Rian meraih jasnya dengan gerakan cepat, mengenakannya tanpa ekspresi. Langkah kakinya terdengar tegas di sepanjang koridor kantor. Tanpa bicara pada siapa pun, ia keluar dari gedung dan memasuki mobilnya.
Rian berhenti di sebuah tempat parkir terpencil di pinggiran kota. Tidak ada lampu terang, hanya cahaya dari bulan yang menyinari area itu dengan samar.Sebuah motor berhenti beberapa meter darinya, dan seorang pria turun dengan gerakan lincah. Ia mengenakan jaket hitam dan helm yang segera ia lepas, memperlihatkan wajah yang keras tetapi penuh kewaspadaan.“Sandi,” panggil Rian dengan nada rendah tetapi tegas.Pria itu melangkah mendekat, tangannya memegang sebuah amplop cokelat. “Pak Rian,” jawabnya sambil mengangguk singkat.Rian bersandar pada mobilnya, melipat tangannya di depan dada. “Bagaimana Zara hari ini?” tanyanya, nadanya datar tetapi penuh tekanan.Sandi mengulurkan amplop cokelat itu. “Hari ini dia bertemu dengan seseorang di sebuah kafe. PriPagi itu, Zara terbangun lebih awal dari biasanya. Ia duduk di tepi tempat tidur, menatap kosong ke arah lantai. Pikirannya penuh dengan berbagai pertimbangan tentang permintaan Rian dan desakan Bu Hanan untuk meninggalkan pekerjaannya di rumah sakit.Setelah menarik napas panjang, ia memutuskan untuk segera bersiap ke rumah sakit. Setiba di sana, Zara menyusuri lorong-lorong yang penuh dengan pasien dan perawat yang berlalu-lalang.Ia berhenti di depan sebuah kamar pasien, seorang anak kecil yang selama ini ia rawat tampak tersenyum lemah ke arahnya.“Dokter Zara!” seru anak itu dengan suara pelan tetapi penuh antusias.Zara tersenyum, meski hatinya terasa berat. Ia melangkah masuk, mendekati tempat tidur anak itu. “Bagaimana perasaanmu hari ini, Riko?” tanyanya lembut.Riko mengangguk kecil. “Sudah lebih baik, Dok. Terima kasih karena selalu merawat aku.”Kata-kata sederhana itu membuat hati Zara mencelos. Ia menyentuh kepala Riko dengan lembut, merasa sema
Hari itu terasa begitu panjang bagi Zara. Beban pekerjaan menumpuk setelah ia mengambil cuti kemarin. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam, tetapi ia masih berada di rumah sakit, menyelesaikan laporan pasien yang tertunda.“Apa aku harus pergi?” pikirnya. “Apa yang sebenarnya ingin Jerry bicarakan?”Namun, meski ia mencoba mencari alasan untuk membatalkan, ada dorongan kuat dalam hatinya yang tidak bisa ia abaikan.Setelah selesai dengan pekerjaannya, Zara melangkah keluar dari rumah sakit dengan langkah pelan. Udara malam yang dingin menyambutnya, mengingatkan betapa lelah tubuhnya setelah seharian bekerja.Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti, matanya langsung menangkap sosok Jerry yang berdiri di bawah lampu jalan dengan postur tegap.Jerry mengenakan jas hitam yang rapi, potongan modern yang pas membalut tubuh atletisnya. Rambutnya tertata sempurna, dan dasinya berwarna gelap memberi kesan elegan. Zara menatapnya dengan alis terangkat, bingung sekalig
Zara menarik tangannya dari genggaman Jerry, berdiri dan melangkah menjauh beberapa langkah. Tubuhnya bergetar, berusaha menahan emosi yang membanjirinya.“Ini tidak sesederhana yang kamu pikirkan, Jerry,” katanya akhirnya, memunggungi Jerry. Jerry tersenyum kecil, meskipun ada rasa sakit di balik senyum itu. “Aku tahu. Tapi aku juga tahu bahwa kamu adalah hal terbaik yang pernah ada dalam hidupku, dan aku tidak akan menyerah untuk memperjuangkanmu.”Zara terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Hatinya terasa seperti diperas, penuh dengan emosi yang bercampur aduk.Ketika akhirnya mereka kembali ke mobil, suasana di antara mereka terasa berat. Jerry memegang setir dengan tenang, tetapi sorot matanya tetap serius, seolah sedang memikirkan sesuatu yang mendalam. Zara duduk di sampingnya, memandangi jendela dengan tatapan kosong.“Jerry…” kata Zara akhirnya, suaranya hampir tidak terdengar.Jerry meliriknya sekilas, tetapi tidak menjawab. Ia hanya mengangkat ali
