Tanpa jahe, tanpa bumbu tambahan. Hanya bubur hangat yang bisa membantu menenangkan tubuh demam Rian.Zara memotong daun bawang dengan hati-hati, memastikan semuanya tertata rapi. Ketika bubur mulai mendidih, aroma lembut menyebar di dapur, memberikan kehangatan yang sedikit menenangkan pikirannya.Sambil menunggu, pikirannya kembali melayang pada kejadian tadi. Cara Rian menepis tangannya, kata-kata kerasnya, dan ekspresi tajamnya yang seolah menuduhnya.“Kenapa aku harus terus peduli pada seseorang yang tidak pernah membukakan
Zara memutar tubuhnya dengan cepat, tangannya masih menggenggam gagang pintu ketika suara dari televisi menarik perhatiannya."...kecelakaan yang menimpa Jerry Hendrawan lima tahun lalu bukanlah kecelakaan biasa. Jerry Hendrawan, yang baru saja pulih dari koma, mengungkapkan bahwa kecelakaan tersebut diduga disengaja."Zara berdiri membeku. Matanya terpaku pada layar televisi, di mana wajah Jerry muncul dengan ekspresi serius. Ia mengenakan setelan formal, tetapi ada sorot tegas di matanya yang berbeda dari Jerry yang biasa ia kenal.“Pelaku masih bebas, dan saya harap pihak berwenang segera menemukan mereka. Tidak ada lagi alasan untuk menyembunyikan kebenaran,” suara Jerry terdengar jelas meskipun di balik layar.Kata-kata itu menghantam Zara seperti badai. “Kecelakaan disengaja?” pikirnya. Lima tahun lalu, mereka semua menerima kecelakaan itu sebagai musibah. Tidak ada yang pernah berpikir untuk mempertanyakan lebih jauh.Rian mematikan televisi dengan gerakan
“Bu, kenapa rasanya jantungku nggak berhenti berdebar?” Zara memegang dadanya, mencoba mengatur napas yang terasa sesak.Ibunya, Bu Sari, yang tengah merapikan gaun Zara berhenti sejenak, memandang wajah putrinya yang penuh kegelisahan. “Itu wajar, Nak. Semua pengantin pasti gugup.”Zara mengangguk pelan. Ia menatap cermin di hadapannya, mencoba tersenyum, namun bayangannya membuatnya merasa asing.“Zara, tamu sudah berdatangan. Kamu siap?” suara lembut ibunya membuyarkan lamunan.“Ya, Bu,” jawab Zara, tersenyum canggung menutupi kegelisahannya.Hujan pagi itu seharusnya menjadi latar hari paling bahagia bagi Zara. Gaun putih dengan renda halus melekat sempurna di tubuhnya, tetapi firasat ganjil sejak pagi tak mau hilang.Segalanya tampak sempurna. Musik klasik mengalun, dekorasi gereja memukau, tetapi sebuah ketukan di pintu ruang rias mengubah segalanya.“Kecelakaan?” Zara menatap pria berjas formal yang berdiri di ambang pintu, tubuhnya terasa kaku. Suaranya gemetar, nyaris tak kel
Zara menatap cermin di depannya. Gaun putih yang membalut tubuhnya begitu anggun, menjadikannya sosok yang hampir sempurna di mata orang lain. Tapi bagi Zara, gaun itu seperti tali yang membelit tubuhnya, membuatnya sulit bernapas.Matanya sembab, bibirnya kering, dan senyumnya menghilang entah ke mana. Ia tidak berkata apa-apa. Apa yang bisa ia katakan? Protes? Tangisan? Semua itu sudah habis beberapa jam lalu.“Zara, ibu tahu kamu mungkin kecewa pada Ibu.” Bu Sari melangkah mendekat, meletakkan tangannya di pundak Zara. “Tapi, kamu harus tahu apa yang sudah dikorbankan mendiang ayahmu untuk memastikan kamu tidak kehilangan segalanya. Pernikahan ini... mungkin satu-satunya cara untuk menyelamatkan kita semua," suara Bu Sari bergetar, penuh beban.Zara ingin menjawab, ingin mengatakan bahwa ia merasa dikhianati oleh dunia, oleh orang-orang yang seharusnya melindunginya. Tapi yang keluar hanyalah desahan panjang. Ia tidak ingin membuat ibunya lebih terbebani.“Jerry… bertahanlah,” bisi
