Luna membuka pintu apartemennya dengan gerakan lelah, tubuhnya bersandar sejenak pada kusen pintu sebelum akhirnya melangkah masuk. Dengan satu gerakan malas, dia melepas sepatu hak tingginya dan melemparkannya ke sudut ruangan. Tas kulitnya yang mahal pun dia letakkan di sofa tanpa peduli.
Namun, matanya segera tertuju pada meja di ruang tamu. Tumpukan dokumen di sana menarik perhatiannya. Alisnya terangkat, rasa penasaran perlahan muncul. Dia berjalan mendekat, tangannya terulur mengambil dokumen paling atas.“Surat Permohonan Cerai”.Mata Luna menyipit, membaca lebih lanjut hingga dia menemukan nama yang membuat senyum licik muncul di wajahnya.“Zara dan Rian Hendrawan,” gumamnya, menyebut nama-nama itu dengan nada penuh minat. “Oh, ini menarik.” Dia membalik halaman, membaca setiap baris dengan teliti.Langkah kaki terdengar dari arah dapur. Riko, seorang pria yang menggunakan kemeja santai dengan lengan tergulung, muncul sambil membawa secangkir kopi.“OZara memindahkan beberapa dokumen dari meja ke dalam map besar. Setiap lembar kertas yang ia sentuh seolah membawa kenangan selama bertahun-tahun ia bekerja di rumah sakit itu. Suara langkah-langkah di lorong menggema, tetapi pikirannya tetap tertuju pada keputusan yang telah ia buat.Di sudut ruangan, seragam putihnya tergantung di gantungan. Seragam itu adalah bagian dari dirinya. Saksi dari setiap perjuangan, harapan, dan rasa bangga. Namun, sekarang ia merasa seperti melepaskan sebagian dari jiwanya.Pintu tiba-tiba terbuka tanpa ketukan. Suara langkah cepat terdengar sebelum seorang wanita muncul dengan napas terengah-engah. Lena, seorang suster yang bekerja bersamanya selama bertahun-tahun, berdiri di sana dengan ekspresi penuh keterkejutan."Zara!" Lena memekik sambil menatap meja yang sudah hampir kosong. "Kamu gak pernah cerita kalau kamu mau resign. Ada apa sebenarnya?"Zara mengangkat pandangannya, tersenyum kecil pada sahabatnya. "Aku
Rian duduk di balik meja kerjanya, tangannya memijat pelipisnya dengan ekspresi frustasi. Berkas-berkas yang menumpuk di atas meja terasa semakin berat karena kabar buruk yang baru saja diterimanya. Teleponnya terus berdering, sementara asisten pribadinya berdiri di depan pintu dengan wajah penuh kecemasan."Pak Rian," panggil asistennya hati-hati. "Klien kita, Tuan Kang, sudah memastikan keberangkatannya ke Seoul pagi tadi. Dia tidak bisa menunggu lebih lama."Rian menghela napas panjang. Tuan Kang adalah klien besar yang sudah lama ia incar untuk menjalin kerja sama, tetapi pria itu selalu sulit dipahami. Rencana pertemuan yang sudah mereka atur dengan matang tiba-tiba berubah, dan sekarang Tuan Kang kembali ke Korea tanpa memberinya kesempatan untuk bertemu lebih awal."Dia tidak memberikan alternatif jadwal?" tanya Rian dingin.Asistennya menggeleng. “Tidak, Pak. Dia hanya mengatakan bahwa jika Anda masih ingin melanjutkan kerja sama, Anda har
Zara duduk di tepi tempat tidur, tatapannya kosong mengarah ke lantai. Kamar itu sunyi, terlalu sunyi hingga suara detak jantungnya terdengar begitu jelas. Ia menarik napas panjang, tetapi udara terasa berat, seperti ada beban yang menekan dadanya.'Rian tidak ada.'Biasanya, meskipun dingin dan penuh jarak, kehadiran Rian di rumah memberikan nuansa yang berbeda. Kehadirannya yang sering kali membisu ternyata cukup untuk mengisi kesepiannya. Namun kini, dengan kepergiannya, Zara merasa sesuatu hilang.Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan pikirannya. Namun yang muncul justru bayangan-bayangan kecil tentang Rian. Cara pria itu menyebut namanya dengan suara tenang, senyuman kecil yang sesekali muncul di antara sikap dinginnya, bahkan kebiasaannya membaca dokumen di sofa ruang tamu hingga larut malam. Hal-hal kecil itu kini terasa lebih berarti daripada sebelumnya."Kenapa aku merasa begini?" gumam Zara, suaranya nyaris tidak terdengar.Ia
