Jerry menghela napas panjang, langkahnya mendekati Zara yang berdiri di tengah ruangan dengan wajah tegang. Tatapannya serius, sorot matanya seperti membawa beban yang berat.“Zara,” Jerry memulai, suaranya rendah namun tajam. “Aku perlu memberitahumu sesuatu. Tapi... kamu harus bersiap. Jangan terkejut dengan apa yang akan kamu dengar.”Zara mengernyit, merasa dadanya semakin berat. “Apa maksudmu, Jerry? Katakan.”Jerry berhenti beberapa langkah darinya, tangannya mengepal di samping tubuhnya. “Hari itu... lima tahun lalu, saat kecelakaan itu terjadi...” Jerry terdiam sejenak, menatap Zara dalam-dalam. “Target mereka sebenarnya bukan aku. Target mereka adalah Rian.”Kata-kata itu membuat Zara terkejut, mulutnya terbuka seolah ingin berkata sesuatu, tetapi tidak ada kata yang keluar. Dadanya terasa sesak, dan tangannya gemetar tanpa ia sadari.“Apa yang kamu katakan?” suaranya bergetar. “Kenapa? Kenapa mereka ingin membunuh Rian?”Jerry menatapnya dengan seri
Zara melangkah keluar dari kantor dengan langkah cepat, udara siang yang panas seolah tidak mampu menenangkan pikirannya yang penuh gejolak. Di bawah sinar matahari yang terik, ia menggumamkan satu nama,“Aku harus menemui Lena.”Lena, sahabatnya yang selalu punya jawaban di saat Zara merasa buntu. Lena adalah tipe orang yang punya banyak koneksi, sering kali mencurigakan, tetapi selalu berguna di saat-saat seperti ini. Zara hanya berharap kali ini, Lena bisa membantunya memecahkan teka-teki besar ini.Setibanya di rumah Lena, Zara langsung disambut oleh pintu yang terbuka. Lena, dengan senyum lebar dan rambut yang sedikit acak-acakan, berdiri di ambang pintu.“Zara! Kamu tiba-tiba datang, apa ada masalah?” tanya Lena sambil mempersilakannya masuk.Zara menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sebelum bicara. “Lena, aku butuh bantuanmu. Aku tahu ini mendadak, tapi aku benar-benar tidak tahu harus pergi ke siapa lagi.”Lena memiringkan kepala, sorot
“Kami masih menyelidiki, Nona. Namun, kami pikir Anda perlu tahu, mengingat Aldo sempat dikaitkan dengan kasus keluarga Anda,” lanjut petugas itu. Zara menutup telepon tanpa sepatah kata lagi, tubuhnya terasa lemah. Dia duduk di sofa ruang tamu Lena, pandangannya kosong, otaknya berputar keras mencoba mencerna kabar mengejutkan itu. “Zara, apa yang terjadi?” tanya Lena dengan nada khawatir, meletakkan cangkir tehnya. Zara menatap sahabatnya, matanya membulat penuh kebingungan. “Aldo... dia tewas. Polisi bilang dia ditemukan di hutan, dan mereka yakin dia mati tak lama setelah kabur dari penjara.” Lena mengerutkan kening. “Tunggu, jadi dia bahkan tidak sempat bertemu siapa pun?" “Itu dia,” kata Zara, memegang dahinya yang mulai berdenyut. “Jika Aldo sudah tewas sebelum kejadian semalam, lantas siapa yang kulihat di CCTV? Pria yang menyerang Rian... dia jelas bukan Aldo.” Lena terdiam sejenak, mencoba mencerna semuanya. “Apa kamu yakin itu bukan hanya bayangan atau rekaman yang
Di teras rumah mewahnya, Bu Hanan duduk dengan anggun sambil memegang cangkir teh porselen di tangannya. Matahari sore yang lembut menyinari taman yang rapi, membuat suasana terasa begitu tenang. Di belakang mereka, dua pelayan berdiri dengan sopan, siap melayani kapan saja.Luna, yang duduk di samping Bu Hanan, meletakkan cangkir tehnya di atas meja kecil. Dia menatap wanita itu dengan sorot mata yang penuh dengan ambisi. Setelah memastikan tidak ada orang lain di sekitar mereka selain para pelayan, Luna mendekatkan tubuhnya sedikit ke arah Bu Hanan.“Tante,” katanya pelan namun tegas, “jadi kapan aku dan Jerry akan menikah?”Bu Hanan tersenyum kecil, menyesap tehnya sebelum menjawab. “Secepatnya, Luna. Tapi kamu tahu kan, Jerry itu keras kepala.”Luna menghela napas, matanya menyipit penuh perhitungan. “Tapi kalau kita terus menunggu Jerry berubah pikiran, aku takut ini akan memakan waktu terlalu lama, Tante. Apalagi Zara masih ada di dekatnya.”
