“Bu, kenapa rasanya jantungku nggak berhenti berdebar?” Zara memegang dadanya, mencoba mengatur napas yang terasa sesak.
Ibunya, Bu Sari, yang tengah merapikan gaun Zara berhenti sejenak, memandang wajah putrinya yang penuh kegelisahan. “Itu wajar, Nak. Semua pengantin pasti gugup.” Zara mengangguk pelan. Ia menatap cermin di hadapannya, mencoba tersenyum, namun bayangannya membuatnya merasa asing. “Zara, tamu sudah berdatangan. Kamu siap?” suara lembut ibunya membuyarkan lamunan. “Ya, Bu,” jawab Zara, tersenyum canggung menutupi kegelisahannya. Hujan pagi itu seharusnya menjadi latar hari paling bahagia bagi Zara. Gaun putih dengan renda halus melekat sempurna di tubuhnya, tetapi firasat ganjil sejak pagi tak mau hilang. Segalanya tampak sempurna. Musik klasik mengalun, dekorasi gereja memukau, tetapi sebuah ketukan di pintu ruang rias mengubah segalanya. “Kecelakaan?” Zara menatap pria berjas formal yang berdiri di ambang pintu, tubuhnya terasa kaku. Suaranya gemetar, nyaris tak keluar. “Jerry… kecelakaan?” Pria itu mengangguk, wajahnya datar namun serius. “Benar, Nona Zara. Mobilnya tergelincir karena hujan. Kondisinya kritis.” Tubuh Zara melemas. Ia terhuyung ke belakang, mencoba berpegangan pada meja rias untuk tetap berdiri. Matanya mencari kepastian pada sosok ibunya, Bu Sari, yang berdiri di sampingnya dengan wajah pucat pasi. “Ini nggak mungkin…” bisiknya hampir tanpa suara. “Jerry bilang dia akan datang tepat waktu. Dia pasti baik-baik saja… Dia pasti…” Bu Sari segera menopang pundak Zara, berusaha menenangkan putrinya yang hampir ambruk. Suaranya lembut, namun bergetar. “Sayang, tenang dulu. Kita bisa ke rumah sakit sekarang. Kita lihat dulu kondisinya…” “Tidak ada yang pergi ke rumah sakit.” Suara berat itu memotong suasana. Tuan Arman, ayah Jerry, berdiri di ambang pintu ruang rias dengan ekspresi dingin. Wajahnya tegas tanpa ada sedikit pun tanda duka. Ia melangkah masuk, tubuh tegapnya seperti memancarkan aura tekanan. “Dengar baik-baik, Zara. Pernikahan ini harus tetap berlangsung.” Zara menatap Tuan Arman, bingung sekaligus marah. “Apa maksud Anda? Jerry butuh kita! Aku harus ke sana! Dia sedang sekarat, dan Anda masih memikirkan pernikahan?” “Saya tidak bercanda,” Tuan Arman menjawab dengan tenang, bahkan terlalu tenang untuk situasi seperti ini. “Pernikahan ini tidak boleh dibatalkan. Kamu tahu konsekuensinya kalau ini gagal. Nama keluarga kita jadi bahan omongan. Bisnis kita hancur.” Zara tertawa pendek, tawa yang lebih menyerupai isakan. “Omongan orang? Nama keluarga? Apa itu lebih penting dari nyawa putramu sendiri?” “Zara!” Bu Sari mencoba menenangkan, menarik tangan putrinya. "Tuan Arman hanya berusaha menjaga keadaan. Kita harus berpikir panjang…” “Panjang?” Zara menoleh cepat ke ibunya, matanya memerah. “Bu, ini nyawa seseorang! Ini hidup Jerry, calon suamiku! Bagaimana kalian bisa sedingin ini?” Ruangan itu mendadak hening. Bahkan suara hujan deras di luar terdengar samar. Lalu, Tuan Arman membuka mulutnya lagi, kali ini dengan suara lebih rendah namun penuh tekanan. “Jerry tidak akan menikahimu hari ini.” Zara mematung, menatap dengan kening berkerut. “Apa… maksud Anda?” Tuan