Rian duduk di meja makan yang penuh dengan makanan mewah. Piring-piring porselen dengan hiasan emas mengelilingi meja, masing-masing berisi hidangan yang tampak sempurna. Sebotol anggur merah terletak di tengah meja, berdampingan dengan dua gelas kristal yang belum tersentuh.
Tangannya mengetuk meja dengan pelan, sementara pandangannya terus bergantian antara jam dinding dan arloji di pergelangan tangannya. Pukul sembilan lewat sepuluh menit.Rian menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke kursi. Pikirannya berkecamuk, mengingat bagaimana Zara pergi pagi-pagi buta tanpa banyak bicara. Ia tahu dirinya terlalu keras pada Zara, terutama setelah pertengkaran semalam.“Seharusnya aku tidak mengatakan itu,” pikirnya.Makanan-makanan di atas meja itu tidak dibeli, melainkan hasil usahanya sendiri. Rian yang dingin dan selalu terlihat sempurna, sebenarnya tidak pernah memasak. Namun, malam ini ia melakukannya, sebuah langkah yang tidak biasa baginya.Ia memandangiZara bergegas ke kamar, membuka lemari dengan kasar. Ia meraih koper yang tersimpan di sudut, membukanya dengan tangan yang gemetar. Air mata mengalir tanpa ia sadari, tetapi ia menolak untuk membiarkan dirinya berhenti.“Kalau dia tidak ingin aku di sini, aku tidak akan memaksakan diri,” gumam Zara pelan, seperti mencoba meyakinkan dirinya sendiri.Ia meraih beberapa pakaian, melipatnya dengan tergesa-gesa dan memasukkannya ke dalam koper. Namun, ketika ia menemukan gaun putih yang dulu ia kenakan saat pernikahan mereka, tangannya berhenti.Matanya memandangi gaun itu, mengingat kembali hari itu. Hari di mana ia berdiri di altar, mengucapkan janji pernikahan yang tidak pernah ia yakini sepenuhnya.“Ini semua hanya kesalahan,” bisiknya, suaranya bergetar.Sementara itu, Rian berdiri di ruang tamu, menatap kosong ke arah tangga. Ia bisa mendengar suara koper yang diseret di lantai kamar, dan hatinya semakin terasa berat.Namun, ia tetap tidak bergerak, tidak m
Zara berdiri di depan pintu rumah ibunya, koper kecil tergenggam erat di tangannya. Udara malam terasa dingin, tetapi hatinya lebih dingin lagi. Rumah itu masih sama seperti terakhir kali ia tinggalkan.Ia mengetuk pintu dengan ragu. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka, memperlihatkan wajah ibunya yang terkejut.“Zara? Kamu pulang?” tanya Bu Sari, matanya memindai Zara dengan penuh kekhawatiran.Tetapi pandangannya segera beralih ke Jerry yang berdiri di samping Zara. Alisnya mengerut. “Kamu datang dengan… Jerry? Di mana Rian?”Zara tidak langsung menjawab, hanya memandang ibunya dengan tatapan yang sulit diartikan. “Bu, bolehkah aku masuk?” tanyanya pelan.Bu Sari melangkah ke samping, memberi ruang untuk Zara dan Jerry masuk. Ia tetap diam, meskipun pikirannya dipenuhi tanda tanya. Begitu Zara duduk di sofa, Jerry meletakkan koper Zara di sudut ruangan dengan hati-hati sebelum duduk di kursi di sebelahnya.“Zara, ada apa?” tanya Bu Sari akhirnya, duduk d
Di perjalanan pulang, Jerry duduk di balik kemudi dengan tenang, menikmati kesunyian malam. Lampu-lampu jalan yang redup menerangi jalannya, tetapi pikirannya tidak benar-benar fokus.Ketika ponselnya menyala di kursi penumpang, Jerry melirik sekilas. Nama Zara terpampang di layar. Hatinya langsung berdebar, berharap sesuatu yang baik.Namun, harapannya langsung hancur ketika ia membaca pesan itu."Jerry, aku sudah mempertimbangkannya... Ibumu sudah memilihkan calon istri untukmu dan mengenalkannya padaku. Dia terlihat baik, jadi sebaiknya kita menjaga jarak. Aku tidak ingin menjadi penghalang kebahagiaanmu kali ini."Jerry menggenggam ponselnya dengan erat, rahangnya mengeras. Napasnya mulai tidak teratur, tanda bahwa emosi yang ia tahan mulai meletup. Ia memandang jalan di depannya dengan tatapan tajam, tetapi pikirannya berputar-putar pada pesan Zara."Ibu..." gumamnya dengan nada penuh kemarahan.Jerry memacu mobilnya lebih cepat, kecepatannya melampaui b
