Zara membuka pintu rumah dengan letih. Hatinya masih berat setelah kunjungan ke rumah sakit. Namun, langkahnya langsung terhenti saat melihat sosok yang duduk di ruang tamu.
Bu Hanan, ibu Jerry sekaligus ibu mertuanya ada di sana. Wanita itu duduk tegak dengan ekspresi dingin, seolah telah menunggunya selama berjam-jam. "Bu Hanan...?" Zara bertanya pelan, setengah tidak percaya. "Kenapa Ibu ada di sini?" Namun, alih-alih menjawab, Bu Hanan hanya menatapnya tajam. Zara menutup pintu perlahan, wanita itu tak berkata sepatah pun, hanya duduk dengan tangan terlipat di pangkuan, ekspresinya penuh ketegasan yang tidak memberi ruang untuk protes. "Ibu..." suara Zara bergetar ketika akhirnya ia memberanikan diri berbicara lagi, "apa yang membawa Ibu ke sini malam-malam begini?" Bu Hanan tetap diam sejenak, mengamati Zara dari ujung kepala hingga kaki, seolah sedang menilai sesuatu yang tak kasat mata. Lalu, dia menarik napas panjang dan berbicara dengan nada rendah namun menusuk. "Kamu pulang terlambat," ucap Bu Hanan akhirnya, nada suaranya tegas namun datar. "Kamu habis dari rumah sakit, kan?" Zara mengangguk ragu, bingung kenapa pertanyaan itu dilontarkan. "Ya, Bu... Saya habis menjenguk Jerry." "Kamu harus tahu batas, Zara," katanya. "Kamu punya tanggung jawab sebagai istri. Tanggung jawabmu adalah melayani suamimu. Bukan menghabiskan waktu di rumah sakit, menangisi pria yang bukan lagi milikmu." Zara merasa pipinya memanas. "Jerry sedang koma, Bu. Dia tidak punya siapa-siapa lagi selain saya—" "Dia punya keluarganya!" potong Bu Hanan dengan nada meninggi. "Kamu sudah menikah!" Zara terdiam. Napasnya tercekat, tangannya mengepal di samping tubuhnya. Dia ingin membalas, ingin mengatakan bahwa cinta dan rasa tanggung jawabnya pada Jerry tidak bisa dihapus begitu saja hanya karena selembar surat nikah. Tapi dia tahu, di hadapan Bu Hanan, argumen seperti itu tidak ada gunanya. "Zara," Bu Hanan berkata, memotong apa pun yang hendak Zara tambahkan. "Saya akan langsung pada intinya. Saya ingin kamu berhenti bekerja." Zara mengerutkan kening, bingung. "Berhenti bekerja? Kenapa, Bu? Apa saya melakukan sesuatu yang salah?" Bu Hanan menyandarkan punggungnya, postur tubuhnya yang tegap semakin memperlihatkan wibawanya. "Kamu harus berhenti bekerja dan fokus pada tugasmu sebagai istri Rian." Zara menatap Bu Hanan dengan mata melebar. "Apa? Bu, saya tidak bisa berhenti bekerja. Itu satu-satunya hal yang membuat saya merasa berarti." "Berarti?" Bu Hanan tertawa kecil, nadanya penuh sindiran. "Kamu pikir pekerjaanmu lebih penting daripada pernikahanmu? Lebih penting daripada melayani Rian?" "Saya tidak pernah mengabaikan Rian," Zara membalas, nadanya sedikit gemetar. "Saya selalu memastikan kebutuhan rumah terpenuhi, dan saya selalu ada untuknya ketika dia membutuhkan." "Itu tidak cukup," tukas Bu Hanan. "Rian butuh istri yang sepenuhnya hadir untuknya, Zara. Bukan wanita yang sibuk mengurusi hidup orang lain." "Jerry bukan 'orang lain,' Bu," kata Zara tegas, meski suaranya sedikit bergetar. Zara menunduk, menggigit bibirnya untuk menahan air mata yang hampir tumpah. Dia merasa terpojok, dihimpit oleh kenyataan yang tidak pernah dia pilih. "Mulai besok," lanjut Bu Hanan, kembali dengan nada dingin, "saya ingin