Rian tertegun, tubuhnya mendadak terasa dingin. Pikirannya berputar cepat, mencoba memahami apa yang baru saja ia dengar.
“Kabur?” ulangnya dengan penuh tekanan.“Ya, Pak. Dia kabur tadi malam. Polisi baru saja mengonfirmasi berita itu. Sepertinya ada yang membantu dia melarikan diri.”Rian menekan pelipisnya, napasnya menjadi berat. Nama Aldo adalah nama yang selalu ia coba singkirkan dari keluarganya, nama yang menjadi bayang-bayang dari masa lalu yang kelam.“Berapa lama ini sudah terjadi?” tanya Rian, suaranya kembali dingin, mencoba menyembunyikan kekhawatirannya.“Kurang dari 24 jam,” jawab Sandi. “Dia menghilang tanpa jejak. Polisi sedang melakukan pencarian besar-besaran.”Rian berdiri, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. “Apa ada indikasi dia akan mencoba menghubungi siapa pun dari keluarga Wijaya?” tanyanya dengan nada penuh kendali.Sandi terdiam sejenak sebelum menjawab, “Belum ada informasi pasti, Pak. Tapi dia mungkin akan mencoba sesuatuZara membuka pintu ruang VIP dengan tergesa, tas kerjanya terjepit di tangan. Langkahnya terhenti ketika ia melihat Jerry duduk di sofa kecil dekat jendela, dengan kepala bersandar dan mata terpejam. Ada perban kecil di dahinya, dan penampilannya terlihat sedikit lusuh.Tanpa berpikir panjang, Zara melempar tasnya ke sofa di sisi lain ruangan dan menghampirinya. Kekhawatiran tergambar jelas di wajahnya saat ia berlutut di samping Jerry.“Jerry!” serunya, suaranya penuh kecemasan. “Apa yang terjadi? Buka matamu, jangan buat aku khawatir!”Matanya berkaca-kaca, hampir meneteskan air mata. Ia menggenggam tangan Jerry, mencoba mengguncang tubuhnya dengan lembut.Jerry perlahan membuka matanya, sebuah senyuman kecil muncul di wajahnya. “Zara, aku baik-baik saja,” jawabnya, meski suaranya terdengar lemah.“Apanya yang baik-baik saja?” balas Zara cepat, nada suaranya penuh emosi. “Aku dengar kamu menabrak trotoar. Apa ada yang luka? Katakan!”Jerry berusaha duduk le
Tuan Arman menarik Rian keluar dari ruangan dengan langkah cepat, wajahnya merah padam. Mereka berhenti di ujung koridor, jauh dari telinga anggota keluarga lainnya. Tuan Arman menatap Rian dengan sorot mata penuh tekanan.“Aku yakin kamu sudah mendengarnya,” katanya dengan nada rendah, tetapi tegas. “Jangan cari dia.”Rian mengerutkan kening, rahangnya mengeras mendengar kata-kata itu. “Jangan cari dia?” ulangnya, suaranya naik setengah oktaf. “Ayah tahu, aku sudah mencarinya selama bertahun-tahun. Jangan bilang Ayah yang membantunya keluar?”Tuan Arman mendekat, menunjuk dada Rian dengan jarinya. “Jangan asal bicara kamu,” balasnya dengan suara yang mulai meninggi. “Dia itu ancaman bagi keluarga kita. Ayah tidak akan pernah membantunya!”“Ancaman?” Rian mendengus kesal, melipat tangannya di depan dada. “Kalau dia ancaman, kenapa Ayah biarkan dia tetap berkeliaran? Ini berbahaya! Dia tahu terlalu banyak tentang kita, tentang Jerry, dan tentang ke
Jerry berdiri di ujung lorong, tangannya dimasukkan ke saku jasnya. Tatapannya tajam, penuh kecurigaan, dan ia tidak berusaha menyembunyikannya.“Jadi, siapa yang kalian bicarakan?” ulangnya, melangkah perlahan mendekat.Tuan Arman berdehem, mencoba menguasai situasi. “Ini tidak ada hubungannya denganmu, Jerry,” katanya datar. “Kamu tidak perlu tahu.”Jerry tersenyum kecil, tetapi senyum itu dingin. “Itu lucu, Ayah. Karena aku merasa kalian membicarakan sesuatu yang seharusnya aku tahu.”“Jerry, jangan mulai,” ucap Rian dengan nada tajam, melangkah ke arah adiknya. “Kamu sudah cukup membuat kekacauan hari ini.”Jerry mengangkat alis, memasang ekspresi tidak percaya. “Membuat kekacauan? Aku hanya ingin tahu kenapa kalian berdua terlihat begitu mencurigakan. Apa aku salah?”“Ini bukan urusanmu,” balas Rian cepat.“Cukup!” Tuan Arman akhirnya berseru, suaranya lebih keras dari biasanya.Tuan Arman menarik napas panjang, sebelum melanjutkan. “Kita akan pu