Rian duduk di ruang tamu, tubuhnya bersandar di sofa dengan kepala yang tertunduk lemas. Sejak kepergian Zara, pikirannya tidak bisa tenang. Jam di dinding menunjukkan hampir pukul tiga pagi, tetapi Rian sama sekali tidak berniat untuk tidur.Ketukan di pintu membuatnya tersentak. Harapan kecil muncul di dadanya, meski ia mencoba menyangkalnya.“Zara…” pikirnya, sambil melangkah cepat menuju pintu.Namun, begitu ia membuka pintu, harapan itu langsung hancur. Jerry berdiri di sana, dengan jas rapi dan kantong belanjaan di tangannya.“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Rian tajam, nadanya penuh ketidakpercayaan.Jerry tidak menjawab. Dengan langkah percaya diri, ia masuk ke dalam rumah tanpa menunggu undangan dari Rian. Pria itu berjalan langsung ke meja makan, meletakkan kantong belanjaan di atasnya, lalu mulai membukanya.Rian berdiri di pintu, memandang dengan alis terangkat. “Aku tidak ingat mengundangmu masuk,” katanya dingin, menutup pintu dengan gerak
Rian tertegun, tubuhnya mendadak terasa dingin. Pikirannya berputar cepat, mencoba memahami apa yang baru saja ia dengar. “Kabur?” ulangnya dengan penuh tekanan.“Ya, Pak. Dia kabur tadi malam. Polisi baru saja mengonfirmasi berita itu. Sepertinya ada yang membantu dia melarikan diri.”Rian menekan pelipisnya, napasnya menjadi berat. Nama Aldo adalah nama yang selalu ia coba singkirkan dari keluarganya, nama yang menjadi bayang-bayang dari masa lalu yang kelam.“Berapa lama ini sudah terjadi?” tanya Rian, suaranya kembali dingin, mencoba menyembunyikan kekhawatirannya.“Kurang dari 24 jam,” jawab Sandi. “Dia menghilang tanpa jejak. Polisi sedang melakukan pencarian besar-besaran.”Rian berdiri, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. “Apa ada indikasi dia akan mencoba menghubungi siapa pun dari keluarga Wijaya?” tanyanya dengan nada penuh kendali.Sandi terdiam sejenak sebelum menjawab, “Belum ada informasi pasti, Pak. Tapi dia mungkin akan mencoba sesuatu
Zara membuka pintu ruang VIP dengan tergesa, tas kerjanya terjepit di tangan. Langkahnya terhenti ketika ia melihat Jerry duduk di sofa kecil dekat jendela, dengan kepala bersandar dan mata terpejam. Ada perban kecil di dahinya, dan penampilannya terlihat sedikit lusuh.Tanpa berpikir panjang, Zara melempar tasnya ke sofa di sisi lain ruangan dan menghampirinya. Kekhawatiran tergambar jelas di wajahnya saat ia berlutut di samping Jerry.“Jerry!” serunya, suaranya penuh kecemasan. “Apa yang terjadi? Buka matamu, jangan buat aku khawatir!”Matanya berkaca-kaca, hampir meneteskan air mata. Ia menggenggam tangan Jerry, mencoba mengguncang tubuhnya dengan lembut.Jerry perlahan membuka matanya, sebuah senyuman kecil muncul di wajahnya. “Zara, aku baik-baik saja,” jawabnya, meski suaranya terdengar lemah.“Apanya yang baik-baik saja?” balas Zara cepat, nada suaranya penuh emosi. “Aku dengar kamu menabrak trotoar. Apa ada yang luka? Katakan!”Jerry berusaha duduk le