Jerry mulai merasakan sesuatu yang tidak biasa dalam tubuhnya. Rasa panas merayap di dadanya, membuat napasnya semakin berat. Ia memegang tepi meja dengan erat, mencoba menahan diri dari sensasi yang tiba-tiba muncul.Luna, yang masih berdiri di dekat pintu, berbalik dengan ekspresi yang tampak khawatir. Namun, di balik tatapan paniknya, senyum tipis terselip di sudut bibirnya. Dia berjalan mendekat, langkahnya pelan tapi pasti.“Jerry? Kamu baik-baik saja?” tanya Luna, suaranya terdengar lembut, tetapi ada nada manipulatif yang sulit disembunyikan.Jerry menatap Luna dengan sorot mata tajam, meskipun wajahnya mulai memerah karena sensasi yang semakin tak tertahankan.“Apa yang kamu lakukan, Luna?” suaranya terdengar serak, penuh kemarahan.Luna memasang ekspresi pura-pura terkejut, lalu meraih bahu Jerry seolah ingin membantunya. “Jerry, aku tidak tahu apa yang terjadi. Kamu terlihat tidak baik.”Jerry memukul meja dengan keras, membuat sendok dan kotak maka
Setiba di rumah, Jerry membuka pintu kamarnya dengan gerakan kasar, melempar jasnya sembarangan ke kursi. Langkah kakinya berat, seperti ada beban yang tak kasatmata menariknya semakin dalam ke pusaran emosi yang tak tertahankan.Ia melepas sepatunya dengan asal, lalu berjalan menuju kamar mandi tanpa memedulikan kekacauan yang ia tinggalkan di belakangnya. Air hangat dari shower mulai mengalir, membasahi tubuhnya yang terasa panas bukan karena suhu, melainkan karena gejolak yang membakar di dalam dadanya.Jerry menunduk, membiarkan air mengalir di atas kepalanya, tetapi rasanya tidak cukup untuk membersihkan perasaan kotor yang melekat di hatinya. Ia memejamkan matanya, berharap air itu bisa membawa pergi semua pikirannya.Namun, bayangan kejadian tadi bersama Luna kembali menyerang. Ciuman itu, sentuhan itu, semuanya terasa seperti racun yang meresap ke dalam darahnya. Jerry meninju dinding kamar mandi, suara benturan itu menggema di ruangan kecil itu. Napasnya me
"Rian," suara Zara terdengar seperti bisikan, penuh rasa takut.Tanpa pikir panjang, ia berlari ke arah suaminya. Tangannya yang gemetar meraih tubuh Rian, memeluknya erat, seolah mencari perlindungan dari badai yang bergejolak di hatinya.Rian berdiri kaku, tidak menyangka Zara akan melakukan hal itu. Napasnya terdengar pelan, tetapi matanya tetap tajam, mengamati Jerry yang masih berdiri di tempat yang sama. Jerry mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras melihat adegan itu.“Zara,” suara Rian rendah tetapi penuh makna. Ia perlahan menurunkan pandangannya ke arah wanita yang memeluknya. “Apa yang sebenarnya terjadi di sini?”Zara melepaskan pelukannya, tetapi matanya masih menatap Rian dengan panik. “Rian... aku...” kata-katanya terhenti, tidak tahu harus berkata apa.Jerry melangkah maju, sorot matanya tidak lepas dari Rian. “Seharusnya aku yang bertanya itu,” katanya dengan nada penuh amarah yang terpendam. “Apa yang membuatmu berpikir kamu layak menerima pel
