Rian menggenggam tangan Zara dengan erat, seolah ingin memastikan dirinya tetap ada di sisinya. “Kamu harus istirahat,” katanya lembut. “Hari ini pasti banyak yang terjadi.”
Zara mengangguk pelan, membiarkan dirinya dituntun ke kamar mereka. Begitu sampai, ia duduk di tepi tempat tidur, merasa kelelahan baik secara fisik maupun emosional. Namun, tangannya masih menggenggam tangan Rian, enggan melepaskannya.Rian memperhatikan gerakan kecil itu, dan senyum tipis menghiasi wajahnya. “Aku akan mandi,” katanya, suaranya tenang namun terasa penuh perhatian.Ia melepaskan genggaman Zara dengan lembut, memastikan wanita itu merasa nyaman sebelum meninggalkannya.Zara menatap punggung Rian yang menghilang di balik pintu kamar mandi. Hatinya bergejolak, penuh dengan rasa yang sulit dijelaskan. Ia merasa tenang dan resah sekaligus, seolah berada di persimpangan antara harapan dan ketakutan.Saat suara air mulai terdengar dari kamar mandi, Zara menghela napas panjang. Ia meRian keluar dari kamar setelah mengganti pakaiannya. Saat pintu kamar tertutup di belakangnya, ia menuruni tangga perlahan, tidak mengira bahwa pemandangan di bawah akan menghentikan langkahnya.Zara sedang berdiri di ruang tamu, tangannya sibuk mengikat rambutnya ke atas, memperlihatkan leher jenjang dan kulitnya yang terlihat bersih di bawah cahaya lampu. Ia mengenakan piyama, tetapi beberapa kancing bagian atas sengaja tidak dikancingkan, memberikan kesan kasual yang menggoda.Rian terpaku, matanya tidak bisa lepas dari Zara. Jantungnya berdegup lebih kencang tanpa ia sadari."Wah, dia benar-benar tidak mau kalah," pikir Rian, sebuah senyuman tipis terukir di wajahnya.Zara merasakan tatapan itu, tetapi pura-pura tidak peduli. Ia berjalan ke meja makan dengan langkah ringan, mengambil segelas air dan meminumnya perlahan. Ia tahu Rian sedang memperhatikannya, dan entah kenapa ia merasa puas dengan reaksi pria itu.Rian akhirnya melanjutkan langkahnya, berjalan
Zara terus memperhatikan Rian di sela-sela makan malam mereka. Senyum tipis dan tawa kecil yang muncul dari pria itu benar-benar berbeda dari sosok yang ia kenal selama lima tahun terakhir.Biasanya, yang Zara lihat hanyalah ekspresi dingin, tegas, dan penuh jarak. Bahkan, kata-kata yang keluar dari mulutnya sering kali tajam, seperti belati yang menusuk tanpa ampun.Namun malam ini, Rian terasa seperti orang yang berbeda. Tawa kecilnya, meskipun singkat, membuat Zara terdiam. Ia bahkan tak sadar sudah lama tidak menyentuh makanannya, terlalu sibuk mengamati suaminya.“Kenapa kamu terus menatapku seperti itu?” tanya Rian tiba-tiba, membuat Zara tersentak.“Aku?” Zara buru-buru menunduk, menyembunyikan wajahnya yang mulai memerah. “Aku hanya... tidak menyangka kamu bisa tertawa seperti itu,” jawabnya jujur, meskipun suaranya terdengar pelan.Rian mengangkat alis, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan ekspresi santai. “Aku juga manusia, Zara. Apa aku tidak boleh me
Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela besar di ruang tamu, menyoroti ruangan yang berantakan. Pakaian mereka berserakan di lantai, dan aroma malam sebelumnya masih terasa.Zara perlahan membuka matanya, mendapati dirinya berada dalam pelukan Rian. Tubuh pria itu terasa hangat, membuat Zara merasa nyaman untuk beberapa saat.Namun, begitu kesadarannya pulih, Zara mulai merasa canggung. Ia menoleh, menatap wajah Rian yang sedang tertidur. Wajahnya terlihat damai meski ada lingkaran gelap di bawah matanya, tanda bahwa ia mungkin kurang tidur selama ini.“Dia pasti lelah...” pikir Zara sambil memandangi Rian lekat-lekat.Zara mencoba bergerak perlahan, khawatir membangunkan Rian. Namun, tangan Rian yang melingkari pinggangnya menahan gerakannya. Zara membeku, menahan napas. Ia menunduk, memperhatikan wajah Rian yang sedikit bergeser, tetapi masih terlelap."Kenapa dia bisa terlihat seperti ini... Begitu tenang, begitu—" Zara menghentikan pikirannya sendiri. Ia m
