Jantung Zara berdetak lebih cepat. Pandangannya terpaku pada layar ponsel, dan ia tidak tahu harus berbuat apa. Sudah seminggu lebih sejak Jerry sadar dari koma, tapi Rian tidak pernah membahas atau bertanya soal kondisinya.
"Apakah dia sudah menjenguk kakaknya?" pikir Zara.Sejak hari itu, Zara merasa semakin jauh dengan Rian. Tetapi dia tidak pernah membahas lagi soal permintaannya untuk bercerai malam itu. Seolah, itu hanyalah angin lalu. Setelah apa yang terjadi semalam, Zara mulai meragukan keputusannya.Ponselnya kembali berdering. Zara menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menjawab. Akhirnya, dengan ragu, ia menggeser layar untuk menerima panggilan.“Halo…” suaranya nyaris berbisik, terdengar serak akibat tangisannya tadi.“Zara?” Suara Jerry terdengar lembut di ujung telepon, tetapi ada nada cemas di dalamnya. “Kamu baik-baik saja?”Pertanyaan itu membuat Zara terdiam sejenak. "Apakah suaraku terdengar seburuk itu hingga Jerry tDi ruang kerjanya yang luas, Rian duduk dengan pandangan kosong menatap layar komputer. Laporan yang seharusnya ia tinjau sudah terbuka sejak satu jam yang lalu, tetapi pikirannya sama sekali tidak ada di sana.Sejak pagi, pikirannya dipenuhi oleh Zara dan apa yang terjadi semalam. Ia menggenggam cangkir kopi yang sudah dingin, memutar ulang kejadian malam tadi di benaknya. Zara, wanita yang menjadi istrinya, selalu menjadi misteri baginya.Semalam, untuk pertama kalinya, mereka tidur bersama. Tetapi pagi tadi, saat dia memutuskan untuk pergi dengan kata-kata dingin, ada sesuatu yang membuat dadanya terasa berat. Ia tidak tahu kenapa, atau mungkin ia tahu, tetapi menolak mengakuinya.Pintu ruangannya diketuk pelan, membuyarkan lamunannya. “Masuk,” kata Rian singkat, suaranya rendah.Seorang pria muda, asisten pribadinya, masuk dengan membawa dokumen. “Tuan Rian, ini laporan terakhir dari divisi pemasaran. Anda diminta untuk meninjau sebelum rapat sore ini.”Rian
Zara berdiri di depan pintu, tangan bersedekap di dada. Pandangannya tertuju pada Jerry yang masih duduk di sofa ruang tamu. Tatapannya serius, tetapi di balik sikap tegasnya, ada pergolakan yang tidak bisa ia abaikan.“Jerry, kamu tidak seharusnya ada di sini,” katanya akhirnya, suaranya datar tetapi tegas.Jerry mendongak, menatap Zara dengan sorot mata yang penuh rasa ingin tahu. “Aku merasa kita butuh waktu untuk menyelesaikan semuanya.”“Tidak di sini,” balas Zara cepat. “Ini rumahku, rumahku dan Rian. Aku tidak bisa membiarkanmu datang sesuka hati.”Jerry berdiri perlahan, posturnya masih menunjukkan kelemahan akibat pemulihannya. Tetapi tatapan tajamnya tidak pernah berubah. “Zara, aku hanya ingin tahu bagaimana kehidupanmu tanpa aku.”Zara mengepalkan tangannya, mencoba menahan gejolak emosinya. “Kamu harus pergi. Dan tolong, jangan datang ke sini lagi.”Jerry terdiam sejenak, matanya menatap Zara seolah mencoba mencari sesuatu yang tersembunyi. “Zara
Zara duduk di sebuah kafe kecil di sudut kota, ditemani secangkir kopi dan tatapan tajam sahabatnya, Lena. Setelah pagi yang melelahkan di rumah sakit, ia merasa butuh udara segar. Lena, seperti biasa, menjadi pelariannya dari kebisingan dunia.“Jadi, kamu benar-benar mau cerai, Zar?” Lena memecah keheningan, menatap Zara dengan ekspresi serius.Zara mengaduk-aduk es kopinya, memandangi butiran es yang mulai mencair. “Memangnya apa lagi yang bisa kuharapkan dari pria dingin itu?” jawabnya pelan, tetapi nadanya penuh kekecewaan.Lena menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Lima tahun, Zara. Menurutmu kenapa dia masih bertahan denganmu?”Pertanyaan itu membuat Zara menghentikan gerakannya. Ia menatap Lena, keningnya berkerut.“Apa maksudmu?” tanyanya hati-hati.Lena mendekat, meletakkan sikunya di meja sambil menatap Zara dengan pandangan penuh arti. “Coba pikirkan. Kalau di drama-drama, entah itu menikah kontrak atau pernikahan yang dipaksakan