Rian duduk di meja makan yang penuh dengan makanan mewah. Piring-piring porselen dengan hiasan emas mengelilingi meja, masing-masing berisi hidangan yang tampak sempurna. Sebotol anggur merah terletak di tengah meja, berdampingan dengan dua gelas kristal yang belum tersentuh.Tangannya mengetuk meja dengan pelan, sementara pandangannya terus bergantian antara jam dinding dan arloji di pergelangan tangannya. Pukul sembilan lewat sepuluh menit.Rian menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke kursi. Pikirannya berkecamuk, mengingat bagaimana Zara pergi pagi-pagi buta tanpa banyak bicara. Ia tahu dirinya terlalu keras pada Zara, terutama setelah pertengkaran semalam.“Seharusnya aku tidak mengatakan itu,” pikirnya.Makanan-makanan di atas meja itu tidak dibeli, melainkan hasil usahanya sendiri. Rian yang dingin dan selalu terlihat sempurna, sebenarnya tidak pernah memasak. Namun, malam ini ia melakukannya, sebuah langkah yang tidak biasa baginya.Ia memandangi
Zara bergegas ke kamar, membuka lemari dengan kasar. Ia meraih koper yang tersimpan di sudut, membukanya dengan tangan yang gemetar. Air mata mengalir tanpa ia sadari, tetapi ia menolak untuk membiarkan dirinya berhenti.“Kalau dia tidak ingin aku di sini, aku tidak akan memaksakan diri,” gumam Zara pelan, seperti mencoba meyakinkan dirinya sendiri.Ia meraih beberapa pakaian, melipatnya dengan tergesa-gesa dan memasukkannya ke dalam koper. Namun, ketika ia menemukan gaun putih yang dulu ia kenakan saat pernikahan mereka, tangannya berhenti.Matanya memandangi gaun itu, mengingat kembali hari itu. Hari di mana ia berdiri di altar, mengucapkan janji pernikahan yang tidak pernah ia yakini sepenuhnya.“Ini semua hanya kesalahan,” bisiknya, suaranya bergetar.Sementara itu, Rian berdiri di ruang tamu, menatap kosong ke arah tangga. Ia bisa mendengar suara koper yang diseret di lantai kamar, dan hatinya semakin terasa berat.Namun, ia tetap tidak bergerak, tidak m
Zara berdiri di depan pintu rumah ibunya, koper kecil tergenggam erat di tangannya. Udara malam terasa dingin, tetapi hatinya lebih dingin lagi. Rumah itu masih sama seperti terakhir kali ia tinggalkan.Ia mengetuk pintu dengan ragu. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka, memperlihatkan wajah ibunya yang terkejut.“Zara? Kamu pulang?” tanya Bu Sari, matanya memindai Zara dengan penuh kekhawatiran.Tetapi pandangannya segera beralih ke Jerry yang berdiri di samping Zara. Alisnya mengerut. “Kamu datang dengan… Jerry? Di mana Rian?”Zara tidak langsung menjawab, hanya memandang ibunya dengan tatapan yang sulit diartikan. “Bu, bolehkah aku masuk?” tanyanya pelan.Bu Sari melangkah ke samping, memberi ruang untuk Zara dan Jerry masuk. Ia tetap diam, meskipun pikirannya dipenuhi tanda tanya. Begitu Zara duduk di sofa, Jerry meletakkan koper Zara di sudut ruangan dengan hati-hati sebelum duduk di kursi di sebelahnya.“Zara, ada apa?” tanya Bu Sari akhirnya, duduk d
