“Bu, kenapa rasanya jantungku nggak berhenti berdebar?” Zara memegang dadanya, mencoba mengatur napas yang terasa sesak.
Ibunya, Bu Sari, yang tengah merapikan gaun Zara berhenti sejenak, memandang wajah putrinya yang penuh kegelisahan. “Itu wajar, Nak. Semua pengantin pasti gugup.” Zara mengangguk pelan. Ia menatap cermin di hadapannya, mencoba tersenyum, namun bayangannya membuatnya merasa asing. “Zara, tamu sudah berdatangan. Kamu siap?” suara lembut ibunya membuyarkan lamunan. “Ya, Bu,” jawab Zara, tersenyum canggung menutupi kegelisahannya. Hujan pagi itu seharusnya menjadi latar hari paling bahagia bagi Zara. Gaun putih dengan renda halus melekat sempurna di tubuhnya, tetapi firasat ganjil sejak pagi tak mau hilang. Segalanya tampak sempurna. Musik klasik mengalun, dekorasi gereja memukau, tetapi sebuah ketukan di pintu ruang rias mengubah segalanya. “Kecelakaan?” Zara menatap pria berjas formal yang berdiri di ambang pintu, tubuhnya terasa kaku. Suaranya gemetar, nyaris tak keluar. “Jerry… kecelakaan?” Pria itu mengangguk, wajahnya datar namun serius. “Benar, Nona Zara. Mobilnya tergelincir karena hujan. Kondisinya kritis.” Tubuh Zara melemas. Ia terhuyung ke belakang, mencoba berpegangan pada meja rias untuk tetap berdiri. Matanya mencari kepastian pada sosok ibunya, Bu Sari, yang berdiri di sampingnya dengan wajah pucat pasi. “Ini nggak mungkin…” bisiknya hampir tanpa suara. “Jerry bilang dia akan datang tepat waktu. Dia pasti baik-baik saja… Dia pasti…” Bu Sari segera menopang pundak Zara, berusaha menenangkan putrinya yang hampir ambruk. Suaranya lembut, namun bergetar. “Sayang, tenang dulu. Kita bisa ke rumah sakit sekarang. Kita lihat dulu kondisinya…” “Tidak ada yang pergi ke rumah sakit.” Suara berat itu memotong suasana. Tuan Arman, ayah Jerry, berdiri di ambang pintu ruang rias dengan ekspresi dingin. Wajahnya tegas tanpa ada sedikit pun tanda duka. Ia melangkah masuk, tubuh tegapnya seperti memancarkan aura tekanan. “Dengar baik-baik, Zara. Pernikahan ini harus tetap berlangsung.” Zara menatap Tuan Arman, bingung sekaligus marah. “Apa maksud Anda? Jerry butuh kita! Aku harus ke sana! Dia sedang sekarat, dan Anda masih memikirkan pernikahan?” “Saya tidak bercanda,” Tuan Arman menjawab dengan tenang, bahkan terlalu tenang untuk situasi seperti ini. “Pernikahan ini tidak boleh dibatalkan. Kamu tahu konsekuensinya kalau ini gagal. Nama keluarga kita jadi bahan omongan. Bisnis kita hancur.” Zara tertawa pendek, tawa yang lebih menyerupai isakan. “Omongan orang? Nama keluarga? Apa itu lebih penting dari nyawa putramu sendiri?” “Zara!” Bu Sari mencoba menenangkan, menarik tangan putrinya. "Tuan Arman hanya berusaha menjaga keadaan. Kita harus berpikir panjang…” “Panjang?” Zara menoleh cepat ke ibunya, matanya memerah. “Bu, ini nyawa seseorang! Ini hidup Jerry, calon suamiku! Bagaimana kalian bisa sedingin ini?” Ruangan itu mendadak hening. Bahkan suara hujan deras di luar terdengar samar. Lalu, Tuan Arman membuka mulutnya lagi, kali ini dengan suara lebih rendah namun penuh tekanan. “Jerry tidak akan menikahimu hari ini.” Zara mematung, menatap dengan kening berkerut. “Apa… maksud Anda?” Tuan Arman menatap tajam ke arah seorang pria yang berdiri di sudut