Hujan mengguyur kota sejak semalam. Seorang gadis berusia dua puluh enam tahun tampak santai menikmati sarapan paginya di unit apartemen miliknya. Dia adalah Carmen Adelia Giovanni.
Gadis yang mempunyai panggilan Adelia itu bekerja di salah satu perusahaan ternama di New York, sejak satu minggu yang lalu. Ia beruntung mendapati posisi sekretaris seorang CEO, setelah mengalahkan beberapa kandidat pilihan.
Drrt ... Drrt ... Drrt
“Hallo Jes? Ada apa?” tanya Adelia.
>>“Lo udah berangkat kerja?”
“Ck, masih di unit.” Adelia melihat ke arah jam tangannya lalu berkata, “Bentar lagi gue berangkat. Kenapa?”
>>“Gue ke New York besok. Ada kerjaan disana. Gue nginep di unit Lo ya?” pinta Jessy
“Boleh. Jam berapa Lo dateng? Mau gue jemput?” tanya Adelia.
>>“Nggak perlu. Lo kasih alamatnya ke gue. Entar gue cari.”
“OK! Sampai jumpa besok. Jangan lupa hati-hati.”
>> “Sayang kamu banyak-banyak. Bye ...”
Adelia meletakkan ponselnya di meja. Ia segera meneguk segelas susu hangat hingga tandas. Lalu ia mencuci gelas itu sebelum pergi ke kantor.
Pagi ini Adelia terpaksa harus naik taxi agar lebih cepat sampai ke kantor. Ada beberapa berkas yang harus ia persiapkan sebelum meeting dan penyambutan CEO yang baru.
Dua puluh menit kemudian, Adelia telah sampai di lobby Johnson Corporation. Ia segera masuk ke lift khusus karyawan dan menekan tombol paling atas di mana ruangannya berada.
Beruntung pagi ini hanya dirinya di dalam lift itu. Jadi ia tak perlu mendapat tatapan intimidasi dari para kandidat yang telah ia kalahkan. Gadis itu tersenyum tipis saat teringat ada salah satu kandidat kalah melabraknya di luar kantor.
Ting
Adelia keluar dari lift dan menuju di mana mejanya berada. Ia segera duduk di kursi dan menyalakan laptop di sana. Gadis itu dengan lincah memeriksa beberapa file sebelum mencetaknya.
Sepuluh menit kemudian, Adelia segera berdiri di depan pintu lift setelah mendapat pesan bahwa sang CEO datang. Seperti hari-hari sebelumnya, ini adalah rutinitas yang harus ia kerjakan sebelum jam kerja di mulai.
Ting...
Pintu lift terbuka, menampilkan sosok pria paruh baya yang masih tampak gagah dan tampan. Ia adalah William Johnson. Seorang CEO yang sangat terkenal di Kota New York. Namun ada yang berbeda kali ini. Di sebelah pria paruh baya itu berdiri pria tampan yang mempunyai wajah tampan dengan kaca hitam dan satu pria lain yang berdiri di belakang keduanya. Kehadiran kedua pria asing yang belum pernah Adelia lihat, membuatnya mengernyit heran. Namun sebisa mungkin ia menjaga raut wajahnya untuk tersenyum.
“Selamat pagi Mr. Johnson.” Sapa Adelia sopan dengan senyum tipis di bibirnya. Gadis itu meraih tas yang berada di tangan William dengan lembut dan membungkukkan sedikit tubuhnya.
“Selamat pagi Adelia.” Balas William.
Adelia berjalan lebih cepat untuk membukakan pintu ruangan William. “Silahkan Mr.” Ucapnya sopan.
Setelah William yang dan kedua pria lainnya masuk, Adelia pun turut masuk untuk meletakkan tas kerja William di mejanya.