Arman menatap tajam ke arah seorang pria yang berdiri di sudut ruangan. Rian, adik Jerry. “Kamu yang menggantikannya,” ujar Tuan Arman. “Tidak,” jawab Rian dingin. Ia menatap ayahnya dengan tatapan tajam. “Ini bukan permintaan,” tekan Tuan Arman. “Pernikahan bukan keputusan yang bisa dipaksakan, Ayah,” jawab Rian, menatap ayahnya dengan penuh perlawanan. “Aku tidak akan melakukannya.” “Cukup, Rian!” suara Tuan Arman meninggi, membuat suasana semakin tegang. “Kamu akan melakukannya!” Rian terdiam, rahangnya mengeras. Ia menatap Zara sekilas, lalu kembali menatap ayahnya dengan penuh amarah yang tertahan. Jantung Zara terasa berhenti berdetak. Ia butuh beberapa saat untuk mencerna kata-kata itu. “Rian? Adik Jerry?” “Benar.” Wajah Tuan Arman tidak menunjukkan emosi apa pun. “Dia akan menikahimu, di altar, hari ini.” “Tidak! Ini gila!” suara Zara bergetar, matanya liar mencari dukungan. “Bagaimana aku bisa menikah dengan Rian? Aku bahkan tidak mengenalnya. Aku… aku hanya ingin Jerry… ” “Kamu tidak punya pilihan, Zara,” sambung Bu Sari. “Jika kamu kabur sekarang, semua tamu akan tahu, semua investor akan melihat keluarga kita hancur.” “Investor?” suara Zara melemah, tubuhnya terasa lemas. “Ibu… kau benar-benar menjual aku demi uang?” Bu Sari mendekatkan diri, menatap putrinya dengan tatapan penuh prihatin. “Ini bukan tentang uang, Zara. Ini tentang kehormatan keluarga. Kamu harus mengerti.” “Tidak!” Zara berteriak. “Aku tidak mau! Aku tidak bisa!” “Aku siap,” ucap Rian akhirnya. Pandangan Rian menelusuri Zara sebentar, menyiratkan perasaan enggan, namun tak bisa ia tolak. “Bagus,” Tuan Arman mengangguk, lalu melirik Zara dengan tajam. “Kamu juga harus siap.” Zara menatap Rian dengan tatapan tidak percaya. “Kamu benar-benar akan melakukannya? Kamu mau menikahi aku, calon istri dari kakakmu sendiri? Kamu nggak punya hati, ya?” Rian tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Zara dengan ekspresi dingin, seolah mencoba mengendalikan sesuatu di dalam dirinya. Setelah jeda panjang, Rian keluar tanpa sepatah kata. “Zara… maafkan ibu,” Bu Sari memanggilnya dengan lembut, mencoba mendekat. Namun Zara menepis tangan ibunya, ia merasa tubuhnya hampir ambruk. Ia mendekap wajahnya dengan tangan, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Zara memejamkan mata, mencoba menahan air mata yang terus mengalir. Dalam hati, ia bertanya-tanya, apakah ini takdir, atau kutukan?Zara menatap cermin di depannya. Gaun putih yang membalut tubuhnya begitu anggun, menjadikannya sosok yang hampir sempurna di mata orang lain. Tapi bagi Zara, gaun itu seperti tali yang membelit tubuhnya, membuatnya sulit bernapas.Matanya sembab, bibirnya kering, dan senyumnya menghilang entah ke mana. Ia tidak berkata apa-apa. Apa yang bisa ia katakan? Protes? Tangisan? Semua itu sudah habis beberapa jam lalu.“Zara, ibu tahu kamu mungkin kecewa pada Ibu.” Bu Sari melangkah mendekat, meletakkan tangannya di pundak Zara. “Tapi, kamu harus tahu apa yang sudah dikorbankan mendiang ayahmu untuk memastikan kamu tidak kehilangan segalanya. Pernikahan ini... mungkin satu-satunya cara untuk menyelamatkan kita semua," suara Bu Sari bergetar, penuh beban.Zara ingin menjawab, ingin mengatakan bahwa ia merasa dikhianati oleh dunia, oleh orang-orang yang seharusnya melindunginya. Tapi yang keluar hanyalah desahan panjang. Ia tidak ingin membuat ibunya lebih terbebani.“Jerry… bertahanlah,” bisi