kamu berhenti bekerja. Fokus pada rumah tangga dan Rian. Itu tugasmu sebagai istri." Zara tidak menjawab. Dia tidak bisa. Hatinya seperti diaduk-aduk, di antara rasa sakit, marah, dan frustrasi yang tidak bisa dia ungkapkan. "Zara," suara Bu Hanan melunak sedikit, tapi tatapannya tetap keras. "Saya hanya ingin yang terbaik untuk Rian. Dan untuk itu, saya butuh kamu berada di tempat yang seharusnya." Zara menatap Bu Hanan, matanya penuh dengan campuran emosi yang sulit dijelaskan. Dalam hatinya, dia tahu bahwa kehidupannya sudah berubah total sejak pernikahan ini dimulai. Tapi apakah ini benar-benar hidup yang dia inginkan? Bu Hanan meraih tasnya dan berjalan ke arah pintu. Sebelum pergi, dia berhenti dan menoleh ke Zara. "Ingat, Zara," katanya pelan, tapi tajam. "Saya tidak akan membiarkan siapa pun, termasuk kamu, merusak masa depan keluarga Hendrawan." Kemudian, tanpa menunggu balasan, Bu Hanan pergi, meninggalkan Zara berdiri terpaku di ruang tamu. Zara jatuh terduduk di sofa, tangan gemetar saat mencoba menenangkan dirinya. Kata-kata Bu Hanan terus terngiang di telinganya, seperti palu yang menghantam keras-keras. Apakah ini hidup yang harus dia jalani? Zara berdiri di ruang tamu, tatapannya tajam menatap Rian yang baru saja masuk. Wajah pria itu datar, tanpa ekspresi. Jas hitam yang dikenakannya tampak rapi, seolah dia baru saja pulang dari kantor, meskipun sudah larut malam. "Kamu bilang semalam akan kembali," ujar Zara, mencoba mengendalikan nada suaranya yang mulai bergetar. "Aku sibuk," jawab Rian singkat, tanpa melihatnya. Rian melepas dasinya dengan gerakan santai, seperti tidak ada yang perlu dibahas. Padahal Zara berharap ia bertanya, 'apakah kamu menungguku semalaman?'. Kalimat itu, jelas tak akan terlontar dari mulut pria itu. "Benar, kamu sibuk," kata Zara, suaranya meninggi. "Sibuk sampai tidak pernah peduli pada istrimu. Tapi kenapa ibumu datang ke sini dan memintaku berhenti bekerja?" Rian berhenti sejenak, menatap Zara dengan dingin. "Dia hanya peduli padaku. Ibu ingin kamu fokus menjalankan tugasmu sebagai istri. Apa itu salah?" "Tugas sebagai istri?" Zara tertawa kecil, penuh kepahitan. "Kamu bahkan tidak pernah ada di rumah. Apa yang harus aku lakukan di sini? Duduk dan menunggumu pulang tengah malam setiap hari?" "Itu pilihanmu," balas Rian datar. "Kamu tahu sejak awal, pernikahan kita bukan tentang cinta, Zara. Jangan berharap lebih." Zara tertegun. Kata-kata Rian menghantamnya seperti tamparan. Mendengar Rian mengatakannya dengan begitu dingin, tanpa sedikit pun rasa peduli, membuat hatinya mencelos. "Kamu tidak peduli sama sekali, ya?" tanya Zara pelan, nyaris berbisik. Rian memalingkan wajahnya, seolah tidak mau menjawab pertanyaan itu. "Aku peduli, tapi bukan dengan caramu. Aku punya tanggung jawab yang lebih besar dari sekadar menjaga perasaanmu, Zara." "Jadi menurutmu, aku tidak penting?" suara Zara mulai bergetar, matanya mulai basah oleh air mata yang dia tahan sejak tadi. Rian mendesah panjang, menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Aku tidak mengatakan itu. Tapi aku tidak bisa terus menyesuaikan hidupku dengan keinginanmu. Kamu harus belajar menerima kenyataan." "Dan kenyataannya adalah aku harus berhenti bekerja karena ibumu memintaku?" Zara