William beserta laki-laki yang tak lain adalah Alexander Felix Johnson, Putra pertamanya. Alex begitu nama panggilan yang disematkan William padanya. Laki-laki berusia tiga puluh satu tahun itu mempunyai wajah tampan dan otak yang cerdas. Laki-laki yang kini menatap Adelia dengan seringai aneh di wajah tampannya.
Sebelumnya ia menjadi CEO di kantor cabang yang berada di California. Dan saat William memutuskan untuk pensiun dini, dialah satu-satunya pilihan paling tepat untuk menggantikannya.
“Kopi Mr. ?” Tawar Adelia sopan.
“Alex?” William memanggil nama putranya yang masih mengamati interior ruangan yang sebentar lagi akan diambil alih olehnya.
Laki-laki bernama Alex itu hanya mengangguk saja tanpa mengeluarkan suaranya. Kesan pertama yang di tangkap Adelia adalah angkuh.
Sepertinya aku perlu amunisi lebih banyak menghadapi manusia dingin seperti dia. Gumam Adelia dalam hati.
Tanpa Adelia sadari, diam-diam Alexander Johnson memperhatikan setiap gerak-geriknya. Menarik kedua sudut bibirnya untuk menampilkan senyum tipis yang jarang Alex tunjukkan.
“Buatkan dua, Adelia. Dan terima kasih.” Ucap pria paruh baya itu.
Adelia mengangguk sopan. “Baik Mr. Silahkan tunggu sebentar.”
Gadis itu beranjak menuju pantry kecil yang berada di ruangan itu. Dengan cekatan, ia segera membuatkan dua cangkir latte untuk kedua boss-nya tersebut. Tak lupa ia mennyiapkan kudapan sederhana untuk William Johnson.
Tanpa Adelia sadari, tatapan tajam Alex mengintai dirinya untuk beberapa detik yang begitu cepat.
“Sepertinya ruangan ini perlu di rubah pada beberapa bagian Dad?” Ucap Alex.
“Katakan keinginanmu pada Adelia. Dia yang akan mengurus semuanya.” Jawab William santai.
Alex mendengus. Ia paling malas berhubungan dengan perempuan. “Tommy, berikan pengarahan pada Sekretaris Daddy untuk merubah ruangan di sini seperti yang ada di California.” Titah Alex kepada asisten pribadi yang dari tadi bersamanya.
“Baik Mr. Johnson.” Jawab Tommy sopan.
Adelia yang baru saja menyeduh dua cangkir latte di pantry, segera memberikan kepada boss-nya tersebut.
“Silahkan Mr. Johnson dan Mr. Alex.” Ucap Adelia.
Mendengar nama Alex keluar dari mulut Adelia membuat laki-laki yang mempunyai nama itu menoleh ke arahnya.
“Ulangi sekali lagi!” Titah Alex kepada Adelia dengan suara beratnya.
“Yang mana?” tanya Adelia bingung.
“Ulangi saat kau memanggil namaku.” Ucap Alex datar.
“Oh, itu. Silahkan Mr. Alex.” Ulang gadis itu.
Laki-laki berwajah datar itu tertegun untuk beberapa saat. Telinganya begitu membenarkan panggilan dari Adelia, namun otaknya menolak untuk menerima. Ia kembali mengubah wajah datarnya, lalu berkata “ Panggil aku Mr. Felix. Jangan menyebut nama depanku.”
William terkesiap mendengar putranya meminta Adelia memanggilnya dengan panggilan itu. Satu-satunya orang yang memanggilnya dengan nama itu hanya Mommy -nya saja selama ini. Pria paruh baya itu mengulum senyum misterius.
Sebenarnya bukan William saja yang terkejut. Itu juga terjadi pada Tommy. Sepengetahuannya boss-nya itu akan menggunakan nama keluarga untuk panggilan di kantor. Tommy hanya diam mengamati apa yang akan di lakukan boss arrogant sekaligus sahabatnya itu.
“Ikuti saja, Del.” Ucap pria paruh baya itu.