Ruangan itu terasa sepi, meskipun diisi oleh kehadiran empat orang. Suara jam dinding berdetak perlahan, menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar, mengiringi ketegangan yang menggantung di udara.Seperti pukulan yang tak terduga, pernyataan Jerry mengguncang semua orang di ruangan itu.Cangkir teh di tangan Bu Hanan bergetar sebelum akhirnya ia meletakkannya di atas meja dengan hati-hati. Wajahnya pucat, matanya melebar seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.“Apa maksudmu, Jerry?” tanyanya dengan suara bergetar.Rian yang sejak tadi diam, akhirnya berdiri dari kursinya. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya, matanya menatap Jerry penuh kemarahan yang tertahan.“Jerry, berhenti bermain-main,” ucapnya tajam. “Zara adalah istriku.”Jerry tidak mundur. Ia menatap Rian langsung, seolah sengaja menantang keberanian adiknya. “Benar. Zara adalah istrimu. Tapi kamu dan aku sama-sama tahu, pernikahan itu bukan keinginannya.”“Jerry, cukup!” seru T
Zara tiba di kafe dengan perasaan campur aduk. Ia mengenakan jas dokternya, merasa tidak sempat berganti pakaian karena terlalu terburu-buru. Luna sudah menunggu di meja di sudut ruangan, mengenakan gaun sederhana tetapi elegan, seperti terakhir kali ia temui.“Terima kasih sudah datang,” kata Luna ketika Zara duduk.Zara hanya mengangguk kecil, menatap Luna dengan waspada. “Apa yang ingin kamu bicarakan?”Luna tersenyum tipis, mengambil napas panjang sebelum berbicara. “Aku ingin tahu,” katanya pelan, “apa rencanamu, Zara?”“Rencanaku?” Zara mengerutkan kening, merasa bingung.“Jangan berpura-pura tidak tahu,” Luna memotong, nadanya sedikit lebih tegas. “Kamu tahu Jerry masih mencintaimu. Kamu tahu apa yang dia inginkan. Tapi kamu juga masih bersama Rian. Dasar serakah!”Zara mengepalkan tangannya di atas meja, berusaha menahan diri. “Luna, aku tidak tahu apa yang kamu coba lakukan, tetapi hubungan antara aku, Rian, dan Jerry bukan urusanmu.”“Oh, jelas
“Rian!” panggil Zara lagi, suaranya sedikit gemetar. Namun, tidak ada jawaban.Ia menggigit bibirnya, tangannya meremas meja. Perasaan tidak nyaman semakin kuat, seperti firasat buruk yang tidak bisa ia abaikan. Zara berdiri perlahan, mencoba mengintip ke arah pintu ruang makan.“Rian, kamu di mana?” tanyanya lagi, lebih pelan, berharap suara suaminya menjawab dari kegelapan. Tetapi yang ia dengar hanya keheningan.Zara melangkah pelan menuju dapur, mencoba mencari senter atau lilin tambahan. Setiap langkahnya terdengar jelas di lantai yang dingin, menciptakan gema samar yang semakin membuat suasana mencekam.“Kenapa lampu padam tiba-tiba?” pikir Zara, tangannya meraba-raba di sekitar meja dapur. Ia menemukan sebuah korek api dan lilin kecil lainnya di laci, lalu segera menyalakannya.Cahaya kecil itu membuat Zara merasa sedikit lega, meskipun rasa waspada masih menguasai dirinya.“Rian… tolong jangan bercanda,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.Tib