balas menantang. "Apa aku ini boneka? Apa aku tidak punya hak untuk memilih apa yang ingin aku lakukan?" "Zara, ini bukan soal hak atau pilihan," ucap Rian, nadanya sedikit lebih tegas. "Ini soal menjaga nama baik keluarga. Aku tidak ingin ada masalah antara kamu dan ibu." Zara tertawa pahit lagi. "Nama baik keluarga? Jadi, aku harus mengorbankan mimpiku, hidupku, untuk sesuatu yang bahkan tidak aku pedulikan? Bukankah kamu yang selalu mengatakan bahwa kita tidak saling mencintai? Kenapa sekarang aku harus mengikuti aturanmu?" Rian berjalan mendekat, tatapannya lebih tajam. "Kamu terlalu keras kepala, Zara. Aku sudah mencoba bersikap baik, tapi kalau kamu terus seperti ini, kamu hanya..." "Hanya apa?" tantang Zara, tatapannya tidak goyah. "Aku tidak ingin kehilangan semuanya, termasuk harga diriku," lanjut Zara dengan suara yang nyaris pecah. Air matanya yang tertahan sejak tadi akhirnya jatuh, mengalir di pipinya. Rian hanya berdiri diam, wajahnya masih tanpa emosi, seolah tak terpengaruh oleh kata-kata Zara. "Kamu terlalu emosional," katanya singkat. Zara mengangkat alisnya, semakin marah. "Kamu bicara tentang tanggung jawab, padahal kamu bahkan tidak pernah ada di sini untukku. Kamu tidak pernah mencoba untuk memahami apa yang aku rasakan. Pernikahan ini hanyalah transaksi bagimu, kan?" Suasana di ruang tamu menjadi semakin tegang. Zara memandang Rian dengan mata yang dipenuhi kemarahan dan kesedihan, sementara Rian tetap berdiri di tempatnya, sikapnya dingin seperti es. "Kalau begitu, kenapa kamu tetap di sini?" tanya Rian akhirnya, suaranya tenang namun menusuk. "Kalau kamu merasa pernikahan ini begitu buruk, kenapa kamu tidak pergi?" Zara tersentak mendengar pertanyaan itu. Dia menggigit bibirnya, mencoba menahan air matanya yang kembali ingin jatuh. "Karena aku masih berharap kamu akan berubah," jawabnya lirih. "Aku berharap kamu akan melihatku sebagai istrimu, sebagai seseorang yang layak untuk diperjuangkan." Rian terdiam, tatapannya berubah sejenak, tetapi dia segera mengalihkan pandangannya. "Harapan itu tidak akan membawa kita ke mana-mana, Zara," ucapnya dingin. "Aku tidak punya waktu untuk hal seperti itu." Zara menunduk, merasa seperti semua energinya telah terkuras habis. "Jadi itu jawabannya?" tanyanya pelan, suaranya hampir tidak terdengar. "Aku hanya seseorang yang harus mengikuti semua peraturan keluargamu, tanpa sedikit pun pertimbangan untuk perasaanku?" Rian tidak menjawab. Dia hanya berjalan melewati Zara menuju tangga, meninggalkannya sendirian di ruang tamu. Zara berdiri di sana, tubuhnya gemetar karena marah dan kecewa. Air matanya mengalir deras, tapi dia tidak berusaha menghapusnya. Dia tahu bahwa hatinya telah retak, dan entah bagaimana, dia harus menemukan cara untuk memperbaiki dirinya sendiri. "Tuan Adrian Hendrawan, ceraikan saya!" Rian menghentikan langkahnya di atas tangga, kata-kata itu terasa seperti belati yang menusuk jantungnya. Cerai? Apakah Zara serius, atau hanya becanda?Rian terdiam di atas tangga, tubuhnya membeku seolah-olah udara dingin tiba-tiba memenuhi rumah besar itu. Kata-kata Zara menggema di telinganya, begitu tajam, begitu jelas.Ia menatap Zara dari kejauhan, matanya menyipit, mencoba mencari jawaban di wajah istrinya. Tapi yang ia temukan hanyalah amarah yang membara, disertai kesedihan yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.