“B-baik Mr. Johnson.” Ucap Adelia gugup. Sial, tatapan lembut dari William membuatnya gugup.
“Kalau begitu saya pamit kembali ke meja saya Mr. Saya masih ada beberapa berkas yang perlu di teliti untuk meeting nanti.” Adelia membungkukkan badan dan segera keluar dari ruangan boss-nya itu.
Fyuh ...
Adelia merasa lega kembali ke meja kerjanya. Ia kembali berkutat dengan dokumen yang masih belum di teliti olehnya.
Kreek...
Tommy keluar dari ruangan itu menuju meja kerja Adelia. Gadis itu tampak tak terkejut dan seolah tidak terganggu saat laki-laki itu memandangnya.
“Ada yang perlu saya bantu Mr. Tommy?” tanya Adelia tiba-tiba.
Tommy tersentak, “Ah ... Tidak. Maksudku aku ingin memberitahu tentang perubahan interior ruang CEO. Mr Alex menginginkan ada beberapa yang perlu di rubah dan di ganti dengan yang baru. Ini sebagai referensi untuk menata ruangan yang sesuai dengan keinginan Mr Alex.” Tommy memberikan beberapa lembar gambar kantor Alex yang berada di California.
Adelia tampak meneliti satu persatu gambar tersebut. Dengan cepat otak pintarnya mampu memprediksi waktu yang di butuhkan untuk mengubah dekorasi interior ruangan itu sesuai dengan gambar yang ia lihat.
“Satu minggu Mr. Tommy. Saya pastikan dalam satu minggu ruangan sudah bsa di tempati.” Ucap Adelia yakin.
Tommy melongo. “K-Kamu yakin? Hanya dalam seminggu?” tanya Tommy gamang.
Adelia mengangguk mantap. “Tentu. Saya paling ahli memprediksi pembangunan dan proposal dana. Saya yakin hanya butuh satu minggu.”
“OK! Akan aku katakan pada Mr Alex. Oh ya, panggil aku Tommy saja.” Ucap Tommy.
“Baiklah. Panggil aku Adelia.” Adelia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan laki-laki itu.
Tommy pun mengulurkan tangannya untuk menerima jabatan tangan tersebut.
“Jangan segan-segan bertanya padaku kalau nanti kamu menemukan kesulitan.” Pesan Tommy.
“Terima kasih.” Ucap Adelia singkat.
Setelah Tommy kembali ke ruang CEO, Adelia segera menata dokumen di mejanya sebelum memanggil William untuk ke ruang meeting.
Kini Adelia mendampingi William menuju ruang meeting. Ia berjalan di belakang pria paruh baya itu sambil membawa beberapa dokumen dan I-Pad.
“Berapa lama meeting kali ini?” Tanya William.
“Satu jam Mr. Meeting kali ini hanya mengoreksi kesalahan jurnal minggu lalu saja. Dan membahas pesta penyambutan untuk Mr. ... Felix.” Jawab Adelia.
William menarik kedua ujung bibirnya. “Baiklah. Aku serahkan urusan pesta penyambutan padamu.”
“Saya akan berusaha menyiapkan dengan baik Mr.” Jawab Adelia sopan.
Saat pintu ruangan terbuka suasana di dalam menjadi tenang seketika. William berjalan dengan tenang menuju tempat yang telah di sediakan untuknya. Di ikuti Adelia yang kini berdiri di sampingnya.
