Pagi itu, udara terasa berat meski matahari sudah naik perlahan di langit. Zara membuka matanya, merasakan dinginnya sisi ranjang yang kosong di sebelahnya. Namun, ketika ia berbalik, rasa dingin itu berganti keheranan.
Rian masih di sana.Pria itu berbaring diam, punggungnya setengah menghadap Zara. Tubuhnya yang biasanya sigap dan cepat pagi-pagi kini tampak tenggelam dalam lipatan selimut, seperti seorang yang sedang mencari perlindungan."Rian tidak pernah seperti ini," gumamnya.Selama lima tahun pernikahan mereka, Zara sudah terbiasa bangun untuk mendapati Rian sudah pergi atau setidaknya sedang berdiri di depan cermin, menyelaraskan dasi dengan sempurna. Tetapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda.Zara duduk perlahan, tidak ingin mengganggu, tetapi rasa penasarannya semakin kuat. Ia melangkah ke kamar mandi, mencoba melawan pikiran-pikiran yang mulai bermunculan.Ketika ia kembali ke kamar, rambutnya setengah basah, Rian masih di sana. Namun kali ini, iZara berdiri di dapur, menatap bahan-bahan yang tersisa di atas meja. Air matanya telah berhenti, tetapi hatinya masih terasa berat. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya.“Dia mungkin tidak akan menghargai ini,” gumam Zara pelan, “tapi aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja.”Ia meraih panci kecil dari rak dan menuangkan air ke dalamnya. Kali ini, ia memutuskan untuk membuat sesuatu yang lebih sederhana, bubur ayam. Tanpa jahe, tanpa bumbu tambahan. Hanya bubur hangat yang bisa membantu menenangkan tubuh demam Rian.Zara memotong daun bawang dengan hati-hati, memastikan semuanya tertata rapi. Ketika bubur mulai mendidih, aroma lembut menyebar di dapur, memberikan kehangatan yang sedikit menenangkan pikirannya.Sambil menunggu, pikirannya kembali melayang pada kejadian tadi. Cara Rian menepis tangannya, kata-kata kerasnya, dan ekspresi tajamnya yang seolah menuduhnya.“Kenapa aku harus terus peduli pada seseorang yang tidak pernah membukakan
Zara memutar tubuhnya dengan cepat, tangannya masih menggenggam gagang pintu ketika suara dari televisi menarik perhatiannya."...kecelakaan yang menimpa Jerry Hendrawan lima tahun lalu bukanlah kecelakaan biasa. Jerry Hendrawan, yang baru saja pulih dari koma, mengungkapkan bahwa kecelakaan tersebut diduga disengaja."Zara berdiri membeku. Matanya terpaku pada layar televisi, di mana wajah Jerry muncul dengan ekspresi serius. Ia mengenakan setelan formal, tetapi ada sorot tegas di matanya yang berbeda dari Jerry yang biasa ia kenal.“Pelaku masih bebas, dan saya harap pihak berwenang segera menemukan mereka. Tidak ada lagi alasan untuk menyembunyikan kebenaran,” suara Jerry terdengar jelas meskipun di balik layar.Kata-kata itu menghantam Zara seperti badai. “Kecelakaan disengaja?” pikirnya. Lima tahun lalu, mereka semua menerima kecelakaan itu sebagai musibah. Tidak ada yang pernah berpikir untuk mempertanyakan lebih jauh.Rian mematikan televisi dengan gerakan
Zara tiba di sebuah kafe kecil di sudut kota, tempat yang ia pilih karena suasananya yang tenang. Ia duduk di meja yang terletak di dekat jendela, membiarkan tatapannya mengembara ke luar sambil menunggu Jerry.Beberapa menit kemudian, suara pintu kafe terbuka, dan Zara melihat Jerry melangkah masuk. Wajahnya terlihat lebih segar dibandingkan saat terakhir kali mereka bertemu, tetapi ada sorot tajam di matanya yang menunjukkan keseriusan.Jerry langsung menghampiri Zara, menarik kursi di depannya tanpa berkata apa-apa.“Zara,” katanya pelan, tetapi nada suaranya tegas. “Ada apa? Kamu terlihat cemas.”Zara menghela napas, mencoba mengumpulkan keberaniannya untuk berbicara. “Jerry, aku butuh tahu. Tentang kecelakaanmu lima tahun lalu. Apa yang sebenarnya terjadi?”Pertanyaan itu membuat Jerry terdiam sejenak. Ia menatap Zara dengan mata yang penuh pertimbangan, seolah mencoba memutuskan seberapa banyak yang bisa ia katakan.“Aku baru ingat semuanya setelah sada