Rian bangkit dari sofa, tubuhnya masih sedikit lemah, tetapi langkahnya penuh keyakinan. Zara yang duduk di sisi lain sofa menatapnya dengan bingung. Ia terus melangkah mendekat, hingga akhirnya berdiri tepat di hadapan Zara.Tatapannya begitu dalam, membuat Zara tidak mampu mengalihkan pandangan.“Duduklah, kamu perlu istirahat,” Zara mencoba memecah keheningan, suaranya sedikit bergetar.Rian tidak menggubris kata-kata Zara. Sebaliknya, ia perlahan menunduk, menyamakan tingginya dengan Zara yang masih duduk di sofa. Tangannya terangkat, menyentuh lembut pipi Zara.Zara terdiam, napasnya tertahan oleh sentuhan Rian. Ia menatap pria di hadapannya dengan penuh kebingungan. Jarak di antara mereka semakin mengecil, hingga ia bisa merasakan hangatnya napas Rian di wajahnya.“Rian, kenapa kamu…” Zara mencoba berkata, tetapi suaranya terhenti saat Rian mendekatkan wajahnya lebih jauh.Sebelum Zara bisa menyelesaikan kalimatnya, bibir Rian menyentuh bibirnya.Ci
Rian membeku di tempat, matanya membelalak sejenak sebelum akhirnya menunduk. Pelukannya sepenuhnya terlepas, dan ia mengambil langkah mundur.“Surat cerai?” ulang Rian dengan nada datar, seolah mencoba memahami apa yang baru saja ia dengar.Zara menunduk, tidak sanggup menatap wajah Rian. “Ya, aku sudah menyiapkannya sejak beberapa minggu yang lalu.”Ruangan dapur yang hangat mendadak terasa dingin. Rian menatap Zara dengan campuran antara kecewa, marah, dan luka.“Jadi, kamu benar-benar ingin meninggalkanku?” tanyanya akhirnya, suaranya rendah, hampir berbisik.Zara mengangguk pelan, meskipun ia tidak yakin pada dirinya sendiri. “Aku pikir… itu yang terbaik untuk kita berdua. Aku tidak tahu lagi bagaimana caranya bertahan dalam pernikahan ini.”Rian berdiri terpaku di depan Zara, tubuhnya tegang dan matanya memandang penuh emosi. Ia mendekat, mencoba mencari jawaban di wajah Zara yang kini tampak dingin, tetapi di matanya masih tersirat keraguan.“Belum terlambat, Zara,” ucap Rian,
Zara mengerjap pelan, kepalanya terasa sedikit berat. Ia duduk tegak, menyandarkan punggungnya di sofa, mencoba mengingat kejadian semalam.Apartemen itu sepi. Tak ada suara, tak ada tanda kehidupan. Hanya sunyi yang menemani."Bagaimana aku bisa ketiduran di sini?" gumamnya sambil melirik jam di pergelangan tangannya.Pukul tujuh pagi. Ia menggigit bibir bawah, menyesali kebodohannya. Berkas-berkas yang semalam ia bawa masih tergeletak di atas meja. Zara duduk tegak, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Zara menarik napas panjang, jemarinya dengan rapi merapikan berkas-berkas tersebut. Jika ingin mengetahui kebenaran, ia harus bergerak lebih dalam. Mendekati keluarga Hendrawan dari dekat adalah satu-satunya cara.Ia bangkit dari sofa, Zara mengambil tasnya dan memastikan tidak ada barang yang tertinggal. Pandangannya menyapu ruangan sekali lagi sebelum ia meninggalkan apartemen itu.Sesampainya di rumah, Zara langsung m
Pintu ruangan Jerry tiba-tiba terbuka tanpa ketukan, dan Luna melangkah masuk dengan percaya diri. Sepatunya berderap pelan di lantai, sementara senyum tipis menghiasi wajahnya. Jerry mengalihkan pandangannya dari layar laptop, menatap Luna dengan ekspresi tidak sabar."Luna, aku sedang sibuk. Kalau tidak penting, sebaiknya kamu pulang," kata Jerry dingin, menutup laptopnya dengan gerakan tegas."Sibuk?" Luna menyandarkan tubuhnya di sisi meja, menatap Jerry dengan mata berbinar. "Sepertinya kamu selalu sibuk belakangan ini. Tapi aku belum mendengar jawabanmu soal pernikahan kita."Jerry berdiri dari kursinya, menghela napas panjang. "Luna, aku sudah bilang, ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan itu."Luna tertawa kecil, melipat tangannya di depan dada. "Bukan waktu yang tepat? Kamu sudah mengatakan hal itu selama berminggu-minggu. Apa kamu menunggu sampai Zara melahirkan, setelah itu mengingkari janjimu?"Tatapan Jerry berubah tajam. "Jangan bawa-bawa Za