“Zara...” suara Rian akhirnya keluar, serak dan nyaris tak terdengar.Zara tidak menoleh. Tangannya mengepal, kukunya menekan telapak tangannya sendiri hingga terasa sakit. Ia tidak ingin menunjukkan kelemahan lagi.“Aku serius, Rian,” katanya dengan tegas, meskipun suaranya bergetar.Rian turun perlahan, satu langkah demi satu langkah. Tapi Zara mengangkat tangannya, menghentikan gerakannya.“Jangan mendekat,” katanya, matanya yang sembab menatap langsung ke arah Rian. “Kamu sudah terlalu jauh dariku selama ini, Rian. Tidak perlu berpura-pura peduli sekarang.”Rian menelan ludah, merasa
Sinar matahari masuk melalui celah-celah tirai rumah sakit, menerangi ruang rawat yang penuh dengan alat medis. Setelah bertahun-tahun terbaring dalam koma, Jerry akhirnya membuka matanya perlahan.Pandangannya kabur, suara mesin monitor berdetak pelan di telinganya. Ia mencoba memahami di mana dirinya berada, tapi yang ia rasakan hanyalah kesulitan bernapas dan tubuh yang terasa kaku.Perawat yang masuk ke kamar terdiam sesaat, matanya melebar. “Tuan Jerry, Anda sudah sadar! Tunggu sebentar, saya akan memanggil dokter,” katanya sambil terburu-buru keluar dari ruangan.Jerry mencoba bergerak, mengangkat tangannya yang terasa berat, tapi tubuhnya menolak. Dalam diam, ia memejamkan mata, mencoba mengingat apa yang terjadi. Tetapi, yang ia temukan hanyalah kekosongan dan pertanyaan besar tentang bagaimana ia bisa berakhir di tempat ini.Kabar bahwa Jerry sadar menyebar cepat di keluarga Hendrawan. Zara, yang sedang berada di rumah, menerima telepon dari rumah sakit. Tan
Dengan perlahan, Jerry menyingkirkan selimut dari tubuhnya dan mencoba turun dari tempat tidur. Langkahnya goyah, tubuhnya terasa lemah, namun ada sesuatu yang mendorongnya untuk berdiri. Suara langkahnya membuat Zara menoleh dengan terkejut.“Jerry! Apa yang kamu lakukan? Kamu harus istirahat!” seru Zara panik. Ia melangkah cepat ke arahnya, berniat membantunya kembali ke tempat tidur.Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh Jerry, pria itu meraih tangannya lebih dulu. Pegangan Jerry lembut, tapi tegas, seolah meminta Zara untuk tidak pergi. Mata mereka bertemu, dan Zara merasakan sebuah gelombang emosi menghantam hatinya.“Zara…” suara Jerry terdengar pelan, serak, namun penuh rasa. “Kamu mencoba menyembunyikan semuanya dariku, tapi aku bisa melihatnya. Kamu tidak bahagia, bukan?”Zara mematung. Kata-kata itu seperti membuka pintu yang selama ini ia kunci rapat. Semua rasa sakit, frustrasi, dan kehampaan yang ia pendam selama lima tahun terakhir terasa seperti ke
Zara segera meraba ponselnya untuk menelepon ambulan, tetapi tangan Rian tiba-tiba bergerak, meski lemah, pria itu mencoba menghentikannya.“Jangan…” gumam Rian, suaranya serak, hampir tidak terdengar.“Rian! Apa yang terjadi padamu? Kamu sakit?” Zara bertanya, suaranya bergetar, campuran antara cemas dan takut.Rian membuka matanya sedikit, tatapannya kabur. Ia mencoba tersenyum kecil, tetapi itu lebih terlihat seperti ekspresi menyakitkan.“Aku hanya… terlalu banyak minum…”“Kenapa kamu seperti ini? Apa yang sebenarnya terjadi?” Zara mendesak, matanya berkaca-kaca.Rian tidak langsung menjawab. Ia menatap Zara dengan pandangan yang sulit dijelaskan, seolah ada sesuatu yang ingin ia katakan tetapi terlalu sulit untuk diungkapkan. Setelah beberapa saat, ia tertawa kecil, tawanya hambar dan penuh ironi.“Kamu tidak perlu khawatir. Aku tidak akan mati hanya karena minuman,” katanya pelan. Ia menutup matanya lagi, kepalanya bersandar ke sofa.Zara hanya
