Rian duduk di balik meja kerjanya, tangannya memijat pelipisnya dengan ekspresi frustasi. Berkas-berkas yang menumpuk di atas meja terasa semakin berat karena kabar buruk yang baru saja diterimanya. Teleponnya terus berdering, sementara asisten pribadinya berdiri di depan pintu dengan wajah penuh kecemasan.
"Pak Rian," panggil asistennya hati-hati. "Klien kita, Tuan Kang, sudah memastikan keberangkatannya ke Seoul pagi tadi. Dia tidak bisa menunggu lebih lama."Rian menghela napas panjang. Tuan Kang adalah klien besar yang sudah lama ia incar untuk menjalin kerja sama, tetapi pria itu selalu sulit dipahami. Rencana pertemuan yang sudah mereka atur dengan matang tiba-tiba berubah, dan sekarang Tuan Kang kembali ke Korea tanpa memberinya kesempatan untuk bertemu lebih awal."Dia tidak memberikan alternatif jadwal?" tanya Rian dingin.Asistennya menggeleng. “Tidak, Pak. Dia hanya mengatakan bahwa jika Anda masih ingin melanjutkan kerja sama, Anda harZara duduk di tepi tempat tidur, tatapannya kosong mengarah ke lantai. Kamar itu sunyi, terlalu sunyi hingga suara detak jantungnya terdengar begitu jelas. Ia menarik napas panjang, tetapi udara terasa berat, seperti ada beban yang menekan dadanya.'Rian tidak ada.'Biasanya, meskipun dingin dan penuh jarak, kehadiran Rian di rumah memberikan nuansa yang berbeda. Kehadirannya yang sering kali membisu ternyata cukup untuk mengisi kesepiannya. Namun kini, dengan kepergiannya, Zara merasa sesuatu hilang.Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan pikirannya. Namun yang muncul justru bayangan-bayangan kecil tentang Rian. Cara pria itu menyebut namanya dengan suara tenang, senyuman kecil yang sesekali muncul di antara sikap dinginnya, bahkan kebiasaannya membaca dokumen di sofa ruang tamu hingga larut malam. Hal-hal kecil itu kini terasa lebih berarti daripada sebelumnya."Kenapa aku merasa begini?" gumam Zara, suaranya nyaris tidak terdengar.Ia
Zara bergegas keluar dari rumah dengan tubuh yang masih diliputi rasa cemas. Tangannya gemetar saat ia menggenggam kunci mobil, dan air mata masih membekas di wajahnya. Ia menghidupkan mesin mobil, lalu melaju tanpa peduli keadaan jalanan yang padat.Suara klakson terdengar di sepanjang perjalanan, tetapi Zara tak peduli. Pikirannya hanya tertuju pada satu hal, memastikan keadaan Rian."Kenapa aku membiarkannya pergi? Seharusnya aku menahannya," gumam Zara dengan suara lirih, tetapi penuh penyesalan. Ia merasakan hatinya semakin sesak dengan setiap kilometer yang dilaluinya.Setibanya di rumah Tuan Arman, Zara menghentikan mobilnya dengan mendadak di halaman. Para pelayan yang sedang membersihkan taman langsung menoleh ke arahnya dengan ekspresi terkejut. Namun, Zara tidak memedulikan mereka. Ia keluar dari mobil dan berjalan cepat menuju pintu depan.Tanpa mengetuk, ia langsung membuka pintu besar rumah itu, langkahnya tergesa. Para pelayan yang
Tuan Arman melirik Zara yang masih tampak tertekan. Ia menekan pelipisnya, menyadari bahwa menenangkan wanita itu dengan kata-kata tidak akan berhasil."Antar Zara ke kamar tamu, biarkan dia beristirahat," perintahnya pada para pelayan.Namun, baru beberapa langkah beranjak dari tempat duduknya, tubuh Zara melemas. Matanya mengerjap sekejap sebelum akhirnya terpejam."Zara!"Jerry yang berdiri paling dekat langsung bergerak cepat, menangkap tubuh Zara sebelum terjatuh ke lantai. Pelayan-pelayan yang hendak membantunya malah terdiam, terpaku melihat ekspresi cemas yang begitu kentara di wajah Jerry."Cepat panggil dokter!" teriaknya, suaranya terdengar hampir putus asa.Tanpa menunggu lebih lama, Jerry menggendong Zara ke kamar tamu. Langkahnya tergesa-gesa, napasnya tidak teratur, dan dadanya terasa sesak melihat betapa pucatnya wajah wanita itu.Sesampainya di kamar, ia dengan hati-hati membaringkan Zara di atas ranjang