Cahaya matahari yang redup masuk melalui celah tirai, menyinari lantai putih ruangan itu. Lena berdiri di sudut ruangan, memandangi baki makanan yang masih utuh di meja kecil di samping tempat tidur.Ia mendesah pelan, mengambil baki itu dan menatap pasien yang duduk membelakanginya. Pria itu tetap diam di kursi roda, memandang kosong ke luar jendela, memperhatikan daun-daun yang berguguran di taman rumah sakit. Wajahnya tampak lelah, matanya sayu, seolah seluruh semangat hidup telah terkuras habis."Sampai kapan kamu akan seperti ini?" gumam Lena, mencoba menahan rasa sedih yang menyeruak di dadanya. "Kamu seperti kehilangan semangat hidup."Pria itu tidak langsung menjawab. Bahunya sedikit naik-turun saat ia menarik napas dalam. Suaranya akhirnya terdengar, pelan tetapi penuh dengan rasa putus asa. "Apa aku masih pantas hidup? Bahkan dokter-dokter terbaik pun tidak bisa menyembuhkanku."Lena terdiam, menatap pria itu dengan sorot mata penuh rasa
Zara kembali ke mobil, tangannya masih gemetar saat memegang setir. Ia menatap lurus ke depan, pikirannya berkecamuk. Apartemen lama Rian? Itu berarti tempat di mana Rian tinggal sebelum mereka menikah, tempat yang hampir ia lupakan."Seharusnya aku masih ingat tempatnya," gumamnya, lalu menyalakan mesin mobil.Perjalanan terasa panjang, meski jaraknya tidak terlalu jauh. Malam semakin larut, dan jalanan mulai lengang. Ketika Zara tiba di gedung apartemen lama itu, suasananya terasa berbeda, sepi dan sedikit menyeramkan.Ia turun dari mobil, menatap gedung itu dengan napas tertahan. Cahaya lampu di lorong hanya menyala sebagian, memberikan kesan yang suram. Zara melangkah pelan, memasuki lift.Ketika ia sampai di depan pintu apartemen Rian, tangannya berhenti di udara. Ia ragu sejenak sebelum membuka pintu."Aku harus melakukannya," bisiknya.Zara merogoh tasnya, mengambil kunci cadangan yang pernah Rian berikan dulu. Dengan tangan gemetar, ia membuka pintu.Pintu berderit pelan, dan
Zara mengetik nomor di ponselnya untuk yang ketiga kalinya, menempelkan ponsel di telinganya sambil berjalan mondar-mandir di ruang kerja Rian. Nada sambung lagi... tetapi tidak ada jawaban.“Sandi, angkat teleponnya!” gumam Zara dengan frustrasi, menekan tombol panggil sekali lagi. Namun, hasilnya tetap sama, tidak ada jawaban.Zara berusaha menghubungi Sandi sepanjang hari, sampai cahaya matahari yang tadinya menerangi ruangan kini perlahan redup, seiring dengan kegelisahan yang makin menguasai Zara. Setelah beberapa kali mencoba, Zara memutuskan untuk meninggalkan pesan suara.“Sandi, ini Zara, istri Rian Hendrawan. Aku butuh bicara denganmu, sekarang juga. Tolong hubungi aku kembali.”Ia mengakhiri panggilan itu, lalu menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. Matanya menatap kosong ke layar ponsel yang masih menyala di tangannya. 'Ada sesuatu yang sangat salah.'Zara berdiri, berjalan ke jendela, menatap keluar sambil memeluk