“Meeting kita mulai”
Suara musik Dj menggema di salah satu club malam di kota New York. Para laki-laki dan wanita tampak meliuk-liuk di dance floor sesuai dengan iringan musik yang mengalun. Dua pria yang baru saja datang, memesan ruang VVIP untuk sekedar menghilangkan kejenuhan di malam Minggu-nya. Mereka adalah Alexander Felix Johnson dan sahabat sekaligus asisten pribadinya, Tommy Fernandez. Alexander Felix Johnson, laki-laki berusia tiga puluh satu tahun yang merupakan anak pertama dari William Johnson dan Maria Johnson. Ia masih mempunyai adik perempuan yang berumur dua puluh lima tahun yang memilih menjadi model internasional. Alexander Johnson begitu orang-orang mengenal namanya. Ia masuk sebagai salah satu CEO terbaik di Benua Amerika. Namanya sudah seringkali berlalu lalang di majalah, televisi dan di berbagai aplikasi sosial media. Seorang pelayan membawa satu botol Bombay Sapphire dan dua gelas berisi ice cube masuk ke
Adelia membaringkan tubuh lelahnya di ranjang satu-satunya di unit apartemen yang kini menjadi tempat tinggalnya. Setelah menyelesaikan rancangan untuk renovasi ruang CEO yang baru. Kini, gadis dua puluh enam tahun itu mencoba memejamkan mata untuk terbang ke alam mimpi. Mengistirahatkan tubuhnya dan otaknya sejenak, sebelum menerima pekerjaan di esok hari. Pagi ini, Adelia menggeliat pelan dari balik selimut yang mengubur seluruh tubuhnya. Ia melirik jam digital yang berada di nakas. Waktu masih menunjukkan pukul enam pagi, membuat gadis itu menarik kedua ujung bibirnya. Adelia memutuskan untuk bangun. Ia merenggangkan otot-otot tangan dan sekitar lehernya sebelum benar-benar beranjak dari ranjangnya. Seperti kebiasaannya setiap pagi, ia akan bergegas ke kamar mandi untuk membasuh tubuh dan menyelesaikan ritual paginya. Setelah menyelesaikan ritual paginya, Adelia membalut tubuhnya dengan sehelai handuk yang cukup menutupi area dada hingga pertengaha
“Kamu sudah pulang dari kemarin tapi baru hari ini mengunjungi Mommy? Kamu keterlaluan Felix! ” Seru Maria Johnson dengan nafas menggebu. Laki-laki berusia tiga puluh satu tahun itu terkekeh pelan. Ia segera menghampiri wanita yang telah melahirkannya, merawat dan membesarkannya. Alex memeluk wanita paruh baya yang di sayanginya. “Jangan marah Mommy. Kemarin Felix ada urusan yang sangat penting.” Bujuk Alex. Maria melonggarkan paksa pelukan Alex. Wanita paruh baya itu memandang putranya dengan wajah memerah, “Jadi urusanmu lebih penting dari pada bertemu Mommy !!? Iya?!” tanya Maria emosi. Alex kembali terkekeh. Ia meraih kedua tangan Mommy-nya dan melabuhkan kecupan di sana. “Ini juga demi Mommy dan juga demi masa depan Felix.” Ucap Alex lembut. Maria menaikkan satu alisnya. “Demi Mommy? Demi masa depan kamu? Maksudnya?” Maria bingung dengan kata ambigu putranya. Alex semak
“Pagi-pagi udah cemberut aja Lo, Del?” celetuk Jessy. Adelia menghela nafas kasar. Ia mengacak-acak rambutnya yang telah tersisir rapi sejak sepuluh menit lalu. “Ehm, Lo nggak ngantor?” “Bos baru gue berulah!! Arghh!!? Pengin gue tabok muka tuh orang!?” ucap Adelia menggebu. “Kenapa lagi?” “Gue udah siap-siap berangkat, tiba-tiba dia telepon nyuruh gue nggak masuk. Kenapa nggak dari semalem aja ngomongnya? Padahal tadi malam juga nelpon gue!” Jessy mengernyit heran. “Boss Lo semalem telepon? Ngapain? Ah, ja...” “Jangan mengada-ada. Gue dan dia nggak ada hubungan apa pun.” desis Adelia tajam. “Hahaha, awas aja Del! Nanti lama-lama benci jadi cinta loh?” Jessy semakin terkikik geli. “Dalam mimpi!?” Adelia kembali ke kamar, ia menghempaskan tas kerja dan I-Pad -nya di kasur. Ia segera mengganti pakaiannya dengan sehelai gaun santai dan menghapus lipstik merah di bibirnya. Tak lama kemudian
