Tembakan berikutnya terdengar, kali ini lebih dekat. Zara menahan napas, tangannya gemetar saat berpengangan pada tangan Jerry. Aldo terlihat gelisah, tetapi dia tetap mempertahankan sikap santainya.
"Siapa yang tahu kau di sini?" tanya Jerry dengam suara rendah, tetapi penuh ancaman.Aldo menyeringai. "Kau pikir hanya kalian yang ingin tahu kebenaran? Banyak orang ingin aku tetap mati, Jerry."Zara semakin panik. "Kita harus keluar dari sini," bisiknya.Jerry mengangguk. "Kau tahu jalan lain untuk keluar dari tempat ini?" tanyanya pada Aldo.Aldo mendecak, lalu menunjuk ke sisi gudang yang gelap. "Di belakang sana, ada pintu keluar menuju lorong sempit. Tapi kita harus cepat."Mereka bertiga bergerak secepat mungkin menuju arah yang Aldo tunjukkan. Zara bisa mendengar suara langkah kaki mendekat dari pintu depan gudang.Brakk!Pintu gudang terbuka dengan kasar dan beberapa pria bersenjata masuk dengan cepat. <Bu Hanan masuk ke kamar dengan langkah berat, melemparkan syalnya ke sofa sebelum naik ke tempat tidur. Tuan Arman sudah berbaring, membaca dokumen di tangannya, tetapi ia tidak terkejut saat istrinya langsung berbaring di sampingnya dengan wajah muram."Masih soal Zara?" tanya Tuan Arman tanpa menoleh.Bu Hanan mendengus. "Apa lagi kalau bukan itu? Aku benar-benar tidak habis pikir. Perempuan itu semakin berani, semakin besar kepala! Jerry selalu membelanya, dan sekarang dia bahkan menginap di apartemen anak itu!"Tuan Arman menutup dokumen di tangannya dan menoleh ke istrinya dengan ekspresi datar. "Lalu apa urusannya denganmu?"Bu Hanan terbelalak, merasa tak percaya dengan reaksi suaminya. "Apa maksudmu? Kita ini keluarga Hendrawan, Arman! Bagaimana mungkin kamu tidak peduli kalau menantu kita menghabiskan waktu dengan anak kita yang lain?!"Tuan Arman menghela napas panjang. "Anak Jerry atau pun anak Rian. Zara tetaplah istri Rian. A
Zara menghapus air matanya dengan punggung tangan, berusaha mengendalikan emosinya."Kita harus ke Korea!" ucapnya tegas.Jerry terdiam beberapa saat, memandangi Zara yang berdiri dengan tatapan penuh keyakinan. Ia bisa melihat betapa kuat kemauan wanita itu, tetapi ini bukan hal yang bisa diputuskan dengan gegabah."Apa maksudmu, Zara?" Jerry akhirnya bersuara. "Kamu sedang hamil muda. Perjalanan jauh seperti ini terlalu berisiko untukmu."Zara menahan rasa frustasi yang membuncah dalam dadanya. "Aku tidak peduli. Aku harus memastikan sendiri. Kita harus mencarinya ke sana, Jerry. Mungkin… mungkin Rian naik penerbangan lain. Mungkin dia masih hidup!"Jerry menghela napas panjang, berusaha tetap rasional dalam situasi yang penuh ketidakpastian ini. "Zara, aku mengerti perasaanmu, tapi kita harus memikirkan segalanya dengan matang. Ini bukan hanya tentangmu atau Rian, ini juga tentang bayi yang sedang kamu kandung."Zara mengepalkan tangannya. "Aku tahu risiko
Zara menatap layar komputer petugas bandara dengan tatapan kosong. Fakta bahwa Rian tidak naik pesawat ke Seoul membuat hatinya semakin gelisah."Kamu masih ingin mencarinya di Korea, Zara?" tanya Jerry pelan, matanya tajam mengamati ekspresi wanita di sampingnya.Zara menoleh, napasnya sedikit bergetar. "Ya, tentu saja. Sebelum berangkat, Rian mengatakan bahwa dia ingin menemui seseorang bernama Tuan Kang. Apa kamu tahu sesuatu tentang klien itu?"Jerry mengangguk, menyandarkan tangannya di meja informasi bandara. "Tuan Kang bukan sekadar klien biasa. Dia adalah investor besar yang selama ini tertarik bekerja sama dengan perusahaan kami. Tapi, dia juga bukan orang yang mudah ditemui. Banyak pengusaha yang harus berusaha keras hanya untuk mendapatkan pertemuan dengannya."Zara menyernyit. "Jadi, Rian benar-benar berencana bertemu dengannya?"Jerry menatap lurus ke depan, berpikir sejenak. "Jika memang begitu, kemungkinan besar Rian masih