Rian menggenggam setir dengan erat, knuckles-nya memutih seiring tekanan yang ia berikan. Pikirannya penuh dengan kilasan kejadian semalam, terutama saat Jerry dengan berani menunjukkan ketertarikannya pada Zara.Di samping itu, kabar kematian Aldo masih menghantui pikirannya. Ia tahu, kematian itu tidak mungkin murni kebetulan. Mobil Rian berhenti mendadak di depan rumah besar Tuan Arman. Dengan langkah tegas, dia menuju pintu utama, langsung masuk tanpa mengetuk. Para pelayan yang melihatnya hanya menunduk, tidak berani menegur kehadirannya yang tiba-tiba.Di ruang kerja, Tuan Arman sedang duduk di kursinya, membaca dokumen-dokumen dengan serius. Ia mengangkat pandangannya saat mendengar pintu terbuka dengan keras. Wajah Rian yang penuh emosi langsung memberitahunya bahwa ini bukan kunjungan biasa.“Rian,” sapa Tuan Arman dengan tenang, meskipun nada suaranya menunjukkan sedikit ketidaknyamanan. “Apa yang membawamu datang pagi-pagi begini?”Rian tidak langsung
Luna membuka pintu apartemennya dengan gerakan lelah, tubuhnya bersandar sejenak pada kusen pintu sebelum akhirnya melangkah masuk. Dengan satu gerakan malas, dia melepas sepatu hak tingginya dan melemparkannya ke sudut ruangan. Tas kulitnya yang mahal pun dia letakkan di sofa tanpa peduli.Namun, matanya segera tertuju pada meja di ruang tamu. Tumpukan dokumen di sana menarik perhatiannya. Alisnya terangkat, rasa penasaran perlahan muncul. Dia berjalan mendekat, tangannya terulur mengambil dokumen paling atas.“Surat Permohonan Cerai”.Mata Luna menyipit, membaca lebih lanjut hingga dia menemukan nama yang membuat senyum licik muncul di wajahnya.“Zara dan Rian Hendrawan,” gumamnya, menyebut nama-nama itu dengan nada penuh minat. “Oh, ini menarik.” Dia membalik halaman, membaca setiap baris dengan teliti.Langkah kaki terdengar dari arah dapur. Riko, seorang pria yang menggunakan kemeja santai dengan lengan tergulung, muncul sambil membawa secangkir kopi.“O
Zara memindahkan beberapa dokumen dari meja ke dalam map besar. Setiap lembar kertas yang ia sentuh seolah membawa kenangan selama bertahun-tahun ia bekerja di rumah sakit itu. Suara langkah-langkah di lorong menggema, tetapi pikirannya tetap tertuju pada keputusan yang telah ia buat.Di sudut ruangan, seragam putihnya tergantung di gantungan. Seragam itu adalah bagian dari dirinya. Saksi dari setiap perjuangan, harapan, dan rasa bangga. Namun, sekarang ia merasa seperti melepaskan sebagian dari jiwanya.Pintu tiba-tiba terbuka tanpa ketukan. Suara langkah cepat terdengar sebelum seorang wanita muncul dengan napas terengah-engah. Lena, seorang suster yang bekerja bersamanya selama bertahun-tahun, berdiri di sana dengan ekspresi penuh keterkejutan."Zara!" Lena memekik sambil menatap meja yang sudah hampir kosong. "Kamu gak pernah cerita kalau kamu mau resign. Ada apa sebenarnya?"Zara mengangkat pandangannya, tersenyum kecil pada sahabatnya. "Aku