ruangan. Rian, adik Jerry. “Kamu yang menggantikannya,” ujar Tuan Arman. “Tidak,” jawab Rian dingin. Ia menatap ayahnya dengan tatapan tajam. “Ini bukan permintaan,” tekan Tuan Arman. “Pernikahan bukan keputusan yang bisa dipaksakan, Ayah,” jawab Rian, menatap ayahnya dengan penuh perlawanan. “Aku tidak akan melakukannya.” “Cukup, Rian!” suara Tuan Arman meninggi, membuat suasana semakin tegang. “Kamu akan melakukannya!” Rian terdiam, rahangnya mengeras. Ia menatap Zara sekilas, lalu kembali menatap ayahnya dengan penuh amarah yang tertahan. Jantung Zara terasa berhenti berdetak. Ia butuh beberapa saat untuk mencerna kata-kata itu. “Rian? Adik Jerry?” “Benar.” Wajah Tuan Arman tidak menunjukkan emosi apa pun. “Dia akan menikahimu, di altar, hari ini.” “Tidak! Ini gila!” suara Zara bergetar, matanya liar mencari dukungan. “Bagaimana aku bisa menikah dengan Rian? Aku bahkan tidak mengenalnya. Aku… aku hanya ingin Jerry… ” “Kamu tidak punya pilihan, Zara,” sambung Bu Sari. “Jika kamu kabur sekarang, semua tamu akan tahu, semua investor akan melihat keluarga kita hancur.” “Investor?” suara Zara melemah, tubuhnya terasa lemas. “Ibu… kau benar-benar menjual aku demi uang?” Bu Sari mendekatkan diri, menatap putrinya dengan tatapan penuh prihatin. “Ini bukan tentang uang, Zara. Ini tentang kehormatan keluarga. Kamu harus mengerti.” “Tidak!” Zara berteriak. “Aku tidak mau! Aku tidak bisa!” “Aku siap,” ucap Rian akhirnya. Pandangan Rian menelusuri Zara sebentar, menyiratkan perasaan enggan, namun tak bisa ia tolak. “Bagus,” Tuan Arman mengangguk, lalu melirik Zara dengan tajam. “Kamu juga harus siap.” Zara menatap Rian dengan tatapan tidak percaya. “Kamu benar-benar akan melakukannya? Kamu mau menikahi aku, calon istri dari kakakmu sendiri? Kamu nggak punya hati, ya?” Rian tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Zara dengan ekspresi dingin, seolah mencoba mengendalikan sesuatu di dalam dirinya. Setelah jeda panjang, Rian keluar tanpa sepatah kata. “Zara… maafkan ibu,” Bu Sari memanggilnya dengan lembut, mencoba mendekat. Namun Zara menepis tangan ibunya, ia merasa tubuhnya hampir ambruk. Ia mendekap wajahnya dengan tangan, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Zara memejamkan mata, mencoba menahan air mata yang terus mengalir. Dalam hati, ia bertanya-tanya, apakah ini takdir, atau kutukan?Zara menatap cermin di depannya. Gaun putih yang membalut tubuhnya begitu anggun, menjadikannya sosok yang hampir sempurna di mata orang lain. Tapi bagi Zara, gaun itu seperti tali yang membelit tubuhnya, membuatnya sulit bernapas.Matanya sembab, bibirnya kering, dan senyumnya menghilang entah ke mana. Ia tidak berkata apa-apa. Apa yang bisa ia katakan? Protes? Tangisan? Semua itu sudah habis beberapa jam lalu.“Zara, ibu tahu kamu mungkin kecewa pada Ibu.” Bu Sari melangkah mendekat, meletakkan tangannya di pundak Zara. “Tapi, kamu harus tahu apa yang sudah dikorbankan mendiang ayahmu untuk memastikan kamu tidak kehilangan segalanya. Pernikahan ini... mungkin satu-satunya cara untuk menyelamatkan kita semua," suara Bu Sari bergetar, penuh beban.Zara ingin menjawab, ingin mengatakan bahwa ia merasa dikhianati oleh dunia, oleh orang-orang yang seharusnya melindunginya. Tapi yang keluar hanyalah desahan panjang. Ia tidak ingin membuat ibunya lebih terbebani.“Jerry… bertahanlah,” bisi