Di perjalanan pulang, Jerry duduk di balik kemudi dengan tenang, menikmati kesunyian malam. Lampu-lampu jalan yang redup menerangi jalannya, tetapi pikirannya tidak benar-benar fokus.Ketika ponselnya menyala di kursi penumpang, Jerry melirik sekilas. Nama Zara terpampang di layar. Hatinya langsung berdebar, berharap sesuatu yang baik.Namun, harapannya langsung hancur ketika ia membaca pesan itu."Jerry, aku sudah mempertimbangkannya... Ibumu sudah memilihkan calon istri untukmu dan mengenalkannya padaku. Dia terlihat baik, jadi sebaiknya kita menjaga jarak. Aku tidak ingin menjadi penghalang kebahagiaanmu kali ini."Jerry menggenggam ponselnya dengan erat, rahangnya mengeras. Napasnya mulai tidak teratur, tanda bahwa emosi yang ia tahan mulai meletup. Ia memandang jalan di depannya dengan tatapan tajam, tetapi pikirannya berputar-putar pada pesan Zara."Ibu..." gumamnya dengan nada penuh kemarahan.Jerry memacu mobilnya lebih cepat, kecepatannya melampaui b
Rian duduk di ruang tamu, tubuhnya bersandar di sofa dengan kepala yang tertunduk lemas. Sejak kepergian Zara, pikirannya tidak bisa tenang. Jam di dinding menunjukkan hampir pukul tiga pagi, tetapi Rian sama sekali tidak berniat untuk tidur.Ketukan di pintu membuatnya tersentak. Harapan kecil muncul di dadanya, meski ia mencoba menyangkalnya.“Zara…” pikirnya, sambil melangkah cepat menuju pintu.Namun, begitu ia membuka pintu, harapan itu langsung hancur. Jerry berdiri di sana, dengan jas rapi dan kantong belanjaan di tangannya.“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Rian tajam, nadanya penuh ketidakpercayaan.Jerry tidak menjawab. Dengan langkah percaya diri, ia masuk ke dalam rumah tanpa menunggu undangan dari Rian. Pria itu berjalan langsung ke meja makan, meletakkan kantong belanjaan di atasnya, lalu mulai membukanya.Rian berdiri di pintu, memandang dengan alis terangkat. “Aku tidak ingat mengundangmu masuk,” katanya dingin, menutup pintu dengan gerak
Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Pernikahan Jerry dan Tasya berlangsung di sebuah taman indah yang dihiasi dengan bunga-bunga putih dan lilin-lilin kecil yang berkelap-kelip. Langit cerah, burung-burung berkicau seolah ikut merayakan kebahagiaan mereka.Di antara para tamu, Rian dan Zara berdiri di barisan depan, tersenyum bangga melihat sahabat mereka akhirnya bersatu dalam ikatan suci.Di samping mereka, dua anak kecil yang menggemaskan, Naomi dan Nathan, anak kembar mereka berlari-lari kecil sambil menggenggam bantal berbentuk hati sambil membawa cincin pernikahan."Tante Tasya cantik sekali!" seru Naomi dengan mata berbinar.Nathan mengangguk setuju. "Om Jerry juga kelihatan keren hari ini!"Zara tersenyum dan berbisik pada Rian, "Mereka lebih bersemangat dari kita."Rian terkekeh. "Ya, lihat saja nanti, mereka pasti ikut heboh di pesta."Sementara itu, Jerry berdiri di altar dengan gugup, menunggu Tasya yang berjalan menuju ke arahnya. Gaun putih pa
Jerry berdiri di depan cermin, merapikan kemeja putihnya yang baru disetrika. Ini bukan pertama kalinya dia merasa gugup, tetapi kali ini berbeda. Hari ini adalah hari di mana dia akan mengambil langkah terbesar dalam hidupnya.Melamar Tasya.Setelah berbicara dengan kedua orang tua Tasya beberapa hari lalu, dia semakin yakin bahwa ini adalah keputusan yang tepat. Dia tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Dia mencintai Tasya, dan dia ingin menghabiskan sisa hidupnya bersamanya.Jerry telah merencanakan semuanya dengan matang. Dia ingin momen ini menjadi sesuatu yang Tasya kenang selamanya. Dia memilih restoran rooftop eksklusif dengan pemandangan kota yang indah di malam hari.Di sana, dia sudah menyiapkan dekorasi dengan lilin-lilin kecil, kelopak bunga mawar, dan musik romantis yang akan mengiringi makan malam mereka.Tidak hanya itu, Jerry juga meminta bantuan sahabat-sahabat Tasya untuk memastikan semuanya berjalan lancar. Sahabat terbaik Tasya, Rina dan Dita
