Bintang berada di lobi perusahaan menunggu Langit datang. Duduk di ruang tunggu sambil menyilangkan kaki, membaca majalah yang tersedia di sana. “Bin.” Suara Langit membuat Bintang mengalihkan pandangan ke sumber suara. Hingga melihat sang suami yang kini sedang berjalan ke arahnya. Bintang memulas senyum, menutup majalah yang dibaca, lantas berdiri untuk menghampiri suaminya. “Bintang di sini?” Joya terlihat senang melihat menantunya di sana. “Iya, Mi,” jawab Bintang dengan seulas senyum manis di wajah. “Apa aku mengganggu kalian?” tanya Bintang berbasa-basi, terlebih di sana ada perwakilan dari Paris. “Tidak menganggu, kamu malah datang di waktu yang tepat,” jawab Joya. “Iya benar, mau makan siang bersama kami?” tanya Kenzo menimpali ucapan istrinya. Bintang mendadak canggung karena kedua mertuanya sangat terbuka dan tidak membedakan. Langit melirik sang istri, sudah berkata jika Joya dan Kenzo pasti tidak akan keberatan, tapi istrinya saja tadi pagi yang ragu. “Iya, Mi, Pi
“Kenapa kamu memperbolehkannya datang ke apartemen?” tanya Langit sedikit panik juga bingung.Langit sekarang sedang berada di mobil bersama Bintang menuju ke perusahaan. Perwakilan Magnifique Paris langsung kembali ke hotel dengan mobil berbeda, sedangkan Joya dan Kenzo berada di mobil yang berbeda juga.“Memangnya kenapa, El? Lagian dia itu sahabatmu, kamu sendiri yang bilang. Tidak masalah juga sebenarnya mengajak makan malam, tidak tiap hari juga,” jawab Bintang dengan santainya.Bintang menoleh Langit, melihat suaminya yang terlihat kebingungan.“Kenapa kamu tidak mau Steven makan malam di tempat kita. Apa kamu sedang mencemaskan sesuatu?” tanya Bintang sambil menautkan alis, menatap curiga ke Langit.Langit terkejut mendengar pertanyaan Bintang, tapi mencoba bersikap biasa saja.“Tidak, aku tidak mencemaskan sesuatu. Hanya takut kamu tidak nyaman dengan cara bicaranya yang bisa dibilang tanpa filter,” jawab Langit mengelak dari tuduhan Bintang.Bintang pun percaya, apalagi Steve
“Apa ini sudah cukup? Ada yang perlu dibeli lagi?”Langit mengantar Bintang berbelanja karena malam nanti Steven akan datang sesuai dengan janji untuk makan malam.Bintang mengecek barang yang ada di troli, hingga mengangguk.“Sudah semua,” jawab Bintang.Langit pun mengajak Bintang ke kasir karena sudah selesai berbelanja. Banyak barang yang dibeli, sepertinya Bintang tidak ingin mengecewakan Steven, serta tidak mau sahabat suaminya itu berpikiran jika Bintang tidak suka didatangi tamu, sehingga memasak makanan alakadarnya, membuat Bintang akhirnya memilih untuk menyiapkan beberapa menu.Ini weekend, sehingga Langit bisa menemani istrinya, sekalian membantu memasak.Mereka sudah sampai di apartemen. Langit membawa semua barang belanjaan, tidak membiarkan sang istri mengangkat barang berat.“Aku akan meracik bumbunya, bisa bantu membersihkan daging dan juga sayurannya?” tanya Bintang sambil menggulung ujung lengan blouse yang dikenakan.“Tentu saja,” balas Langit semangat, karena mema
Bintang diam menatap Steven, bahkan senyum yang sejak tadi merekah, mendadak hilang menguar entah ke mana.“Kenapa raut wajahmu berubah? Kamu tidak siap? Bukankah kamu bilang tahu bagaimana kelakuan El saat di Paris,” ujar Steven saat melihat ekspresi wajah Bintang.Bintang tersenyum miring menanggapi ucapan Steven. Dia lantas dengan santai memasukkan potongan daging ke mulut, meski rasa kesal bercokol di dada karena pertanyaan Steven.“Kalau begitu aku balik tanya, sebelum menjawab pertanyaanmu.” Bintang menatap Steven sambil mengunyah makanan yang ada di mulut.Steven diam dan menatap Bintang yang terlihat begitu tenang.“Jika kamu sangat mencintai seorang wanita, kemudian pria dari masa lalu wanita itu datang untuk kembali bersamanya, apa yang akan kamu lakukan? Bagaimana perasaanmu?” tanya Bintang dengan tatapan yang tidak bisa dideskripsikan.Steven terkejut mendengar pertanyaan Bintang, sungguh tidak menyangka jika Bintang akan membalikkan pertanyaan kepadanya.“Aku tidak akan b