Setelah pernikahan yang terasa seperti pengorbanan dari pada awal kebahagiaan, Zara dan Rian pindah ke rumah baru yang telah disiapkan oleh keluarga mereka. Rumah itu besar, mewah, dan dilengkapi dengan perabotan mahal yang tampak sempurna.Namun bagi Zara, semua itu tidak mampu menghapus kehampaan yang ia rasakan. Ia berdiri di ruang tamu, memandangi sofa kulit yang dingin, chandelier kristal yang berkilauan, dan dinding putih bersih yang terasa asing. Ia merasa seperti tamu dalam hidupnya sendiri.Rian hanya membawa koper ke sudut ruangan dan pergi tanpa sepatah kata. Langkahnya yang tenang namun dingin, menghilang di balik pintu kamar. Zara tetap diam di tempatnya, mencoba menenangkan hatinya."Ini adalah awal yang baru, aku harus kuat,” pikirnya, meski rasa sesak di dadanya semakin menekan.Malam itu, Zara memutuskan menyiapkan makan malam sederhana. Sebuah usaha kecil untuk mencoba membangun komunikasi di antara mereka. Ia menata meja makan dengan rapi, berharap bisa memulai perc
Zara mengalihkan kesepiannya dengan tenggelam dalam pekerjaannya sebagai seorang dokter. Pagi-pagi sekali, ia sudah berangkat ke rumah sakit, mengenakan jas putih dan menyibukkan diri dengan pasien-pasiennya. Baginya, pekerjaan di rumah sakit adalah satu-satunya tempat di mana ia merasa dihargai dan dibutuhkan. "Dokter Zara, pasien di ruang ICU memerlukan pemeriksaan tambahan," panggil seorang perawat. Zara mengangguk, lalu segera menuju ruang ICU. Sepanjang hari, ia berpindah dari satu ruangan ke ruangan lain, memastikan semua pasien mendapatkan perawatan terbaik. Pekerjaan ini adalah pelariannya, meskipun tubuh dan pikirannya kerap merasa lelah. Namun, bahkan di rumah sakit, pikirannya tetap melayang pada pernikahannya yang terasa hampa. Saat sedang mengisi catatan medis, ia sering terdiam, memikirkan bagaimana ia bisa memperbaiki hubungan dengan Rian. Zara duduk di kursi ruang istirahat setelah shift panjang. Tangannya memijat pelipis, matanya menatap kosong ke loker di depan
Sesampainya di rumah, Zara merasa tubuhnya lelah, meskipun pikirannya masih penuh dengan kekacauan yang terjadi di rumah sakit. Pikirannya melayang antara pasien yang baru saja dia tangani dan pertemuan yang membingungkan dengan Rian. Saat memasuki rumah besar mereka, udara terasa sepi, dan hanya ada sedikit suara yang menggema di ruang tamu. Begitu membuka pintu kamar, matanya langsung tertuju pada Rian yang sudah berbaring di tempat tidur. Piyama biru yang dikenakannya membuatnya terlihat tenang, tapi ekspresinya tetap datar, tak terpengaruh oleh kejadian siang tadi. Zara berdiri di pintu sejenak, memandangnya dengan hati yang campur aduk. Ada rasa lelah yang dalam, tetapi juga rasa ingin tahu yang semakin memuncak. “Kamu tidak tidur?” tanyanya, suara lembut namun tetap menyimpan ketegasan. Rian tidak menjawab langsung. Matanya masih terpejam, seolah menikmati ketenangan yang ada. Akhirnya, ia membuka matanya perlahan dan menoleh ke arah Zara. “Aku sudah tidur,” jawabnya datar,