Di luar kamar, Jerry berdiri di lorong, tubuhnya membeku seakan waktu berhenti bergerak. Pandangannya kosong, terpaku pada dinding putih yang memantulkan bayangannya yang lelah. Kata-kata dokter itu terus berputar dalam pikirannya, seperti melodi yang tak bisa berhenti diputar.Ia mencoba mengendalikan dirinya, mengatur napas yang semakin terasa sesak, tetapi setiap detik yang berlalu semakin membuatnya tenggelam dalam kekacauan emosinya.'Zara… hamil? Dan itu anak Rian?'Langkah kaki pelan mendekatkannya pada kenyataan yang sulit diterima. Bu Hanan muncul dari ujung lorong, tatapan matanya tajam. Ia menghentikan langkahnya tepat di depan Jerry, berdiri dengan kehadiran yang tidak bisa di hindari.“Kamu kelihatan sangat terguncang, Jerry,” suara Bu Hanan lembut, tapi cukup menusuk.Jerry tidak langsung menanggapi. Hanya sekilas pandangan yang diberikan, seperti pria yang terjebak dalam labirin perasaannya sendiri.“Apa ini mengec
Setelah meninggalkan Luna, Bu Hanan duduk di kursi belakang mobil dengan ekspresi muram. Mobil melaju menuju rumah, tetapi pikirannya masih tertinggal di kafe.'Tante harus memastikan bahwa bayi itu benar-benar anak Rian sebelum semuanya terlambat.'Kata-kata Luna terus berputar di kepalanya. Ia tidak bisa mengabaikan kemungkinan itu. Jika benar bayi yang dikandung Zara bukan darah daging Rian, maka skandal ini akan menjadi bencana besar bagi keluarga Hendrawan.Saat tiba di rumah, Bu Hanan langsung meminta pelayan menyiapkan teh hangat. Namun, pikirannya yang gelisah membuatnya tak bisa menikmati minuman itu. Ia memijat pelipisnya, mencoba mencari cara untuk memastikan kebenaran tanpa menimbulkan kecurigaan.Tak lama, Tuan Arman masuk ke ruang tamu dan melihat istrinya yang tampak tidak tenang. “Apa yang terjadi?” tanyanya, duduk di sofa di seberangnya.Bu Hanan menatap suaminya sejenak sebelum menjawab, “Zara hamil.”Tuan Arman menaikkan alisnya. “Ya, itu kabar baik, bukan?”Bu Hana
Zara duduk di tepi tempat tidurnya, jari-jarinya mengusap perutnya yang masih datar. Bayangan tentang Rian terus menghantui pikirannya."Di mana kamu, Rian? Apa kau baik-baik saja?"Air matanya menggenang, tetapi ia menahannya. Ia tidak bisa terus-terusan larut dalam kesedihan.Ketukan pelan di pintu mengalihkan perhatiannya. Bu Sari masuk dengan membawa secangkir teh hangat. “Kamu belum makan apa pun sejak pagi, Nak.”Zara tersenyum lemah. “Aku tidak merasa lapar, Bu.”Bu Sari duduk di samping putrinya, menatapnya penuh kasih. “Zara, kamu harus menjaga kesehatanmu. Bukan hanya untuk dirimu sendiri, tapi juga untuk bayi di dalam kandunganmu.”Zara menghela napas panjang, menatap ibunya dengan mata yang lelah. “Bu, bagaimana jika Rian tidak pernah kembali?”Bu Sari terdiam sejenak, lalu menggenggam tangan Zara erat. “Jangan berpikir seperti itu. Kamu harus percaya bahwa dia akan kembali.”Zara memejamkan mata, air matanya akhirnya jatuh.Malam semakin larut, tetapi Zara masih duduk di