Rian menggenggam tangan Zara dengan erat, seolah ingin memastikan dirinya tetap ada di sisinya. “Kamu harus istirahat,” katanya lembut. “Hari ini pasti banyak yang terjadi.”Zara mengangguk pelan, membiarkan dirinya dituntun ke kamar mereka. Begitu sampai, ia duduk di tepi tempat tidur, merasa kelelahan baik secara fisik maupun emosional. Namun, tangannya masih menggenggam tangan Rian, enggan melepaskannya.Rian memperhatikan gerakan kecil itu, dan senyum tipis menghiasi wajahnya. “Aku akan mandi,” katanya, suaranya tenang namun terasa penuh perhatian.Ia melepaskan genggaman Zara dengan lembut, memastikan wanita itu merasa nyaman sebelum meninggalkannya.Zara menatap punggung Rian yang menghilang di balik pintu kamar mandi. Hatinya bergejolak, penuh dengan rasa yang sulit dijelaskan. Ia merasa tenang dan resah sekaligus, seolah berada di persimpangan antara harapan dan ketakutan.Saat suara air mulai terdengar dari kamar mandi, Zara menghela napas panjang. Ia me
Di kamar, suasana terasa semakin tegang. Rian duduk di ujung ranjang, sementara Zara berdiri di dekat jendela, merenung, dengan pandangan kosong yang menembus keluar. Rian memerhatikan setiap gerakan Zara, menyadari betapa dalamnya pikiran istrinya, namun hatinya tetap kokoh dengan keputusan yang sudah diambil.“Zara, aku tahu kamu peduli pada Jerry,” suara Rian pecah, lembut namun penuh penekanan. “Tapi kita tidak bisa membiarkan perasaan itu mengaburkan kenyataan. Dia sudah melakukan banyak hal yang merusak hidup kita. Kita tidak bisa membiarkan dia melangkah bebas begitu saja.”Zara menoleh, menatap Rian dengan mata yang dipenuhi kebingungannya. “Tapi… Rian, dia juga manusia. Dia punya sisi baik, dan aku tahu itu. Aku ingin dia mendapatkan kesempatan untuk berubah.”Rian mendekat, bergeser dengan langkah pelan hingga berada di belakang Zara. Tangannya meraih tangan Zara, lembut namun tegas. “Aku mengerti perasaanmu, tapi ingat, ada batasnya. Aku tidak akan membiarkan
Hari itu, Zara mengatur pertemuan dengan Arka di sebuah kafe yang cukup tenang di pusat kota. Ia mengenakan gaun sederhana berwarna biru muda, dengan mantel panjang untuk melindungi tubuhnya dari angin yang cukup dingin.Saat ia tiba, Arka sudah duduk di salah satu sudut kafe. Pria itu tampak rapi seperti biasa, mengenakan kemeja hitam yang dipadukan dengan jas abu-abu.“Zara,” sapa Arka dengan senyum tipis.Zara tersenyum kecil dan duduk di hadapannya. “Terima kasih sudah meluangkan waktu.”Arka mengangguk. “Tentu. Aku juga ingin berbicara denganmu.”Zara terdiam sejenak, memperhatikan ekspresi pria di depannya. Sekalipun Rian menyebutnya sebagai Riko, tidak ada jejak kebencian atau kesombongan di wajahnya saat ini.“Kamu mengenal Luna dengan baik, kan?” tanya Zara akhirnya.Arka menghela napas pelan. “Dia adikku. Tentu saja aku mengenalnya.”“Tapi kamu tidak datang saat pemakamannya.”Arka menatap Zara dengan mata yang dalam. “Karena aku tidak i
Zara duduk di ruang tamu keluarga Hendrawan, mengusap perutnya yang mulai membesar. Sudah beberapa hari sejak pemakaman Luna, tapi pikirannya masih dipenuhi oleh pria yang muncul hari itu. Arka. Kakak Luna yang tiba-tiba hadir dalam hidup mereka.Dia merasa ada yang janggal.Zara memang tidak begitu mengenal Luna secara pribadi, tapi dia tahu bahwa keluarga perempuan itu cukup terpandang. Seharusnya ada anggota keluarga yang datang di hari pemakamannya. Namun, yang muncul hanya Arka. Dan sekarang, pria itu tiba-tiba menjadi bagian dari kehidupannya lagi.Saat Rian masuk ke ruangan, Zara langsung menatapnya dengan penuh tanda tanya.“Kamu sudah menyelidiki Arka, kan?” tanyanya tanpa basa-basi.Rian terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Ya.”Zara mencondongkan tubuhnya ke depan, penasaran. “Dan? Siapa dia sebenarnya?”Rian menarik napas dalam. Dia tahu cepat atau lambat Zara pasti akan bertanya. “Arkana Rikovan… dia bukan orang asing bagiku,” katanya perlahan.