Setiba di rumah, Rian keluar lebih dulu tanpa menunggu Zara. Pria itu masuk ke dalam rumah tanpa berkata apa-apa, meninggalkan Zara sendirian di luar.Setelah menenangkan diri di teras, Zara masuk ke dalam rumah. Lampu ruang tamu sudah menyala, tetapi suasana terasa sepi. Sepatu Rian sudah tergeletak di rak, menunjukkan bahwa pria itu langsung menuju kamarnya begitu tiba.Ia berdiri di ruang tamu untuk beberapa saat, memandangi ruang kosong yang terasa dingin. Matanya melirik ke arah sofa, tetapi ia tahu tak ada gunanya duduk terlalu lama di sana. Percuma ia mengulur waktu, dia akan tetap bertemu dengan Rian."Kenapa aku tetap berada di sini? Mengharapkan sesuatu yang tidak pernah ada," tanyanya dalam hati.Ia memutuskan untuk langsung menuju kamar, berharap Rian sudah tidur. Ia tidak ingin ada percakapan lagi malam ini, apalagi sekedar basa-basi.Namun, begitu ia membuka pintu kamar, langkahnya terhenti.Rian baru saja selesai mandi, hanya mengenakan handuk
Pagi itu, udara terasa berat meski matahari sudah naik perlahan di langit. Zara membuka matanya, merasakan dinginnya sisi ranjang yang kosong di sebelahnya. Namun, ketika ia berbalik, rasa dingin itu berganti keheranan.Rian masih di sana.Pria itu berbaring diam, punggungnya setengah menghadap Zara. Tubuhnya yang biasanya sigap dan cepat pagi-pagi kini tampak tenggelam dalam lipatan selimut, seperti seorang yang sedang mencari perlindungan."Rian tidak pernah seperti ini," gumamnya.Selama lima tahun pernikahan mereka, Zara sudah terbiasa bangun untuk mendapati Rian sudah pergi atau setidaknya sedang berdiri di depan cermin, menyelaraskan dasi dengan sempurna. Tetapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda.Zara duduk perlahan, tidak ingin mengganggu, tetapi rasa penasarannya semakin kuat. Ia melangkah ke kamar mandi, mencoba melawan pikiran-pikiran yang mulai bermunculan.Ketika ia kembali ke kamar, rambutnya setengah basah, Rian masih di sana. Namun kali ini, i
Zara berdiri di dapur, menatap bahan-bahan yang tersisa di atas meja. Air matanya telah berhenti, tetapi hatinya masih terasa berat. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya.“Dia mungkin tidak akan menghargai ini,” gumam Zara pelan, “tapi aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja.”Ia meraih panci kecil dari rak dan menuangkan air ke dalamnya. Kali ini, ia memutuskan untuk membuat sesuatu yang lebih sederhana, bubur ayam. Tanpa jahe, tanpa bumbu tambahan. Hanya bubur hangat yang bisa membantu menenangkan tubuh demam Rian.Zara memotong daun bawang dengan hati-hati, memastikan semuanya tertata rapi. Ketika bubur mulai mendidih, aroma lembut menyebar di dapur, memberikan kehangatan yang sedikit menenangkan pikirannya.Sambil menunggu, pikirannya kembali melayang pada kejadian tadi. Cara Rian menepis tangannya, kata-kata kerasnya, dan ekspresi tajamnya yang seolah menuduhnya.“Kenapa aku harus terus peduli pada seseorang yang tidak pernah membukakan