"Zara..."Mata Zara membelalak. Dadanya seakan berhenti berdetak.Ia mengenali suara itu."Rian?" tanyanya dengan suara bergetar, penuh harapan.Namun, keheningan yang menyusul setelahnya terasa terlalu panjang, terlalu dingin. Kemudian, suara itu kembali terdengar, lebih jelas kali ini."Bukan," jawab pria di ujung telepon.Jantung Zara berdetak lebih cepat. "Siapa ini?" tanyanya tajam, matanya langsung beralih ke kaca spion, perasaan was-was menyelimuti dirinya."Aku seseorang yang bisa memberimu jawaban tentang suamimu," kata suara itu dengan nada rendah dan misterius.Zara menggenggam ponselnya lebih erat. "Apa maksudmu? Di mana Rian?"Pria itu tertawa pelan, seolah menikmati kepanikannya. "Tenang, Zara. Aku hanya ingin bertemu denganmu. Jika kamu ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, datanglah ke tempat yang akan kukirimkan lokasinya sebentar lagi.""Lalu kenapa aku harus mempercayaimu?" Zara menekan rahangnya, mencoba mengendalikan emosinya."Karena ini tentang suamimu," jawab
Tembakan berikutnya terdengar, kali ini lebih dekat. Zara menahan napas, tangannya gemetar saat berpengangan pada tangan Jerry. Aldo terlihat gelisah, tetapi dia tetap mempertahankan sikap santainya."Siapa yang tahu kau di sini?" tanya Jerry dengam suara rendah, tetapi penuh ancaman.Aldo menyeringai. "Kau pikir hanya kalian yang ingin tahu kebenaran? Banyak orang ingin aku tetap mati, Jerry."Zara semakin panik. "Kita harus keluar dari sini," bisiknya.Jerry mengangguk. "Kau tahu jalan lain untuk keluar dari tempat ini?" tanyanya pada Aldo.Aldo mendecak, lalu menunjuk ke sisi gudang yang gelap. "Di belakang sana, ada pintu keluar menuju lorong sempit. Tapi kita harus cepat."Mereka bertiga bergerak secepat mungkin menuju arah yang Aldo tunjukkan. Zara bisa mendengar suara langkah kaki mendekat dari pintu depan gudang. Brakk!Pintu gudang terbuka dengan kasar dan beberapa pria bersenjata masuk dengan cepat.
Di kamar, suasana terasa semakin tegang. Rian duduk di ujung ranjang, sementara Zara berdiri di dekat jendela, merenung, dengan pandangan kosong yang menembus keluar. Rian memerhatikan setiap gerakan Zara, menyadari betapa dalamnya pikiran istrinya, namun hatinya tetap kokoh dengan keputusan yang sudah diambil.“Zara, aku tahu kamu peduli pada Jerry,” suara Rian pecah, lembut namun penuh penekanan. “Tapi kita tidak bisa membiarkan perasaan itu mengaburkan kenyataan. Dia sudah melakukan banyak hal yang merusak hidup kita. Kita tidak bisa membiarkan dia melangkah bebas begitu saja.”Zara menoleh, menatap Rian dengan mata yang dipenuhi kebingungannya. “Tapi… Rian, dia juga manusia. Dia punya sisi baik, dan aku tahu itu. Aku ingin dia mendapatkan kesempatan untuk berubah.”Rian mendekat, bergeser dengan langkah pelan hingga berada di belakang Zara. Tangannya meraih tangan Zara, lembut namun tegas. “Aku mengerti perasaanmu, tapi ingat, ada batasnya. Aku tidak akan membiarkan
Hari itu, Zara mengatur pertemuan dengan Arka di sebuah kafe yang cukup tenang di pusat kota. Ia mengenakan gaun sederhana berwarna biru muda, dengan mantel panjang untuk melindungi tubuhnya dari angin yang cukup dingin.Saat ia tiba, Arka sudah duduk di salah satu sudut kafe. Pria itu tampak rapi seperti biasa, mengenakan kemeja hitam yang dipadukan dengan jas abu-abu.“Zara,” sapa Arka dengan senyum tipis.Zara tersenyum kecil dan duduk di hadapannya. “Terima kasih sudah meluangkan waktu.”Arka mengangguk. “Tentu. Aku juga ingin berbicara denganmu.”Zara terdiam sejenak, memperhatikan ekspresi pria di depannya. Sekalipun Rian menyebutnya sebagai Riko, tidak ada jejak kebencian atau kesombongan di wajahnya saat ini.“Kamu mengenal Luna dengan baik, kan?” tanya Zara akhirnya.Arka menghela napas pelan. “Dia adikku. Tentu saja aku mengenalnya.”“Tapi kamu tidak datang saat pemakamannya.”Arka menatap Zara dengan mata yang dalam. “Karena aku tidak i