Setelah pernikahan yang terasa seperti pengorbanan dari pada awal kebahagiaan, Zara dan Rian pindah ke rumah baru yang telah disiapkan oleh keluarga mereka. Rumah itu besar, mewah, dan dilengkapi dengan perabotan mahal yang tampak sempurna.Namun bagi Zara, semua itu tidak mampu menghapus kehampaan yang ia rasakan. Ia berdiri di ruang tamu, memandangi sofa kulit yang dingin, chandelier kristal yang berkilauan, dan dinding putih bersih yang terasa asing. Ia merasa seperti tamu dalam hidupnya sendiri.Rian hanya membawa koper ke sudut ruangan dan pergi tanpa sepatah kata. Langkahnya yang tenang namun dingin, menghilang di balik pintu kamar. Zara tetap diam di tempatnya, mencoba menenangkan hatinya."Ini adalah awal yang baru, aku harus kuat,” pikirnya, meski rasa sesak di dadanya semakin menekan.Malam itu, Zara memutuskan menyiapkan makan malam sederhana. Sebuah usaha kecil untuk mencoba membangun komunikasi di antara mereka. Ia menata meja makan dengan rapi, berharap bisa memulai perc
Zara mengalihkan kesepiannya dengan tenggelam dalam pekerjaannya sebagai seorang dokter. Pagi-pagi sekali, ia sudah berangkat ke rumah sakit, mengenakan jas putih dan menyibukkan diri dengan pasien-pasiennya. Baginya, pekerjaan di rumah sakit adalah satu-satunya tempat di mana ia merasa dihargai dan dibutuhkan. "Dokter Zara, pasien di ruang ICU memerlukan pemeriksaan tambahan," panggil seorang perawat. Zara mengangguk, lalu segera menuju ruang ICU. Sepanjang hari, ia berpindah dari satu ruangan ke ruangan lain, memastikan semua pasien mendapatkan perawatan terbaik. Pekerjaan ini adalah pelariannya, meskipun tubuh dan pikirannya kerap merasa lelah. Namun, bahkan di rumah sakit, pikirannya tetap melayang pada pernikahannya yang terasa hampa. Saat sedang mengisi catatan medis, ia sering terdiam, memikirkan bagaimana ia bisa memperbaiki hubungan dengan Rian. Zara duduk di kursi ruang istirahat setelah shift panjang. Tangannya memijat pelipis, matanya menatap kosong ke loker di depan
Sesampainya di rumah, Zara merasa tubuhnya lelah, meskipun pikirannya masih penuh dengan kekacauan yang terjadi di rumah sakit. Pikirannya melayang antara pasien yang baru saja dia tangani dan pertemuan yang membingungkan dengan Rian. Saat memasuki rumah besar mereka, udara terasa sepi, dan hanya ada sedikit suara yang menggema di ruang tamu. Begitu membuka pintu kamar, matanya langsung tertuju pada Rian yang sudah berbaring di tempat tidur. Piyama biru yang dikenakannya membuatnya terlihat tenang, tapi ekspresinya tetap datar, tak terpengaruh oleh kejadian siang tadi. Zara berdiri di pintu sejenak, memandangnya dengan hati yang campur aduk. Ada rasa lelah yang dalam, tetapi juga rasa ingin tahu yang semakin memuncak. “Kamu tidak tidur?” tanyanya, suara lembut namun tetap menyimpan ketegasan. Rian tidak menjawab langsung. Matanya masih terpejam, seolah menikmati ketenangan yang ada. Akhirnya, ia membuka matanya perlahan dan menoleh ke arah Zara. “Aku sudah tidur,” jawabnya datar,
Zara memutar tubuhnya dengan cepat, tangannya masih menggenggam gagang pintu ketika suara dari televisi menarik perhatiannya."...kecelakaan yang menimpa Jerry Hendrawan lima tahun lalu bukanlah kecelakaan biasa. Jerry Hendrawan, yang baru saja pulih dari koma, mengungkapkan bahwa kecelakaan tersebut diduga disengaja."Zara berdiri membeku. Matanya terpaku pada layar televisi, di mana wajah Jerry muncul dengan ekspresi serius. Ia mengenakan setelan formal, tetapi ada sorot tegas di matanya yang berbeda dari Jerry yang biasa ia kenal.“Pelaku masih bebas, dan saya harap pihak berwenang segera menemukan mereka. Tidak ada lagi alasan untuk menyembunyikan kebenaran,” suara Jerry terdengar jelas meskipun di balik layar.Kata-kata itu menghantam Zara seperti badai. “Kecelakaan disengaja?” pikirnya. Lima tahun lalu, mereka semua menerima kecelakaan itu sebagai musibah. Tidak ada yang pernah berpikir untuk mempertanyakan lebih jauh.Rian mematikan televisi dengan gerakan