Jantung Zara berdetak lebih cepat. Pandangannya terpaku pada layar ponsel, dan ia tidak tahu harus berbuat apa. Sudah seminggu lebih sejak Jerry sadar dari koma, tapi Rian tidak pernah membahas atau bertanya soal kondisinya."Apakah dia sudah menjenguk kakaknya?" pikir Zara.Sejak hari itu, Zara merasa semakin jauh dengan Rian. Tetapi dia tidak pernah membahas lagi soal permintaannya untuk bercerai malam itu. Seolah, itu hanyalah angin lalu. Setelah apa yang terjadi semalam, Zara mulai meragukan keputusannya.Ponselnya kembali berdering. Zara menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menjawab. Akhirnya, dengan ragu, ia menggeser layar untuk menerima panggilan.“Halo…” suaranya nyaris berbisik, terdengar serak akibat tangisannya tadi.“Zara?” Suara Jerry terdengar lembut di ujung telepon, tetapi ada nada cemas di dalamnya. “Kamu baik-baik saja?”Pertanyaan itu membuat Zara terdiam sejenak. "Apakah suaraku terdengar seburuk itu hingga Jerry t
Di ruang kerjanya yang luas, Rian duduk dengan pandangan kosong menatap layar komputer. Laporan yang seharusnya ia tinjau sudah terbuka sejak satu jam yang lalu, tetapi pikirannya sama sekali tidak ada di sana.Sejak pagi, pikirannya dipenuhi oleh Zara dan apa yang terjadi semalam. Ia menggenggam cangkir kopi yang sudah dingin, memutar ulang kejadian malam tadi di benaknya. Zara, wanita yang menjadi istrinya, selalu menjadi misteri baginya.Semalam, untuk pertama kalinya, mereka tidur bersama. Tetapi pagi tadi, saat dia memutuskan untuk pergi dengan kata-kata dingin, ada sesuatu yang membuat dadanya terasa berat. Ia tidak tahu kenapa, atau mungkin ia tahu, tetapi menolak mengakuinya.Pintu ruangannya diketuk pelan, membuyarkan lamunannya. “Masuk,” kata Rian singkat, suaranya rendah.Seorang pria muda, asisten pribadinya, masuk dengan membawa dokumen. “Tuan Rian, ini laporan terakhir dari divisi pemasaran. Anda diminta untuk meninjau sebelum rapat sore ini.”Rian
Zara berdiri di depan pintu, tangan bersedekap di dada. Pandangannya tertuju pada Jerry yang masih duduk di sofa ruang tamu. Tatapannya serius, tetapi di balik sikap tegasnya, ada pergolakan yang tidak bisa ia abaikan.“Jerry, kamu tidak seharusnya ada di sini,” katanya akhirnya, suaranya datar tetapi tegas.Jerry mendongak, menatap Zara dengan sorot mata yang penuh rasa ingin tahu. “Aku merasa kita butuh waktu untuk menyelesaikan semuanya.”“Tidak di sini,” balas Zara cepat. “Ini rumahku, rumahku dan Rian. Aku tidak bisa membiarkanmu datang sesuka hati.”Jerry berdiri perlahan, posturnya masih menunjukkan kelemahan akibat pemulihannya. Tetapi tatapan tajamnya tidak pernah berubah. “Zara, aku hanya ingin tahu bagaimana kehidupanmu tanpa aku.”Zara mengepalkan tangannya, mencoba menahan gejolak emosinya. “Kamu harus pergi. Dan tolong, jangan datang ke sini lagi.”Jerry terdiam sejenak, matanya menatap Zara seolah mencoba mencari sesuatu yang tersembunyi. “Zara