Reno.Asisten pribadi Rian, yang selalu ada di sisinya. Jika ada orang yang tahu ke mana perginya Rian malam itu, maka orang itu pasti Reno.Dalam perjalanan kembali ke hotel, Zara duduk diam dengan tangan terkepal di atas pangkuannya. Jerry menatapnya dari samping, tahu bahwa pikirannya sedang kacau."Kita kembali ke Indonesia besok," kata Zara akhirnya. "Asistennya mungkin tahu lebih banyak daripada yang kita duga."Jerry mengangguk, matanya masih menatap Zara. Jika benar Rian tidak pernah pergi ke Korea, maka seseorang telah menjebaknya. Dan jika seseorang telah menjebaknya...Maka orang itu adalah seseorang yang ingin memastikan Rian tidak pernah ditemukan.Setelah kembali ke Indonesia, Zara dan Jerry langsung menuju ke kantor Hendrawan Corp. Namun, begitu mereka tiba, suasana terasa lebih hening dari biasanya.Tuan Arman duduk di ruang kerjanya, terlihat sibuk membaca beberapa dokumen. Bu Hanan juga ada di sana, den
“Bu, kenapa rasanya jantungku nggak berhenti berdebar?” Zara memegang dadanya, mencoba mengatur napas yang terasa sesak.Ibunya, Bu Sari, yang tengah merapikan gaun Zara berhenti sejenak, memandang wajah putrinya yang penuh kegelisahan. “Itu wajar, Nak. Semua pengantin pasti gugup.”Zara mengangguk pelan. Ia menatap cermin di hadapannya, mencoba tersenyum, namun bayangannya membuatnya merasa asing.“Zara, tamu sudah berdatangan. Kamu siap?” suara lembut ibunya membuyarkan lamunan.“Ya, Bu,” jawab Zara, tersenyum canggung menutupi kegelisahannya.Hujan pagi itu seharusnya menjadi latar hari paling bahagia bagi Zara. Gaun putih dengan renda halus melekat sempurna di tubuhnya, tetapi firasat ganjil sejak pagi tak mau hilang.Segalanya tampak sempurna. Musik klasik mengalun, dekorasi gereja memukau, tetapi sebuah ketukan di pintu ruang rias mengubah segalanya.“Kecelakaan?” Zara menatap pria berjas formal yang berdiri di ambang pintu, tubuhnya terasa kaku. Suaranya gemetar, nyaris tak kel
Zara menatap cermin di depannya. Gaun putih yang membalut tubuhnya begitu anggun, menjadikannya sosok yang hampir sempurna di mata orang lain. Tapi bagi Zara, gaun itu seperti tali yang membelit tubuhnya, membuatnya sulit bernapas.Matanya sembab, bibirnya kering, dan senyumnya menghilang entah ke mana. Ia tidak berkata apa-apa. Apa yang bisa ia katakan? Protes? Tangisan? Semua itu sudah habis beberapa jam lalu.“Zara, ibu tahu kamu mungkin kecewa pada Ibu.” Bu Sari melangkah mendekat, meletakkan tangannya di pundak Zara. “Tapi, kamu harus tahu apa yang sudah dikorbankan mendiang ayahmu untuk memastikan kamu tidak kehilangan segalanya. Pernikahan ini... mungkin satu-satunya cara untuk menyelamatkan kita semua," suara Bu Sari bergetar, penuh beban.Zara ingin menjawab, ingin mengatakan bahwa ia merasa dikhianati oleh dunia, oleh orang-orang yang seharusnya melindunginya. Tapi yang keluar hanyalah desahan panjang. Ia tidak ingin membuat ibunya lebih terbebani.“Jerry… bertahanlah,” bisi