“Bin, aku sedang dalam perjalanan pulang. Kamu mau titip sesuatu?”Suara Langit terdengar dari seberang panggilan. Bintang mengapit ponsel dengan telinga dan pundak, kedua tangan sedang sibuk mengeluarkan kue dari oven. Semenjak di rumah dan tidak bekerja, Bintang lebih suka menghabiskan waktu belajar memasak agar bisa membuatkan makanan yang bervariasi untuk suaminya.“Tidak usah, pulanglah segera, aku sudah memasak beberapa menu masakan,” jawab Bintang.Dua bulan berlalu semenjak Steven berkunjung ke apartemen. Ucapan pria itu yang aneh sebelum pergi, dianggap sebagai keisengan saja. Apalagi Langit berkata jika Steven memang suka bercanda.“Baiklah, aku akan segera sampai di apartemen,” ucap Langit dari seberang panggilan.Bintang mengakhiri panggilan. Dia meletakkan loyang berisi kue yang masih panas di atas meja pantry. Sore itu Bintang begitu bersemangat menyiapkan makanan untuk makan malam. Rumah tangganya dengan Langit beberapa bulan ini terasa manis, setelah semua masalah yang
Bintang bangun dari posisi duduk, lantas berdiri berhadapan dengan Langit.Langit menatap Bintang, menunggu istrinya memberikan hadiah yang dijanjikan.“Mana hadiahku?” tanya Langit karena penasaran.Bukannya menjawab pertanyaan Langit, Bintang malah mengalungkan kedua lengan ke leher suaminya. Dia menahan senyum, menatap Langit penuh arti.“Apa, hm?” tanya Langit sambil merengkuh pinggang istrinya.“Hadiahnya aku,” jawab Bintang kemudian menyentuhkan bibir mereka.Langit terkejut mendengar apa yang diucapkan Bintang, tapi memilih membalas pagutan bibir istrinya itu. Keduanya saling melumat, sebelum akhirnya melepas dan saling tatap.“Sudah selesai?” tanya Langit memastikan.Selama dua bulan ini Langit menahan diri karena kondisi Bintang pasca kuret yang memang tidak boleh berhubungan intim. Sabar berpuasa untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.“Ya, sudah bersih. Aku sudah memastikannya sejak tiga hari lalu,” jawab Bintang dengan senyum penuh bahagia, tidak sabar ingin melay
“Ada masalah genting seperti ini, kenapa malah telepon aku?” Bintang terlihat bingung sampai tidak tahu harus bangun atau apa. Langit ikut bingung melihat Bintang panik. “Aku bingung harus bagaimana. Cepat kamu ke sini!” Suara Anta terdengar dari seberang panggilan. “El, cepat pakai pakaianmu!” perintah Bintang sambil turun. Bukannya membalas ucapan Anta, Bintang malah bicara dengan suaminya. “Ada apa, Bin?” tanya Langit kebingungan. “Anta mau melahirkan,” jawab Bintang sambil panik mencari alas kakinya. Dia mau ke lemari mengambil pakaian karena saat ini Bintang hanya memakai lingerie. “Hah! Bagaimana ceritanya Anta mau melahirkan?” Langit terkejut bukan main mendengar jawaban istrinya yang panik. Bintang mendesis pelan sambil menepuk jidat karena salah bicara, hingga kemudian menjelaskan. “Laras mau lahiran, ketubannya pecah, tapi si bodoh ini malah panik tidak buru-buru membawa istrinya ke rumah sakit.” Bintang mengomel masih dengan panggilan yang terhubung. Langit bergega
“Bin, kamu tidak ingin menggendong bayi kami?” tanya Laras karena sejak tadi Bintang hanya diam memandang.Laras sudah dipindah ke ruang inap karena melahirkan normal. Keluarga pun sudah dikabari dan kini hanya tinggal menunggu datang ke sana.Bintang terkejut mendengar pertanyaan Laras. Dia menatap sahabatnya yang sedang menggendong bayi sambil memandangnya.Bintang sampai menoleh Langit seolah meminta persetujuan dari suaminya itu.Langit tentu saja mengangguk mengizinkan. Dia juga berpikir jika istrinya pun pasti ingin menggendong bayi.Bintang mendekat, mengulurkan tangan untuk mengambil alih bayi Laras ke dalam gendongannya. Bayi dengan berat dua koma tujuh kilo itu sangat tampan dan menggemaskan.Bintang menatap lekat bayi itu saat sudah ada di dalam gendongan, seolah tersihir dengan ketampanan bayi menggemaskan itu.“Kalian akan beri nama dia siapa?” tanya Bintang sambil menimang bayi Anta dan Laras.Anta dan Laras saling tatap, hingga Anta menjawab pertanyaan Bintang.“Bumi An