Zara bergegas keluar dari rumah dengan tubuh yang masih diliputi rasa cemas. Tangannya gemetar saat ia menggenggam kunci mobil, dan air mata masih membekas di wajahnya. Ia menghidupkan mesin mobil, lalu melaju tanpa peduli keadaan jalanan yang padat.Suara klakson terdengar di sepanjang perjalanan, tetapi Zara tak peduli. Pikirannya hanya tertuju pada satu hal, memastikan keadaan Rian."Kenapa aku membiarkannya pergi? Seharusnya aku menahannya," gumam Zara dengan suara lirih, tetapi penuh penyesalan. Ia merasakan hatinya semakin sesak dengan setiap kilometer yang dilaluinya.Setibanya di rumah Tuan Arman, Zara menghentikan mobilnya dengan mendadak di halaman. Para pelayan yang sedang membersihkan taman langsung menoleh ke arahnya dengan ekspresi terkejut. Namun, Zara tidak memedulikan mereka. Ia keluar dari mobil dan berjalan cepat menuju pintu depan.Tanpa mengetuk, ia langsung membuka pintu besar rumah itu, langkahnya tergesa. Para pelayan yang
Tuan Arman melirik Zara yang masih tampak tertekan. Ia menekan pelipisnya, menyadari bahwa menenangkan wanita itu dengan kata-kata tidak akan berhasil."Antar Zara ke kamar tamu, biarkan dia beristirahat," perintahnya pada para pelayan.Namun, baru beberapa langkah beranjak dari tempat duduknya, tubuh Zara melemas. Matanya mengerjap sekejap sebelum akhirnya terpejam."Zara!"Jerry yang berdiri paling dekat langsung bergerak cepat, menangkap tubuh Zara sebelum terjatuh ke lantai. Pelayan-pelayan yang hendak membantunya malah terdiam, terpaku melihat ekspresi cemas yang begitu kentara di wajah Jerry."Cepat panggil dokter!" teriaknya, suaranya terdengar hampir putus asa.Tanpa menunggu lebih lama, Jerry menggendong Zara ke kamar tamu. Langkahnya tergesa-gesa, napasnya tidak teratur, dan dadanya terasa sesak melihat betapa pucatnya wajah wanita itu.Sesampainya di kamar, ia dengan hati-hati membaringkan Zara di atas ranjang
Di luar kamar, Jerry berdiri di lorong, tubuhnya membeku seakan waktu berhenti bergerak. Pandangannya kosong, terpaku pada dinding putih yang memantulkan bayangannya yang lelah. Kata-kata dokter itu terus berputar dalam pikirannya, seperti melodi yang tak bisa berhenti diputar.Ia mencoba mengendalikan dirinya, mengatur napas yang semakin terasa sesak, tetapi setiap detik yang berlalu semakin membuatnya tenggelam dalam kekacauan emosinya.'Zara… hamil? Dan itu anak Rian?'Langkah kaki pelan mendekatkannya pada kenyataan yang sulit diterima. Bu Hanan muncul dari ujung lorong, tatapan matanya tajam. Ia menghentikan langkahnya tepat di depan Jerry, berdiri dengan kehadiran yang tidak bisa di hindari.“Kamu kelihatan sangat terguncang, Jerry,” suara Bu Hanan lembut, tapi cukup menusuk.Jerry tidak langsung menanggapi. Hanya sekilas pandangan yang diberikan, seperti pria yang terjebak dalam labirin perasaannya sendiri.“Apa ini mengec