Zara duduk di sebuah kafe kecil di sudut kota, ditemani secangkir kopi dan tatapan tajam sahabatnya, Lena. Setelah pagi yang melelahkan di rumah sakit, ia merasa butuh udara segar. Lena, seperti biasa, menjadi pelariannya dari kebisingan dunia.“Jadi, kamu benar-benar mau cerai, Zar?” Lena memecah keheningan, menatap Zara dengan ekspresi serius.Zara mengaduk-aduk es kopinya, memandangi butiran es yang mulai mencair. “Memangnya apa lagi yang bisa kuharapkan dari pria dingin itu?” jawabnya pelan, tetapi nadanya penuh kekecewaan.Lena menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Lima tahun, Zara. Menurutmu kenapa dia masih bertahan denganmu?”Pertanyaan itu membuat Zara menghentikan gerakannya. Ia menatap Lena, keningnya berkerut.“Apa maksudmu?” tanyanya hati-hati.Lena mendekat, meletakkan sikunya di meja sambil menatap Zara dengan pandangan penuh arti. “Coba pikirkan. Kalau di drama-drama, entah itu menikah kontrak atau pernikahan yang dipaksakan
Zara duduk di sebuah kafe kecil di sudut kota, ditemani secangkir kopi dan tatapan tajam sahabatnya, Lena. Setelah pagi yang melelahkan di rumah sakit, ia merasa butuh udara segar. Lena, seperti biasa, menjadi pelariannya dari kebisingan dunia.“Jadi, kamu benar-benar mau cerai, Zar?” Lena memecah keheningan, menatap Zara dengan ekspresi serius.Zara mengaduk-aduk es kopinya, memandangi butiran es yang mulai mencair. “Memangnya apa lagi yang bisa kuharapkan dari pria dingin itu?” jawabnya pelan, tetapi nadanya penuh kekecewaan.Lena menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Lima tahun, Zara. Menurutmu kenapa dia masih bertahan denganmu?”Pertanyaan itu membuat Zara menghentikan gerakannya. Ia menatap Lena, keningnya berkerut.“Apa maksudmu?” tanyanya hati-hati.Lena mendekat, meletakkan sikunya di meja sambil menatap Zara dengan pandangan penuh arti. “Coba pikirkan. Kalau di drama-drama, entah itu menikah kontrak atau pernikahan yang dipaksakan
Zara berdiri di depan pintu, tangan bersedekap di dada. Pandangannya tertuju pada Jerry yang masih duduk di sofa ruang tamu. Tatapannya serius, tetapi di balik sikap tegasnya, ada pergolakan yang tidak bisa ia abaikan.“Jerry, kamu tidak seharusnya ada di sini,” katanya akhirnya, suaranya datar tetapi tegas.Jerry mendongak, menatap Zara dengan sorot mata yang penuh rasa ingin tahu. “Aku merasa kita butuh waktu untuk menyelesaikan semuanya.”“Tidak di sini,” balas Zara cepat. “Ini rumahku, rumahku dan Rian. Aku tidak bisa membiarkanmu datang sesuka hati.”Jerry berdiri perlahan, posturnya masih menunjukkan kelemahan akibat pemulihannya. Tetapi tatapan tajamnya tidak pernah berubah. “Zara, aku hanya ingin tahu bagaimana kehidupanmu tanpa aku.”Zara mengepalkan tangannya, mencoba menahan gejolak emosinya. “Kamu harus pergi. Dan tolong, jangan datang ke sini lagi.”Jerry terdiam sejenak, matanya menatap Zara seolah mencoba mencari sesuatu yang tersembunyi. “Zara