Adelia merenggangkan otot-otot leher dan tangannya lantaran pegal setelah menonton film kartun kesukaan Jessy selama dua jam lamanya. Gadis dua puluh lima tahun itu terlelap di pelukan Adelia. Selalu seperti ini ketika mereka bersama. Adelia tidak segan-segan memanjakan dan menuruti keinginan Jessy. Pelan-pelan Adelia membaringkan tubuh Jessy ke sofa agar gadis itu terlelap lebih lama. Setelah memastikan Jessy nyaman dalam posisi tidurnya, ia berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas air untuk membasahi tenggorokannya. Ia melirik jam kecil yang berada di sebelah lemari pendingin. "Masih ada waktu untuk berendam sesaat," gumam Adelia dalam hati. Setelah mencuci gelas yang baru saja ia gunakan, Adelia beranjak menuju kamar mandi yang berada di kamarnya. Ia mengisi bathtub dengan air hangat. Tak lupa ia menambahkan sabun dengan aroma mawar ke dalamnya. Ia menutup kran ketika air sudah memenuhi lebih dari separu
Sepanjang hari ini senyum lebar tersungging di bibir Alexander Johnson. Seperti sebuah situasi yang langka, bisa melihat raut berbinar milik laki-laki tersebut. Biasanya wajah Alex hanya tampak datar tanpa ekspresi. Apalagi, semenjak kejadian tiga tahun yang lalu membuat wajah datar itu semakin dingin dan menakutkan. Tak ada senyum ataupun sapaan yang keluar dari bibirnya. Tak terkecuali dengan relasi bisnis Johnson Corporation. Kalau bukan karena otak pintar Alex yang tiada duanya dan kedudukannya sebagai putra William Johnson, mungkin saja ia tak akan disegani oleh banyak orang. Sore ini Alex dengan begitu bersemangat segera bersiap-siap untuk menjemput gadis yang telah memenuhi relung hatinya. Alex bergegas menuju kamarnya yang terletak di lantai dua. Ia melepas semua pakaiannya tanpa terkecuali dan masuk ke kamar mandi. Dua puluh menit kemudian Alex menyelesaikan acara mandinya. Termasuk merapikan bulu-bulu halus di sekitar d
Seumur hidup Adelia tidak pernah bermimpi terlalu tinggi. Dulu, saat dia berusia sepuluh tahun Adelia kecil mempunyai cita-cita untuk menjadi seorang Dokter. Namun ketika ia menginjak lima belas tahun cita-cita itu berubah. Adelia remaja ingin memiliki usaha sendiri. Dan bisa membuka lowongan pekerjaan bagi orang lain. Sungguh! Itu adalah cita-cita yang begitu mulia. Keinginannya itu mendapat dukungan penuh dari Sang Ibu. Tapi, takdir seolah menguji Adelia saat itu. Selang dua bulan, Sang Ibu meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya. Satu kenyataan yang sempat membuat Adelia sakit dan sulit untuk menerima. Beruntung saat itu ia selalu di temani sahabat baiknya sejak kecil untuk melewati hari-hari sebagai anak yatim piatu. Mereka berdua tinggal bersama sampai satu bulan yang lalu. Sebelum Adelia memutuskan untuk menenangkan diri pindah ke New York karena patah hati. Kini kehidupan Adelia berubah menjadi seratus delapan puluh derajat karena penga