Tuan Arman menarik Rian keluar dari ruangan dengan langkah cepat, wajahnya merah padam. Mereka berhenti di ujung koridor, jauh dari telinga anggota keluarga lainnya. Tuan Arman menatap Rian dengan sorot mata penuh tekanan.“Aku yakin kamu sudah mendengarnya,” katanya dengan nada rendah, tetapi tegas. “Jangan cari dia.”Rian mengerutkan kening, rahangnya mengeras mendengar kata-kata itu. “Jangan cari dia?” ulangnya, suaranya naik setengah oktaf. “Ayah tahu, aku sudah mencarinya selama bertahun-tahun. Jangan bilang Ayah yang membantunya keluar?”Tuan Arman mendekat, menunjuk dada Rian dengan jarinya. “Jangan asal bicara kamu,” balasnya dengan suara yang mulai meninggi. “Dia itu ancaman bagi keluarga kita. Ayah tidak akan pernah membantunya!”“Ancaman?” Rian mendengus kesal, melipat tangannya di depan dada. “Kalau dia ancaman, kenapa Ayah biarkan dia tetap berkeliaran? Ini berbahaya! Dia tahu terlalu banyak tentang kita, tentang Jerry, dan tentang ke
Jerry berdiri di ujung lorong, tangannya dimasukkan ke saku jasnya. Tatapannya tajam, penuh kecurigaan, dan ia tidak berusaha menyembunyikannya.“Jadi, siapa yang kalian bicarakan?” ulangnya, melangkah perlahan mendekat.Tuan Arman berdehem, mencoba menguasai situasi. “Ini tidak ada hubungannya denganmu, Jerry,” katanya datar. “Kamu tidak perlu tahu.”Jerry tersenyum kecil, tetapi senyum itu dingin. “Itu lucu, Ayah. Karena aku merasa kalian membicarakan sesuatu yang seharusnya aku tahu.”“Jerry, jangan mulai,” ucap Rian dengan nada tajam, melangkah ke arah adiknya. “Kamu sudah cukup membuat kekacauan hari ini.”Jerry mengangkat alis, memasang ekspresi tidak percaya. “Membuat kekacauan? Aku hanya ingin tahu kenapa kalian berdua terlihat begitu mencurigakan. Apa aku salah?”“Ini bukan urusanmu,” balas Rian cepat.“Cukup!” Tuan Arman akhirnya berseru, suaranya lebih keras dari biasanya.Tuan Arman menarik napas panjang, sebelum melanjutkan. “Kita akan pu
Zara mengerjap pelan, kepalanya terasa sedikit berat. Ia duduk tegak, menyandarkan punggungnya di sofa, mencoba mengingat kejadian semalam.Apartemen itu sepi. Tak ada suara, tak ada tanda kehidupan. Hanya sunyi yang menemani."Bagaimana aku bisa ketiduran di sini?" gumamnya sambil melirik jam di pergelangan tangannya.Pukul tujuh pagi. Ia menggigit bibir bawah, menyesali kebodohannya. Berkas-berkas yang semalam ia bawa masih tergeletak di atas meja. Zara duduk tegak, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Zara menarik napas panjang, jemarinya dengan rapi merapikan berkas-berkas tersebut. Jika ingin mengetahui kebenaran, ia harus bergerak lebih dalam. Mendekati keluarga Hendrawan dari dekat adalah satu-satunya cara.Ia bangkit dari sofa, Zara mengambil tasnya dan memastikan tidak ada barang yang tertinggal. Pandangannya menyapu ruangan sekali lagi sebelum ia meninggalkan apartemen itu.Sesampainya di rumah, Zara langsung m
Pintu ruangan Jerry tiba-tiba terbuka tanpa ketukan, dan Luna melangkah masuk dengan percaya diri. Sepatunya berderap pelan di lantai, sementara senyum tipis menghiasi wajahnya. Jerry mengalihkan pandangannya dari layar laptop, menatap Luna dengan ekspresi tidak sabar."Luna, aku sedang sibuk. Kalau tidak penting, sebaiknya kamu pulang," kata Jerry dingin, menutup laptopnya dengan gerakan tegas."Sibuk?" Luna menyandarkan tubuhnya di sisi meja, menatap Jerry dengan mata berbinar. "Sepertinya kamu selalu sibuk belakangan ini. Tapi aku belum mendengar jawabanmu soal pernikahan kita."Jerry berdiri dari kursinya, menghela napas panjang. "Luna, aku sudah bilang, ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan itu."Luna tertawa kecil, melipat tangannya di depan dada. "Bukan waktu yang tepat? Kamu sudah mengatakan hal itu selama berminggu-minggu. Apa kamu menunggu sampai Zara melahirkan, setelah itu mengingkari janjimu?"Tatapan Jerry berubah tajam. "Jangan bawa-bawa Za