Zara berdiri di samping mobilnya, tatapannya kosong memandangi lalu lintas yang padat. Pertemuan dengan Jerry tadi meninggalkan banyak pikiran yang berkecamuk di dalam benaknya. Perhatian Jerry, rasa bersalahnya, dan keinginan pria itu untuk mengungkap kebenaran kecelakaan lima tahun lalu, semuanya membebani Zara seperti gunung yang sulit dipikul.Namun, ia tidak bisa terus berada dalam kebingungan ini. Ia harus mencari jawaban sendiri, tanpa bergantung pada siapa pun.“Kantor polisi,” pikir Zara sambil menggenggam kunci mobilnya erat-erat. “Aku harus ke kantor polisi dan bertemu dengan pria bernama Aldo itu.”Zara masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin dengan tangan yang sedikit gemetar. Jerry hanya menyebutkan Aldo sebagai orang yang memberi tahu informasi samar soal sesuatu yang mencurigakan saat kecelakaan terjadi."Apakah mungkin, Aldo yang di maksud adalah pria yang di tabrak Rian malam itu?" pikir Zara.Setelah memasukkan alamat kantor polisi ke dalam
Zara terhenti di tengah ruangan, tubuhnya membeku seolah tertangkap basah. Ia buru-buru meletakkan dokumen yang tadi sedang ia periksa ke atas meja, gerakannya gugup namun berusaha terlihat tenang.“Aku datang untuk memastikan kamu benar-benar ada di kantor,” jawabnya jujur.Rian menatapnya dengan mata tajam. “Dan kenapa aku harus berbohong?”Zara menghela napas, emosinya mulai muncul ke permukaan. “Karena aku tahu ada sesuatu yang kamu sembunyikan Rian. Dan aku tidak akan berhenti sampai aku tahu apa itu.”Rian melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya dengan pelan. Ia berjalan mendekati meja, berdiri di seberang Zara. “Kalau kamu punya sesuatu yang ingin kamu tanyakan, tanyakan langsung,” katanya, nadanya rendah tetapi mengintimidasi.“Lima tahun lalu, kecelakaan Jerry,” kata Zara, nadanya penuh tekanan. “Apa kamu tahu sesuatu tentang itu?”Rian tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Zara, matanya menyipit sedikit. “Apa yang membuatmu berpikir aku ad
Rian duduk di kursinya dengan gerakan pelan, seolah energi yang tersisa dalam dirinya habis oleh percakapan dengan Zara. Ia menyandarkan tubuhnya, tangannya memegang pelipisnya yang terasa berat."Dia selalu gegabah," gumamnya dengan suara pelan, matanya tertuju pada pintu yang baru saja ditutup Zara.Rian memejamkan mata, membiarkan pikirannya melayang kembali ke kata-kata Zara beberapa waktu lalu. Kata-kata yang terus menghantui dirinya.'Tuan Adrian Hendrawan, ceraikan saya!'Namun, yang lebih menyakitkan dari permintaan itu adalah apa yang Zara katakan setelahnya. “Aku lelah mencintai seseorang yang tidak pernah mencintaiku kembali."Rian membuka matanya perlahan, tatapannya suram. Entah Zara sadar atau tidak, wanita itu selalu bertindak dan berucap semaunya. Tanpa rencana, tanpa mempertimbangkan apa yang mungkin terjadi. Namun kenapa dia masih bertahan dalam pernikahan ini?“Gegabah,” ulang Rian dalam hati. Tapi ia tahu, di balik sikap impulsif Zara, ada