Setelah pernikahan yang terasa seperti pengorbanan dari pada awal kebahagiaan, Zara dan Rian pindah ke rumah baru yang telah disiapkan oleh keluarga mereka. Rumah itu besar, mewah, dan dilengkapi dengan perabotan mahal yang tampak sempurna.Namun bagi Zara, semua itu tidak mampu menghapus kehampaan yang ia rasakan. Ia berdiri di ruang tamu, memandangi sofa kulit yang dingin, chandelier kristal yang berkilauan, dan dinding putih bersih yang terasa asing. Ia merasa seperti tamu dalam hidupnya sendiri.Rian hanya membawa koper ke sudut ruangan dan pergi tanpa sepatah kata. Langkahnya yang tenang namun dingin, menghilang di balik pintu kamar. Zara tetap diam di tempatnya, mencoba menenangkan hatinya."Ini adalah awal yang baru, aku harus kuat,” pikirnya, meski rasa sesak di dadanya semakin menekan.Malam itu, Zara memutuskan menyiapkan makan malam sederhana. Sebuah usaha kecil untuk mencoba membangun komunikasi di antara mereka. Ia menata meja makan dengan rapi, berharap bisa memulai perc
Zara mengalihkan kesepiannya dengan tenggelam dalam pekerjaannya sebagai seorang dokter. Pagi-pagi sekali, ia sudah berangkat ke rumah sakit, mengenakan jas putih dan menyibukkan diri dengan pasien-pasiennya. Baginya, pekerjaan di rumah sakit adalah satu-satunya tempat di mana ia merasa dihargai dan dibutuhkan. "Dokter Zara, pasien di ruang ICU memerlukan pemeriksaan tambahan," panggil seorang perawat. Zara mengangguk, lalu segera menuju ruang ICU. Sepanjang hari, ia berpindah dari satu ruangan ke ruangan lain, memastikan semua pasien mendapatkan perawatan terbaik. Pekerjaan ini adalah pelariannya, meskipun tubuh dan pikirannya kerap merasa lelah. Namun, bahkan di rumah sakit, pikirannya tetap melayang pada pernikahannya yang terasa hampa. Saat sedang mengisi catatan medis, ia sering terdiam, memikirkan bagaimana ia bisa memperbaiki hubungan dengan Rian. Zara duduk di kursi ruang istirahat setelah shift panjang. Tangannya memijat pelipis, matanya menatap kosong ke loker di depan
Sesampainya di rumah, Zara merasa tubuhnya lelah, meskipun pikirannya masih penuh dengan kekacauan yang terjadi di rumah sakit. Pikirannya melayang antara pasien yang baru saja dia tangani dan pertemuan yang membingungkan dengan Rian. Saat memasuki rumah besar mereka, udara terasa sepi, dan hanya ada sedikit suara yang menggema di ruang tamu. Begitu membuka pintu kamar, matanya langsung tertuju pada Rian yang sudah berbaring di tempat tidur. Piyama biru yang dikenakannya membuatnya terlihat tenang, tapi ekspresinya tetap datar, tak terpengaruh oleh kejadian siang tadi. Zara berdiri di pintu sejenak, memandangnya dengan hati yang campur aduk. Ada rasa lelah yang dalam, tetapi juga rasa ingin tahu yang semakin memuncak. “Kamu tidak tidur?” tanyanya, suara lembut namun tetap menyimpan ketegasan. Rian tidak menjawab langsung. Matanya masih terpejam, seolah menikmati ketenangan yang ada. Akhirnya, ia membuka matanya perlahan dan menoleh ke arah Zara. “Aku sudah tidur,” jawabnya datar,