Cahaya matahari yang redup masuk melalui celah tirai, menyinari lantai putih ruangan itu. Lena berdiri di sudut ruangan, memandangi baki makanan yang masih utuh di meja kecil di samping tempat tidur.Ia mendesah pelan, mengambil baki itu dan menatap pasien yang duduk membelakanginya. Pria itu tetap diam di kursi roda, memandang kosong ke luar jendela, memperhatikan daun-daun yang berguguran di taman rumah sakit. Wajahnya tampak lelah, matanya sayu, seolah seluruh semangat hidup telah terkuras habis."Sampai kapan kamu akan seperti ini?" gumam Lena, mencoba menahan rasa sedih yang menyeruak di dadanya. "Kamu seperti kehilangan semangat hidup."Pria itu tidak langsung menjawab. Bahunya sedikit naik-turun saat ia menarik napas dalam. Suaranya akhirnya terdengar, pelan tetapi penuh dengan rasa putus asa. "Apa aku masih pantas hidup? Bahkan dokter-dokter terbaik pun tidak bisa menyembuhkanku."Lena terdiam, menatap pria itu dengan sorot mata penuh rasa
Zara kembali ke mobil, tangannya masih gemetar saat memegang setir. Ia menatap lurus ke depan, pikirannya berkecamuk. Apartemen lama Rian? Itu berarti tempat di mana Rian tinggal sebelum mereka menikah, tempat yang hampir ia lupakan."Seharusnya aku masih ingat tempatnya," gumamnya, lalu menyalakan mesin mobil.Perjalanan terasa panjang, meski jaraknya tidak terlalu jauh. Malam semakin larut, dan jalanan mulai lengang. Ketika Zara tiba di gedung apartemen lama itu, suasananya terasa berbeda, sepi dan sedikit menyeramkan.Ia turun dari mobil, menatap gedung itu dengan napas tertahan. Cahaya lampu di lorong hanya menyala sebagian, memberikan kesan yang suram. Zara melangkah pelan, memasuki lift.Ketika ia sampai di depan pintu apartemen Rian, tangannya berhenti di udara. Ia ragu sejenak sebelum membuka pintu."Aku harus melakukannya," bisiknya.Zara merogoh tasnya, mengambil kunci cadangan yang pernah Rian berikan dulu. Dengan tangan gemetar, ia membuka pintu.Pintu berderit pelan, dan
Zara mengetik nomor di ponselnya untuk yang ketiga kalinya, menempelkan ponsel di telinganya sambil berjalan mondar-mandir di ruang kerja Rian. Nada sambung lagi... tetapi tidak ada jawaban.“Sandi, angkat teleponnya!” gumam Zara dengan frustrasi, menekan tombol panggil sekali lagi. Namun, hasilnya tetap sama, tidak ada jawaban.Zara berusaha menghubungi Sandi sepanjang hari, sampai cahaya matahari yang tadinya menerangi ruangan kini perlahan redup, seiring dengan kegelisahan yang makin menguasai Zara. Setelah beberapa kali mencoba, Zara memutuskan untuk meninggalkan pesan suara.“Sandi, ini Zara, istri Rian Hendrawan. Aku butuh bicara denganmu, sekarang juga. Tolong hubungi aku kembali.”Ia mengakhiri panggilan itu, lalu menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. Matanya menatap kosong ke layar ponsel yang masih menyala di tangannya. 'Ada sesuatu yang sangat salah.'Zara berdiri, berjalan ke jendela, menatap keluar sambil memeluk