Bu Hanan duduk terpaku di sofa, tatapannya masih terarah ke tangga tempat Zara menghilang. Wajahnya sedikit pucat, dan tangannya yang gemetar membuat Luna, yang duduk di sampingnya, segera bergerak mendekat.“Tante, tidak apa-apa?” tanya Luna, nada suaranya lembut, tetapi perhatian itu terasa seperti dibuat-buat.Bu Hanan menghela napas panjang, mencoba mengendalikan dirinya. “Dia memang agak keras,” jawabnya pelan, suaranya terdengar lelah. “Aku harap kalian bisa akur.”Luna tersenyum tipis, lalu menghela napas dramatis. “Oh, Tante, aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaanmu selama ini. Tante pasti kewalahan kan menghadapi dia? Tenang saja, Tante, aku tidak akan seperti itu.”Bu Hanan menatap Luna dengan senyum kecil yang penuh harapan. “Benar, Luna. Kamu pasti akan menjadi istri yang baik untuk Jerry.”Luna menundukkan kepala sedikit, seolah menunjukkan rasa hormat. Tetapi senyum tipis di wajahnya memperlihatkan kepuasan tersendiri. Ia melirik tangga, seo
Rian meraih jasnya dengan gerakan cepat, mengenakannya tanpa ekspresi. Langkah kakinya terdengar tegas di sepanjang koridor kantor. Tanpa bicara pada siapa pun, ia keluar dari gedung dan memasuki mobilnya. Rian berhenti di sebuah tempat parkir terpencil di pinggiran kota. Tidak ada lampu terang, hanya cahaya dari bulan yang menyinari area itu dengan samar.Sebuah motor berhenti beberapa meter darinya, dan seorang pria turun dengan gerakan lincah. Ia mengenakan jaket hitam dan helm yang segera ia lepas, memperlihatkan wajah yang keras tetapi penuh kewaspadaan.“Sandi,” panggil Rian dengan nada rendah tetapi tegas.Pria itu melangkah mendekat, tangannya memegang sebuah amplop cokelat. “Pak Rian,” jawabnya sambil mengangguk singkat.Rian bersandar pada mobilnya, melipat tangannya di depan dada. “Bagaimana Zara hari ini?” tanyanya, nadanya datar tetapi penuh tekanan.Sandi mengulurkan amplop cokelat itu. “Hari ini dia bertemu dengan seseorang di sebuah kafe. Pri
Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Pernikahan Jerry dan Tasya berlangsung di sebuah taman indah yang dihiasi dengan bunga-bunga putih dan lilin-lilin kecil yang berkelap-kelip. Langit cerah, burung-burung berkicau seolah ikut merayakan kebahagiaan mereka.Di antara para tamu, Rian dan Zara berdiri di barisan depan, tersenyum bangga melihat sahabat mereka akhirnya bersatu dalam ikatan suci.Di samping mereka, dua anak kecil yang menggemaskan, Naomi dan Nathan, anak kembar mereka berlari-lari kecil sambil menggenggam bantal berbentuk hati sambil membawa cincin pernikahan."Tante Tasya cantik sekali!" seru Naomi dengan mata berbinar.Nathan mengangguk setuju. "Om Jerry juga kelihatan keren hari ini!"Zara tersenyum dan berbisik pada Rian, "Mereka lebih bersemangat dari kita."Rian terkekeh. "Ya, lihat saja nanti, mereka pasti ikut heboh di pesta."Sementara itu, Jerry berdiri di altar dengan gugup, menunggu Tasya yang berjalan menuju ke arahnya. Gaun putih pa
Jerry berdiri di depan cermin, merapikan kemeja putihnya yang baru disetrika. Ini bukan pertama kalinya dia merasa gugup, tetapi kali ini berbeda. Hari ini adalah hari di mana dia akan mengambil langkah terbesar dalam hidupnya.Melamar Tasya.Setelah berbicara dengan kedua orang tua Tasya beberapa hari lalu, dia semakin yakin bahwa ini adalah keputusan yang tepat. Dia tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Dia mencintai Tasya, dan dia ingin menghabiskan sisa hidupnya bersamanya.Jerry telah merencanakan semuanya dengan matang. Dia ingin momen ini menjadi sesuatu yang Tasya kenang selamanya. Dia memilih restoran rooftop eksklusif dengan pemandangan kota yang indah di malam hari.Di sana, dia sudah menyiapkan dekorasi dengan lilin-lilin kecil, kelopak bunga mawar, dan musik romantis yang akan mengiringi makan malam mereka.Tidak hanya itu, Jerry juga meminta bantuan sahabat-sahabat Tasya untuk memastikan semuanya berjalan lancar. Sahabat terbaik Tasya, Rina dan Dita
