Rian bangkit dari sofa, tubuhnya masih sedikit lemah, tetapi langkahnya penuh keyakinan. Zara yang duduk di sisi lain sofa menatapnya dengan bingung. Ia terus melangkah mendekat, hingga akhirnya berdiri tepat di hadapan Zara.
Tatapannya begitu dalam, membuat Zara tidak mampu mengalihkan pandangan.“Duduklah, kamu perlu istirahat,” Zara mencoba memecah keheningan, suaranya sedikit bergetar.Rian tidak menggubris kata-kata Zara. Sebaliknya, ia perlahan menunduk, menyamakan tingginya dengan Zara yang masih duduk di sofa. Tangannya terangkat, menyentuh lembut pipi Zara.Zara terdiam, napasnya tertahan oleh sentuhan Rian. Ia menatap pria di hadapannya dengan penuh kebingungan. Jarak di antara mereka semakin mengecil, hingga ia bisa merasakan hangatnya napas Rian di wajahnya.“Rian, kenapa kamu…” Zara mencoba berkata, tetapi suaranya terhenti saat Rian mendekatkan wajahnya lebih jauh.Sebelum Zara bisa menyelesaikan kalimatnya, bibir Rian menyentuh bibirnya.CiRian membeku di tempat, matanya membelalak sejenak sebelum akhirnya menunduk. Pelukannya sepenuhnya terlepas, dan ia mengambil langkah mundur.“Surat cerai?” ulang Rian dengan nada datar, seolah mencoba memahami apa yang baru saja ia dengar.Zara menunduk, tidak sanggup menatap wajah Rian. “Ya, aku sudah menyiapkannya sejak beberapa minggu yang lalu.”Ruangan dapur yang hangat mendadak terasa dingin. Rian menatap Zara dengan campuran antara kecewa, marah, dan luka.“Jadi, kamu benar-benar ingin meninggalkanku?” tanyanya akhirnya, suaranya rendah, hampir berbisik.Zara mengangguk pelan, meskipun ia tidak yakin pada dirinya sendiri. “Aku pikir… itu yang terbaik untuk kita berdua. Aku tidak tahu lagi bagaimana caranya bertahan dalam pernikahan ini.”Rian berdiri terpaku di depan Zara, tubuhnya tegang dan matanya memandang penuh emosi. Ia mendekat, mencoba mencari jawaban di wajah Zara yang kini tampak dingin, tetapi di matanya masih tersirat keraguan.“Belum terlambat, Zara,” ucap Rian,
Zara terbangun pagi itu dengan perasaan hampa. Ia mengulurkan tangannya ke sisi tempat tidur, hanya untuk menemukan tempat itu dingin dan kosong.“Apanya yang ingin berubah?” gumamnya pelan, suaranya penuh dengan kekecewaan. “Dia selalu mengabaikanku, bahkan untuk pamitan saja tidak pernah.”Zara menghela napas panjang, lalu turun dari tempat tidur. Langkah kakinya pelan saat ia berjalan ke jendela. Ia membuka tirai, menatap keluar ke jalanan yang sepi.'Benar saja, mobil Rian sudah tidak ada di tempatnya.'Zara hendak menutup tirai kembali, tetapi kamera CCTV di sudut rumah menarik perhatiannya. Pandangannya langsung terpaku pada kamera itu, pikirannya berputar.“CCTV…” gumamnya. Ia mengingat kejadian semalam yang begitu tegang. Lampu yang padam, Rian yang terluka, dan banyak pertanyaan yang belum terjawab.Pikirannya mulai dipenuhi rasa penasaran. “Apa yang sebenarnya terjadi semalam? Kenapa dia terluka?”Zara menggigit bibirnya, hatinya berdebar. Ia tahu Rian tidak akan memberinya
Zara menghentikan pencariannya. Amplop cokelat itu kini berada di tangannya, terasa berat meski isinya hanyalah beberapa lembar foto. Ia berjalan menuju ruang tamu dengan langkah cepat, melempar amplop itu ke meja, lalu duduk di sofa.Napasnya tidak teratur, dadanya naik turun karena emosi yang memuncak. Ia mencoba menenangkan dirinya, tetapi pikirannya terus berkecamuk."Jadi, Rian memata-mataiku selama ini? Untuk apa?" pikirnya sambil mengepalkan tangannya.Dengan tangan gemetar, Zara menarik foto-foto itu keluar dari amplop dan menyusunnya di atas meja. Satu per satu ia pandangi dengan seksama..“Kenapa dia harus sejauh ini?” bisiknya pelan, matanya mulai berkaca-kaca.Zara merasa privasinya dilanggar. Selama ini, ia berpikir bahwa masalah utama di antara mereka adalah ketidakpedulian Rian. Tapi sekarang, fakta bahwa Rian tahu setiap gerak-geriknya membuat perasaannya semakin rumit.Ia menyandarkan tubuhnya pada sofa, tangannya memeluk salah satu bantal kecil. Matanya tidak lepas d