Zara memutar tubuhnya dengan cepat, tangannya masih menggenggam gagang pintu ketika suara dari televisi menarik perhatiannya."...kecelakaan yang menimpa Jerry Hendrawan lima tahun lalu bukanlah kecelakaan biasa. Jerry Hendrawan, yang baru saja pulih dari koma, mengungkapkan bahwa kecelakaan tersebut diduga disengaja."Zara berdiri membeku. Matanya terpaku pada layar televisi, di mana wajah Jerry muncul dengan ekspresi serius. Ia mengenakan setelan formal, tetapi ada sorot tegas di matanya yang berbeda dari Jerry yang biasa ia kenal.“Pelaku masih bebas, dan saya harap pihak berwenang segera menemukan mereka. Tidak ada lagi alasan untuk menyembunyikan kebenaran,” suara Jerry terdengar jelas meskipun di balik layar.Kata-kata itu menghantam Zara seperti badai. “Kecelakaan disengaja?” pikirnya. Lima tahun lalu, mereka semua menerima kecelakaan itu sebagai musibah. Tidak ada yang pernah berpikir untuk mempertanyakan lebih jauh.Rian mematikan televisi dengan gerakan
Zara tiba di sebuah kafe kecil di sudut kota, tempat yang ia pilih karena suasananya yang tenang. Ia duduk di meja yang terletak di dekat jendela, membiarkan tatapannya mengembara ke luar sambil menunggu Jerry.Beberapa menit kemudian, suara pintu kafe terbuka, dan Zara melihat Jerry melangkah masuk. Wajahnya terlihat lebih segar dibandingkan saat terakhir kali mereka bertemu, tetapi ada sorot tajam di matanya yang menunjukkan keseriusan.Jerry langsung menghampiri Zara, menarik kursi di depannya tanpa berkata apa-apa.“Zara,” katanya pelan, tetapi nada suaranya tegas. “Ada apa? Kamu terlihat cemas.”Zara menghela napas, mencoba mengumpulkan keberaniannya untuk berbicara. “Jerry, aku butuh tahu. Tentang kecelakaanmu lima tahun lalu. Apa yang sebenarnya terjadi?”Pertanyaan itu membuat Jerry terdiam sejenak. Ia menatap Zara dengan mata yang penuh pertimbangan, seolah mencoba memutuskan seberapa banyak yang bisa ia katakan.“Aku baru ingat semuanya setelah sada
Di kamar, suasana terasa semakin tegang. Rian duduk di ujung ranjang, sementara Zara berdiri di dekat jendela, merenung, dengan pandangan kosong yang menembus keluar. Rian memerhatikan setiap gerakan Zara, menyadari betapa dalamnya pikiran istrinya, namun hatinya tetap kokoh dengan keputusan yang sudah diambil.“Zara, aku tahu kamu peduli pada Jerry,” suara Rian pecah, lembut namun penuh penekanan. “Tapi kita tidak bisa membiarkan perasaan itu mengaburkan kenyataan. Dia sudah melakukan banyak hal yang merusak hidup kita. Kita tidak bisa membiarkan dia melangkah bebas begitu saja.”Zara menoleh, menatap Rian dengan mata yang dipenuhi kebingungannya. “Tapi… Rian, dia juga manusia. Dia punya sisi baik, dan aku tahu itu. Aku ingin dia mendapatkan kesempatan untuk berubah.”Rian mendekat, bergeser dengan langkah pelan hingga berada di belakang Zara. Tangannya meraih tangan Zara, lembut namun tegas. “Aku mengerti perasaanmu, tapi ingat, ada batasnya. Aku tidak akan membiarkan
Hari itu, Zara mengatur pertemuan dengan Arka di sebuah kafe yang cukup tenang di pusat kota. Ia mengenakan gaun sederhana berwarna biru muda, dengan mantel panjang untuk melindungi tubuhnya dari angin yang cukup dingin.Saat ia tiba, Arka sudah duduk di salah satu sudut kafe. Pria itu tampak rapi seperti biasa, mengenakan kemeja hitam yang dipadukan dengan jas abu-abu.“Zara,” sapa Arka dengan senyum tipis.Zara tersenyum kecil dan duduk di hadapannya. “Terima kasih sudah meluangkan waktu.”Arka mengangguk. “Tentu. Aku juga ingin berbicara denganmu.”Zara terdiam sejenak, memperhatikan ekspresi pria di depannya. Sekalipun Rian menyebutnya sebagai Riko, tidak ada jejak kebencian atau kesombongan di wajahnya saat ini.“Kamu mengenal Luna dengan baik, kan?” tanya Zara akhirnya.Arka menghela napas pelan. “Dia adikku. Tentu saja aku mengenalnya.”“Tapi kamu tidak datang saat pemakamannya.”Arka menatap Zara dengan mata yang dalam. “Karena aku tidak i