Zara berdiri di dapur, menatap bahan-bahan yang tersisa di atas meja. Air matanya telah berhenti, tetapi hatinya masih terasa berat. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya.“Dia mungkin tidak akan menghargai ini,” gumam Zara pelan, “tapi aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja.”Ia meraih panci kecil dari rak dan menuangkan air ke dalamnya. Kali ini, ia memutuskan untuk membuat sesuatu yang lebih sederhana, bubur ayam. Tanpa jahe, tanpa bumbu tambahan. Hanya bubur hangat yang bisa membantu menenangkan tubuh demam Rian.Zara memotong daun bawang dengan hati-hati, memastikan semuanya tertata rapi. Ketika bubur mulai mendidih, aroma lembut menyebar di dapur, memberikan kehangatan yang sedikit menenangkan pikirannya.Sambil menunggu, pikirannya kembali melayang pada kejadian tadi. Cara Rian menepis tangannya, kata-kata kerasnya, dan ekspresi tajamnya yang seolah menuduhnya.“Kenapa aku harus terus peduli pada seseorang yang tidak pernah membukakan
Pagi itu, udara terasa berat meski matahari sudah naik perlahan di langit. Zara membuka matanya, merasakan dinginnya sisi ranjang yang kosong di sebelahnya. Namun, ketika ia berbalik, rasa dingin itu berganti keheranan.Rian masih di sana.Pria itu berbaring diam, punggungnya setengah menghadap Zara. Tubuhnya yang biasanya sigap dan cepat pagi-pagi kini tampak tenggelam dalam lipatan selimut, seperti seorang yang sedang mencari perlindungan."Rian tidak pernah seperti ini," gumamnya.Selama lima tahun pernikahan mereka, Zara sudah terbiasa bangun untuk mendapati Rian sudah pergi atau setidaknya sedang berdiri di depan cermin, menyelaraskan dasi dengan sempurna. Tetapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda.Zara duduk perlahan, tidak ingin mengganggu, tetapi rasa penasarannya semakin kuat. Ia melangkah ke kamar mandi, mencoba melawan pikiran-pikiran yang mulai bermunculan.Ketika ia kembali ke kamar, rambutnya setengah basah, Rian masih di sana. Namun kali ini, i
Setiba di rumah, Rian keluar lebih dulu tanpa menunggu Zara. Pria itu masuk ke dalam rumah tanpa berkata apa-apa, meninggalkan Zara sendirian di luar.Setelah menenangkan diri di teras, Zara masuk ke dalam rumah. Lampu ruang tamu sudah menyala, tetapi suasana terasa sepi. Sepatu Rian sudah tergeletak di rak, menunjukkan bahwa pria itu langsung menuju kamarnya begitu tiba.Ia berdiri di ruang tamu untuk beberapa saat, memandangi ruang kosong yang terasa dingin. Matanya melirik ke arah sofa, tetapi ia tahu tak ada gunanya duduk terlalu lama di sana. Percuma ia mengulur waktu, dia akan tetap bertemu dengan Rian."Kenapa aku tetap berada di sini? Mengharapkan sesuatu yang tidak pernah ada," tanyanya dalam hati.Ia memutuskan untuk langsung menuju kamar, berharap Rian sudah tidur. Ia tidak ingin ada percakapan lagi malam ini, apalagi sekedar basa-basi.Namun, begitu ia membuka pintu kamar, langkahnya terhenti.Rian baru saja selesai mandi, hanya mengenakan handuk
Zara duduk di sebuah kafe kecil di sudut kota, ditemani secangkir kopi dan tatapan tajam sahabatnya, Lena. Setelah pagi yang melelahkan di rumah sakit, ia merasa butuh udara segar. Lena, seperti biasa, menjadi pelariannya dari kebisingan dunia.“Jadi, kamu benar-benar mau cerai, Zar?” Lena memecah keheningan, menatap Zara dengan ekspresi serius.Zara mengaduk-aduk es kopinya, memandangi butiran es yang mulai mencair. “Memangnya apa lagi yang bisa kuharapkan dari pria dingin itu?” jawabnya pelan, tetapi nadanya penuh kekecewaan.Lena menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Lima tahun, Zara. Menurutmu kenapa dia masih bertahan denganmu?”Pertanyaan itu membuat Zara menghentikan gerakannya. Ia menatap Lena, keningnya berkerut.“Apa maksudmu?” tanyanya hati-hati.Lena mendekat, meletakkan sikunya di meja sambil menatap Zara dengan pandangan penuh arti. “Coba pikirkan. Kalau di drama-drama, entah itu menikah kontrak atau pernikahan yang dipaksakan