Di ruang kerjanya yang luas, Rian duduk dengan pandangan kosong menatap layar komputer. Laporan yang seharusnya ia tinjau sudah terbuka sejak satu jam yang lalu, tetapi pikirannya sama sekali tidak ada di sana.Sejak pagi, pikirannya dipenuhi oleh Zara dan apa yang terjadi semalam. Ia menggenggam cangkir kopi yang sudah dingin, memutar ulang kejadian malam tadi di benaknya. Zara, wanita yang menjadi istrinya, selalu menjadi misteri baginya.Semalam, untuk pertama kalinya, mereka tidur bersama. Tetapi pagi tadi, saat dia memutuskan untuk pergi dengan kata-kata dingin, ada sesuatu yang membuat dadanya terasa berat. Ia tidak tahu kenapa, atau mungkin ia tahu, tetapi menolak mengakuinya.Pintu ruangannya diketuk pelan, membuyarkan lamunannya. “Masuk,” kata Rian singkat, suaranya rendah.Seorang pria muda, asisten pribadinya, masuk dengan membawa dokumen. “Tuan Rian, ini laporan terakhir dari divisi pemasaran. Anda diminta untuk meninjau sebelum rapat sore ini.”Rian
Jantung Zara berdetak lebih cepat. Pandangannya terpaku pada layar ponsel, dan ia tidak tahu harus berbuat apa. Sudah seminggu lebih sejak Jerry sadar dari koma, tapi Rian tidak pernah membahas atau bertanya soal kondisinya."Apakah dia sudah menjenguk kakaknya?" pikir Zara.Sejak hari itu, Zara merasa semakin jauh dengan Rian. Tetapi dia tidak pernah membahas lagi soal permintaannya untuk bercerai malam itu. Seolah, itu hanyalah angin lalu. Setelah apa yang terjadi semalam, Zara mulai meragukan keputusannya.Ponselnya kembali berdering. Zara menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menjawab. Akhirnya, dengan ragu, ia menggeser layar untuk menerima panggilan.“Halo…” suaranya nyaris berbisik, terdengar serak akibat tangisannya tadi.“Zara?” Suara Jerry terdengar lembut di ujung telepon, tetapi ada nada cemas di dalamnya. “Kamu baik-baik saja?”Pertanyaan itu membuat Zara terdiam sejenak. "Apakah suaraku terdengar seburuk itu hingga Jerry t
Zara segera meraba ponselnya untuk menelepon ambulan, tetapi tangan Rian tiba-tiba bergerak, meski lemah, pria itu mencoba menghentikannya.“Jangan…” gumam Rian, suaranya serak, hampir tidak terdengar.“Rian! Apa yang terjadi padamu? Kamu sakit?” Zara bertanya, suaranya bergetar, campuran antara cemas dan takut.Rian membuka matanya sedikit, tatapannya kabur. Ia mencoba tersenyum kecil, tetapi itu lebih terlihat seperti ekspresi menyakitkan.“Aku hanya… terlalu banyak minum…”“Kenapa kamu seperti ini? Apa yang sebenarnya terjadi?” Zara mendesak, matanya berkaca-kaca.Rian tidak langsung menjawab. Ia menatap Zara dengan pandangan yang sulit dijelaskan, seolah ada sesuatu yang ingin ia katakan tetapi terlalu sulit untuk diungkapkan. Setelah beberapa saat, ia tertawa kecil, tawanya hambar dan penuh ironi.“Kamu tidak perlu khawatir. Aku tidak akan mati hanya karena minuman,” katanya pelan. Ia menutup matanya lagi, kepalanya bersandar ke sofa.Zara hanya
Dengan perlahan, Jerry menyingkirkan selimut dari tubuhnya dan mencoba turun dari tempat tidur. Langkahnya goyah, tubuhnya terasa lemah, namun ada sesuatu yang mendorongnya untuk berdiri. Suara langkahnya membuat Zara menoleh dengan terkejut.“Jerry! Apa yang kamu lakukan? Kamu harus istirahat!” seru Zara panik. Ia melangkah cepat ke arahnya, berniat membantunya kembali ke tempat tidur.Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh Jerry, pria itu meraih tangannya lebih dulu. Pegangan Jerry lembut, tapi tegas, seolah meminta Zara untuk tidak pergi. Mata mereka bertemu, dan Zara merasakan sebuah gelombang emosi menghantam hatinya.“Zara…” suara Jerry terdengar pelan, serak, namun penuh rasa. “Kamu mencoba menyembunyikan semuanya dariku, tapi aku bisa melihatnya. Kamu tidak bahagia, bukan?”Zara mematung. Kata-kata itu seperti membuka pintu yang selama ini ia kunci rapat. Semua rasa sakit, frustrasi, dan kehampaan yang ia pendam selama lima tahun terakhir terasa seperti ke