Jerry menghela napas panjang, langkahnya mendekati Zara yang berdiri di tengah ruangan dengan wajah tegang. Tatapannya serius, sorot matanya seperti membawa beban yang berat.“Zara,” Jerry memulai, suaranya rendah namun tajam. “Aku perlu memberitahumu sesuatu. Tapi... kamu harus bersiap. Jangan terkejut dengan apa yang akan kamu dengar.”Zara mengernyit, merasa dadanya semakin berat. “Apa maksudmu, Jerry? Katakan.”Jerry berhenti beberapa langkah darinya, tangannya mengepal di samping tubuhnya. “Hari itu... lima tahun lalu, saat kecelakaan itu terjadi...” Jerry terdiam sejenak, menatap Zara dalam-dalam. “Target mereka sebenarnya bukan aku. Target mereka adalah Rian.”Kata-kata itu membuat Zara terkejut, mulutnya terbuka seolah ingin berkata sesuatu, tetapi tidak ada kata yang keluar. Dadanya terasa sesak, dan tangannya gemetar tanpa ia sadari.“Apa yang kamu katakan?” suaranya bergetar. “Kenapa? Kenapa mereka ingin membunuh Rian?”Jerry menatapnya dengan seri
Zara melangkah keluar dari kantor dengan langkah cepat, udara siang yang panas seolah tidak mampu menenangkan pikirannya yang penuh gejolak. Di bawah sinar matahari yang terik, ia menggumamkan satu nama,“Aku harus menemui Lena.”Lena, sahabatnya yang selalu punya jawaban di saat Zara merasa buntu. Lena adalah tipe orang yang punya banyak koneksi, sering kali mencurigakan, tetapi selalu berguna di saat-saat seperti ini. Zara hanya berharap kali ini, Lena bisa membantunya memecahkan teka-teki besar ini.Setibanya di rumah Lena, Zara langsung disambut oleh pintu yang terbuka. Lena, dengan senyum lebar dan rambut yang sedikit acak-acakan, berdiri di ambang pintu.“Zara! Kamu tiba-tiba datang, apa ada masalah?” tanya Lena sambil mempersilakannya masuk.Zara menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sebelum bicara. “Lena, aku butuh bantuanmu. Aku tahu ini mendadak, tapi aku benar-benar tidak tahu harus pergi ke siapa lagi.”Lena memiringkan kepala, sorot
“Kami masih menyelidiki, Nona. Namun, kami pikir Anda perlu tahu, mengingat Aldo sempat dikaitkan dengan kasus keluarga Anda,” lanjut petugas itu. Zara menutup telepon tanpa sepatah kata lagi, tubuhnya terasa lemah. Dia duduk di sofa ruang tamu Lena, pandangannya kosong, otaknya berputar keras mencoba mencerna kabar mengejutkan itu. “Zara, apa yang terjadi?” tanya Lena dengan nada khawatir, meletakkan cangkir tehnya. Zara menatap sahabatnya, matanya membulat penuh kebingungan. “Aldo... dia tewas. Polisi bilang dia ditemukan di hutan, dan mereka yakin dia mati tak lama setelah kabur dari penjara.” Lena mengerutkan kening. “Tunggu, jadi dia bahkan tidak sempat bertemu siapa pun?" “Itu dia,” kata Zara, memegang dahinya yang mulai berdenyut. “Jika Aldo sudah tewas sebelum kejadian semalam, lantas siapa yang kulihat di CCTV? Pria yang menyerang Rian... dia jelas bukan Aldo.” Lena terdiam sejenak, mencoba mencerna semuanya. “Apa kamu yakin itu bukan hanya bayangan atau rekaman yang
Di teras rumah mewahnya, Bu Hanan duduk dengan anggun sambil memegang cangkir teh porselen di tangannya. Matahari sore yang lembut menyinari taman yang rapi, membuat suasana terasa begitu tenang. Di belakang mereka, dua pelayan berdiri dengan sopan, siap melayani kapan saja.Luna, yang duduk di samping Bu Hanan, meletakkan cangkir tehnya di atas meja kecil. Dia menatap wanita itu dengan sorot mata yang penuh dengan ambisi. Setelah memastikan tidak ada orang lain di sekitar mereka selain para pelayan, Luna mendekatkan tubuhnya sedikit ke arah Bu Hanan.“Tante,” katanya pelan namun tegas, “jadi kapan aku dan Jerry akan menikah?”Bu Hanan tersenyum kecil, menyesap tehnya sebelum menjawab. “Secepatnya, Luna. Tapi kamu tahu kan, Jerry itu keras kepala.”Luna menghela napas, matanya menyipit penuh perhitungan. “Tapi kalau kita terus menunggu Jerry berubah pikiran, aku takut ini akan memakan waktu terlalu lama, Tante. Apalagi Zara masih ada di dekatnya.”