“Jadi, kau mengenalnya?” tanya Bu Hanan yang tampak bingung dengan reaksi Zara.Zara mengangguk perlahan, masih belum bisa menyembunyikan keterkejutannya. “Dia… dia dulu hampir menjadi pengacaraku.”Lena langsung menoleh tajam. “Apa?!”Pria itu mengangguk. “Namaku Arka. Aku memang seorang pengacara, dan saat itu aku menerima permintaan untuk menangani perceraianmu. Tapi sebelum semuanya dimulai, aku mendadak mendapat panggilan lain, dan ternyata kamu menarik kembali tuntutan itu.”Zara ingat. Saat itu, ia sangat berharap bisa mendapatkan pengacara yang bisa membantunya keluar dari pernikahannya dengan Rian. Arka adalah salah satu pengacara terbaik, tapi tiba-tiba ia menarik diri dari kasusnya, tanpa penjelasan yang jelas.Sekarang semuanya mulai masuk akal. Jika Arka adalah kakak Luna, mungkin itulah alasan dia mundur dari kasusnya, karena keterkaitan keluarganya dengan situasi yang lebih besar.“Kenapa kamu ingin bertemu denganku?” tanya Zara akhirnya, suara
Lena dan Zara turun dari mobil dengan langkah yang sedikit ragu. Udara sore yang sejuk menyelimuti halaman luas kediaman keluarga Hendrawan, tapi kehangatan itu tidak cukup untuk mengusir kegelisahan dalam hati Zara.Sudah berbulan-bulan sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di rumah ini. Sejak ia meninggalkan semua yang ada di sini dan memilih membangun hidup baru bersama Rian.Ia tidak pernah berpikir akan kembali, apalagi dalam keadaan seperti ini, membawa dua nyawa dalam kandungannya dan kembali sebagai istri Rian secara resmi, bukan hanya sekadar wanita yang terikat dalam pernikahan tanpa cinta seperti dulu.Pelayan-pelayan di rumah itu menyambut mereka dengan sopan, tapi Zara masih bisa merasakan sisa-sisa tatapan meremehkan yang dulu pernah ia terima. Meskipun kini Bu Hanan, ibu mertuanya, sudah mulai menunjukkan perubahan, trauma akan masa lalu masih melekat kuat di dalam hatinya.“Bu Hanan ada di dalam, Nona,” kata salah satu pelayan, membukakan pintu bes
Zara duduk di dalam mobil dengan gelisah. Hatinya dipenuhi berbagai perasaan yang bercampur aduk. Rian sudah memintanya untuk fokus pada kehamilannya, tapi ada sesuatu yang masih mengganjal pikirannya."Lena, sebelum kita pulang... Aku ingin bertemu dengan Jerry dulu," katanya tiba-tiba.Lena menoleh dengan alis berkerut. "Kamu yakin? Bukannya Rian sudah bilang untuk tidak terlalu memikirkan hal ini?""Aku tahu," Zara menghela napas. "Tapi aku merasa harus bertemu dengannya. Aku ingin mengucapkan terima kasih. Kalau bukan karena darahnya, mungkin aku dan bayi-bayiku..." Suaranya melemah, tak sanggup menyelesaikan kalimatnya.Lena terdiam sejenak, lalu akhirnya mengangguk. "Baiklah, kita mampir sebentar."Mobil pun berbelok menuju kantor polisi tempat Jerry ditahan. Begitu sampai, Zara langsung merasakan atmosfer yang dingin dan suram. Ruangan yang dipenuhi jeruji besi itu seakan menekan perasaannya.Petugas mengizinkan mereka untuk bertemu dengan Jerry di rua