Zara duduk di tepi ranjang rumah sakit. Sudah berminggu-minggu sejak terakhir kali ia datang ke sini. Ruangan itu dipenuhi bau khas obat-obatan, bercampur dengan aroma antiseptik yang menusuk. Meski sudah terbiasa dengan pekerjaannya sebagai dokter, tetapi entah mengapa ruangan ini terasa berbeda untuknya. Jerry, pria yang pernah hampir menjadi suaminya, terbaring tak bergerak di hadapannya. Wajahnya pucat, tubuhnya seolah kehilangan kehidupan, hanya bergantung pada alat medis di sekitarnya selama lima tahun terakhir. Zara mengulurkan tangan, ragu-ragu sebelum akhirnya menyentuh jemari Jerry yang dingin. “Jerry…” Suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan ruangan itu. “Aku di sini.” Ia menunduk, menatap wajah Jerry yang diam tak bereaksi. Ada sesuatu yang begitu menyakitkan melihatnya dalam keadaan seperti ini. Pria yang dulu begitu tegas dan penuh percaya diri kini hanya menjadi sosok yang tak berdaya. “Aku tahu aku seharusnya sering datang. Tapi… aku takut,” ucapnya, mencoba men
Zara membuka pintu rumah dengan letih. Hatinya masih berat setelah kunjungan ke rumah sakit. Namun, langkahnya langsung terhenti saat melihat sosok yang duduk di ruang tamu.Bu Hanan, ibu Jerry sekaligus ibu mertuanya ada di sana.Wanita itu duduk tegak dengan ekspresi dingin, seolah telah menunggunya selama berjam-jam."Bu Hanan...?" Zara bertanya pelan, setengah tidak percaya. "Kenapa Ibu ada di sini?"Namun, alih-alih menjawab, Bu Hanan hanya menatapnya tajam. Zara menutup pintu perlahan, wanita itu tak berkata sepatah pun, hanya duduk dengan tangan terlipat di pangkuan, ekspresinya penuh ketegasan yang tidak memberi ruang untuk protes."Ibu..." suara Zara bergetar ketika akhirnya ia memberanikan diri berbicara lagi, "apa yang membawa Ibu ke sini malam-malam begini?"Bu Hanan tetap diam sejenak, mengamati Zara dari ujung kepala hingga kaki, seolah sedang menilai sesuatu yang tak kasat mata. Lalu, dia menarik napas panjang dan berbicara dengan nada rendah namun menusuk."Kamu pulan
Rian terdiam di atas tangga, tubuhnya membeku seolah-olah udara dingin tiba-tiba memenuhi rumah besar itu. Kata-kata Zara menggema di telinganya, begitu tajam, begitu jelas.Ia menatap Zara dari kejauhan, matanya menyipit, mencoba mencari jawaban di wajah istrinya. Tapi yang ia temukan hanyalah amarah yang membara, disertai kesedihan yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.“Zara...” suara Rian akhirnya keluar, serak dan nyaris tak terdengar.Zara tidak menoleh. Tangannya mengepal, kukunya menekan telapak tangannya sendiri hingga terasa sakit. Ia tidak ingin menunjukkan kelemahan lagi.“Aku serius, Rian,” katanya dengan tegas, meskipun suaranya bergetar.Rian turun perlahan, satu langkah demi satu langkah. Tapi Zara mengangkat tangannya, menghentikan gerakannya.“Jangan mendekat,” katanya, matanya yang sembab menatap langsung ke arah Rian. “Kamu sudah terlalu jauh dariku selama ini, Rian. Tidak perlu berpura-pura peduli sekarang.”Rian menelan ludah, merasa
