BAB 3

Setelah pernikahan yang terasa seperti pengorbanan dari pada awal kebahagiaan, Zara dan Rian pindah ke rumah baru yang telah disiapkan oleh keluarga mereka. Rumah itu besar, mewah, dan dilengkapi dengan perabotan mahal yang tampak sempurna.

Namun bagi Zara, semua itu tidak mampu menghapus kehampaan yang ia rasakan. Ia berdiri di ruang tamu, memandangi sofa kulit yang dingin, chandelier kristal yang berkilauan, dan dinding putih bersih yang terasa asing. Ia merasa seperti tamu dalam hidupnya sendiri.

Rian hanya membawa koper ke sudut ruangan dan pergi tanpa sepatah kata. Langkahnya yang tenang namun dingin, menghilang di balik pintu kamar. Zara tetap diam di tempatnya, mencoba menenangkan hatinya.

"Ini adalah awal yang baru, aku harus kuat,” pikirnya, meski rasa sesak di dadanya semakin menekan.

Malam itu, Zara memutuskan menyiapkan makan malam sederhana. Sebuah usaha kecil untuk mencoba membangun komunikasi di antara mereka. Ia menata meja makan dengan rapi, berharap bisa memulai percakapan yang lebih hangat.

Ketika ia memanggil Rian untuk makan malam, pria itu datang tanpa suara, duduk di meja, tetapi lebih sibuk menatap layar ponselnya daripada Zara. Rambutnya sedikit berantakan, jasnya sudah berganti dengan kemeja hitam yang di gulung hingga siku.

Zara berdehem pelan, berusaha memulai percakapan. “Rian, menurutmu bagaimana rumah ini?” tanya Zara, memecah keheningan.

Rian berhenti sejenak, sendok di tangannya tidak bergerak. Ia mendongak perlahan, lalu menatap Zara. Pandangannya menusuk, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi tak ada yang keluar. Sebagai gantinya, ia hanya melanjutkan makan tanpa komentar apa pun.

Rasa sakit yang dirasakan Zara tidak tampak di wajahnya, ia memaksakan senyum tipis dan kembali menunduk. Tapi di dalam hati, ia merasa tertolak, seperti berbicara pada dinding.

"Kamu suka supnya?" tanyanya lagi, mencoba terdengar santai.

Rian menoleh sedikit, hanya dengan matanya. Sebuah anggukan kecil adalah satu-satunya jawaban yang ia berikan sebelum kembali ke makanannya.

Zara menggigit bibirnya sejenak, lalu berkata lagi, “Mungkin kita bisa mencoba membuat semuanya... lebih nyaman?”

Rian akhirnya menatapnya, tetapi ekspresinya tetap sama, datar, seperti tidak peduli. “Zara, kita menikah karena tekanan keluarga. Jangan harap ini akan menjadi seperti... pernikahan yang sebenarnya.”

Kalimat itu menghantam Zara seperti pukulan keras di dada. Ia ingin membalas, ingin marah, tetapi hanya kata-kata lemah yang keluar dari mulutnya. “Aku hanya ingin kita mencoba... setidaknya sedikit saja.”

Rian berdiri dari kursi dengan tegas, tanpa menghabiskan makanannya. Tanpa sepatah kata pun, ia pergi begitu saja. Suara langkah sepatunya menghilang di ujung lorong, meninggalkan Zara sendirian di meja makan.

Setiap hari, Zara berusaha keras menyesuaikan diri, ia bangun pagi untuk mengatur rumah. Namun, setiap kali ia berusaha mendekati Rian, pria itu tetap menjaga jarak. Kadang Zara bertanya-tanya, apakah ada yang salah dengan dirinya?

Pada suatu malam, Zara memberanikan diri berbicara lebih dalam dengan Rian. Rian baru saja pulang tengah malam, ia tampak lelah, tetapi tetap menunjukkan wajah tanpa emosi. Aroma parfum khasnya memenuhi udara saat ia melangkah masuk ke dalam kamar.

“Rian, kamu pulang sangat larut,” ucap Zara pelan.

Rian berhenti di depan lemari, melepas dasinya tanpa menoleh. Bahunya tegang, tetapi ia tidak merespons. Hanya suara gesekan pakaian yang terdengar.

“Kamu lelah? Mau kubuatkan teh?” lanjut Zara dengan suara yang hampir berbisik.