Zara duduk di ruang tamu keluarga Hendrawan, mengusap perutnya yang mulai membesar. Sudah beberapa hari sejak pemakaman Luna, tapi pikirannya masih dipenuhi oleh pria yang muncul hari itu. Arka. Kakak Luna yang tiba-tiba hadir dalam hidup mereka.Dia merasa ada yang janggal.Zara memang tidak begitu mengenal Luna secara pribadi, tapi dia tahu bahwa keluarga perempuan itu cukup terpandang. Seharusnya ada anggota keluarga yang datang di hari pemakamannya. Namun, yang muncul hanya Arka. Dan sekarang, pria itu tiba-tiba menjadi bagian dari kehidupannya lagi.Saat Rian masuk ke ruangan, Zara langsung menatapnya dengan penuh tanda tanya.“Kamu sudah menyelidiki Arka, kan?” tanyanya tanpa basa-basi.Rian terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Ya.”Zara mencondongkan tubuhnya ke depan, penasaran. “Dan? Siapa dia sebenarnya?”Rian menarik napas dalam. Dia tahu cepat atau lambat Zara pasti akan bertanya. “Arkana Rikovan… dia bukan orang asing bagiku,” katanya perlahan.
“Jadi, kau mengenalnya?” tanya Bu Hanan yang tampak bingung dengan reaksi Zara.Zara mengangguk perlahan, masih belum bisa menyembunyikan keterkejutannya. “Dia… dia dulu hampir menjadi pengacaraku.”Lena langsung menoleh tajam. “Apa?!”Pria itu mengangguk. “Namaku Arka. Aku memang seorang pengacara, dan saat itu aku menerima permintaan untuk menangani perceraianmu. Tapi sebelum semuanya dimulai, aku mendadak mendapat panggilan lain, dan ternyata kamu menarik kembali tuntutan itu.”Zara ingat. Saat itu, ia sangat berharap bisa mendapatkan pengacara yang bisa membantunya keluar dari pernikahannya dengan Rian. Arka adalah salah satu pengacara terbaik, tapi tiba-tiba ia menarik diri dari kasusnya, tanpa penjelasan yang jelas.Sekarang semuanya mulai masuk akal. Jika Arka adalah kakak Luna, mungkin itulah alasan dia mundur dari kasusnya, karena keterkaitan keluarganya dengan situasi yang lebih besar.“Kenapa kamu ingin bertemu denganku?” tanya Zara akhirnya, suara
Lena dan Zara turun dari mobil dengan langkah yang sedikit ragu. Udara sore yang sejuk menyelimuti halaman luas kediaman keluarga Hendrawan, tapi kehangatan itu tidak cukup untuk mengusir kegelisahan dalam hati Zara.Sudah berbulan-bulan sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di rumah ini. Sejak ia meninggalkan semua yang ada di sini dan memilih membangun hidup baru bersama Rian.Ia tidak pernah berpikir akan kembali, apalagi dalam keadaan seperti ini, membawa dua nyawa dalam kandungannya dan kembali sebagai istri Rian secara resmi, bukan hanya sekadar wanita yang terikat dalam pernikahan tanpa cinta seperti dulu.Pelayan-pelayan di rumah itu menyambut mereka dengan sopan, tapi Zara masih bisa merasakan sisa-sisa tatapan meremehkan yang dulu pernah ia terima. Meskipun kini Bu Hanan, ibu mertuanya, sudah mulai menunjukkan perubahan, trauma akan masa lalu masih melekat kuat di dalam hatinya.“Bu Hanan ada di dalam, Nona,” kata salah satu pelayan, membukakan pintu bes
