Tuan Arman menarik Rian keluar dari ruangan dengan langkah cepat, wajahnya merah padam. Mereka berhenti di ujung koridor, jauh dari telinga anggota keluarga lainnya. Tuan Arman menatap Rian dengan sorot mata penuh tekanan.
“Aku yakin kamu sudah mendengarnya,” katanya dengan nada rendah, tetapi tegas. “Jangan cari dia.”Rian mengerutkan kening, rahangnya mengeras mendengar kata-kata itu. “Jangan cari dia?” ulangnya, suaranya naik setengah oktaf. “Ayah tahu, aku sudah mencarinya selama bertahun-tahun. Jangan bilang Ayah yang membantunya keluar?”Tuan Arman mendekat, menunjuk dada Rian dengan jarinya. “Jangan asal bicara kamu,” balasnya dengan suara yang mulai meninggi. “Dia itu ancaman bagi keluarga kita. Ayah tidak akan pernah membantunya!”“Ancaman?” Rian mendengus kesal, melipat tangannya di depan dada. “Kalau dia ancaman, kenapa Ayah biarkan dia tetap berkeliaran? Ini berbahaya! Dia tahu terlalu banyak tentang kita, tentang Jerry, dan tentang keJerry berdiri di ujung lorong, tangannya dimasukkan ke saku jasnya. Tatapannya tajam, penuh kecurigaan, dan ia tidak berusaha menyembunyikannya.“Jadi, siapa yang kalian bicarakan?” ulangnya, melangkah perlahan mendekat.Tuan Arman berdehem, mencoba menguasai situasi. “Ini tidak ada hubungannya denganmu, Jerry,” katanya datar. “Kamu tidak perlu tahu.”Jerry tersenyum kecil, tetapi senyum itu dingin. “Itu lucu, Ayah. Karena aku merasa kalian membicarakan sesuatu yang seharusnya aku tahu.”“Jerry, jangan mulai,” ucap Rian dengan nada tajam, melangkah ke arah adiknya. “Kamu sudah cukup membuat kekacauan hari ini.”Jerry mengangkat alis, memasang ekspresi tidak percaya. “Membuat kekacauan? Aku hanya ingin tahu kenapa kalian berdua terlihat begitu mencurigakan. Apa aku salah?”“Ini bukan urusanmu,” balas Rian cepat.“Cukup!” Tuan Arman akhirnya berseru, suaranya lebih keras dari biasanya.Tuan Arman menarik napas panjang, sebelum melanjutkan. “Kita akan pu
Ruangan itu terasa sepi, meskipun diisi oleh kehadiran empat orang. Suara jam dinding berdetak perlahan, menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar, mengiringi ketegangan yang menggantung di udara.Seperti pukulan yang tak terduga, pernyataan Jerry mengguncang semua orang di ruangan itu.Cangkir teh di tangan Bu Hanan bergetar sebelum akhirnya ia meletakkannya di atas meja dengan hati-hati. Wajahnya pucat, matanya melebar seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.“Apa maksudmu, Jerry?” tanyanya dengan suara bergetar.Rian yang sejak tadi diam, akhirnya berdiri dari kursinya. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya, matanya menatap Jerry penuh kemarahan yang tertahan.“Jerry, berhenti bermain-main,” ucapnya tajam. “Zara adalah istriku.”Jerry tidak mundur. Ia menatap Rian langsung, seolah sengaja menantang keberanian adiknya. “Benar. Zara adalah istrimu. Tapi kamu dan aku sama-sama tahu, pernikahan itu bukan keinginannya.”“Jerry, cukup!” seru T
Zara tiba di kafe dengan perasaan campur aduk. Ia mengenakan jas dokternya, merasa tidak sempat berganti pakaian karena terlalu terburu-buru. Luna sudah menunggu di meja di sudut ruangan, mengenakan gaun sederhana tetapi elegan, seperti terakhir kali ia temui.“Terima kasih sudah datang,” kata Luna ketika Zara duduk.Zara hanya mengangguk kecil, menatap Luna dengan waspada. “Apa yang ingin kamu bicarakan?”Luna tersenyum tipis, mengambil napas panjang sebelum berbicara. “Aku ingin tahu,” katanya pelan, “apa rencanamu, Zara?”“Rencanaku?” Zara mengerutkan kening, merasa bingung.“Jangan berpura-pura tidak tahu,” Luna memotong, nadanya sedikit lebih tegas. “Kamu tahu Jerry masih mencintaimu. Kamu tahu apa yang dia inginkan. Tapi kamu juga masih bersama Rian. Dasar serakah!”Zara mengepalkan tangannya di atas meja, berusaha menahan diri. “Luna, aku tidak tahu apa yang kamu coba lakukan, tetapi hubungan antara aku, Rian, dan Jerry bukan urusanmu.”“Oh, jelas