Rian melempar jasnya ke kursi, lalu berbalik dengan pandangan datar. Ia tidak menjawab, hanya berjalan menuju tempat tidur, membaringkan tubuhnya dengan punggung menghadap Zara. Diamnya terasa seperti tembok tinggi yang tidak bisa ia panjat.

Zara memandang punggung Rian, matanya mulai basah. “Apa aku terlalu berusaha? Atau dia memang tidak pernah peduli?” pikirnya, tenggelam dalam rasa kesepian.

Sikap dingin Rian membuat dada Zara terasa sesak. Ia menatap pria itu, mencari setitik kehangatan atau penyesalan dalam dirinya, tetapi tidak pernah menemukan apa pun.

‘Apa ia harus menyerah? Apa ia masih kuat untuk terus bertahan?’

Tahun-tahun berlalu, tetapi pernikahan Zara dan Rian tetap dingin, seperti salju yang tak pernah mencair. Tidak ada momen kehangatan, tidak ada upaya untuk memperbaiki hubungan. Mereka hidup seperti dua orang asing, berjuang melawan kesunyian yang menyelimuti rumah mereka.

Saat pertemuan keluarga besar, Zara selalu menjadi sasaran komentar pedas. Di meja makan yang penuh dengan kerabat, ibu Rian, Bu Hanan, tak pernah melewatkan kesempatan untuk menyindir.

“Zara, sudah berapa tahun kalian menikah? Kenapa sampai sekarang belum ada tanda-tanda kehadiran cucu?” tanya Bu Hanan dengan nada manis, tetapi menyimpan tekanan di dalamnya. "Kamu sehat, kan? Atau... ada masalah?"

Zara tersenyum kaku, berusaha menjawab dengan tenang. “Kami masih fokus pada pekerjaan, Ibu.”

Bu Hanan mendengus kecil, lalu melirik Rian yang duduk diam di sebelah Zara. “Fokus pada pekerjaan itu baik, tapi jangan lupa tanggung jawab kalian sebagai suami-istri. Keluarga ini butuh penerus.”

Zara hanya bisa menunduk, merasa dadanya sesak. Sementara itu, Rian tetap tak peduli, ia menatap ibunya sekilas, lalu kembali menatap layar ponselnya seolah pembicaraan itu tidak ada hubungannya dengan dirinya.

Di sisi lain meja, Zara menangkap tatapan prihatin dari kakak perempuannya, Salma. Setelah makan malam selesai, Salma mendekati Zara saat mereka berada di dapur.

“Zara, kamu baik-baik saja?” tanya Salma, suaranya lembut.

Zara hanya tersenyum kecil, meski matanya memancarkan rasa lelah yang mendalam. “Aku sudah terbiasa, Mbak. Tidak apa-apa.”

Jangankan memiliki anak, untuk bersentuhan dengan Rian saja tidak pernah terjadi. Mereka tidur di ranjang yang sama, tetapi ada jarak yang begitu besar di antara mereka.

Rian, yang selalu pulang larut malam, lebih memilih menghindari Zara. Ia bahkan sering menginap di luar dengan alasan pekerjaan. Namun, Zara tahu alasan sebenarnya, Rian tidak ingin berada di rumah.

"Rian, bisa kita bicara?" tanya Zara pelan, saat mereka duduk di ruang tamu.

"Tentang apa?" jawabnya singkat.

Zara mencoba menyusun kata-kata. "Tentang kita... tentang hubungan kita. Aku merasa—"

"Zara," Rian memotongnya. Nada suaranya tetap datar, tetapi cukup tajam untuk membuat Zara terdiam. "Aku lelah. Kalau ini soal anak, kita bicara lain kali."

Zara hanya bisa mengangguk, mencoba menahan rasa sakit atas penolakan Rian seperti biasa. Ia tahu, bahwa "lain kali" itu mungkin tidak akan pernah datang.

Malam itu, Zara duduk di sudut kamar, memeluk lututnya sendiri. Air mata yang selama ini ia tahan akhirnya mengalir. Ia merasa terjebak dalam pernikahan yang tidak pernah diinginkannya, tetapi ia juga tidak tahu bagaimana cara keluar.

Zara memandang cincin pernikahannya yang melingkar di jari. Ia bertanya-tanya, apa yang akan terjadi jika dia memilih jalan lain? Jika ia tidak menikah dengan Rian, apakah hidupnya akan lebih bahagia?

"Kapan kamu akan kembali, Jerry?" bisiknya, penuh kerinduan