Kamar rumah sakit itu terasa sunyi, hanya suara detak jam di dinding dan desiran angin di luar jendela yang menemani seorang pria yang duduk di kursi roda.Wajahnya pucat, matanya redup, menatap daun-daun yang berjatuhan dari pohon di taman rumah sakit. Beberapa daun berguguran terbawa angin, jatuh dengan lembut ke tanah, seperti waktu yang berlalu tanpa bisa ia hentikan.Air mata mengalir pelan di pipinya. Tangannya yang lemah mengepal di pangkuannya, penuh rasa penyesalan yang tertahan."Sudah satu bulan..." gumamnya dengan suara yang hampir tak terdengar. Kata-kata itu seperti beban berat yang tak bisa ia lepaskan.Pintu kamar perlahan terbuka, dan seorang perawat muda masuk dengan langkah tenang. Perawat itu membawa catatan medis di tangannya, tersenyum lembut sebelum berbicara dalam bahasa Inggris."Good morning, Sir. How are you feeling today?" tanyanya ramah, sambil mendekati pria itu.Namun, pria itu tidak menoleh. Tatapa
Beberapa bulan berlalu, dan hidup Zara terasa seperti berada di lorong panjang yang penuh dengan bayangan masa lalu. Tidak ada kabar tentang Rian. Kekosongan yang ditinggalkan suaminya begitu nyata, menyisakan rasa hampa dan pertanyaan yang tak kunjung terjawab.Setiap pagi, Zara menjalani rutinitas yang sama. Bangun, sarapan seadanya, kemudian menatap kosong ke luar jendela. Kandungannya yang semakin besar seolah menjadi pengingat bahwa hidupnya tetap berjalan, meski hatinya masih terjebak dalam kekhawatiran.Di tempat lain, Hendrawan Group berjuang keras. Banyak proyek tertunda, dan beberapa klien mulai kehilangan kepercayaan. Meski Tuan Arman dan Jerry mencoba mengatasi situasi itu, mereka menghadapi tantangan besar.Di ruang rapat yang sunyi, Tuan Arman melemparkan tumpukan dokumen ke meja, ekspresinya penuh tekanan. "Ini tidak bisa dibiarkan lebih lama lagi. Semua proposal penting ada di tangan Rian. Kita bahkan tidak tahu detail rencana yang dia buat
Reno.Asisten pribadi Rian, yang selalu ada di sisinya. Jika ada orang yang tahu ke mana perginya Rian malam itu, maka orang itu pasti Reno.Dalam perjalanan kembali ke hotel, Zara duduk diam dengan tangan terkepal di atas pangkuannya. Jerry menatapnya dari samping, tahu bahwa pikirannya sedang kacau."Kita kembali ke Indonesia besok," kata Zara akhirnya. "Asistennya mungkin tahu lebih banyak daripada yang kita duga."Jerry mengangguk, matanya masih menatap Zara. Jika benar Rian tidak pernah pergi ke Korea, maka seseorang telah menjebaknya. Dan jika seseorang telah menjebaknya...Maka orang itu adalah seseorang yang ingin memastikan Rian tidak pernah ditemukan.Setelah kembali ke Indonesia, Zara dan Jerry langsung menuju ke kantor Hendrawan Corp. Namun, begitu mereka tiba, suasana terasa lebih hening dari biasanya.Tuan Arman duduk di ruang kerjanya, terlihat sibuk membaca beberapa dokumen. Bu Hanan juga ada di sana, den
Zara menatap layar komputer petugas bandara dengan tatapan kosong. Fakta bahwa Rian tidak naik pesawat ke Seoul membuat hatinya semakin gelisah."Kamu masih ingin mencarinya di Korea, Zara?" tanya Jerry pelan, matanya tajam mengamati ekspresi wanita di sampingnya.Zara menoleh, napasnya sedikit bergetar. "Ya, tentu saja. Sebelum berangkat, Rian mengatakan bahwa dia ingin menemui seseorang bernama Tuan Kang. Apa kamu tahu sesuatu tentang klien itu?"Jerry mengangguk, menyandarkan tangannya di meja informasi bandara. "Tuan Kang bukan sekadar klien biasa. Dia adalah investor besar yang selama ini tertarik bekerja sama dengan perusahaan kami. Tapi, dia juga bukan orang yang mudah ditemui. Banyak pengusaha yang harus berusaha keras hanya untuk mendapatkan pertemuan dengannya."Zara menyernyit. "Jadi, Rian benar-benar berencana bertemu dengannya?"Jerry menatap lurus ke depan, berpikir sejenak. "Jika memang begitu, kemungkinan besar Rian masih