Setelah pernikahan yang terasa seperti pengorbanan dari pada awal kebahagiaan, Zara dan Rian pindah ke rumah baru yang telah disiapkan oleh keluarga mereka. Rumah itu besar, mewah, dan dilengkapi dengan perabotan mahal yang tampak sempurna.Namun bagi Zara, semua itu tidak mampu menghapus kehampaan yang ia rasakan. Ia berdiri di ruang tamu, memandangi sofa kulit yang dingin, chandelier kristal yang berkilauan, dan dinding putih bersih yang terasa asing. Ia merasa seperti tamu dalam hidupnya sendiri.Rian hanya membawa koper ke sudut ruangan dan pergi tanpa sepatah kata. Langkahnya yang tenang namun dingin, menghilang di balik pintu kamar. Zara tetap diam di tempatnya, mencoba menenangkan hatinya."Ini adalah awal yang baru, aku harus kuat,” pikirnya, meski rasa sesak di dadanya semakin menekan.Malam itu, Zara memutuskan menyiapkan makan malam sederhana. Sebuah usaha kecil untuk mencoba membangun komunikasi di antara mereka. Ia menata meja makan dengan rapi, berharap bisa memulai perc
Zara mengalihkan kesepiannya dengan tenggelam dalam pekerjaannya sebagai seorang dokter. Pagi-pagi sekali, ia sudah berangkat ke rumah sakit, mengenakan jas putih dan menyibukkan diri dengan pasien-pasiennya. Baginya, pekerjaan di rumah sakit adalah satu-satunya tempat di mana ia merasa dihargai dan dibutuhkan. "Dokter Zara, pasien di ruang ICU memerlukan pemeriksaan tambahan," panggil seorang perawat. Zara mengangguk, lalu segera menuju ruang ICU. Sepanjang hari, ia berpindah dari satu ruangan ke ruangan lain, memastikan semua pasien mendapatkan perawatan terbaik. Pekerjaan ini adalah pelariannya, meskipun tubuh dan pikirannya kerap merasa lelah. Namun, bahkan di rumah sakit, pikirannya tetap melayang pada pernikahannya yang terasa hampa. Saat sedang mengisi catatan medis, ia sering terdiam, memikirkan bagaimana ia bisa memperbaiki hubungan dengan Rian. Zara duduk di kursi ruang istirahat setelah shift panjang. Tangannya memijat pelipis, matanya menatap kosong ke loker di depan
Reno.Asisten pribadi Rian, yang selalu ada di sisinya. Jika ada orang yang tahu ke mana perginya Rian malam itu, maka orang itu pasti Reno.Dalam perjalanan kembali ke hotel, Zara duduk diam dengan tangan terkepal di atas pangkuannya. Jerry menatapnya dari samping, tahu bahwa pikirannya sedang kacau."Kita kembali ke Indonesia besok," kata Zara akhirnya. "Asistennya mungkin tahu lebih banyak daripada yang kita duga."Jerry mengangguk, matanya masih menatap Zara. Jika benar Rian tidak pernah pergi ke Korea, maka seseorang telah menjebaknya. Dan jika seseorang telah menjebaknya...Maka orang itu adalah seseorang yang ingin memastikan Rian tidak pernah ditemukan.Setelah kembali ke Indonesia, Zara dan Jerry langsung menuju ke kantor Hendrawan Corp. Namun, begitu mereka tiba, suasana terasa lebih hening dari biasanya.Tuan Arman duduk di ruang kerjanya, terlihat sibuk membaca beberapa dokumen. Bu Hanan juga ada di sana, den