“Bu, kenapa rasanya jantungku nggak berhenti berdebar?” Zara memegang dadanya, mencoba mengatur napas yang terasa sesak.Ibunya, Bu Sari, yang tengah merapikan gaun Zara berhenti sejenak, memandang wajah putrinya yang penuh kegelisahan. “Itu wajar, Nak. Semua pengantin pasti gugup.”Zara mengangguk pelan. Ia menatap cermin di hadapannya, mencoba tersenyum, namun bayangannya membuatnya merasa asing.“Zara, tamu sudah berdatangan. Kamu siap?” suara lembut ibunya membuyarkan lamunan.“Ya, Bu,” jawab Zara, tersenyum canggung menutupi kegelisahannya.Hujan pagi itu seharusnya menjadi latar hari paling bahagia bagi Zara. Gaun putih dengan renda halus melekat sempurna di tubuhnya, tetapi firasat ganjil sejak pagi tak mau hilang.Segalanya tampak sempurna. Musik klasik mengalun, dekorasi gereja memukau, tetapi sebuah ketukan di pintu ruang rias mengubah segalanya.“Kecelakaan?” Zara menatap pria berjas formal yang berdiri di ambang pintu, tubuhnya terasa kaku. Suaranya gemetar, nyaris tak kel
Zara menatap cermin di depannya. Gaun putih yang membalut tubuhnya begitu anggun, menjadikannya sosok yang hampir sempurna di mata orang lain. Tapi bagi Zara, gaun itu seperti tali yang membelit tubuhnya, membuatnya sulit bernapas.Matanya sembab, bibirnya kering, dan senyumnya menghilang entah ke mana. Ia tidak berkata apa-apa. Apa yang bisa ia katakan? Protes? Tangisan? Semua itu sudah habis beberapa jam lalu.“Zara, ibu tahu kamu mungkin kecewa pada Ibu.” Bu Sari melangkah mendekat, meletakkan tangannya di pundak Zara. “Tapi, kamu harus tahu apa yang sudah dikorbankan mendiang ayahmu untuk memastikan kamu tidak kehilangan segalanya. Pernikahan ini... mungkin satu-satunya cara untuk menyelamatkan kita semua," suara Bu Sari bergetar, penuh beban.Zara ingin menjawab, ingin mengatakan bahwa ia merasa dikhianati oleh dunia, oleh orang-orang yang seharusnya melindunginya. Tapi yang keluar hanyalah desahan panjang. Ia tidak ingin membuat ibunya lebih terbebani.“Jerry… bertahanlah,” bisi
Di luar kamar, Jerry berdiri di lorong, tubuhnya membeku seakan waktu berhenti bergerak. Pandangannya kosong, terpaku pada dinding putih yang memantulkan bayangannya yang lelah. Kata-kata dokter itu terus berputar dalam pikirannya, seperti melodi yang tak bisa berhenti diputar.Ia mencoba mengendalikan dirinya, mengatur napas yang semakin terasa sesak, tetapi setiap detik yang berlalu semakin membuatnya tenggelam dalam kekacauan emosinya.'Zara… hamil? Dan itu anak Rian?'Langkah kaki pelan mendekatkannya pada kenyataan yang sulit diterima. Bu Hanan muncul dari ujung lorong, tatapan matanya tajam. Ia menghentikan langkahnya tepat di depan Jerry, berdiri dengan kehadiran yang tidak bisa di hindari.“Kamu kelihatan sangat terguncang, Jerry,” suara Bu Hanan lembut, tapi cukup menusuk.Jerry tidak langsung menanggapi. Hanya sekilas pandangan yang diberikan, seperti pria yang terjebak dalam labirin perasaannya sendiri.“Apa ini mengec
Tuan Arman melirik Zara yang masih tampak tertekan. Ia menekan pelipisnya, menyadari bahwa menenangkan wanita itu dengan kata-kata tidak akan berhasil."Antar Zara ke kamar tamu, biarkan dia beristirahat," perintahnya pada para pelayan.Namun, baru beberapa langkah beranjak dari tempat duduknya, tubuh Zara melemas. Matanya mengerjap sekejap sebelum akhirnya terpejam."Zara!"Jerry yang berdiri paling dekat langsung bergerak cepat, menangkap tubuh Zara sebelum terjatuh ke lantai. Pelayan-pelayan yang hendak membantunya malah terdiam, terpaku melihat ekspresi cemas yang begitu kentara di wajah Jerry."Cepat panggil dokter!" teriaknya, suaranya terdengar hampir putus asa.Tanpa menunggu lebih lama, Jerry menggendong Zara ke kamar tamu. Langkahnya tergesa-gesa, napasnya tidak teratur, dan dadanya terasa sesak melihat betapa pucatnya wajah wanita itu.Sesampainya di kamar, ia dengan hati-hati membaringkan Zara di atas ranjang