Malam itu, Jerry duduk di dalam mobilnya, menatap ponselnya dengan ragu. Jarinya berulang kali melayang di atas nama Tasya, tetapi ia tidak juga menekan tombol panggil.Setelah percakapan dengan Rian, pikirannya semakin kacau. Dia ingin berbicara dengan Tasya, ingin meyakinkan bahwa perasaannya tulus. Namun, dia juga tidak ingin membuat perempuan itu semakin menjauh.Akhirnya, dengan tekad yang sudah bulat, Jerry keluar dari mobilnya dan berjalan menuju rumah sakit tempat Tasya bekerja. Dia tahu jam kerja perempuan itu hampir selesai. Jika dia ingin bicara, ini adalah kesempatan terbaiknya.Saat ia sampai di lobi rumah sakit, matanya segera menangkap sosok Tasya yang sedang berbicara dengan seorang pria berseragam dokter. Jerry mengenali pria itu, dokter Alex, rekan kerja Tasya yang pernah beberapa kali ia dengar namanya disebut dalam percakapan mereka.Ada sesuatu dalam cara Tasya tertawa kecil yang membuat Jerry merasa gelisah. Itu adalah tawa yang dulu sering ia d
Beberapa hari berlalu sejak percakapan itu, dan Jerry mulai menyadari sesuatu yang aneh. Tasya tidak lagi menghubunginya seperti sebelumnya. Tidak ada pesan singkat menanyakan kabarnya, tidak ada ajakan makan siang atau sekadar berbagi cerita.Jika biasanya Tasya selalu hadir dengan senyumannya yang hangat, kini dia seakan menghilang begitu saja.Awalnya, Jerry berpikir bahwa Tasya hanya sibuk dengan pekerjaannya di rumah sakit. Tapi ketika dia mencoba menghubunginya, hanya balasan singkat yang ia dapatkan, atau bahkan pesan yang tidak pernah dibalas sama sekali.Rasa penasaran mulai mengusik Jerry. Ada sesuatu yang terjadi, dan dia ingin tahu alasannya. Sore itu, dia memutuskan untuk menunggu di luar rumah sakit tempat Tasya bekerja.Setelah beberapa jam berlalu, akhirnya dia melihat sosok perempuan itu keluar dari gedung dengan wajah lelah. Tasya tampak terkejut ketika melihat Jerry berdiri di sana.“Tasya,” panggil Jerry pelan.Tasya menghentikan langkahny
Hari-hari berlalu sejak Jerry membantu Tasya mendapatkan pekerjaan di rumah sakit. Semakin sering mereka bertemu, semakin banyak pula percakapan yang mereka bagi.Jerry, yang biasanya tertutup, mulai menemukan kenyamanan dalam keberadaan Tasya. Sementara itu, Tasya juga merasakan sesuatu yang berbeda saat berbicara dengan Jerry.Suatu sore setelah jam kerja, Tasya sedang membereskan berkas-berkas pasien di meja resepsionis. Jerry, yang kebetulan baru menyelesaikan pertemuan dengan direktur rumah sakit, melihat Tasya yang terlihat lelah."Masih sibuk?" tanya Jerry sambil menyandarkan tangannya di meja.Tasya menoleh dan tersenyum tipis. "Iya, harus menyelesaikan ini dulu sebelum pulang. Kamu sendiri, kenapa masih di sini?"Jerry mengangkat bahunya. "Menunggu seseorang," jawabnya santai."Menunggu siapa?" Tasya bertanya sambil melirik jam tangannya. Rumah sakit sudah mulai sepi, hanya tersisa beberapa staf yang juga bersiap untuk pulang.Jerry tersenyum kec
Jerry melangkah memasuki supermarket dengan langkah santai. Acara pernikahan Lena dan Sandi tadi cukup melelahkan, dan sekarang ia hanya ingin membeli minuman dingin untuk menyegarkan pikirannya.Setelah mengambil sebotol air mineral dari lemari pendingin, ia beranjak ke kasir. Saat itu, matanya menangkap sosok seorang wanita yang sedang sibuk merapikan barang di rak dekat kasir.Rambut panjangnya diikat ke belakang, dan ia mengenakan seragam pegawai supermarket berwarna hijau. Ketika wanita itu berbalik, mata mereka bertemu, dan keduanya terdiam."Tasya?" Jerry mengernyit, mencoba memastikan bahwa penglihatannya tidak salah.Wanita itu pun terkejut, lalu tersenyum setelah memastikan siapa yang berdiri di hadapannya. "Jerry? Ya ampun, lama sekali kita tidak bertemu!" serunya dengan nada antusias.Jerry mengangguk pelan, masih memproses fakta bahwa ia bertemu dengan teman Zara di masa lalu. "Sudah lama sekali. Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini."