Malam itu, Jerry duduk di dalam mobilnya, menatap ponselnya dengan ragu. Jarinya berulang kali melayang di atas nama Tasya, tetapi ia tidak juga menekan tombol panggil.Setelah percakapan dengan Rian, pikirannya semakin kacau. Dia ingin berbicara dengan Tasya, ingin meyakinkan bahwa perasaannya tulus. Namun, dia juga tidak ingin membuat perempuan itu semakin menjauh.Akhirnya, dengan tekad yang sudah bulat, Jerry keluar dari mobilnya dan berjalan menuju rumah sakit tempat Tasya bekerja. Dia tahu jam kerja perempuan itu hampir selesai. Jika dia ingin bicara, ini adalah kesempatan terbaiknya.Saat ia sampai di lobi rumah sakit, matanya segera menangkap sosok Tasya yang sedang berbicara dengan seorang pria berseragam dokter. Jerry mengenali pria itu, dokter Alex, rekan kerja Tasya yang pernah beberapa kali ia dengar namanya disebut dalam percakapan mereka.Ada sesuatu dalam cara Tasya tertawa kecil yang membuat Jerry merasa gelisah. Itu adalah tawa yang dulu sering ia d
Beberapa hari berlalu sejak percakapan itu, dan Jerry mulai menyadari sesuatu yang aneh. Tasya tidak lagi menghubunginya seperti sebelumnya. Tidak ada pesan singkat menanyakan kabarnya, tidak ada ajakan makan siang atau sekadar berbagi cerita.Jika biasanya Tasya selalu hadir dengan senyumannya yang hangat, kini dia seakan menghilang begitu saja.Awalnya, Jerry berpikir bahwa Tasya hanya sibuk dengan pekerjaannya di rumah sakit. Tapi ketika dia mencoba menghubunginya, hanya balasan singkat yang ia dapatkan, atau bahkan pesan yang tidak pernah dibalas sama sekali.Rasa penasaran mulai mengusik Jerry. Ada sesuatu yang terjadi, dan dia ingin tahu alasannya. Sore itu, dia memutuskan untuk menunggu di luar rumah sakit tempat Tasya bekerja.Setelah beberapa jam berlalu, akhirnya dia melihat sosok perempuan itu keluar dari gedung dengan wajah lelah. Tasya tampak terkejut ketika melihat Jerry berdiri di sana.“Tasya,” panggil Jerry pelan.Tasya menghentikan langkahny
Hari-hari berlalu sejak Jerry membantu Tasya mendapatkan pekerjaan di rumah sakit. Semakin sering mereka bertemu, semakin banyak pula percakapan yang mereka bagi.Jerry, yang biasanya tertutup, mulai menemukan kenyamanan dalam keberadaan Tasya. Sementara itu, Tasya juga merasakan sesuatu yang berbeda saat berbicara dengan Jerry.Suatu sore setelah jam kerja, Tasya sedang membereskan berkas-berkas pasien di meja resepsionis. Jerry, yang kebetulan baru menyelesaikan pertemuan dengan direktur rumah sakit, melihat Tasya yang terlihat lelah."Masih sibuk?" tanya Jerry sambil menyandarkan tangannya di meja.Tasya menoleh dan tersenyum tipis. "Iya, harus menyelesaikan ini dulu sebelum pulang. Kamu sendiri, kenapa masih di sini?"Jerry mengangkat bahunya. "Menunggu seseorang," jawabnya santai."Menunggu siapa?" Tasya bertanya sambil melirik jam tangannya. Rumah sakit sudah mulai sepi, hanya tersisa beberapa staf yang juga bersiap untuk pulang.Jerry tersenyum kec
Jerry melangkah memasuki supermarket dengan langkah santai. Acara pernikahan Lena dan Sandi tadi cukup melelahkan, dan sekarang ia hanya ingin membeli minuman dingin untuk menyegarkan pikirannya.Setelah mengambil sebotol air mineral dari lemari pendingin, ia beranjak ke kasir. Saat itu, matanya menangkap sosok seorang wanita yang sedang sibuk merapikan barang di rak dekat kasir.Rambut panjangnya diikat ke belakang, dan ia mengenakan seragam pegawai supermarket berwarna hijau. Ketika wanita itu berbalik, mata mereka bertemu, dan keduanya terdiam."Tasya?" Jerry mengernyit, mencoba memastikan bahwa penglihatannya tidak salah.Wanita itu pun terkejut, lalu tersenyum setelah memastikan siapa yang berdiri di hadapannya. "Jerry? Ya ampun, lama sekali kita tidak bertemu!" serunya dengan nada antusias.Jerry mengangguk pelan, masih memproses fakta bahwa ia bertemu dengan teman Zara di masa lalu. "Sudah lama sekali. Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini."