Sinar matahari masuk melalui celah-celah tirai rumah sakit, menerangi ruang rawat yang penuh dengan alat medis. Setelah bertahun-tahun terbaring dalam koma, Jerry akhirnya membuka matanya perlahan.Pandangannya kabur, suara mesin monitor berdetak pelan di telinganya. Ia mencoba memahami di mana dirinya berada, tapi yang ia rasakan hanyalah kesulitan bernapas dan tubuh yang terasa kaku.Perawat yang masuk ke kamar terdiam sesaat, matanya melebar. “Tuan Jerry, Anda sudah sadar! Tunggu sebentar, saya akan memanggil dokter,” katanya sambil terburu-buru keluar dari ruangan.Jerry mencoba bergerak, mengangkat tangannya yang terasa berat, tapi tubuhnya menolak. Dalam diam, ia memejamkan mata, mencoba mengingat apa yang terjadi. Tetapi, yang ia temukan hanyalah kekosongan dan pertanyaan besar tentang bagaimana ia bisa berakhir di tempat ini.Kabar bahwa Jerry sadar menyebar cepat di keluarga Hendrawan. Zara, yang sedang berada di rumah, menerima telepon dari rumah sakit. Tan
Zara mengerjap pelan, kepalanya terasa sedikit berat. Ia duduk tegak, menyandarkan punggungnya di sofa, mencoba mengingat kejadian semalam.Apartemen itu sepi. Tak ada suara, tak ada tanda kehidupan. Hanya sunyi yang menemani."Bagaimana aku bisa ketiduran di sini?" gumamnya sambil melirik jam di pergelangan tangannya.Pukul tujuh pagi. Ia menggigit bibir bawah, menyesali kebodohannya. Berkas-berkas yang semalam ia bawa masih tergeletak di atas meja. Zara duduk tegak, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Zara menarik napas panjang, jemarinya dengan rapi merapikan berkas-berkas tersebut. Jika ingin mengetahui kebenaran, ia harus bergerak lebih dalam. Mendekati keluarga Hendrawan dari dekat adalah satu-satunya cara.Ia bangkit dari sofa, Zara mengambil tasnya dan memastikan tidak ada barang yang tertinggal. Pandangannya menyapu ruangan sekali lagi sebelum ia meninggalkan apartemen itu.Sesampainya di rumah, Zara langsung m
Pintu ruangan Jerry tiba-tiba terbuka tanpa ketukan, dan Luna melangkah masuk dengan percaya diri. Sepatunya berderap pelan di lantai, sementara senyum tipis menghiasi wajahnya. Jerry mengalihkan pandangannya dari layar laptop, menatap Luna dengan ekspresi tidak sabar."Luna, aku sedang sibuk. Kalau tidak penting, sebaiknya kamu pulang," kata Jerry dingin, menutup laptopnya dengan gerakan tegas."Sibuk?" Luna menyandarkan tubuhnya di sisi meja, menatap Jerry dengan mata berbinar. "Sepertinya kamu selalu sibuk belakangan ini. Tapi aku belum mendengar jawabanmu soal pernikahan kita."Jerry berdiri dari kursinya, menghela napas panjang. "Luna, aku sudah bilang, ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan itu."Luna tertawa kecil, melipat tangannya di depan dada. "Bukan waktu yang tepat? Kamu sudah mengatakan hal itu selama berminggu-minggu. Apa kamu menunggu sampai Zara melahirkan, setelah itu mengingkari janjimu?"Tatapan Jerry berubah tajam. "Jangan bawa-bawa Za