Zara duduk di tepi ranjang rumah sakit. Sudah berminggu-minggu sejak terakhir kali ia datang ke sini. Ruangan itu dipenuhi bau khas obat-obatan, bercampur dengan aroma antiseptik yang menusuk. Meski sudah terbiasa dengan pekerjaannya sebagai dokter, tetapi entah mengapa ruangan ini terasa berbeda untuknya. Jerry, pria yang pernah hampir menjadi suaminya, terbaring tak bergerak di hadapannya. Wajahnya pucat, tubuhnya seolah kehilangan kehidupan, hanya bergantung pada alat medis di sekitarnya selama lima tahun terakhir. Zara mengulurkan tangan, ragu-ragu sebelum akhirnya menyentuh jemari Jerry yang dingin. “Jerry…” Suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan ruangan itu. “Aku di sini.” Ia menunduk, menatap wajah Jerry yang diam tak bereaksi. Ada sesuatu yang begitu menyakitkan melihatnya dalam keadaan seperti ini. Pria yang dulu begitu tegas dan penuh percaya diri kini hanya menjadi sosok yang tak berdaya. “Aku tahu aku seharusnya sering datang. Tapi… aku takut,” ucapnya, mencoba men
Zara membuka pintu rumah dengan letih. Hatinya masih berat setelah kunjungan ke rumah sakit. Namun, langkahnya langsung terhenti saat melihat sosok yang duduk di ruang tamu.Bu Hanan, ibu Jerry sekaligus ibu mertuanya ada di sana.Wanita itu duduk tegak dengan ekspresi dingin, seolah telah menunggunya selama berjam-jam."Bu Hanan...?" Zara bertanya pelan, setengah tidak percaya. "Kenapa Ibu ada di sini?"Namun, alih-alih menjawab, Bu Hanan hanya menatapnya tajam. Zara menutup pintu perlahan, wanita itu tak berkata sepatah pun, hanya duduk dengan tangan terlipat di pangkuan, ekspresinya penuh ketegasan yang tidak memberi ruang untuk protes."Ibu..." suara Zara bergetar ketika akhirnya ia memberanikan diri berbicara lagi, "apa yang membawa Ibu ke sini malam-malam begini?"Bu Hanan tetap diam sejenak, mengamati Zara dari ujung kepala hingga kaki, seolah sedang menilai sesuatu yang tak kasat mata. Lalu, dia menarik napas panjang dan berbicara dengan nada rendah namun menusuk."Kamu pulan
Rian terdiam di atas tangga, tubuhnya membeku seolah-olah udara dingin tiba-tiba memenuhi rumah besar itu. Kata-kata Zara menggema di telinganya, begitu tajam, begitu jelas.Ia menatap Zara dari kejauhan, matanya menyipit, mencoba mencari jawaban di wajah istrinya. Tapi yang ia temukan hanyalah amarah yang membara, disertai kesedihan yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.“Zara...” suara Rian akhirnya keluar, serak dan nyaris tak terdengar.Zara tidak menoleh. Tangannya mengepal, kukunya menekan telapak tangannya sendiri hingga terasa sakit. Ia tidak ingin menunjukkan kelemahan lagi.“Aku serius, Rian,” katanya dengan tegas, meskipun suaranya bergetar.Rian turun perlahan, satu langkah demi satu langkah. Tapi Zara mengangkat tangannya, menghentikan gerakannya.“Jangan mendekat,” katanya, matanya yang sembab menatap langsung ke arah Rian. “Kamu sudah terlalu jauh dariku selama ini, Rian. Tidak perlu berpura-pura peduli sekarang.”Rian menelan ludah, merasa