Jerry mulai merasakan sesuatu yang tidak biasa dalam tubuhnya. Rasa panas merayap di dadanya, membuat napasnya semakin berat. Ia memegang tepi meja dengan erat, mencoba menahan diri dari sensasi yang tiba-tiba muncul.Luna, yang masih berdiri di dekat pintu, berbalik dengan ekspresi yang tampak khawatir. Namun, di balik tatapan paniknya, senyum tipis terselip di sudut bibirnya. Dia berjalan mendekat, langkahnya pelan tapi pasti.“Jerry? Kamu baik-baik saja?” tanya Luna, suaranya terdengar lembut, tetapi ada nada manipulatif yang sulit disembunyikan.Jerry menatap Luna dengan sorot mata tajam, meskipun wajahnya mulai memerah karena sensasi yang semakin tak tertahankan.“Apa yang kamu lakukan, Luna?” suaranya terdengar serak, penuh kemarahan.Luna memasang ekspresi pura-pura terkejut, lalu meraih bahu Jerry seolah ingin membantunya. “Jerry, aku tidak tahu apa yang terjadi. Kamu terlihat tidak baik.”Jerry memukul meja dengan keras, membuat sendok dan kotak maka
Malam itu, Jerry baru saja tiba di rumah. Ia melepas jasnya, menyerahkannya pada pelayan di pintu, dan melangkah ke ruang makan. Tapi langkahnya terhenti ketika melihat sosok Zara duduk di meja makan bersama Tuan Arman dan Bu Hanan.Alis Jerry terangkat. "Zara? Kenapa kamu ada di sini?"Zara menatap Jerry dengan tenang. "Aku akan tinggal di sini sementara waktu."Jerry mengerutkan kening, lalu menarik kursi di sebelah Zara. "Tinggal di sini? Untuk apa?""Aku ingin menunggu kabar dari Rian," jawab Zara, suaranya terdengar tegas namun lembut. "Aku pikir, lebih baik aku di sini daripada kesepian di rumah."Jerry menatapnya dalam-dalam, mencoba membaca sesuatu di balik jawabannya. "Apa ini idemu... atau ide mereka?" tanyanya, melirik Tuan Arman dan Bu Hanan."Ini keputusanku," tegas Zara. "Aku ingin berada di dekat keluarga Rian."Tuan Arman menghela napas pelan, menyandarkan tubuhnya di kursi. "Kita semua ingin yang terbaik untuk Zara, Jerry. Lagipula, rumah
Zara mengerjap pelan, kepalanya terasa sedikit berat. Ia duduk tegak, menyandarkan punggungnya di sofa, mencoba mengingat kejadian semalam.Apartemen itu sepi. Tak ada suara, tak ada tanda kehidupan. Hanya sunyi yang menemani."Bagaimana aku bisa ketiduran di sini?" gumamnya sambil melirik jam di pergelangan tangannya.Pukul tujuh pagi. Ia menggigit bibir bawah, menyesali kebodohannya. Berkas-berkas yang semalam ia bawa masih tergeletak di atas meja. Zara duduk tegak, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Zara menarik napas panjang, jemarinya dengan rapi merapikan berkas-berkas tersebut. Jika ingin mengetahui kebenaran, ia harus bergerak lebih dalam. Mendekati keluarga Hendrawan dari dekat adalah satu-satunya cara.Ia bangkit dari sofa, Zara mengambil tasnya dan memastikan tidak ada barang yang tertinggal. Pandangannya menyapu ruangan sekali lagi sebelum ia meninggalkan apartemen itu.Sesampainya di rumah, Zara langsung m