Sinar matahari masuk melalui celah-celah tirai rumah sakit, menerangi ruang rawat yang penuh dengan alat medis. Setelah bertahun-tahun terbaring dalam koma, Jerry akhirnya membuka matanya perlahan.Pandangannya kabur, suara mesin monitor berdetak pelan di telinganya. Ia mencoba memahami di mana dirinya berada, tapi yang ia rasakan hanyalah kesulitan bernapas dan tubuh yang terasa kaku.Perawat yang masuk ke kamar terdiam sesaat, matanya melebar. “Tuan Jerry, Anda sudah sadar! Tunggu sebentar, saya akan memanggil dokter,” katanya sambil terburu-buru keluar dari ruangan.Jerry mencoba bergerak, mengangkat tangannya yang terasa berat, tapi tubuhnya menolak. Dalam diam, ia memejamkan mata, mencoba mengingat apa yang terjadi. Tetapi, yang ia temukan hanyalah kekosongan dan pertanyaan besar tentang bagaimana ia bisa berakhir di tempat ini.Kabar bahwa Jerry sadar menyebar cepat di keluarga Hendrawan. Zara, yang sedang berada di rumah, menerima telepon dari rumah sakit. Tan
Rian terdiam di atas tangga, tubuhnya membeku seolah-olah udara dingin tiba-tiba memenuhi rumah besar itu. Kata-kata Zara menggema di telinganya, begitu tajam, begitu jelas.Ia menatap Zara dari kejauhan, matanya menyipit, mencoba mencari jawaban di wajah istrinya. Tapi yang ia temukan hanyalah amarah yang membara, disertai kesedihan yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.“Zara...” suara Rian akhirnya keluar, serak dan nyaris tak terdengar.Zara tidak menoleh. Tangannya mengepal, kukunya menekan telapak tangannya sendiri hingga terasa sakit. Ia tidak ingin menunjukkan kelemahan lagi.“Aku serius, Rian,” katanya dengan tegas, meskipun suaranya bergetar.Rian turun perlahan, satu langkah demi satu langkah. Tapi Zara mengangkat tangannya, menghentikan gerakannya.“Jangan mendekat,” katanya, matanya yang sembab menatap langsung ke arah Rian. “Kamu sudah terlalu jauh dariku selama ini, Rian. Tidak perlu berpura-pura peduli sekarang.”Rian menelan ludah, merasa
Zara membuka pintu rumah dengan letih. Hatinya masih berat setelah kunjungan ke rumah sakit. Namun, langkahnya langsung terhenti saat melihat sosok yang duduk di ruang tamu.Bu Hanan, ibu Jerry sekaligus ibu mertuanya ada di sana.Wanita itu duduk tegak dengan ekspresi dingin, seolah telah menunggunya selama berjam-jam."Bu Hanan...?" Zara bertanya pelan, setengah tidak percaya. "Kenapa Ibu ada di sini?"Namun, alih-alih menjawab, Bu Hanan hanya menatapnya tajam. Zara menutup pintu perlahan, wanita itu tak berkata sepatah pun, hanya duduk dengan tangan terlipat di pangkuan, ekspresinya penuh ketegasan yang tidak memberi ruang untuk protes."Ibu..." suara Zara bergetar ketika akhirnya ia memberanikan diri berbicara lagi, "apa yang membawa Ibu ke sini malam-malam begini?"Bu Hanan tetap diam sejenak, mengamati Zara dari ujung kepala hingga kaki, seolah sedang menilai sesuatu yang tak kasat mata. Lalu, dia menarik napas panjang dan berbicara dengan nada rendah namun menusuk."Kamu pulan