Rian duduk di balik meja kerjanya, tangannya memijat pelipisnya dengan ekspresi frustasi. Berkas-berkas yang menumpuk di atas meja terasa semakin berat karena kabar buruk yang baru saja diterimanya. Teleponnya terus berdering, sementara asisten pribadinya berdiri di depan pintu dengan wajah penuh kecemasan."Pak Rian," panggil asistennya hati-hati. "Klien kita, Tuan Kang, sudah memastikan keberangkatannya ke Seoul pagi tadi. Dia tidak bisa menunggu lebih lama."Rian menghela napas panjang. Tuan Kang adalah klien besar yang sudah lama ia incar untuk menjalin kerja sama, tetapi pria itu selalu sulit dipahami. Rencana pertemuan yang sudah mereka atur dengan matang tiba-tiba berubah, dan sekarang Tuan Kang kembali ke Korea tanpa memberinya kesempatan untuk bertemu lebih awal."Dia tidak memberikan alternatif jadwal?" tanya Rian dingin.Asistennya menggeleng. “Tidak, Pak. Dia hanya mengatakan bahwa jika Anda masih ingin melanjutkan kerja sama, Anda har
Zara duduk di tepi tempat tidur, tatapannya kosong mengarah ke lantai. Kamar itu sunyi, terlalu sunyi hingga suara detak jantungnya terdengar begitu jelas. Ia menarik napas panjang, tetapi udara terasa berat, seperti ada beban yang menekan dadanya.'Rian tidak ada.'Biasanya, meskipun dingin dan penuh jarak, kehadiran Rian di rumah memberikan nuansa yang berbeda. Kehadirannya yang sering kali membisu ternyata cukup untuk mengisi kesepiannya. Namun kini, dengan kepergiannya, Zara merasa sesuatu hilang.Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan pikirannya. Namun yang muncul justru bayangan-bayangan kecil tentang Rian. Cara pria itu menyebut namanya dengan suara tenang, senyuman kecil yang sesekali muncul di antara sikap dinginnya, bahkan kebiasaannya membaca dokumen di sofa ruang tamu hingga larut malam. Hal-hal kecil itu kini terasa lebih berarti daripada sebelumnya."Kenapa aku merasa begini?" gumam Zara, suaranya nyaris tidak terdengar.Ia
Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Pernikahan Jerry dan Tasya berlangsung di sebuah taman indah yang dihiasi dengan bunga-bunga putih dan lilin-lilin kecil yang berkelap-kelip. Langit cerah, burung-burung berkicau seolah ikut merayakan kebahagiaan mereka.Di antara para tamu, Rian dan Zara berdiri di barisan depan, tersenyum bangga melihat sahabat mereka akhirnya bersatu dalam ikatan suci.Di samping mereka, dua anak kecil yang menggemaskan, Naomi dan Nathan, anak kembar mereka berlari-lari kecil sambil menggenggam bantal berbentuk hati sambil membawa cincin pernikahan."Tante Tasya cantik sekali!" seru Naomi dengan mata berbinar.Nathan mengangguk setuju. "Om Jerry juga kelihatan keren hari ini!"Zara tersenyum dan berbisik pada Rian, "Mereka lebih bersemangat dari kita."Rian terkekeh. "Ya, lihat saja nanti, mereka pasti ikut heboh di pesta."Sementara itu, Jerry berdiri di altar dengan gugup, menunggu Tasya yang berjalan menuju ke arahnya. Gaun putih pa
Jerry berdiri di depan cermin, merapikan kemeja putihnya yang baru disetrika. Ini bukan pertama kalinya dia merasa gugup, tetapi kali ini berbeda. Hari ini adalah hari di mana dia akan mengambil langkah terbesar dalam hidupnya.Melamar Tasya.Setelah berbicara dengan kedua orang tua Tasya beberapa hari lalu, dia semakin yakin bahwa ini adalah keputusan yang tepat. Dia tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Dia mencintai Tasya, dan dia ingin menghabiskan sisa hidupnya bersamanya.Jerry telah merencanakan semuanya dengan matang. Dia ingin momen ini menjadi sesuatu yang Tasya kenang selamanya. Dia memilih restoran rooftop eksklusif dengan pemandangan kota yang indah di malam hari.Di sana, dia sudah menyiapkan dekorasi dengan lilin-lilin kecil, kelopak bunga mawar, dan musik romantis yang akan mengiringi makan malam mereka.Tidak hanya itu, Jerry juga meminta bantuan sahabat-sahabat Tasya untuk memastikan semuanya berjalan lancar. Sahabat terbaik Tasya, Rina dan Dita