Zara berdiri di depan pintu, tangan bersedekap di dada. Pandangannya tertuju pada Jerry yang masih duduk di sofa ruang tamu. Tatapannya serius, tetapi di balik sikap tegasnya, ada pergolakan yang tidak bisa ia abaikan.“Jerry, kamu tidak seharusnya ada di sini,” katanya akhirnya, suaranya datar tetapi tegas.Jerry mendongak, menatap Zara dengan sorot mata yang penuh rasa ingin tahu. “Aku merasa kita butuh waktu untuk menyelesaikan semuanya.”“Tidak di sini,” balas Zara cepat. “Ini rumahku, rumahku dan Rian. Aku tidak bisa membiarkanmu datang sesuka hati.”Jerry berdiri perlahan, posturnya masih menunjukkan kelemahan akibat pemulihannya. Tetapi tatapan tajamnya tidak pernah berubah. “Zara, aku hanya ingin tahu bagaimana kehidupanmu tanpa aku.”Zara mengepalkan tangannya, mencoba menahan gejolak emosinya. “Kamu harus pergi. Dan tolong, jangan datang ke sini lagi.”Jerry terdiam sejenak, matanya menatap Zara seolah mencoba mencari sesuatu yang tersembunyi. “Zara
Di ruang kerjanya yang luas, Rian duduk dengan pandangan kosong menatap layar komputer. Laporan yang seharusnya ia tinjau sudah terbuka sejak satu jam yang lalu, tetapi pikirannya sama sekali tidak ada di sana.Sejak pagi, pikirannya dipenuhi oleh Zara dan apa yang terjadi semalam. Ia menggenggam cangkir kopi yang sudah dingin, memutar ulang kejadian malam tadi di benaknya. Zara, wanita yang menjadi istrinya, selalu menjadi misteri baginya.Semalam, untuk pertama kalinya, mereka tidur bersama. Tetapi pagi tadi, saat dia memutuskan untuk pergi dengan kata-kata dingin, ada sesuatu yang membuat dadanya terasa berat. Ia tidak tahu kenapa, atau mungkin ia tahu, tetapi menolak mengakuinya.Pintu ruangannya diketuk pelan, membuyarkan lamunannya. “Masuk,” kata Rian singkat, suaranya rendah.Seorang pria muda, asisten pribadinya, masuk dengan membawa dokumen. “Tuan Rian, ini laporan terakhir dari divisi pemasaran. Anda diminta untuk meninjau sebelum rapat sore ini.”Rian
Jantung Zara berdetak lebih cepat. Pandangannya terpaku pada layar ponsel, dan ia tidak tahu harus berbuat apa. Sudah seminggu lebih sejak Jerry sadar dari koma, tapi Rian tidak pernah membahas atau bertanya soal kondisinya."Apakah dia sudah menjenguk kakaknya?" pikir Zara.Sejak hari itu, Zara merasa semakin jauh dengan Rian. Tetapi dia tidak pernah membahas lagi soal permintaannya untuk bercerai malam itu. Seolah, itu hanyalah angin lalu. Setelah apa yang terjadi semalam, Zara mulai meragukan keputusannya.Ponselnya kembali berdering. Zara menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menjawab. Akhirnya, dengan ragu, ia menggeser layar untuk menerima panggilan.“Halo…” suaranya nyaris berbisik, terdengar serak akibat tangisannya tadi.“Zara?” Suara Jerry terdengar lembut di ujung telepon, tetapi ada nada cemas di dalamnya. “Kamu baik-baik saja?”Pertanyaan itu membuat Zara terdiam sejenak. "Apakah suaraku terdengar seburuk itu hingga Jerry t
Zara segera meraba ponselnya untuk menelepon ambulan, tetapi tangan Rian tiba-tiba bergerak, meski lemah, pria itu mencoba menghentikannya.“Jangan…” gumam Rian, suaranya serak, hampir tidak terdengar.“Rian! Apa yang terjadi padamu? Kamu sakit?” Zara bertanya, suaranya bergetar, campuran antara cemas dan takut.Rian membuka matanya sedikit, tatapannya kabur. Ia mencoba tersenyum kecil, tetapi itu lebih terlihat seperti ekspresi menyakitkan.“Aku hanya… terlalu banyak minum…”“Kenapa kamu seperti ini? Apa yang sebenarnya terjadi?” Zara mendesak, matanya berkaca-kaca.Rian tidak langsung menjawab. Ia menatap Zara dengan pandangan yang sulit dijelaskan, seolah ada sesuatu yang ingin ia katakan tetapi terlalu sulit untuk diungkapkan. Setelah beberapa saat, ia tertawa kecil, tawanya hambar dan penuh ironi.“Kamu tidak perlu khawatir. Aku tidak akan mati hanya karena minuman,” katanya pelan. Ia menutup matanya lagi, kepalanya bersandar ke sofa.Zara hanya