“Rian!” panggil Zara lagi, suaranya sedikit gemetar. Namun, tidak ada jawaban.Ia menggigit bibirnya, tangannya meremas meja. Perasaan tidak nyaman semakin kuat, seperti firasat buruk yang tidak bisa ia abaikan. Zara berdiri perlahan, mencoba mengintip ke arah pintu ruang makan.“Rian, kamu di mana?” tanyanya lagi, lebih pelan, berharap suara suaminya menjawab dari kegelapan. Tetapi yang ia dengar hanya keheningan.Zara melangkah pelan menuju dapur, mencoba mencari senter atau lilin tambahan. Setiap langkahnya terdengar jelas di lantai yang dingin, menciptakan gema samar yang semakin membuat suasana mencekam.“Kenapa lampu padam tiba-tiba?” pikir Zara, tangannya meraba-raba di sekitar meja dapur. Ia menemukan sebuah korek api dan lilin kecil lainnya di laci, lalu segera menyalakannya.Cahaya kecil itu membuat Zara merasa sedikit lega, meskipun rasa waspada masih menguasai dirinya.“Rian… tolong jangan bercanda,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.Tib
Rian bangkit dari sofa, tubuhnya masih sedikit lemah, tetapi langkahnya penuh keyakinan. Zara yang duduk di sisi lain sofa menatapnya dengan bingung. Ia terus melangkah mendekat, hingga akhirnya berdiri tepat di hadapan Zara.Tatapannya begitu dalam, membuat Zara tidak mampu mengalihkan pandangan.“Duduklah, kamu perlu istirahat,” Zara mencoba memecah keheningan, suaranya sedikit bergetar.Rian tidak menggubris kata-kata Zara. Sebaliknya, ia perlahan menunduk, menyamakan tingginya dengan Zara yang masih duduk di sofa. Tangannya terangkat, menyentuh lembut pipi Zara.Zara terdiam, napasnya tertahan oleh sentuhan Rian. Ia menatap pria di hadapannya dengan penuh kebingungan. Jarak di antara mereka semakin mengecil, hingga ia bisa merasakan hangatnya napas Rian di wajahnya.“Rian, kenapa kamu…” Zara mencoba berkata, tetapi suaranya terhenti saat Rian mendekatkan wajahnya lebih jauh.Sebelum Zara bisa menyelesaikan kalimatnya, bibir Rian menyentuh bibirnya.Ci
Rian membeku di tempat, matanya membelalak sejenak sebelum akhirnya menunduk. Pelukannya sepenuhnya terlepas, dan ia mengambil langkah mundur.“Surat cerai?” ulang Rian dengan nada datar, seolah mencoba memahami apa yang baru saja ia dengar.Zara menunduk, tidak sanggup menatap wajah Rian. “Ya, aku sudah menyiapkannya sejak beberapa minggu yang lalu.”Ruangan dapur yang hangat mendadak terasa dingin. Rian menatap Zara dengan campuran antara kecewa, marah, dan luka.“Jadi, kamu benar-benar ingin meninggalkanku?” tanyanya akhirnya, suaranya rendah, hampir berbisik.Zara mengangguk pelan, meskipun ia tidak yakin pada dirinya sendiri. “Aku pikir… itu yang terbaik untuk kita berdua. Aku tidak tahu lagi bagaimana caranya bertahan dalam pernikahan ini.”Rian berdiri terpaku di depan Zara, tubuhnya tegang dan matanya memandang penuh emosi. Ia mendekat, mencoba mencari jawaban di wajah Zara yang kini tampak dingin, tetapi di matanya masih tersirat keraguan.“Belum terlambat, Zara,” ucap Rian,