Kamar rumah sakit itu terasa sunyi, hanya suara detak jam di dinding dan desiran angin di luar jendela yang menemani seorang pria yang duduk di kursi roda.Wajahnya pucat, matanya redup, menatap daun-daun yang berjatuhan dari pohon di taman rumah sakit. Beberapa daun berguguran terbawa angin, jatuh dengan lembut ke tanah, seperti waktu yang berlalu tanpa bisa ia hentikan.Air mata mengalir pelan di pipinya. Tangannya yang lemah mengepal di pangkuannya, penuh rasa penyesalan yang tertahan."Sudah satu bulan..." gumamnya dengan suara yang hampir tak terdengar. Kata-kata itu seperti beban berat yang tak bisa ia lepaskan.Pintu kamar perlahan terbuka, dan seorang perawat muda masuk dengan langkah tenang. Perawat itu membawa catatan medis di tangannya, tersenyum lembut sebelum berbicara dalam bahasa Inggris."Good morning, Sir. How are you feeling today?" tanyanya ramah, sambil mendekati pria itu.Namun, pria itu tidak menoleh. Tatapa
Beberapa bulan berlalu, dan hidup Zara terasa seperti berada di lorong panjang yang penuh dengan bayangan masa lalu. Tidak ada kabar tentang Rian. Kekosongan yang ditinggalkan suaminya begitu nyata, menyisakan rasa hampa dan pertanyaan yang tak kunjung terjawab.Setiap pagi, Zara menjalani rutinitas yang sama. Bangun, sarapan seadanya, kemudian menatap kosong ke luar jendela. Kandungannya yang semakin besar seolah menjadi pengingat bahwa hidupnya tetap berjalan, meski hatinya masih terjebak dalam kekhawatiran.Di tempat lain, Hendrawan Group berjuang keras. Banyak proyek tertunda, dan beberapa klien mulai kehilangan kepercayaan. Meski Tuan Arman dan Jerry mencoba mengatasi situasi itu, mereka menghadapi tantangan besar.Di ruang rapat yang sunyi, Tuan Arman melemparkan tumpukan dokumen ke meja, ekspresinya penuh tekanan. "Ini tidak bisa dibiarkan lebih lama lagi. Semua proposal penting ada di tangan Rian. Kita bahkan tidak tahu detail rencana yang dia buat
Reno.Asisten pribadi Rian, yang selalu ada di sisinya. Jika ada orang yang tahu ke mana perginya Rian malam itu, maka orang itu pasti Reno.Dalam perjalanan kembali ke hotel, Zara duduk diam dengan tangan terkepal di atas pangkuannya. Jerry menatapnya dari samping, tahu bahwa pikirannya sedang kacau."Kita kembali ke Indonesia besok," kata Zara akhirnya. "Asistennya mungkin tahu lebih banyak daripada yang kita duga."Jerry mengangguk, matanya masih menatap Zara. Jika benar Rian tidak pernah pergi ke Korea, maka seseorang telah menjebaknya. Dan jika seseorang telah menjebaknya...Maka orang itu adalah seseorang yang ingin memastikan Rian tidak pernah ditemukan.Setelah kembali ke Indonesia, Zara dan Jerry langsung menuju ke kantor Hendrawan Corp. Namun, begitu mereka tiba, suasana terasa lebih hening dari biasanya.Tuan Arman duduk di ruang kerjanya, terlihat sibuk membaca beberapa dokumen. Bu Hanan juga ada di sana, den
Zara menatap layar komputer petugas bandara dengan tatapan kosong. Fakta bahwa Rian tidak naik pesawat ke Seoul membuat hatinya semakin gelisah."Kamu masih ingin mencarinya di Korea, Zara?" tanya Jerry pelan, matanya tajam mengamati ekspresi wanita di sampingnya.Zara menoleh, napasnya sedikit bergetar. "Ya, tentu saja. Sebelum berangkat, Rian mengatakan bahwa dia ingin menemui seseorang bernama Tuan Kang. Apa kamu tahu sesuatu tentang klien itu?"Jerry mengangguk, menyandarkan tangannya di meja informasi bandara. "Tuan Kang bukan sekadar klien biasa. Dia adalah investor besar yang selama ini tertarik bekerja sama dengan perusahaan kami. Tapi, dia juga bukan orang yang mudah ditemui. Banyak pengusaha yang harus berusaha keras hanya untuk mendapatkan pertemuan dengannya."Zara menyernyit. "Jadi, Rian benar-benar berencana bertemu dengannya?"Jerry menatap lurus ke depan, berpikir sejenak. "Jika memang begitu, kemungkinan besar Rian masih