Zara bergegas keluar dari rumah dengan tubuh yang masih diliputi rasa cemas. Tangannya gemetar saat ia menggenggam kunci mobil, dan air mata masih membekas di wajahnya. Ia menghidupkan mesin mobil, lalu melaju tanpa peduli keadaan jalanan yang padat.Suara klakson terdengar di sepanjang perjalanan, tetapi Zara tak peduli. Pikirannya hanya tertuju pada satu hal, memastikan keadaan Rian."Kenapa aku membiarkannya pergi? Seharusnya aku menahannya," gumam Zara dengan suara lirih, tetapi penuh penyesalan. Ia merasakan hatinya semakin sesak dengan setiap kilometer yang dilaluinya.Setibanya di rumah Tuan Arman, Zara menghentikan mobilnya dengan mendadak di halaman. Para pelayan yang sedang membersihkan taman langsung menoleh ke arahnya dengan ekspresi terkejut. Namun, Zara tidak memedulikan mereka. Ia keluar dari mobil dan berjalan cepat menuju pintu depan.Tanpa mengetuk, ia langsung membuka pintu besar rumah itu, langkahnya tergesa. Para pelayan yang
Zara duduk di tepi tempat tidur, tatapannya kosong mengarah ke lantai. Kamar itu sunyi, terlalu sunyi hingga suara detak jantungnya terdengar begitu jelas. Ia menarik napas panjang, tetapi udara terasa berat, seperti ada beban yang menekan dadanya.'Rian tidak ada.'Biasanya, meskipun dingin dan penuh jarak, kehadiran Rian di rumah memberikan nuansa yang berbeda. Kehadirannya yang sering kali membisu ternyata cukup untuk mengisi kesepiannya. Namun kini, dengan kepergiannya, Zara merasa sesuatu hilang.Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan pikirannya. Namun yang muncul justru bayangan-bayangan kecil tentang Rian. Cara pria itu menyebut namanya dengan suara tenang, senyuman kecil yang sesekali muncul di antara sikap dinginnya, bahkan kebiasaannya membaca dokumen di sofa ruang tamu hingga larut malam. Hal-hal kecil itu kini terasa lebih berarti daripada sebelumnya."Kenapa aku merasa begini?" gumam Zara, suaranya nyaris tidak terdengar.Ia
Rian duduk di balik meja kerjanya, tangannya memijat pelipisnya dengan ekspresi frustasi. Berkas-berkas yang menumpuk di atas meja terasa semakin berat karena kabar buruk yang baru saja diterimanya. Teleponnya terus berdering, sementara asisten pribadinya berdiri di depan pintu dengan wajah penuh kecemasan."Pak Rian," panggil asistennya hati-hati. "Klien kita, Tuan Kang, sudah memastikan keberangkatannya ke Seoul pagi tadi. Dia tidak bisa menunggu lebih lama."Rian menghela napas panjang. Tuan Kang adalah klien besar yang sudah lama ia incar untuk menjalin kerja sama, tetapi pria itu selalu sulit dipahami. Rencana pertemuan yang sudah mereka atur dengan matang tiba-tiba berubah, dan sekarang Tuan Kang kembali ke Korea tanpa memberinya kesempatan untuk bertemu lebih awal."Dia tidak memberikan alternatif jadwal?" tanya Rian dingin.Asistennya menggeleng. “Tidak, Pak. Dia hanya mengatakan bahwa jika Anda masih ingin melanjutkan kerja sama, Anda har