Zara menatap layar komputer petugas bandara dengan tatapan kosong. Fakta bahwa Rian tidak naik pesawat ke Seoul membuat hatinya semakin gelisah."Kamu masih ingin mencarinya di Korea, Zara?" tanya Jerry pelan, matanya tajam mengamati ekspresi wanita di sampingnya.Zara menoleh, napasnya sedikit bergetar. "Ya, tentu saja. Sebelum berangkat, Rian mengatakan bahwa dia ingin menemui seseorang bernama Tuan Kang. Apa kamu tahu sesuatu tentang klien itu?"Jerry mengangguk, menyandarkan tangannya di meja informasi bandara. "Tuan Kang bukan sekadar klien biasa. Dia adalah investor besar yang selama ini tertarik bekerja sama dengan perusahaan kami. Tapi, dia juga bukan orang yang mudah ditemui. Banyak pengusaha yang harus berusaha keras hanya untuk mendapatkan pertemuan dengannya."Zara menyernyit. "Jadi, Rian benar-benar berencana bertemu dengannya?"Jerry menatap lurus ke depan, berpikir sejenak. "Jika memang begitu, kemungkinan besar Rian masih
Zara menghapus air matanya dengan punggung tangan, berusaha mengendalikan emosinya."Kita harus ke Korea!" ucapnya tegas.Jerry terdiam beberapa saat, memandangi Zara yang berdiri dengan tatapan penuh keyakinan. Ia bisa melihat betapa kuat kemauan wanita itu, tetapi ini bukan hal yang bisa diputuskan dengan gegabah."Apa maksudmu, Zara?" Jerry akhirnya bersuara. "Kamu sedang hamil muda. Perjalanan jauh seperti ini terlalu berisiko untukmu."Zara menahan rasa frustasi yang membuncah dalam dadanya. "Aku tidak peduli. Aku harus memastikan sendiri. Kita harus mencarinya ke sana, Jerry. Mungkin… mungkin Rian naik penerbangan lain. Mungkin dia masih hidup!"Jerry menghela napas panjang, berusaha tetap rasional dalam situasi yang penuh ketidakpastian ini. "Zara, aku mengerti perasaanmu, tapi kita harus memikirkan segalanya dengan matang. Ini bukan hanya tentangmu atau Rian, ini juga tentang bayi yang sedang kamu kandung."Zara mengepalkan tangannya. "Aku tahu risiko
Bu Hanan masuk ke kamar dengan langkah berat, melemparkan syalnya ke sofa sebelum naik ke tempat tidur. Tuan Arman sudah berbaring, membaca dokumen di tangannya, tetapi ia tidak terkejut saat istrinya langsung berbaring di sampingnya dengan wajah muram."Masih soal Zara?" tanya Tuan Arman tanpa menoleh.Bu Hanan mendengus. "Apa lagi kalau bukan itu? Aku benar-benar tidak habis pikir. Perempuan itu semakin berani, semakin besar kepala! Jerry selalu membelanya, dan sekarang dia bahkan menginap di apartemen anak itu!"Tuan Arman menutup dokumen di tangannya dan menoleh ke istrinya dengan ekspresi datar. "Lalu apa urusannya denganmu?"Bu Hanan terbelalak, merasa tak percaya dengan reaksi suaminya. "Apa maksudmu? Kita ini keluarga Hendrawan, Arman! Bagaimana mungkin kamu tidak peduli kalau menantu kita menghabiskan waktu dengan anak kita yang lain?!"Tuan Arman menghela napas panjang. "Anak Jerry atau pun anak Rian. Zara tetaplah istri Rian. A
Tembakan berikutnya terdengar, kali ini lebih dekat. Zara menahan napas, tangannya gemetar saat berpengangan pada tangan Jerry. Aldo terlihat gelisah, tetapi dia tetap mempertahankan sikap santainya."Siapa yang tahu kau di sini?" tanya Jerry dengam suara rendah, tetapi penuh ancaman.Aldo menyeringai. "Kau pikir hanya kalian yang ingin tahu kebenaran? Banyak orang ingin aku tetap mati, Jerry."Zara semakin panik. "Kita harus keluar dari sini," bisiknya.Jerry mengangguk. "Kau tahu jalan lain untuk keluar dari tempat ini?" tanyanya pada Aldo.Aldo mendecak, lalu menunjuk ke sisi gudang yang gelap. "Di belakang sana, ada pintu keluar menuju lorong sempit. Tapi kita harus cepat."Mereka bertiga bergerak secepat mungkin menuju arah yang Aldo tunjukkan. Zara bisa mendengar suara langkah kaki mendekat dari pintu depan gudang. Brakk!Pintu gudang terbuka dengan kasar dan beberapa pria bersenjata masuk dengan cepat.