Sinar matahari masuk melalui celah-celah tirai rumah sakit, menerangi ruang rawat yang penuh dengan alat medis. Setelah bertahun-tahun terbaring dalam koma, Jerry akhirnya membuka matanya perlahan.Pandangannya kabur, suara mesin monitor berdetak pelan di telinganya. Ia mencoba memahami di mana dirinya berada, tapi yang ia rasakan hanyalah kesulitan bernapas dan tubuh yang terasa kaku.Perawat yang masuk ke kamar terdiam sesaat, matanya melebar. “Tuan Jerry, Anda sudah sadar! Tunggu sebentar, saya akan memanggil dokter,” katanya sambil terburu-buru keluar dari ruangan.Jerry mencoba bergerak, mengangkat tangannya yang terasa berat, tapi tubuhnya menolak. Dalam diam, ia memejamkan mata, mencoba mengingat apa yang terjadi. Tetapi, yang ia temukan hanyalah kekosongan dan pertanyaan besar tentang bagaimana ia bisa berakhir di tempat ini.Kabar bahwa Jerry sadar menyebar cepat di keluarga Hendrawan. Zara, yang sedang berada di rumah, menerima telepon dari rumah sakit. Tan
Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Pernikahan Jerry dan Tasya berlangsung di sebuah taman indah yang dihiasi dengan bunga-bunga putih dan lilin-lilin kecil yang berkelap-kelip. Langit cerah, burung-burung berkicau seolah ikut merayakan kebahagiaan mereka.Di antara para tamu, Rian dan Zara berdiri di barisan depan, tersenyum bangga melihat sahabat mereka akhirnya bersatu dalam ikatan suci.Di samping mereka, dua anak kecil yang menggemaskan, Naomi dan Nathan, anak kembar mereka berlari-lari kecil sambil menggenggam bantal berbentuk hati sambil membawa cincin pernikahan."Tante Tasya cantik sekali!" seru Naomi dengan mata berbinar.Nathan mengangguk setuju. "Om Jerry juga kelihatan keren hari ini!"Zara tersenyum dan berbisik pada Rian, "Mereka lebih bersemangat dari kita."Rian terkekeh. "Ya, lihat saja nanti, mereka pasti ikut heboh di pesta."Sementara itu, Jerry berdiri di altar dengan gugup, menunggu Tasya yang berjalan menuju ke arahnya. Gaun putih pa
Jerry berdiri di depan cermin, merapikan kemeja putihnya yang baru disetrika. Ini bukan pertama kalinya dia merasa gugup, tetapi kali ini berbeda. Hari ini adalah hari di mana dia akan mengambil langkah terbesar dalam hidupnya.Melamar Tasya.Setelah berbicara dengan kedua orang tua Tasya beberapa hari lalu, dia semakin yakin bahwa ini adalah keputusan yang tepat. Dia tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Dia mencintai Tasya, dan dia ingin menghabiskan sisa hidupnya bersamanya.Jerry telah merencanakan semuanya dengan matang. Dia ingin momen ini menjadi sesuatu yang Tasya kenang selamanya. Dia memilih restoran rooftop eksklusif dengan pemandangan kota yang indah di malam hari.Di sana, dia sudah menyiapkan dekorasi dengan lilin-lilin kecil, kelopak bunga mawar, dan musik romantis yang akan mengiringi makan malam mereka.Tidak hanya itu, Jerry juga meminta bantuan sahabat-sahabat Tasya untuk memastikan semuanya berjalan lancar. Sahabat terbaik Tasya, Rina dan Dita
Malam itu, Jerry duduk di dalam mobilnya, menatap ponselnya dengan ragu. Jarinya berulang kali melayang di atas nama Tasya, tetapi ia tidak juga menekan tombol panggil.Setelah percakapan dengan Rian, pikirannya semakin kacau. Dia ingin berbicara dengan Tasya, ingin meyakinkan bahwa perasaannya tulus. Namun, dia juga tidak ingin membuat perempuan itu semakin menjauh.Akhirnya, dengan tekad yang sudah bulat, Jerry keluar dari mobilnya dan berjalan menuju rumah sakit tempat Tasya bekerja. Dia tahu jam kerja perempuan itu hampir selesai. Jika dia ingin bicara, ini adalah kesempatan terbaiknya.Saat ia sampai di lobi rumah sakit, matanya segera menangkap sosok Tasya yang sedang berbicara dengan seorang pria berseragam dokter. Jerry mengenali pria itu, dokter Alex, rekan kerja Tasya yang pernah beberapa kali ia dengar namanya disebut dalam percakapan mereka.Ada sesuatu dalam cara Tasya tertawa kecil yang membuat Jerry merasa gelisah. Itu adalah tawa yang dulu sering ia d