Zara terbangun pagi itu dengan perasaan hampa. Ia mengulurkan tangannya ke sisi tempat tidur, hanya untuk menemukan tempat itu dingin dan kosong.“Apanya yang ingin berubah?” gumamnya pelan, suaranya penuh dengan kekecewaan. “Dia selalu mengabaikanku, bahkan untuk pamitan saja tidak pernah.”Zara menghela napas panjang, lalu turun dari tempat tidur. Langkah kakinya pelan saat ia berjalan ke jendela. Ia membuka tirai, menatap keluar ke jalanan yang sepi.'Benar saja, mobil Rian sudah tidak ada di tempatnya.'Zara hendak menutup tirai kembali, tetapi kamera CCTV di sudut rumah menarik perhatiannya. Pandangannya langsung terpaku pada kamera itu, pikirannya berputar.“CCTV…” gumamnya. Ia mengingat kejadian semalam yang begitu tegang. Lampu yang padam, Rian yang terluka, dan banyak pertanyaan yang belum terjawab.Pikirannya mulai dipenuhi rasa penasaran. “Apa yang sebenarnya terjadi semalam? Kenapa dia terluka?”Zara menggigit bibirnya, hatinya berdebar. Ia tahu Rian tidak akan memberinya
Zara menghentikan pencariannya. Amplop cokelat itu kini berada di tangannya, terasa berat meski isinya hanyalah beberapa lembar foto. Ia berjalan menuju ruang tamu dengan langkah cepat, melempar amplop itu ke meja, lalu duduk di sofa.Napasnya tidak teratur, dadanya naik turun karena emosi yang memuncak. Ia mencoba menenangkan dirinya, tetapi pikirannya terus berkecamuk."Jadi, Rian memata-mataiku selama ini? Untuk apa?" pikirnya sambil mengepalkan tangannya.Dengan tangan gemetar, Zara menarik foto-foto itu keluar dari amplop dan menyusunnya di atas meja. Satu per satu ia pandangi dengan seksama..“Kenapa dia harus sejauh ini?” bisiknya pelan, matanya mulai berkaca-kaca.Zara merasa privasinya dilanggar. Selama ini, ia berpikir bahwa masalah utama di antara mereka adalah ketidakpedulian Rian. Tapi sekarang, fakta bahwa Rian tahu setiap gerak-geriknya membuat perasaannya semakin rumit.Ia menyandarkan tubuhnya pada sofa, tangannya memeluk salah satu bantal kecil. Matanya tidak lepas d
Di kamar, suasana terasa semakin tegang. Rian duduk di ujung ranjang, sementara Zara berdiri di dekat jendela, merenung, dengan pandangan kosong yang menembus keluar. Rian memerhatikan setiap gerakan Zara, menyadari betapa dalamnya pikiran istrinya, namun hatinya tetap kokoh dengan keputusan yang sudah diambil.“Zara, aku tahu kamu peduli pada Jerry,” suara Rian pecah, lembut namun penuh penekanan. “Tapi kita tidak bisa membiarkan perasaan itu mengaburkan kenyataan. Dia sudah melakukan banyak hal yang merusak hidup kita. Kita tidak bisa membiarkan dia melangkah bebas begitu saja.”Zara menoleh, menatap Rian dengan mata yang dipenuhi kebingungannya. “Tapi… Rian, dia juga manusia. Dia punya sisi baik, dan aku tahu itu. Aku ingin dia mendapatkan kesempatan untuk berubah.”Rian mendekat, bergeser dengan langkah pelan hingga berada di belakang Zara. Tangannya meraih tangan Zara, lembut namun tegas. “Aku mengerti perasaanmu, tapi ingat, ada batasnya. Aku tidak akan membiarkan
Hari itu, Zara mengatur pertemuan dengan Arka di sebuah kafe yang cukup tenang di pusat kota. Ia mengenakan gaun sederhana berwarna biru muda, dengan mantel panjang untuk melindungi tubuhnya dari angin yang cukup dingin.Saat ia tiba, Arka sudah duduk di salah satu sudut kafe. Pria itu tampak rapi seperti biasa, mengenakan kemeja hitam yang dipadukan dengan jas abu-abu.“Zara,” sapa Arka dengan senyum tipis.Zara tersenyum kecil dan duduk di hadapannya. “Terima kasih sudah meluangkan waktu.”Arka mengangguk. “Tentu. Aku juga ingin berbicara denganmu.”Zara terdiam sejenak, memperhatikan ekspresi pria di depannya. Sekalipun Rian menyebutnya sebagai Riko, tidak ada jejak kebencian atau kesombongan di wajahnya saat ini.“Kamu mengenal Luna dengan baik, kan?” tanya Zara akhirnya.Arka menghela napas pelan. “Dia adikku. Tentu saja aku mengenalnya.”“Tapi kamu tidak datang saat pemakamannya.”Arka menatap Zara dengan mata yang dalam. “Karena aku tidak i