Zara memindahkan beberapa dokumen dari meja ke dalam map besar. Setiap lembar kertas yang ia sentuh seolah membawa kenangan selama bertahun-tahun ia bekerja di rumah sakit itu. Suara langkah-langkah di lorong menggema, tetapi pikirannya tetap tertuju pada keputusan yang telah ia buat.Di sudut ruangan, seragam putihnya tergantung di gantungan. Seragam itu adalah bagian dari dirinya. Saksi dari setiap perjuangan, harapan, dan rasa bangga. Namun, sekarang ia merasa seperti melepaskan sebagian dari jiwanya.Pintu tiba-tiba terbuka tanpa ketukan. Suara langkah cepat terdengar sebelum seorang wanita muncul dengan napas terengah-engah. Lena, seorang suster yang bekerja bersamanya selama bertahun-tahun, berdiri di sana dengan ekspresi penuh keterkejutan."Zara!" Lena memekik sambil menatap meja yang sudah hampir kosong. "Kamu gak pernah cerita kalau kamu mau resign. Ada apa sebenarnya?"Zara mengangkat pandangannya, tersenyum kecil pada sahabatnya. "Aku
Luna membuka pintu apartemennya dengan gerakan lelah, tubuhnya bersandar sejenak pada kusen pintu sebelum akhirnya melangkah masuk. Dengan satu gerakan malas, dia melepas sepatu hak tingginya dan melemparkannya ke sudut ruangan. Tas kulitnya yang mahal pun dia letakkan di sofa tanpa peduli.Namun, matanya segera tertuju pada meja di ruang tamu. Tumpukan dokumen di sana menarik perhatiannya. Alisnya terangkat, rasa penasaran perlahan muncul. Dia berjalan mendekat, tangannya terulur mengambil dokumen paling atas.“Surat Permohonan Cerai”.Mata Luna menyipit, membaca lebih lanjut hingga dia menemukan nama yang membuat senyum licik muncul di wajahnya.“Zara dan Rian Hendrawan,” gumamnya, menyebut nama-nama itu dengan nada penuh minat. “Oh, ini menarik.” Dia membalik halaman, membaca setiap baris dengan teliti.Langkah kaki terdengar dari arah dapur. Riko, seorang pria yang menggunakan kemeja santai dengan lengan tergulung, muncul sambil membawa secangkir kopi.“O
Rian menggenggam setir dengan erat, knuckles-nya memutih seiring tekanan yang ia berikan. Pikirannya penuh dengan kilasan kejadian semalam, terutama saat Jerry dengan berani menunjukkan ketertarikannya pada Zara.Di samping itu, kabar kematian Aldo masih menghantui pikirannya. Ia tahu, kematian itu tidak mungkin murni kebetulan. Mobil Rian berhenti mendadak di depan rumah besar Tuan Arman. Dengan langkah tegas, dia menuju pintu utama, langsung masuk tanpa mengetuk. Para pelayan yang melihatnya hanya menunduk, tidak berani menegur kehadirannya yang tiba-tiba.Di ruang kerja, Tuan Arman sedang duduk di kursinya, membaca dokumen-dokumen dengan serius. Ia mengangkat pandangannya saat mendengar pintu terbuka dengan keras. Wajah Rian yang penuh emosi langsung memberitahunya bahwa ini bukan kunjungan biasa.“Rian,” sapa Tuan Arman dengan tenang, meskipun nada suaranya menunjukkan sedikit ketidaknyamanan. “Apa yang membawamu datang pagi-pagi begini?”Rian tidak langsung
Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela besar di ruang tamu, menyoroti ruangan yang berantakan. Pakaian mereka berserakan di lantai, dan aroma malam sebelumnya masih terasa.Zara perlahan membuka matanya, mendapati dirinya berada dalam pelukan Rian. Tubuh pria itu terasa hangat, membuat Zara merasa nyaman untuk beberapa saat.Namun, begitu kesadarannya pulih, Zara mulai merasa canggung. Ia menoleh, menatap wajah Rian yang sedang tertidur. Wajahnya terlihat damai meski ada lingkaran gelap di bawah matanya, tanda bahwa ia mungkin kurang tidur selama ini.“Dia pasti lelah...” pikir Zara sambil memandangi Rian lekat-lekat.Zara mencoba bergerak perlahan, khawatir membangunkan Rian. Namun, tangan Rian yang melingkari pinggangnya menahan gerakannya. Zara membeku, menahan napas. Ia menunduk, memperhatikan wajah Rian yang sedikit bergeser, tetapi masih terlelap."Kenapa dia bisa terlihat seperti ini... Begitu tenang, begitu—" Zara menghentikan pikirannya sendiri. Ia m