Langit dan yang lain hari itu menunggu cemas di depan ruang operasi. Hari ini Bintang menjalani operasi cesar sesuai dengan yang dijadwalkan dokter, setelah melakukan beberapa tes dan memastikan kondisi Bintang siap untuk melahirkan. “Duduklah, El. Operasinya pasti berjalan lancar,” kata Joya yang pusing melihat putranya mondar-mandir tidak jelas sejak tadi. Annetha, Arlan, Kenzo, juga Sashi juga menatap Langit yang tidak bisa tenang. “Mana bisa tenang, Mi.” Langit sangat mengkhawatirkan kondisi Bintang. Meski Bintang dalam kondisi sehat, tapi tetap saja Langit cemas. Joya membuang napas kasar, berdiri lantas menarik tangan Langit dan mengajaknya duduk bersaam. “Yang perlu kita lakukan sekarang itu doa, El. Bukan mondar-mandir yang bikin pusing!” sembur Joya sambil menahan Langit agar tidak mondar-mandir lagi. Langit menatap Joya sendu, kecemasan terlihat jelas dari tatapan mata pria itu. “Kita banyak doa saja, El. Semoga semuanya lancar. Kamu dengar sendiri kata dokter, selama
“Benarkah? Ya Tuhan, mami benar-benar bersyukur dan bahagia.”Annetha langsung memeluk Bintang mengetahui jika putrinya hamil. Dulu memang takut, tapi Annetha pun memilih pasrah seperti putrinya, agar mendapatkan jalan yang terbaik.Bintang dan Langit pergi ke rumah Annetha setelah dokter mengizinkan Bintang pulang, setelah memastikan kondisi Bintang membaik. Keduanya sengaja datang ke sana karena ingin menyampaikan kabar kehamilan Bintang, meski Bintang sendiri tidak yakin jika sang papi akan menerimanya. Namun, yang jelas Bintang tidak ingin kejadian dulu terulang.“Mami tidak marah?” tanya Bintang dengan ekspresi takut di wajah pucatnya.Annetha melepas pelukan, lantas menatap Bintang sambil menangkup kedua pipi putrinya itu.“Tentu saja tidak, kenapa mami harus marah? Mami malah sangat bahagia akhirnya keinginanmu terkabul,” ucap Annetha penuh rasa syukur.Sashi berada di pangkuan Langit, mendengarkan percakapan antara orang tua, apalagi Bintang menangis dalam pelukan Annetha.“Mo
Sashi duduk di bangku depan gedung sekolah, menunggu Bintang yang tidak kunjung datang. “Apa Mommy lupa?” Sashi menghela napas kasar sampai kedua pundak naik-turun. Guru Sashi sudah menghubungi Bintang, tapi tidak ada jawaban karena tas Bintang tertinggal di klinik beserta ponselnya, membuat Sashi akhirnya menunggu karena yakin jika Bintang akan menjemputnya. Sashi masih setia di sana. Duduk sambil mengayunkan kedua kaki maju mundur. Hingga seorang anak laki-laki menghampirinya. “Kamu belum dijemput?” Sashi mendongak, menatap anak laki-laki kakak kelasnya yang duduk di kelas enam. “Iya, Mommy belum jemput,” jawab Sashi masih memandang anak laki-laki itu. Anak laki-laki itu mengedarkan pandangan, kemudian ikut duduk di samping Sashi. “Mamaku juga belum jemput, sepertinya jemput kedua adikku yang les lebih dulu,” ucap anak laki-laki itu sambil mengedarkan pandangannya. Sashi mengangguk-angguk mendengar ucapan anak laki-laki itu, tidak buruk duduk bersama menunggu jemputan masing