Cahaya matahari yang redup masuk melalui celah tirai, menyinari lantai putih ruangan itu. Lena berdiri di sudut ruangan, memandangi baki makanan yang masih utuh di meja kecil di samping tempat tidur.Ia mendesah pelan, mengambil baki itu dan menatap pasien yang duduk membelakanginya. Pria itu tetap diam di kursi roda, memandang kosong ke luar jendela, memperhatikan daun-daun yang berguguran di taman rumah sakit. Wajahnya tampak lelah, matanya sayu, seolah seluruh semangat hidup telah terkuras habis."Sampai kapan kamu akan seperti ini?" gumam Lena, mencoba menahan rasa sedih yang menyeruak di dadanya. "Kamu seperti kehilangan semangat hidup."Pria itu tidak langsung menjawab. Bahunya sedikit naik-turun saat ia menarik napas dalam. Suaranya akhirnya terdengar, pelan tetapi penuh dengan rasa putus asa. "Apa aku masih pantas hidup? Bahkan dokter-dokter terbaik pun tidak bisa menyembuhkanku."Lena terdiam, menatap pria itu dengan sorot mata penuh rasa
Zara kembali ke mobil, tangannya masih gemetar saat memegang setir. Ia menatap lurus ke depan, pikirannya berkecamuk. Apartemen lama Rian? Itu berarti tempat di mana Rian tinggal sebelum mereka menikah, tempat yang hampir ia lupakan."Seharusnya aku masih ingat tempatnya," gumamnya, lalu menyalakan mesin mobil.Perjalanan terasa panjang, meski jaraknya tidak terlalu jauh. Malam semakin larut, dan jalanan mulai lengang. Ketika Zara tiba di gedung apartemen lama itu, suasananya terasa berbeda, sepi dan sedikit menyeramkan.Ia turun dari mobil, menatap gedung itu dengan napas tertahan. Cahaya lampu di lorong hanya menyala sebagian, memberikan kesan yang suram. Zara melangkah pelan, memasuki lift.Ketika ia sampai di depan pintu apartemen Rian, tangannya berhenti di udara. Ia ragu sejenak sebelum membuka pintu."Aku harus melakukannya," bisiknya.Zara merogoh tasnya, mengambil kunci cadangan yang pernah Rian berikan dulu. Dengan tangan gemetar, ia membuka pintu.Pintu berderit pelan, dan
Zara mengetik nomor di ponselnya untuk yang ketiga kalinya, menempelkan ponsel di telinganya sambil berjalan mondar-mandir di ruang kerja Rian. Nada sambung lagi... tetapi tidak ada jawaban.“Sandi, angkat teleponnya!” gumam Zara dengan frustrasi, menekan tombol panggil sekali lagi. Namun, hasilnya tetap sama, tidak ada jawaban.Zara berusaha menghubungi Sandi sepanjang hari, sampai cahaya matahari yang tadinya menerangi ruangan kini perlahan redup, seiring dengan kegelisahan yang makin menguasai Zara. Setelah beberapa kali mencoba, Zara memutuskan untuk meninggalkan pesan suara.“Sandi, ini Zara, istri Rian Hendrawan. Aku butuh bicara denganmu, sekarang juga. Tolong hubungi aku kembali.”Ia mengakhiri panggilan itu, lalu menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. Matanya menatap kosong ke layar ponsel yang masih menyala di tangannya. 'Ada sesuatu yang sangat salah.'Zara berdiri, berjalan ke jendela, menatap keluar sambil memeluk
Kamar rumah sakit itu terasa sunyi, hanya suara detak jam di dinding dan desiran angin di luar jendela yang menemani seorang pria yang duduk di kursi roda.Wajahnya pucat, matanya redup, menatap daun-daun yang berjatuhan dari pohon di taman rumah sakit. Beberapa daun berguguran terbawa angin, jatuh dengan lembut ke tanah, seperti waktu yang berlalu tanpa bisa ia hentikan.Air mata mengalir pelan di pipinya. Tangannya yang lemah mengepal di pangkuannya, penuh rasa penyesalan yang tertahan."Sudah satu bulan..." gumamnya dengan suara yang hampir tak terdengar. Kata-kata itu seperti beban berat yang tak bisa ia lepaskan.Pintu kamar perlahan terbuka, dan seorang perawat muda masuk dengan langkah tenang. Perawat itu membawa catatan medis di tangannya, tersenyum lembut sebelum berbicara dalam bahasa Inggris."Good morning, Sir. How are you feeling today?" tanyanya ramah, sambil mendekati pria itu.Namun, pria itu tidak menoleh. Tatapa