Suasana tiba-tiba menjadi sedikit riuh setelah Alexander Johnson mengumumkan satu hal yang membuat mereka syok dan terkejut. Bukan hanya para tamu yang terkejut, melainkan Adelia dan wanita bergaun merah yang tak lain adalah sahabat gadis itu. Jessy Allesya Swan. “Saya akan segera bertunangan dengan wanita di samping saya ini.” Setelah mengucapkan hal itu Alexander Johnson mengulurkan tangan ke arah Adelia yang membeku di tempat duduknya. Memanfaatkan kesempatan itu, Alex dengan sigap berlutut di lantai meraih kedua tangan Adelia yang saling bertaut. Tentu saja adegan itu membuat para relasi bisnis Alex melongo. Karena memang ini adalah peristiwa yang benar-benar langka. “Bagaimana menurutmu Sayang?” tanya Alex lembut. Sial!!! Ini benar-benar seperti masuk dalam jebakan Umpat Adelia dalam hati. “Hm, tentu saja itu bagus.” Adelia melirik ke a
“Apa kau yakin ini semua akurat?” “Tentu, Sir,” jawab pria di seberang sana dengan yakin. Bahkan Alexander tidak perlu bertanya dua kali untuk hal seperti itu.“Dan apa kau tahu di mana tempat tinggal Gabriel sekarang?” tanya Alexander penasaran. Karena sampai saat ini ia tidak berhasil menemukan keberadaan putranya.Terdengar helaan napas singkat di seberang sana. “Maaf Sir, saya tidak bisa mencari tahu. Semua akses tentang Gabriel Johnson telah dikunci. Pun dengan keberadaan Rebecca Annastasia.”Tangan Alexander mengepal hingga urat-uratnya menonjol. Emosi seketika mendominasi otak pintarnya yang menjadi bodoh karena merasa dikelabuhi oleh anak-anak muda nakal.“Tapi, saya bisa mencari tahu lewat akses orang tua Rebecca Annastasia jika Anda mengijinkan.”Mengingat siapa orang tua Becca saja membuat Alexander terus murka. Apalagi jika diingatkan bagaimana Gerald membuat kekacauan hingga nyaris membuat keluarganya berantakan. Ingat! Gara-gara ulah Gerald bukan hanya Adelia, tapi Jenn
Suasana meja makan di Keluarga Johnson tampak hening setelah Maria dan William duduk di tempatnya. Alexander yang sedari tadi lebih banyak diam pun hanya membalas tatapan Maria sebentar sebelum kembali berpura-pura fokus dengan sarapan di piringnya.“Besok kita akan pergi berlibur,” ucap Maria yang kemudian menatap satu per satu anggota keluarga di sana. “Kalian bisa berkemas mulai hari ini.”Christian dan Christopher mengangkat wajahnya sejenak hanya untuk memperhatikan atmosfer dingin, lalu berpaling ke arah sang nenek. Mereka tersenyum sebelum kembali kompak menundukkan wajah. Tak terkecuali Clara yang diam-diam hanya mengintip tanpa berani menyela seperti kebiasaannya.Namun berbeda dengan Alexander yang memang tak bisa menerima begitu saja. Putra satu-satunya William dan Maria itu menegakkan punggung untuk menatap kedua orang tuanya yang masih terlihat sangat santai.“Kita tidak akan pergi tanpa Gabriel!” tolak Alexander tiba-tiba.Bukan Maria dan William saja yang terkejut, tapi