Malam itu, Jerry duduk di dalam mobilnya, menatap ponselnya dengan ragu. Jarinya berulang kali melayang di atas nama Tasya, tetapi ia tidak juga menekan tombol panggil.Setelah percakapan dengan Rian, pikirannya semakin kacau. Dia ingin berbicara dengan Tasya, ingin meyakinkan bahwa perasaannya tulus. Namun, dia juga tidak ingin membuat perempuan itu semakin menjauh.Akhirnya, dengan tekad yang sudah bulat, Jerry keluar dari mobilnya dan berjalan menuju rumah sakit tempat Tasya bekerja. Dia tahu jam kerja perempuan itu hampir selesai. Jika dia ingin bicara, ini adalah kesempatan terbaiknya.Saat ia sampai di lobi rumah sakit, matanya segera menangkap sosok Tasya yang sedang berbicara dengan seorang pria berseragam dokter. Jerry mengenali pria itu, dokter Alex, rekan kerja Tasya yang pernah beberapa kali ia dengar namanya disebut dalam percakapan mereka.Ada sesuatu dalam cara Tasya tertawa kecil yang membuat Jerry merasa gelisah. Itu adalah tawa yang dulu sering ia d
Beberapa hari berlalu sejak percakapan itu, dan Jerry mulai menyadari sesuatu yang aneh. Tasya tidak lagi menghubunginya seperti sebelumnya. Tidak ada pesan singkat menanyakan kabarnya, tidak ada ajakan makan siang atau sekadar berbagi cerita.Jika biasanya Tasya selalu hadir dengan senyumannya yang hangat, kini dia seakan menghilang begitu saja.Awalnya, Jerry berpikir bahwa Tasya hanya sibuk dengan pekerjaannya di rumah sakit. Tapi ketika dia mencoba menghubunginya, hanya balasan singkat yang ia dapatkan, atau bahkan pesan yang tidak pernah dibalas sama sekali.Rasa penasaran mulai mengusik Jerry. Ada sesuatu yang terjadi, dan dia ingin tahu alasannya. Sore itu, dia memutuskan untuk menunggu di luar rumah sakit tempat Tasya bekerja.Setelah beberapa jam berlalu, akhirnya dia melihat sosok perempuan itu keluar dari gedung dengan wajah lelah. Tasya tampak terkejut ketika melihat Jerry berdiri di sana.“Tasya,” panggil Jerry pelan.Tasya menghentikan langkahny
Hari-hari berlalu sejak Jerry membantu Tasya mendapatkan pekerjaan di rumah sakit. Semakin sering mereka bertemu, semakin banyak pula percakapan yang mereka bagi.Jerry, yang biasanya tertutup, mulai menemukan kenyamanan dalam keberadaan Tasya. Sementara itu, Tasya juga merasakan sesuatu yang berbeda saat berbicara dengan Jerry.Suatu sore setelah jam kerja, Tasya sedang membereskan berkas-berkas pasien di meja resepsionis. Jerry, yang kebetulan baru menyelesaikan pertemuan dengan direktur rumah sakit, melihat Tasya yang terlihat lelah."Masih sibuk?" tanya Jerry sambil menyandarkan tangannya di meja.Tasya menoleh dan tersenyum tipis. "Iya, harus menyelesaikan ini dulu sebelum pulang. Kamu sendiri, kenapa masih di sini?"Jerry mengangkat bahunya. "Menunggu seseorang," jawabnya santai."Menunggu siapa?" Tasya bertanya sambil melirik jam tangannya. Rumah sakit sudah mulai sepi, hanya tersisa beberapa staf yang juga bersiap untuk pulang.Jerry tersenyum kec
Jerry melangkah memasuki supermarket dengan langkah santai. Acara pernikahan Lena dan Sandi tadi cukup melelahkan, dan sekarang ia hanya ingin membeli minuman dingin untuk menyegarkan pikirannya.Setelah mengambil sebotol air mineral dari lemari pendingin, ia beranjak ke kasir. Saat itu, matanya menangkap sosok seorang wanita yang sedang sibuk merapikan barang di rak dekat kasir.Rambut panjangnya diikat ke belakang, dan ia mengenakan seragam pegawai supermarket berwarna hijau. Ketika wanita itu berbalik, mata mereka bertemu, dan keduanya terdiam."Tasya?" Jerry mengernyit, mencoba memastikan bahwa penglihatannya tidak salah.Wanita itu pun terkejut, lalu tersenyum setelah memastikan siapa yang berdiri di hadapannya. "Jerry? Ya ampun, lama sekali kita tidak bertemu!" serunya dengan nada antusias.Jerry mengangguk pelan, masih memproses fakta bahwa ia bertemu dengan teman Zara di masa lalu. "Sudah lama sekali. Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini."