Malam semakin larut, tetapi pikiran Rian tak bisa tenang. Ia duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptop yang menampilkan laporan keuangan terakhir. Lima miliar rupiah bukan hanya angka biasa, itu adalah serangan langsung terhadap perusahaan dan dirinya.Ia tahu bahwa menjadi pemimpin bukanlah hal mudah, tetapi semakin hari, semakin banyak yang ingin melihatnya jatuh. Apalagi setelah keluarga Hendrawan hancur, banyak pihak yang merasa kehilangan pegangan. Mereka mencari celah, dan sekarang, pencurian dana ini bisa jadi bagian dari permainan mereka.Zara berjalan mendekat, membawa secangkir teh hangat. "Kamu belum tidur?" tanyanya lembut.Rian tersenyum tipis, menerima cangkir itu. "Banyak yang harus kupikirkan."Zara duduk di sampingnya. "Menurutmu, ini ada hubungannya dengan keluarga Hendrawan?"Rian mengangguk. "Kemungkinan besar. Setelah keluarga kita jatuh, banyak pihak yang kehilangan perlindungan dan mulai bergerak sendiri. Aku tidak terkejut kalau sekara
Saat Jerry kembali digiring oleh dua polisi menuju mobil tahanan, Zara menghela napas berat. Ia ingin melepaskan segala kepenatan ini, tapi matanya terusik oleh sesuatu.Di kejauhan, di balik pohon yang sedikit tertutup kabut hujan, seorang pria tampak mengawasi mereka. Sosoknya tinggi, mengenakan jaket gelap dengan tudung yang menutupi sebagian wajahnya. Sekilas, Zara bisa melihat rahangnya yang tegas dan tatapan tajamnya yang menusuk.Zara menoleh ke Rian, memastikan apakah suaminya juga menyadarinya. Namun, Rian justru sibuk menyesuaikan tongkatnya di tanah becek."Rian..." Zara berbisik, sedikit menarik lengannya. "Ada seseorang di sana. Sejak tadi dia berdiri di balik pohon dan memperhatikan kita."Rian menoleh ke arah yang dimaksud, tapi pria itu segera berbalik, berjalan menjauh sebelum akhirnya menghilang di antara pepohonan pemakaman.Lena dan Sandi yang mendengar percakapan mereka ikut melihat ke sekitar. "Kamu yakin, Zara?" tanya Lena."Aku yakin.
"Zara, sebenarnya Jerry mendonorkan banyak darah untukmu. Jika bukan karena dia, aku tida tahu apa yang terjadi padamu dan si kembar." Rian berkata dengan berat hati, namun Zara harus tetap tahu.Zara terdiam sejenak, mencerna kata-kata Rian. Matanya menatap kosong ke depan, pikirannya melayang pada kejadian beberapa hari lalu, saat dirinya terbaring lemah, nyaris kehilangan segalanya."Jerry...?" gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.Rian mengangguk, menatap wajah Zara dengan serius. "Iya, dia yang menyelamatkanmu. Darahmu langka, dan rumah sakit tidak punya stok. Kalau bukan karena Jerry yang mendonorkan darahnya, aku nggak tahu apa yang akan terjadi."Zara menggigit bibirnya, perasaannya bercampur aduk. Jerry orang yang dulu sempat menjadi bagian dari hidupnya, kini terasa terikat dengan takdirnya dalam cara yang tidak pernah ia bayangkan."Jadi... aku hidup karena dia?" tanyanya pelan, lebih kepada dirinya sendiri."Bukan cuma kam