Beberapa hari berlalu sejak percakapan itu, dan Jerry mulai menyadari sesuatu yang aneh. Tasya tidak lagi menghubunginya seperti sebelumnya. Tidak ada pesan singkat menanyakan kabarnya, tidak ada ajakan makan siang atau sekadar berbagi cerita.Jika biasanya Tasya selalu hadir dengan senyumannya yang hangat, kini dia seakan menghilang begitu saja.Awalnya, Jerry berpikir bahwa Tasya hanya sibuk dengan pekerjaannya di rumah sakit. Tapi ketika dia mencoba menghubunginya, hanya balasan singkat yang ia dapatkan, atau bahkan pesan yang tidak pernah dibalas sama sekali.Rasa penasaran mulai mengusik Jerry. Ada sesuatu yang terjadi, dan dia ingin tahu alasannya. Sore itu, dia memutuskan untuk menunggu di luar rumah sakit tempat Tasya bekerja.Setelah beberapa jam berlalu, akhirnya dia melihat sosok perempuan itu keluar dari gedung dengan wajah lelah. Tasya tampak terkejut ketika melihat Jerry berdiri di sana.“Tasya,” panggil Jerry pelan.Tasya menghentikan langkahny
Hari-hari berlalu sejak Jerry membantu Tasya mendapatkan pekerjaan di rumah sakit. Semakin sering mereka bertemu, semakin banyak pula percakapan yang mereka bagi.Jerry, yang biasanya tertutup, mulai menemukan kenyamanan dalam keberadaan Tasya. Sementara itu, Tasya juga merasakan sesuatu yang berbeda saat berbicara dengan Jerry.Suatu sore setelah jam kerja, Tasya sedang membereskan berkas-berkas pasien di meja resepsionis. Jerry, yang kebetulan baru menyelesaikan pertemuan dengan direktur rumah sakit, melihat Tasya yang terlihat lelah."Masih sibuk?" tanya Jerry sambil menyandarkan tangannya di meja.Tasya menoleh dan tersenyum tipis. "Iya, harus menyelesaikan ini dulu sebelum pulang. Kamu sendiri, kenapa masih di sini?"Jerry mengangkat bahunya. "Menunggu seseorang," jawabnya santai."Menunggu siapa?" Tasya bertanya sambil melirik jam tangannya. Rumah sakit sudah mulai sepi, hanya tersisa beberapa staf yang juga bersiap untuk pulang.Jerry tersenyum kec
Jerry melangkah memasuki supermarket dengan langkah santai. Acara pernikahan Lena dan Sandi tadi cukup melelahkan, dan sekarang ia hanya ingin membeli minuman dingin untuk menyegarkan pikirannya.Setelah mengambil sebotol air mineral dari lemari pendingin, ia beranjak ke kasir. Saat itu, matanya menangkap sosok seorang wanita yang sedang sibuk merapikan barang di rak dekat kasir.Rambut panjangnya diikat ke belakang, dan ia mengenakan seragam pegawai supermarket berwarna hijau. Ketika wanita itu berbalik, mata mereka bertemu, dan keduanya terdiam."Tasya?" Jerry mengernyit, mencoba memastikan bahwa penglihatannya tidak salah.Wanita itu pun terkejut, lalu tersenyum setelah memastikan siapa yang berdiri di hadapannya. "Jerry? Ya ampun, lama sekali kita tidak bertemu!" serunya dengan nada antusias.Jerry mengangguk pelan, masih memproses fakta bahwa ia bertemu dengan teman Zara di masa lalu. "Sudah lama sekali. Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini."