Rian tiba-tiba saja berjongkok di hadapan istrinya, mengeluarkan sebuah kotak dari sakunya. Dia mengungkapkan cintanya, melamar Zara lagi. Dia bilang, mungkin dulu mereka menikah karena paksaan dan Rian hanyalah peran pengganti Jerry. Namun, sekarang Rian ingin hidup bersama dengan Zara, saling mencintai.Zara menatap Rian dengan mata berkaca-kaca. Dadanya bergemuruh, campuran antara keterkejutan dan kebahagiaan yang tak bisa dijelaskan. "Rian..." suaranya hampir tak terdengar.Rian membuka kotak kecil itu, menampilkan cincin berlian yang berkilauan di bawah cahaya lampu taman mereka. "Zara, aku ingin kita memulai kembali. Kali ini, bukan karena keadaan atau paksaan. Aku ingin menikahimu lagi, dengan sepenuh hati dan dengan rasa cinta yang tak terbantahkan."Zara menutup mulutnya, air mata mulai mengalir. Hatinya berdesir hangat mendengar pengakuan itu. Sejak dulu, ia selalu mempertanyakan bagaimana perasaan Rian sebenarnya. Apakah ia hanya menjadi bayanga
Hari itu, suasana di Hendrawan Group terasa berbeda. Para karyawan berbisik-bisik sejak pagi, membicarakan satu hal yang menjadi pusat perhatian mereka. Kembalinya Jerry Hendrawan sedang menjadi topik hangat. Setelah empat tahun berlalu, nama Jerry kembali menggema di dalam gedung perusahaan.Sejak kepergiannya, banyak hal telah berubah. Rian, yang selama ini mengelola perusahaan, sudah menyiapkan semuanya. Ia tidak ingin ada kekacauan atau ketidakjelasan dalam transisi ini. Bagaimanapun, Jerry adalah pemilik sah Hendrawan Group, dan Rian tahu saatnya sudah tiba untuk mengembalikan hak tersebut.Saat Jerry memasuki gedung, semua mata tertuju padanya. Pria itu mengenakan setelan hitam dengan kemeja putih bersih, langkahnya tegas dan penuh percaya diri. Tidak ada lagi bayangan pria yang dulu penuh kemarahan dan dendam. Wajahnya terlihat lebih matang, lebih tenang, meskipun masih menyimpan ketegasan yang khas.Ketika lift membawanya ke lantai eksekutif, sekretaris Rian sege
Zara melangkah memasuki rumah sakit dengan perasaan campur aduk. Setelah sekian lama absen dari dunia medis, hari ini adalah hari pertamanya kembali bertugas sebagai dokter.Meskipun ia sudah terbiasa membantu Rian di perusahaan, dunia rumah sakit adalah tempat di mana hatinya benar-benar berada. Perasaan nostalgia langsung menyergapnya begitu ia melewati koridor yang dulu sangat akrab baginya."Selamat datang kembali, Dokter Zara," sapa salah satu perawat yang dikenalnya, Rina, dengan senyum ramah.Zara membalas dengan anggukan hangat. "Terima kasih, Rina. Bagaimana keadaan di sini? Apa ada perubahan besar selama aku pergi?"Rina tertawa kecil. "Tidak banyak, hanya saja kami kehilangan seorang dokter yang sangat berdedikasi. Sekarang, kami senang karena dokter itu kembali."Zara tersenyum, lalu melanjutkan langkahnya menuju ruang ganti. Ia mengenakan jas putihnya dengan perasaan familiar yang menyenangkan. Setelah merapikan rambutnya, ia menuju ruang rapat untuk