“Sungguh, aku sangat malu.” Kedua pipi Becca masih merona setelah William dan Maria meninggalkan ruang perawatan sejak satu jam yang lalu. Jelas, tuntutan yang terang-terangan ditujukan padanya menjadi tanggung jawab.Melihat tingkah sang istri Gabriel justru tersenyum geli. “Kemari.”Membawa langkahnya yang lesu, Becca segera mendekat. “Bagaimana nanti aku bertemu mereka lagi, Gabriel?”Dada Gabriel bergetar menahan tawa. Lalu, tangannya meraih pipi merona sang istri yang membuatnya sangat gemas. Ia tersenyum. “Kenapa mesti malu, hm? Mereka pernah muda, tentu saja hal seperti tadi sangat wajar.”“Tapi tetap saja aku malu,” kelit Becca masih tak mampu menjabarkan perasaannya sendiri. “Bagaimanapun juga kau masih sakit dan bisa-bisanya aku berbuat seperti tadi. Oh ….”Melihat kegusaran Becca, Gabriel mengabaikan tangannya yang cedera hanya untuk mencium bibir sang istri. Hal spontan itu tentu saja membuat Becca terkejut hingga kedua matanya membulat sempurna.“Daripada memikirkan hal
Jari-jari yang memiliki kuku panjang itu mengepal erat. Amarahnya sudah mendominasi hingga ia nyaris berbuat ceroboh.“Dasar jalang tak tahu malu!” desisnya tak suka. Masih memperhatikan aktivitas kedua orang di atas ranjang perawatan, pemilik nama Celine Addison mengambil kamera dan membidik beberapa foto.“Aku ingin tahu apa yang akan dilakukan Uncle Alexander mengetahui ini.”Seolah mendapat kemenangan, Celine menatap sinis wanita yang baru saja turun dari tubuh pria yang ia inginkan.“Tunggu pembalasanku!”**Bukan hanya Adelia yang pulang setelah memastikan Gabriel dan Becca baik-baik saja. Gerald yang melihat bagaimana pasangan muda dimabuk asmara itu bersama juga memutuskan untuk memberi mereka privasi.Pria yang saat ini telah tiba di halaman rumahnya langsung masuk dan mengabaikan sapaan para pelayan. Tentu saja mereka bingung, tapi tak berani bertanya.“Bagaimana keadaan menantu kita, Gerald?” tanya Lucia cemas karena sepulang dari rumah sakit Gerald belum mengatakan apa pun
“Belum puas memandangiku, hm?”Becca menggeleng. Bibirnya masih terasa kebas setelah Gabriel menciumnya dengan isapan dalam.“Sini.” Gabriel menepuk tempat di sampingnya yang masih muat untuk Becca berbaring, tapi hingga beberapa saat lamanya wanita yang telah ia nikahi itu masih tak bergeming. Hanya menatap tanpa berucap sepatah kata pun.Gabriel maklum. Pasti sang istri masih syok. Dan bukan Gabriel jika tak mampu membujuk.“Ayolah, Baby. Jika kau ingin aku sembuh, kau juga harus menemaniku tidur,” bujuk Gabriel yang sudah tak sabar untuk memeluk sang istri setelah beberapa hari ia harus tidur sendiri di apartemen mereka.“Kau membuatku takut,” ucap Becca lirih. Matanya kemudian terpejam demi menghalau butiran-butiran kristal yang telah menggenang.Gabriel tertegun.“Kau begini karena aku.” Lagi, Becca masih menyalahkan dirinya sendiri sebagai penyebab Gabriel celaka. Jika saja ia tidak menolak untuk permintaan pria itu, maka kecelakaan ini tidak akan terjadi.“Kalau kau menyesal, s
Entah apa kalimat yang cukup untuk menggambarkan perasaan Becca saat ini. Belum kering air mata mengalir di pipinya, ia kembali dikejutkan oleh kabar dari sang ibu mertua.Becca syok hingga ponsel yang masih tersambung dengan Adelia jatuh ke lantai. Tenggorokannya seketika kering dan kedua kakinya gemetar.“Mama!” teriak Becca begitu kesadaran menghampirinya.Lucia yang kebetulan akan keluar dari kamar pun segera mencari sumber suara. Matanya membulat saat putri semata wayangnya sudah terduduk di lantai dengan tangisan yang tersendat.Buru-buru Lucia turun setelah memanggil Gerald yang tak lama kemudian menyusulnya keluar. Lucia segera mendekat dan memeluk Becca yang masih menangis.“Kenapa, Sayang?” tanya Lucia cemas. Namun sayangnya, Becca tak mampu menjawab. Wanita dengan wajah memerah dan basah karena air mata itu balas memeluk dan malah histeris.“Ada apa?” Gerald terkejut melihat keadaan putrinya, tapi ia mencoba tenang saat kedua wanita yang menempati posisi tertinggi di hatiny