Pintu ruangan Jerry tiba-tiba terbuka tanpa ketukan, dan Luna melangkah masuk dengan percaya diri. Sepatunya berderap pelan di lantai, sementara senyum tipis menghiasi wajahnya. Jerry mengalihkan pandangannya dari layar laptop, menatap Luna dengan ekspresi tidak sabar."Luna, aku sedang sibuk. Kalau tidak penting, sebaiknya kamu pulang," kata Jerry dingin, menutup laptopnya dengan gerakan tegas."Sibuk?" Luna menyandarkan tubuhnya di sisi meja, menatap Jerry dengan mata berbinar. "Sepertinya kamu selalu sibuk belakangan ini. Tapi aku belum mendengar jawabanmu soal pernikahan kita."Jerry berdiri dari kursinya, menghela napas panjang. "Luna, aku sudah bilang, ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan itu."Luna tertawa kecil, melipat tangannya di depan dada. "Bukan waktu yang tepat? Kamu sudah mengatakan hal itu selama berminggu-minggu. Apa kamu menunggu sampai Zara melahirkan, setelah itu mengingkari janjimu?"Tatapan Jerry berubah tajam. "Jangan bawa-bawa Za
Cahaya matahari yang redup masuk melalui celah tirai, menyinari lantai putih ruangan itu. Lena berdiri di sudut ruangan, memandangi baki makanan yang masih utuh di meja kecil di samping tempat tidur.Ia mendesah pelan, mengambil baki itu dan menatap pasien yang duduk membelakanginya. Pria itu tetap diam di kursi roda, memandang kosong ke luar jendela, memperhatikan daun-daun yang berguguran di taman rumah sakit. Wajahnya tampak lelah, matanya sayu, seolah seluruh semangat hidup telah terkuras habis."Sampai kapan kamu akan seperti ini?" gumam Lena, mencoba menahan rasa sedih yang menyeruak di dadanya. "Kamu seperti kehilangan semangat hidup."Pria itu tidak langsung menjawab. Bahunya sedikit naik-turun saat ia menarik napas dalam. Suaranya akhirnya terdengar, pelan tetapi penuh dengan rasa putus asa. "Apa aku masih pantas hidup? Bahkan dokter-dokter terbaik pun tidak bisa menyembuhkanku."Lena terdiam, menatap pria itu dengan sorot mata penuh rasa
Zara kembali ke mobil, tangannya masih gemetar saat memegang setir. Ia menatap lurus ke depan, pikirannya berkecamuk. Apartemen lama Rian? Itu berarti tempat di mana Rian tinggal sebelum mereka menikah, tempat yang hampir ia lupakan."Seharusnya aku masih ingat tempatnya," gumamnya, lalu menyalakan mesin mobil.Perjalanan terasa panjang, meski jaraknya tidak terlalu jauh. Malam semakin larut, dan jalanan mulai lengang. Ketika Zara tiba di gedung apartemen lama itu, suasananya terasa berbeda, sepi dan sedikit menyeramkan.Ia turun dari mobil, menatap gedung itu dengan napas tertahan. Cahaya lampu di lorong hanya menyala sebagian, memberikan kesan yang suram. Zara melangkah pelan, memasuki lift.Ketika ia sampai di depan pintu apartemen Rian, tangannya berhenti di udara. Ia ragu sejenak sebelum membuka pintu."Aku harus melakukannya," bisiknya.Zara merogoh tasnya, mengambil kunci cadangan yang pernah Rian berikan dulu. Dengan tangan gemetar, ia membuka pintu.Pintu berderit pelan, dan
Zara mengetik nomor di ponselnya untuk yang ketiga kalinya, menempelkan ponsel di telinganya sambil berjalan mondar-mandir di ruang kerja Rian. Nada sambung lagi... tetapi tidak ada jawaban.“Sandi, angkat teleponnya!” gumam Zara dengan frustrasi, menekan tombol panggil sekali lagi. Namun, hasilnya tetap sama, tidak ada jawaban.Zara berusaha menghubungi Sandi sepanjang hari, sampai cahaya matahari yang tadinya menerangi ruangan kini perlahan redup, seiring dengan kegelisahan yang makin menguasai Zara. Setelah beberapa kali mencoba, Zara memutuskan untuk meninggalkan pesan suara.“Sandi, ini Zara, istri Rian Hendrawan. Aku butuh bicara denganmu, sekarang juga. Tolong hubungi aku kembali.”Ia mengakhiri panggilan itu, lalu menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. Matanya menatap kosong ke layar ponsel yang masih menyala di tangannya. 'Ada sesuatu yang sangat salah.'Zara berdiri, berjalan ke jendela, menatap keluar sambil memeluk