Zara duduk di ruang tamu keluarga Hendrawan, mengusap perutnya yang mulai membesar. Sudah beberapa hari sejak pemakaman Luna, tapi pikirannya masih dipenuhi oleh pria yang muncul hari itu. Arka. Kakak Luna yang tiba-tiba hadir dalam hidup mereka.Dia merasa ada yang janggal.Zara memang tidak begitu mengenal Luna secara pribadi, tapi dia tahu bahwa keluarga perempuan itu cukup terpandang. Seharusnya ada anggota keluarga yang datang di hari pemakamannya. Namun, yang muncul hanya Arka. Dan sekarang, pria itu tiba-tiba menjadi bagian dari kehidupannya lagi.Saat Rian masuk ke ruangan, Zara langsung menatapnya dengan penuh tanda tanya.“Kamu sudah menyelidiki Arka, kan?” tanyanya tanpa basa-basi.Rian terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Ya.”Zara mencondongkan tubuhnya ke depan, penasaran. “Dan? Siapa dia sebenarnya?”Rian menarik napas dalam. Dia tahu cepat atau lambat Zara pasti akan bertanya. “Arkana Rikovan… dia bukan orang asing bagiku,” katanya perlahan.
“Jadi, kau mengenalnya?” tanya Bu Hanan yang tampak bingung dengan reaksi Zara.Zara mengangguk perlahan, masih belum bisa menyembunyikan keterkejutannya. “Dia… dia dulu hampir menjadi pengacaraku.”Lena langsung menoleh tajam. “Apa?!”Pria itu mengangguk. “Namaku Arka. Aku memang seorang pengacara, dan saat itu aku menerima permintaan untuk menangani perceraianmu. Tapi sebelum semuanya dimulai, aku mendadak mendapat panggilan lain, dan ternyata kamu menarik kembali tuntutan itu.”Zara ingat. Saat itu, ia sangat berharap bisa mendapatkan pengacara yang bisa membantunya keluar dari pernikahannya dengan Rian. Arka adalah salah satu pengacara terbaik, tapi tiba-tiba ia menarik diri dari kasusnya, tanpa penjelasan yang jelas.Sekarang semuanya mulai masuk akal. Jika Arka adalah kakak Luna, mungkin itulah alasan dia mundur dari kasusnya, karena keterkaitan keluarganya dengan situasi yang lebih besar.“Kenapa kamu ingin bertemu denganku?” tanya Zara akhirnya, suara
Lena dan Zara turun dari mobil dengan langkah yang sedikit ragu. Udara sore yang sejuk menyelimuti halaman luas kediaman keluarga Hendrawan, tapi kehangatan itu tidak cukup untuk mengusir kegelisahan dalam hati Zara.Sudah berbulan-bulan sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di rumah ini. Sejak ia meninggalkan semua yang ada di sini dan memilih membangun hidup baru bersama Rian.Ia tidak pernah berpikir akan kembali, apalagi dalam keadaan seperti ini, membawa dua nyawa dalam kandungannya dan kembali sebagai istri Rian secara resmi, bukan hanya sekadar wanita yang terikat dalam pernikahan tanpa cinta seperti dulu.Pelayan-pelayan di rumah itu menyambut mereka dengan sopan, tapi Zara masih bisa merasakan sisa-sisa tatapan meremehkan yang dulu pernah ia terima. Meskipun kini Bu Hanan, ibu mertuanya, sudah mulai menunjukkan perubahan, trauma akan masa lalu masih melekat kuat di dalam hatinya.“Bu Hanan ada di dalam, Nona,” kata salah satu pelayan, membukakan pintu bes