Zara duduk di ruang tamu keluarga Hendrawan, mengusap perutnya yang mulai membesar. Sudah beberapa hari sejak pemakaman Luna, tapi pikirannya masih dipenuhi oleh pria yang muncul hari itu. Arka. Kakak Luna yang tiba-tiba hadir dalam hidup mereka.Dia merasa ada yang janggal.Zara memang tidak begitu mengenal Luna secara pribadi, tapi dia tahu bahwa keluarga perempuan itu cukup terpandang. Seharusnya ada anggota keluarga yang datang di hari pemakamannya. Namun, yang muncul hanya Arka. Dan sekarang, pria itu tiba-tiba menjadi bagian dari kehidupannya lagi.Saat Rian masuk ke ruangan, Zara langsung menatapnya dengan penuh tanda tanya.“Kamu sudah menyelidiki Arka, kan?” tanyanya tanpa basa-basi.Rian terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Ya.”Zara mencondongkan tubuhnya ke depan, penasaran. “Dan? Siapa dia sebenarnya?”Rian menarik napas dalam. Dia tahu cepat atau lambat Zara pasti akan bertanya. “Arkana Rikovan… dia bukan orang asing bagiku,” katanya perlahan.
“Jadi, kau mengenalnya?” tanya Bu Hanan yang tampak bingung dengan reaksi Zara.Zara mengangguk perlahan, masih belum bisa menyembunyikan keterkejutannya. “Dia… dia dulu hampir menjadi pengacaraku.”Lena langsung menoleh tajam. “Apa?!”Pria itu mengangguk. “Namaku Arka. Aku memang seorang pengacara, dan saat itu aku menerima permintaan untuk menangani perceraianmu. Tapi sebelum semuanya dimulai, aku mendadak mendapat panggilan lain, dan ternyata kamu menarik kembali tuntutan itu.”Zara ingat. Saat itu, ia sangat berharap bisa mendapatkan pengacara yang bisa membantunya keluar dari pernikahannya dengan Rian. Arka adalah salah satu pengacara terbaik, tapi tiba-tiba ia menarik diri dari kasusnya, tanpa penjelasan yang jelas.Sekarang semuanya mulai masuk akal. Jika Arka adalah kakak Luna, mungkin itulah alasan dia mundur dari kasusnya, karena keterkaitan keluarganya dengan situasi yang lebih besar.“Kenapa kamu ingin bertemu denganku?” tanya Zara akhirnya, suara
Lena dan Zara turun dari mobil dengan langkah yang sedikit ragu. Udara sore yang sejuk menyelimuti halaman luas kediaman keluarga Hendrawan, tapi kehangatan itu tidak cukup untuk mengusir kegelisahan dalam hati Zara.Sudah berbulan-bulan sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di rumah ini. Sejak ia meninggalkan semua yang ada di sini dan memilih membangun hidup baru bersama Rian.Ia tidak pernah berpikir akan kembali, apalagi dalam keadaan seperti ini, membawa dua nyawa dalam kandungannya dan kembali sebagai istri Rian secara resmi, bukan hanya sekadar wanita yang terikat dalam pernikahan tanpa cinta seperti dulu.Pelayan-pelayan di rumah itu menyambut mereka dengan sopan, tapi Zara masih bisa merasakan sisa-sisa tatapan meremehkan yang dulu pernah ia terima. Meskipun kini Bu Hanan, ibu mertuanya, sudah mulai menunjukkan perubahan, trauma akan masa lalu masih melekat kuat di dalam hatinya.“Bu Hanan ada di dalam, Nona,” kata salah satu pelayan, membukakan pintu bes