"Zara..."Mata Zara membelalak. Dadanya seakan berhenti berdetak.Ia mengenali suara itu."Rian?" tanyanya dengan suara bergetar, penuh harapan.Namun, keheningan yang menyusul setelahnya terasa terlalu panjang, terlalu dingin. Kemudian, suara itu kembali terdengar, lebih jelas kali ini."Bukan," jawab pria di ujung telepon.Jantung Zara berdetak lebih cepat. "Siapa ini?" tanyanya tajam, matanya langsung beralih ke kaca spion, perasaan was-was menyelimuti dirinya."Aku seseorang yang bisa memberimu jawaban tentang suamimu," kata suara itu dengan nada rendah dan misterius.Zara menggenggam ponselnya lebih erat. "Apa maksudmu? Di mana Rian?"Pria itu tertawa pelan, seolah menikmati kepanikannya. "Tenang, Zara. Aku hanya ingin bertemu denganmu. Jika kamu ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, datanglah ke tempat yang akan kukirimkan lokasinya sebentar lagi.""Lalu kenapa aku harus mempercayaimu?" Zara menekan rahangnya, mencoba mengendalikan emosinya."Karena ini tentang suamimu," jawab
Zara duduk di tepi tempat tidurnya, jari-jarinya mengusap perutnya yang masih datar. Bayangan tentang Rian terus menghantui pikirannya."Di mana kamu, Rian? Apa kau baik-baik saja?"Air matanya menggenang, tetapi ia menahannya. Ia tidak bisa terus-terusan larut dalam kesedihan.Ketukan pelan di pintu mengalihkan perhatiannya. Bu Sari masuk dengan membawa secangkir teh hangat. “Kamu belum makan apa pun sejak pagi, Nak.”Zara tersenyum lemah. “Aku tidak merasa lapar, Bu.”Bu Sari duduk di samping putrinya, menatapnya penuh kasih. “Zara, kamu harus menjaga kesehatanmu. Bukan hanya untuk dirimu sendiri, tapi juga untuk bayi di dalam kandunganmu.”Zara menghela napas panjang, menatap ibunya dengan mata yang lelah. “Bu, bagaimana jika Rian tidak pernah kembali?”Bu Sari terdiam sejenak, lalu menggenggam tangan Zara erat. “Jangan berpikir seperti itu. Kamu harus percaya bahwa dia akan kembali.”Zara memejamkan mata, air matanya akhirnya jatuh.Malam semakin larut, tetapi Zara masih duduk di
Setelah meninggalkan Luna, Bu Hanan duduk di kursi belakang mobil dengan ekspresi muram. Mobil melaju menuju rumah, tetapi pikirannya masih tertinggal di kafe.'Tante harus memastikan bahwa bayi itu benar-benar anak Rian sebelum semuanya terlambat.'Kata-kata Luna terus berputar di kepalanya. Ia tidak bisa mengabaikan kemungkinan itu. Jika benar bayi yang dikandung Zara bukan darah daging Rian, maka skandal ini akan menjadi bencana besar bagi keluarga Hendrawan.Saat tiba di rumah, Bu Hanan langsung meminta pelayan menyiapkan teh hangat. Namun, pikirannya yang gelisah membuatnya tak bisa menikmati minuman itu. Ia memijat pelipisnya, mencoba mencari cara untuk memastikan kebenaran tanpa menimbulkan kecurigaan.Tak lama, Tuan Arman masuk ke ruang tamu dan melihat istrinya yang tampak tidak tenang. “Apa yang terjadi?” tanyanya, duduk di sofa di seberangnya.Bu Hanan menatap suaminya sejenak sebelum menjawab, “Zara hamil.”Tuan Arman menaikkan alisnya. “Ya, itu kabar baik, bukan?”Bu Hana
Di luar kamar, Jerry berdiri di lorong, tubuhnya membeku seakan waktu berhenti bergerak. Pandangannya kosong, terpaku pada dinding putih yang memantulkan bayangannya yang lelah. Kata-kata dokter itu terus berputar dalam pikirannya, seperti melodi yang tak bisa berhenti diputar.Ia mencoba mengendalikan dirinya, mengatur napas yang semakin terasa sesak, tetapi setiap detik yang berlalu semakin membuatnya tenggelam dalam kekacauan emosinya.'Zara… hamil? Dan itu anak Rian?'Langkah kaki pelan mendekatkannya pada kenyataan yang sulit diterima. Bu Hanan muncul dari ujung lorong, tatapan matanya tajam. Ia menghentikan langkahnya tepat di depan Jerry, berdiri dengan kehadiran yang tidak bisa di hindari.“Kamu kelihatan sangat terguncang, Jerry,” suara Bu Hanan lembut, tapi cukup menusuk.Jerry tidak langsung menanggapi. Hanya sekilas pandangan yang diberikan, seperti pria yang terjebak dalam labirin perasaannya sendiri.“Apa ini mengec