Zara duduk di dalam mobil dengan gelisah. Hatinya dipenuhi berbagai perasaan yang bercampur aduk. Rian sudah memintanya untuk fokus pada kehamilannya, tapi ada sesuatu yang masih mengganjal pikirannya."Lena, sebelum kita pulang... Aku ingin bertemu dengan Jerry dulu," katanya tiba-tiba.Lena menoleh dengan alis berkerut. "Kamu yakin? Bukannya Rian sudah bilang untuk tidak terlalu memikirkan hal ini?""Aku tahu," Zara menghela napas. "Tapi aku merasa harus bertemu dengannya. Aku ingin mengucapkan terima kasih. Kalau bukan karena darahnya, mungkin aku dan bayi-bayiku..." Suaranya melemah, tak sanggup menyelesaikan kalimatnya.Lena terdiam sejenak, lalu akhirnya mengangguk. "Baiklah, kita mampir sebentar."Mobil pun berbelok menuju kantor polisi tempat Jerry ditahan. Begitu sampai, Zara langsung merasakan atmosfer yang dingin dan suram. Ruangan yang dipenuhi jeruji besi itu seakan menekan perasaannya.Petugas mengizinkan mereka untuk bertemu dengan Jerry di rua
Malam semakin larut, tetapi pikiran Rian tak bisa tenang. Ia duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptop yang menampilkan laporan keuangan terakhir. Lima miliar rupiah bukan hanya angka biasa, itu adalah serangan langsung terhadap perusahaan dan dirinya.Ia tahu bahwa menjadi pemimpin bukanlah hal mudah, tetapi semakin hari, semakin banyak yang ingin melihatnya jatuh. Apalagi setelah keluarga Hendrawan hancur, banyak pihak yang merasa kehilangan pegangan. Mereka mencari celah, dan sekarang, pencurian dana ini bisa jadi bagian dari permainan mereka.Zara berjalan mendekat, membawa secangkir teh hangat. "Kamu belum tidur?" tanyanya lembut.Rian tersenyum tipis, menerima cangkir itu. "Banyak yang harus kupikirkan."Zara duduk di sampingnya. "Menurutmu, ini ada hubungannya dengan keluarga Hendrawan?"Rian mengangguk. "Kemungkinan besar. Setelah keluarga kita jatuh, banyak pihak yang kehilangan perlindungan dan mulai bergerak sendiri. Aku tidak terkejut kalau sekara
Saat Jerry kembali digiring oleh dua polisi menuju mobil tahanan, Zara menghela napas berat. Ia ingin melepaskan segala kepenatan ini, tapi matanya terusik oleh sesuatu.Di kejauhan, di balik pohon yang sedikit tertutup kabut hujan, seorang pria tampak mengawasi mereka. Sosoknya tinggi, mengenakan jaket gelap dengan tudung yang menutupi sebagian wajahnya. Sekilas, Zara bisa melihat rahangnya yang tegas dan tatapan tajamnya yang menusuk.Zara menoleh ke Rian, memastikan apakah suaminya juga menyadarinya. Namun, Rian justru sibuk menyesuaikan tongkatnya di tanah becek."Rian..." Zara berbisik, sedikit menarik lengannya. "Ada seseorang di sana. Sejak tadi dia berdiri di balik pohon dan memperhatikan kita."Rian menoleh ke arah yang dimaksud, tapi pria itu segera berbalik, berjalan menjauh sebelum akhirnya menghilang di antara pepohonan pemakaman.Lena dan Sandi yang mendengar percakapan mereka ikut melihat ke sekitar. "Kamu yakin, Zara?" tanya Lena."Aku yakin.
"Zara, sebenarnya Jerry mendonorkan banyak darah untukmu. Jika bukan karena dia, aku tida tahu apa yang terjadi padamu dan si kembar." Rian berkata dengan berat hati, namun Zara harus tetap tahu.Zara terdiam sejenak, mencerna kata-kata Rian. Matanya menatap kosong ke depan, pikirannya melayang pada kejadian beberapa hari lalu, saat dirinya terbaring lemah, nyaris kehilangan segalanya."Jerry...?" gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.Rian mengangguk, menatap wajah Zara dengan serius. "Iya, dia yang menyelamatkanmu. Darahmu langka, dan rumah sakit tidak punya stok. Kalau bukan karena Jerry yang mendonorkan darahnya, aku nggak tahu apa yang akan terjadi."Zara menggigit bibirnya, perasaannya bercampur aduk. Jerry orang yang dulu sempat menjadi bagian dari hidupnya, kini terasa terikat dengan takdirnya dalam cara yang tidak pernah ia bayangkan."Jadi... aku hidup karena dia?" tanyanya pelan, lebih kepada dirinya sendiri."Bukan cuma kam