Kamar rumah sakit itu terasa sunyi, hanya suara detak jam di dinding dan desiran angin di luar jendela yang menemani seorang pria yang duduk di kursi roda.Wajahnya pucat, matanya redup, menatap daun-daun yang berjatuhan dari pohon di taman rumah sakit. Beberapa daun berguguran terbawa angin, jatuh dengan lembut ke tanah, seperti waktu yang berlalu tanpa bisa ia hentikan.Air mata mengalir pelan di pipinya. Tangannya yang lemah mengepal di pangkuannya, penuh rasa penyesalan yang tertahan."Sudah satu bulan..." gumamnya dengan suara yang hampir tak terdengar. Kata-kata itu seperti beban berat yang tak bisa ia lepaskan.Pintu kamar perlahan terbuka, dan seorang perawat muda masuk dengan langkah tenang. Perawat itu membawa catatan medis di tangannya, tersenyum lembut sebelum berbicara dalam bahasa Inggris."Good morning, Sir. How are you feeling today?" tanyanya ramah, sambil mendekati pria itu.Namun, pria itu tidak menoleh. Tatapa
Beberapa bulan berlalu, dan hidup Zara terasa seperti berada di lorong panjang yang penuh dengan bayangan masa lalu. Tidak ada kabar tentang Rian. Kekosongan yang ditinggalkan suaminya begitu nyata, menyisakan rasa hampa dan pertanyaan yang tak kunjung terjawab.Setiap pagi, Zara menjalani rutinitas yang sama. Bangun, sarapan seadanya, kemudian menatap kosong ke luar jendela. Kandungannya yang semakin besar seolah menjadi pengingat bahwa hidupnya tetap berjalan, meski hatinya masih terjebak dalam kekhawatiran.Di tempat lain, Hendrawan Group berjuang keras. Banyak proyek tertunda, dan beberapa klien mulai kehilangan kepercayaan. Meski Tuan Arman dan Jerry mencoba mengatasi situasi itu, mereka menghadapi tantangan besar.Di ruang rapat yang sunyi, Tuan Arman melemparkan tumpukan dokumen ke meja, ekspresinya penuh tekanan. "Ini tidak bisa dibiarkan lebih lama lagi. Semua proposal penting ada di tangan Rian. Kita bahkan tidak tahu detail rencana yang dia buat
Reno.Asisten pribadi Rian, yang selalu ada di sisinya. Jika ada orang yang tahu ke mana perginya Rian malam itu, maka orang itu pasti Reno.Dalam perjalanan kembali ke hotel, Zara duduk diam dengan tangan terkepal di atas pangkuannya. Jerry menatapnya dari samping, tahu bahwa pikirannya sedang kacau."Kita kembali ke Indonesia besok," kata Zara akhirnya. "Asistennya mungkin tahu lebih banyak daripada yang kita duga."Jerry mengangguk, matanya masih menatap Zara. Jika benar Rian tidak pernah pergi ke Korea, maka seseorang telah menjebaknya. Dan jika seseorang telah menjebaknya...Maka orang itu adalah seseorang yang ingin memastikan Rian tidak pernah ditemukan.Setelah kembali ke Indonesia, Zara dan Jerry langsung menuju ke kantor Hendrawan Corp. Namun, begitu mereka tiba, suasana terasa lebih hening dari biasanya.Tuan Arman duduk di ruang kerjanya, terlihat sibuk membaca beberapa dokumen. Bu Hanan juga ada di sana, den