Zara duduk di dalam mobil dengan gelisah. Hatinya dipenuhi berbagai perasaan yang bercampur aduk. Rian sudah memintanya untuk fokus pada kehamilannya, tapi ada sesuatu yang masih mengganjal pikirannya."Lena, sebelum kita pulang... Aku ingin bertemu dengan Jerry dulu," katanya tiba-tiba.Lena menoleh dengan alis berkerut. "Kamu yakin? Bukannya Rian sudah bilang untuk tidak terlalu memikirkan hal ini?""Aku tahu," Zara menghela napas. "Tapi aku merasa harus bertemu dengannya. Aku ingin mengucapkan terima kasih. Kalau bukan karena darahnya, mungkin aku dan bayi-bayiku..." Suaranya melemah, tak sanggup menyelesaikan kalimatnya.Lena terdiam sejenak, lalu akhirnya mengangguk. "Baiklah, kita mampir sebentar."Mobil pun berbelok menuju kantor polisi tempat Jerry ditahan. Begitu sampai, Zara langsung merasakan atmosfer yang dingin dan suram. Ruangan yang dipenuhi jeruji besi itu seakan menekan perasaannya.Petugas mengizinkan mereka untuk bertemu dengan Jerry di rua
Malam semakin larut, tetapi pikiran Rian tak bisa tenang. Ia duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptop yang menampilkan laporan keuangan terakhir. Lima miliar rupiah bukan hanya angka biasa, itu adalah serangan langsung terhadap perusahaan dan dirinya.Ia tahu bahwa menjadi pemimpin bukanlah hal mudah, tetapi semakin hari, semakin banyak yang ingin melihatnya jatuh. Apalagi setelah keluarga Hendrawan hancur, banyak pihak yang merasa kehilangan pegangan. Mereka mencari celah, dan sekarang, pencurian dana ini bisa jadi bagian dari permainan mereka.Zara berjalan mendekat, membawa secangkir teh hangat. "Kamu belum tidur?" tanyanya lembut.Rian tersenyum tipis, menerima cangkir itu. "Banyak yang harus kupikirkan."Zara duduk di sampingnya. "Menurutmu, ini ada hubungannya dengan keluarga Hendrawan?"Rian mengangguk. "Kemungkinan besar. Setelah keluarga kita jatuh, banyak pihak yang kehilangan perlindungan dan mulai bergerak sendiri. Aku tidak terkejut kalau sekara
Saat Jerry kembali digiring oleh dua polisi menuju mobil tahanan, Zara menghela napas berat. Ia ingin melepaskan segala kepenatan ini, tapi matanya terusik oleh sesuatu.Di kejauhan, di balik pohon yang sedikit tertutup kabut hujan, seorang pria tampak mengawasi mereka. Sosoknya tinggi, mengenakan jaket gelap dengan tudung yang menutupi sebagian wajahnya. Sekilas, Zara bisa melihat rahangnya yang tegas dan tatapan tajamnya yang menusuk.Zara menoleh ke Rian, memastikan apakah suaminya juga menyadarinya. Namun, Rian justru sibuk menyesuaikan tongkatnya di tanah becek."Rian..." Zara berbisik, sedikit menarik lengannya. "Ada seseorang di sana. Sejak tadi dia berdiri di balik pohon dan memperhatikan kita."Rian menoleh ke arah yang dimaksud, tapi pria itu segera berbalik, berjalan menjauh sebelum akhirnya menghilang di antara pepohonan pemakaman.Lena dan Sandi yang mendengar percakapan mereka ikut melihat ke sekitar. "Kamu yakin, Zara?" tanya Lena."Aku yakin.
"Zara, sebenarnya Jerry mendonorkan banyak darah untukmu. Jika bukan karena dia, aku tida tahu apa yang terjadi padamu dan si kembar." Rian berkata dengan berat hati, namun Zara harus tetap tahu.Zara terdiam sejenak, mencerna kata-kata Rian. Matanya menatap kosong ke depan, pikirannya melayang pada kejadian beberapa hari lalu, saat dirinya terbaring lemah, nyaris kehilangan segalanya."Jerry...?" gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.Rian mengangguk, menatap wajah Zara dengan serius. "Iya, dia yang menyelamatkanmu. Darahmu langka, dan rumah sakit tidak punya stok. Kalau bukan karena Jerry yang mendonorkan darahnya, aku nggak tahu apa yang akan terjadi."Zara menggigit bibirnya, perasaannya bercampur aduk. Jerry orang yang dulu sempat menjadi bagian dari hidupnya, kini terasa terikat dengan takdirnya dalam cara yang tidak pernah ia bayangkan."Jadi... aku hidup karena dia?" tanyanya pelan, lebih kepada dirinya sendiri."Bukan cuma kam