Zara duduk di dalam mobil dengan gelisah. Hatinya dipenuhi berbagai perasaan yang bercampur aduk. Rian sudah memintanya untuk fokus pada kehamilannya, tapi ada sesuatu yang masih mengganjal pikirannya."Lena, sebelum kita pulang... Aku ingin bertemu dengan Jerry dulu," katanya tiba-tiba.Lena menoleh dengan alis berkerut. "Kamu yakin? Bukannya Rian sudah bilang untuk tidak terlalu memikirkan hal ini?""Aku tahu," Zara menghela napas. "Tapi aku merasa harus bertemu dengannya. Aku ingin mengucapkan terima kasih. Kalau bukan karena darahnya, mungkin aku dan bayi-bayiku..." Suaranya melemah, tak sanggup menyelesaikan kalimatnya.Lena terdiam sejenak, lalu akhirnya mengangguk. "Baiklah, kita mampir sebentar."Mobil pun berbelok menuju kantor polisi tempat Jerry ditahan. Begitu sampai, Zara langsung merasakan atmosfer yang dingin dan suram. Ruangan yang dipenuhi jeruji besi itu seakan menekan perasaannya.Petugas mengizinkan mereka untuk bertemu dengan Jerry di rua
Malam semakin larut, tetapi pikiran Rian tak bisa tenang. Ia duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptop yang menampilkan laporan keuangan terakhir. Lima miliar rupiah bukan hanya angka biasa, itu adalah serangan langsung terhadap perusahaan dan dirinya.Ia tahu bahwa menjadi pemimpin bukanlah hal mudah, tetapi semakin hari, semakin banyak yang ingin melihatnya jatuh. Apalagi setelah keluarga Hendrawan hancur, banyak pihak yang merasa kehilangan pegangan. Mereka mencari celah, dan sekarang, pencurian dana ini bisa jadi bagian dari permainan mereka.Zara berjalan mendekat, membawa secangkir teh hangat. "Kamu belum tidur?" tanyanya lembut.Rian tersenyum tipis, menerima cangkir itu. "Banyak yang harus kupikirkan."Zara duduk di sampingnya. "Menurutmu, ini ada hubungannya dengan keluarga Hendrawan?"Rian mengangguk. "Kemungkinan besar. Setelah keluarga kita jatuh, banyak pihak yang kehilangan perlindungan dan mulai bergerak sendiri. Aku tidak terkejut kalau sekara
Saat Jerry kembali digiring oleh dua polisi menuju mobil tahanan, Zara menghela napas berat. Ia ingin melepaskan segala kepenatan ini, tapi matanya terusik oleh sesuatu.Di kejauhan, di balik pohon yang sedikit tertutup kabut hujan, seorang pria tampak mengawasi mereka. Sosoknya tinggi, mengenakan jaket gelap dengan tudung yang menutupi sebagian wajahnya. Sekilas, Zara bisa melihat rahangnya yang tegas dan tatapan tajamnya yang menusuk.Zara menoleh ke Rian, memastikan apakah suaminya juga menyadarinya. Namun, Rian justru sibuk menyesuaikan tongkatnya di tanah becek."Rian..." Zara berbisik, sedikit menarik lengannya. "Ada seseorang di sana. Sejak tadi dia berdiri di balik pohon dan memperhatikan kita."Rian menoleh ke arah yang dimaksud, tapi pria itu segera berbalik, berjalan menjauh sebelum akhirnya menghilang di antara pepohonan pemakaman.Lena dan Sandi yang mendengar percakapan mereka ikut melihat ke sekitar. "Kamu yakin, Zara?" tanya Lena."Aku yakin.
"Zara, sebenarnya Jerry mendonorkan banyak darah untukmu. Jika bukan karena dia, aku tida tahu apa yang terjadi padamu dan si kembar." Rian berkata dengan berat hati, namun Zara harus tetap tahu.Zara terdiam sejenak, mencerna kata-kata Rian. Matanya menatap kosong ke depan, pikirannya melayang pada kejadian beberapa hari lalu, saat dirinya terbaring lemah, nyaris kehilangan segalanya."Jerry...?" gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.Rian mengangguk, menatap wajah Zara dengan serius. "Iya, dia yang menyelamatkanmu. Darahmu langka, dan rumah sakit tidak punya stok. Kalau bukan karena Jerry yang mendonorkan darahnya, aku nggak tahu apa yang akan terjadi."Zara menggigit bibirnya, perasaannya bercampur aduk. Jerry orang yang dulu sempat menjadi bagian dari hidupnya, kini terasa terikat dengan takdirnya dalam cara yang tidak pernah ia bayangkan."Jadi... aku hidup karena dia?" tanyanya pelan, lebih kepada dirinya sendiri."Bukan cuma kam