Beberapa bulan berlalu, dan hidup Zara terasa seperti berada di lorong panjang yang penuh dengan bayangan masa lalu. Tidak ada kabar tentang Rian. Kekosongan yang ditinggalkan suaminya begitu nyata, menyisakan rasa hampa dan pertanyaan yang tak kunjung terjawab.Setiap pagi, Zara menjalani rutinitas yang sama. Bangun, sarapan seadanya, kemudian menatap kosong ke luar jendela. Kandungannya yang semakin besar seolah menjadi pengingat bahwa hidupnya tetap berjalan, meski hatinya masih terjebak dalam kekhawatiran.Di tempat lain, Hendrawan Group berjuang keras. Banyak proyek tertunda, dan beberapa klien mulai kehilangan kepercayaan. Meski Tuan Arman dan Jerry mencoba mengatasi situasi itu, mereka menghadapi tantangan besar.Di ruang rapat yang sunyi, Tuan Arman melemparkan tumpukan dokumen ke meja, ekspresinya penuh tekanan. "Ini tidak bisa dibiarkan lebih lama lagi. Semua proposal penting ada di tangan Rian. Kita bahkan tidak tahu detail rencana yang dia buat
Reno.Asisten pribadi Rian, yang selalu ada di sisinya. Jika ada orang yang tahu ke mana perginya Rian malam itu, maka orang itu pasti Reno.Dalam perjalanan kembali ke hotel, Zara duduk diam dengan tangan terkepal di atas pangkuannya. Jerry menatapnya dari samping, tahu bahwa pikirannya sedang kacau."Kita kembali ke Indonesia besok," kata Zara akhirnya. "Asistennya mungkin tahu lebih banyak daripada yang kita duga."Jerry mengangguk, matanya masih menatap Zara. Jika benar Rian tidak pernah pergi ke Korea, maka seseorang telah menjebaknya. Dan jika seseorang telah menjebaknya...Maka orang itu adalah seseorang yang ingin memastikan Rian tidak pernah ditemukan.Setelah kembali ke Indonesia, Zara dan Jerry langsung menuju ke kantor Hendrawan Corp. Namun, begitu mereka tiba, suasana terasa lebih hening dari biasanya.Tuan Arman duduk di ruang kerjanya, terlihat sibuk membaca beberapa dokumen. Bu Hanan juga ada di sana, den
Zara menatap layar komputer petugas bandara dengan tatapan kosong. Fakta bahwa Rian tidak naik pesawat ke Seoul membuat hatinya semakin gelisah."Kamu masih ingin mencarinya di Korea, Zara?" tanya Jerry pelan, matanya tajam mengamati ekspresi wanita di sampingnya.Zara menoleh, napasnya sedikit bergetar. "Ya, tentu saja. Sebelum berangkat, Rian mengatakan bahwa dia ingin menemui seseorang bernama Tuan Kang. Apa kamu tahu sesuatu tentang klien itu?"Jerry mengangguk, menyandarkan tangannya di meja informasi bandara. "Tuan Kang bukan sekadar klien biasa. Dia adalah investor besar yang selama ini tertarik bekerja sama dengan perusahaan kami. Tapi, dia juga bukan orang yang mudah ditemui. Banyak pengusaha yang harus berusaha keras hanya untuk mendapatkan pertemuan dengannya."Zara menyernyit. "Jadi, Rian benar-benar berencana bertemu dengannya?"Jerry menatap lurus ke depan, berpikir sejenak. "Jika memang begitu, kemungkinan besar Rian masih