Rian tiba-tiba saja berjongkok di hadapan istrinya, mengeluarkan sebuah kotak dari sakunya. Dia mengungkapkan cintanya, melamar Zara lagi. Dia bilang, mungkin dulu mereka menikah karena paksaan dan Rian hanyalah peran pengganti Jerry. Namun, sekarang Rian ingin hidup bersama dengan Zara, saling mencintai.Zara menatap Rian dengan mata berkaca-kaca. Dadanya bergemuruh, campuran antara keterkejutan dan kebahagiaan yang tak bisa dijelaskan. "Rian..." suaranya hampir tak terdengar.Rian membuka kotak kecil itu, menampilkan cincin berlian yang berkilauan di bawah cahaya lampu taman mereka. "Zara, aku ingin kita memulai kembali. Kali ini, bukan karena keadaan atau paksaan. Aku ingin menikahimu lagi, dengan sepenuh hati dan dengan rasa cinta yang tak terbantahkan."Zara menutup mulutnya, air mata mulai mengalir. Hatinya berdesir hangat mendengar pengakuan itu. Sejak dulu, ia selalu mempertanyakan bagaimana perasaan Rian sebenarnya. Apakah ia hanya menjadi bayanga
Hari itu, suasana di Hendrawan Group terasa berbeda. Para karyawan berbisik-bisik sejak pagi, membicarakan satu hal yang menjadi pusat perhatian mereka. Kembalinya Jerry Hendrawan sedang menjadi topik hangat. Setelah empat tahun berlalu, nama Jerry kembali menggema di dalam gedung perusahaan.Sejak kepergiannya, banyak hal telah berubah. Rian, yang selama ini mengelola perusahaan, sudah menyiapkan semuanya. Ia tidak ingin ada kekacauan atau ketidakjelasan dalam transisi ini. Bagaimanapun, Jerry adalah pemilik sah Hendrawan Group, dan Rian tahu saatnya sudah tiba untuk mengembalikan hak tersebut.Saat Jerry memasuki gedung, semua mata tertuju padanya. Pria itu mengenakan setelan hitam dengan kemeja putih bersih, langkahnya tegas dan penuh percaya diri. Tidak ada lagi bayangan pria yang dulu penuh kemarahan dan dendam. Wajahnya terlihat lebih matang, lebih tenang, meskipun masih menyimpan ketegasan yang khas.Ketika lift membawanya ke lantai eksekutif, sekretaris Rian sege
Zara melangkah memasuki rumah sakit dengan perasaan campur aduk. Setelah sekian lama absen dari dunia medis, hari ini adalah hari pertamanya kembali bertugas sebagai dokter.Meskipun ia sudah terbiasa membantu Rian di perusahaan, dunia rumah sakit adalah tempat di mana hatinya benar-benar berada. Perasaan nostalgia langsung menyergapnya begitu ia melewati koridor yang dulu sangat akrab baginya."Selamat datang kembali, Dokter Zara," sapa salah satu perawat yang dikenalnya, Rina, dengan senyum ramah.Zara membalas dengan anggukan hangat. "Terima kasih, Rina. Bagaimana keadaan di sini? Apa ada perubahan besar selama aku pergi?"Rina tertawa kecil. "Tidak banyak, hanya saja kami kehilangan seorang dokter yang sangat berdedikasi. Sekarang, kami senang karena dokter itu kembali."Zara tersenyum, lalu melanjutkan langkahnya menuju ruang ganti. Ia mengenakan jas putihnya dengan perasaan familiar yang menyenangkan. Setelah merapikan rambutnya, ia menuju ruang rapat untuk