Rian tiba-tiba saja berjongkok di hadapan istrinya, mengeluarkan sebuah kotak dari sakunya. Dia mengungkapkan cintanya, melamar Zara lagi. Dia bilang, mungkin dulu mereka menikah karena paksaan dan Rian hanyalah peran pengganti Jerry. Namun, sekarang Rian ingin hidup bersama dengan Zara, saling mencintai.Zara menatap Rian dengan mata berkaca-kaca. Dadanya bergemuruh, campuran antara keterkejutan dan kebahagiaan yang tak bisa dijelaskan. "Rian..." suaranya hampir tak terdengar.Rian membuka kotak kecil itu, menampilkan cincin berlian yang berkilauan di bawah cahaya lampu taman mereka. "Zara, aku ingin kita memulai kembali. Kali ini, bukan karena keadaan atau paksaan. Aku ingin menikahimu lagi, dengan sepenuh hati dan dengan rasa cinta yang tak terbantahkan."Zara menutup mulutnya, air mata mulai mengalir. Hatinya berdesir hangat mendengar pengakuan itu. Sejak dulu, ia selalu mempertanyakan bagaimana perasaan Rian sebenarnya. Apakah ia hanya menjadi bayanga
Hari itu, suasana di Hendrawan Group terasa berbeda. Para karyawan berbisik-bisik sejak pagi, membicarakan satu hal yang menjadi pusat perhatian mereka. Kembalinya Jerry Hendrawan sedang menjadi topik hangat. Setelah empat tahun berlalu, nama Jerry kembali menggema di dalam gedung perusahaan.Sejak kepergiannya, banyak hal telah berubah. Rian, yang selama ini mengelola perusahaan, sudah menyiapkan semuanya. Ia tidak ingin ada kekacauan atau ketidakjelasan dalam transisi ini. Bagaimanapun, Jerry adalah pemilik sah Hendrawan Group, dan Rian tahu saatnya sudah tiba untuk mengembalikan hak tersebut.Saat Jerry memasuki gedung, semua mata tertuju padanya. Pria itu mengenakan setelan hitam dengan kemeja putih bersih, langkahnya tegas dan penuh percaya diri. Tidak ada lagi bayangan pria yang dulu penuh kemarahan dan dendam. Wajahnya terlihat lebih matang, lebih tenang, meskipun masih menyimpan ketegasan yang khas.Ketika lift membawanya ke lantai eksekutif, sekretaris Rian sege
Zara melangkah memasuki rumah sakit dengan perasaan campur aduk. Setelah sekian lama absen dari dunia medis, hari ini adalah hari pertamanya kembali bertugas sebagai dokter.Meskipun ia sudah terbiasa membantu Rian di perusahaan, dunia rumah sakit adalah tempat di mana hatinya benar-benar berada. Perasaan nostalgia langsung menyergapnya begitu ia melewati koridor yang dulu sangat akrab baginya."Selamat datang kembali, Dokter Zara," sapa salah satu perawat yang dikenalnya, Rina, dengan senyum ramah.Zara membalas dengan anggukan hangat. "Terima kasih, Rina. Bagaimana keadaan di sini? Apa ada perubahan besar selama aku pergi?"Rina tertawa kecil. "Tidak banyak, hanya saja kami kehilangan seorang dokter yang sangat berdedikasi. Sekarang, kami senang karena dokter itu kembali."Zara tersenyum, lalu melanjutkan langkahnya menuju ruang ganti. Ia mengenakan jas putihnya dengan perasaan familiar yang menyenangkan. Setelah merapikan rambutnya, ia menuju ruang rapat untuk