Suasana di meja makan sangat hening. Hanya ada suara alat makan yang mengisi kesunyian di sana. Lucia dan Gerald yang tak ingin ikut campur pun segera beranjak begitu makanan di atas piring telah habis.“Jaga putri Daddy, Gabriel,” pesan Gerald sebelum ia benar-benar pergi dari ruangan itu.Tak ada sahutan dari bibir Gabriel yang masih mengunyah dan tampaknya Gerald pun tidak sedang menuntut balasan.Lima menit telah berlalu. Waktu terasa lambat bagi Becca yang baru saja menghabiskan bubur di dalam mangkoknya. Tanpa menoleh ke arah Gabriel yang juga selesai sarapan, Becca meneguk air putih di gelas miliknya. Hal itu tak luput dari lirikan mata Gabriel yang mengintai.“Masih tak mau bicara,” gumam Gabriel seraya menunggu. Ia ingin melihat seberapa lama wanita yang telah menjadi istrinya itu bertahan. Namun, prediksi Gabriel lagi-lagi salah. Buktinya, setelah air dalam gelas itu tandas, Becca hendak bangkit tanpa menoleh ke arah Gabriel.Dengan gerakan lincah Gabriel menahan tangan Bec
“Bagaimana hasilnya, Derick?” tanya seorang pria dengan tatapan tajam yang kini duduk di kursi kebesarannya. Rahang yang dipenuhi bulu halus itu terlihat mengeras hingga urat-uratnya menonjol.“Maaf Tuan, saya tidak menemukan petunjuk apa pun.”Brak!Meja tak bersalah itu digebrak dengan kencang hingga pria bernama Derick itu terlonjak kaget.“Apa kau bilang?” desis pria itu dingin.Derick meneguk ludahnya kasar. Ia tak mampu menatap mata pria yang telah beberapa tahun menjadi bosnya.“Kau tahu ... aku paling tidak suka mendengar kegagalan.”“Maaf Tuan. Ini semua benar-benar di luar kendali saya. Tuan tentunya sudah tahu kinerja Baron selama ini,” jawab Derick mencoba menjelaskan. Berharap setelah ini sang tuan bisa menerima. Brak!Lagi, meja bersalah itu menjadi pelampiasan pemilik nama Albert Dominic dalam menuntaskan amarahnya. Ia seketika bangkit dan menghampiri sang asisten dan langsung menarik kemeja pria itu hingga terdongak.BUGH!Satu pukulan tangan Albert melayang ke pipi D
Sesuai kata dokter, keesokan harinya Lucia sudah diperbolehkan pulang. Betapa bahagia wanita yang sejak beberapa menit lalu tak meredupkan senyumannya.Ya. Tepatnya setelah dokter mengatakan dirinya bisa pulang. Dengan begitu, ia bisa membawa putri satu-satunya itu pulang bersamanya.“Becca.”Wanita dengan rambut ikal sebahu itu menoleh. Ia tersenyum setelah memasukkan pakaian sang ibu ke dalam tas.“Ada apa, Ma?”Lucia tersenyum. “Kemarilah.”Mau tak mau pemilik nama Rebecca Annastasia itu mendekat. Mencoba mempertahankan senyuman di wajahnya.“Duduklah,” perintah Lucia dengan lembut.Becca menurut. Sejurus kemudian ia menggenggam tangan Lucia erat.“Ada yang ingin Mama katakan?” tanya Becca tanpa mengurai genggaman tangannya. Napas Lucia berembus pelan. “Apakah hubunganmu dengan Gabriel baik-baik saja?” Deg!Mendapat pertanyaan yang tak pernah Becca duga mampu membuat debaran dadanya bertalu. Lebih kencang daripada saat ia mendengar tawa wanita yang sudah tidur dengan suaminya sen