Rian tiba-tiba saja berjongkok di hadapan istrinya, mengeluarkan sebuah kotak dari sakunya. Dia mengungkapkan cintanya, melamar Zara lagi. Dia bilang, mungkin dulu mereka menikah karena paksaan dan Rian hanyalah peran pengganti Jerry. Namun, sekarang Rian ingin hidup bersama dengan Zara, saling mencintai.Zara menatap Rian dengan mata berkaca-kaca. Dadanya bergemuruh, campuran antara keterkejutan dan kebahagiaan yang tak bisa dijelaskan. "Rian..." suaranya hampir tak terdengar.Rian membuka kotak kecil itu, menampilkan cincin berlian yang berkilauan di bawah cahaya lampu taman mereka. "Zara, aku ingin kita memulai kembali. Kali ini, bukan karena keadaan atau paksaan. Aku ingin menikahimu lagi, dengan sepenuh hati dan dengan rasa cinta yang tak terbantahkan."Zara menutup mulutnya, air mata mulai mengalir. Hatinya berdesir hangat mendengar pengakuan itu. Sejak dulu, ia selalu mempertanyakan bagaimana perasaan Rian sebenarnya. Apakah ia hanya menjadi bayanga
Hari itu, suasana di Hendrawan Group terasa berbeda. Para karyawan berbisik-bisik sejak pagi, membicarakan satu hal yang menjadi pusat perhatian mereka. Kembalinya Jerry Hendrawan sedang menjadi topik hangat. Setelah empat tahun berlalu, nama Jerry kembali menggema di dalam gedung perusahaan.Sejak kepergiannya, banyak hal telah berubah. Rian, yang selama ini mengelola perusahaan, sudah menyiapkan semuanya. Ia tidak ingin ada kekacauan atau ketidakjelasan dalam transisi ini. Bagaimanapun, Jerry adalah pemilik sah Hendrawan Group, dan Rian tahu saatnya sudah tiba untuk mengembalikan hak tersebut.Saat Jerry memasuki gedung, semua mata tertuju padanya. Pria itu mengenakan setelan hitam dengan kemeja putih bersih, langkahnya tegas dan penuh percaya diri. Tidak ada lagi bayangan pria yang dulu penuh kemarahan dan dendam. Wajahnya terlihat lebih matang, lebih tenang, meskipun masih menyimpan ketegasan yang khas.Ketika lift membawanya ke lantai eksekutif, sekretaris Rian sege
Zara melangkah memasuki rumah sakit dengan perasaan campur aduk. Setelah sekian lama absen dari dunia medis, hari ini adalah hari pertamanya kembali bertugas sebagai dokter.Meskipun ia sudah terbiasa membantu Rian di perusahaan, dunia rumah sakit adalah tempat di mana hatinya benar-benar berada. Perasaan nostalgia langsung menyergapnya begitu ia melewati koridor yang dulu sangat akrab baginya."Selamat datang kembali, Dokter Zara," sapa salah satu perawat yang dikenalnya, Rina, dengan senyum ramah.Zara membalas dengan anggukan hangat. "Terima kasih, Rina. Bagaimana keadaan di sini? Apa ada perubahan besar selama aku pergi?"Rina tertawa kecil. "Tidak banyak, hanya saja kami kehilangan seorang dokter yang sangat berdedikasi. Sekarang, kami senang karena dokter itu kembali."Zara tersenyum, lalu melanjutkan langkahnya menuju ruang ganti. Ia mengenakan jas putihnya dengan perasaan familiar yang menyenangkan. Setelah merapikan rambutnya, ia menuju ruang rapat untuk