Langit berlarian menuju ke klinik untuk melihat kondisi Bintang, sesampainya di klinik melihat Bintang yang terbaring dengan wajah pucat dan lemas meski sudah sadar.“Bin.” Langit mendekat dan langsung membelai wajah istrinya itu.“Bagaimana kondisinya?” tanya Langit ke dokter jaga di klinik karena Bintang terlihat masih meringis menahan sakit.“Tekanan darahnya sangat rendah, kemungkinan kelelahan. Tapi untuk mengetahui kondisi pasti penyebabnya, mungkin bisa dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan pemeriksaan lepngkap, Pak.” Dokter klinik hanya mengecek kondisi Bintang berdasarkan keluhan saja.Langit tidak banyak bicara. Dia pun meraup tubuh Bintang ke gendongan dan membawa keluar dari klinik. Kondisi Bintang yang tidak biasa, tentu saja membuat Langit cemas. Dia harus membawa Bintang ke rumah sakit untuk pemeriksaan menyeluruh.“El, ada apa?” Joya dan Kenzo yang kebetulan baru saja keluar lift di lobi, terkejut melihat Langit menggendong Bintang.“Kondisi Bintang buruk, Mi. Aku mau
Dua tahun kemudian. “Mommy! Daddy! Sashi telat sekolah!” Suara melengking dari luar kamar terdengar sampai dalam. Bintang dan Langit yang masih tidur pulas pun terkejut karena suara Sashi juga ketukan pintu beberapa kali. Bintang terduduk dengan mata masih tertutup. Dia pun mengucek mata, mencoba membuka kelopak mata lebar agar bisa melihat jarum jam di dinding. “Ya Tuhan!” Bintang sangat terkejut karena waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi. “El, bangun! Kita kesiangan!” Bintang memukul lengan suaminya, meminta agar Langit segera bangun. Biasanya jam segini Bintang sudah bangun memasak dan menyiapkan perlengkapan sekolah Sashi, tapi pagi ini dia malah kesiangan bangun. Ini semua gara-gara suaminya yang mengajak begadang semalaman. Meminta jatah tidak ada habisnya, membuat Bintang kelelahan luar biasa, lantas terbangun kesiangan. “Bentar, Bin. Lima menit lagi.” Langit malah menarik selimut masih sambil memejamkan mata. Enggan bangun karena masih sangat mengantuk. “El, Sashi
Bintang melipat kedua tangan di depan dada, menatap suaminya yang baru saja selesai menjalani operasi kecil dan menatap dengan ekspresi wajah kesal. Langit melirik Aldo, dalam tatapan matanya seolah ingin melempar kalimat ‘Aku akan memotong gajimu, lihat saja dasar pengkhianat!’, sungguh Langit tidak menyangka saat keluar dari ruang operasi langsung melihat Bintang. “Tidak usah melirik Aldo, urusanmu denganku, El!” Bintang tahu ke mana arah pandangan suaminya, hingga langsung menegur pria itu. Langit menatap Bintang, terlihat bersalah dan takut melihat tatapan istrinya itu. “Keluarlah, Al. Tenang saja, aku yang akan menjamin karirmu,” ucap Bintang memberikan jaminan ke sekretaris suaminya, sebab dia memaksa Aldo untuk bicara jujur. “Baik, Bu.” Aldo pun secepat kilat kabur dari ruangan itu, tidak ingin terlibat masalah antar suami-istri yang sudah menciptakan ketegangan sejak beberapa menit lalu. Langit benar-benar tak berkutik, diam karena merasa salah. Dia melihat Bintang menar
“Saya masih tidak habis pikir dengan Anda, Pak.”Aldo menatap Langit dengan rasa heran. Otak cerdasnya mendadak tidak bisa menangkap maksud dari apa yang sedang dilakukan bosnya.“Kamu tidak perlu berpikir apa pun,” balas Langit santai.Aldo ingin membalas ucapan Langit, tapi atasannya kembali bicara.“Pokoknya kalau istriku menghubungi, jangan dijawab!” titah Langit yang memang baru saja berganti pakaian.Tepat saat mengatakan itu, ponsel Langit yang dibawa Aldo bergetar karena memang dibuat mode silent, hanya bergetar saat ada panggilan atau pesan.Aldo melirik dan melihat nama Bintang terpampang di layar. Langit tidak menyadari kalau ponselnya berdering. Dia sedang mengikat tali baju khusus yang diberikan perawat, sebelum perawat memasang infus.“Bagaimana kalau terus menghubungi?” tanya Aldo sambil menggeser tombol hijau di ponsel Langit. Dia memegang ponsel Langit di samping tubuh, posisi layar menghadap ke belakang, sehingga Langit tidak menyadari jika ada panggilan masuk.“Ya,
Sudah dua minggu semenjak Bintang berbaikan dengan Arlan. Bahkan Bintang sekarang sering mengajak Sashi ke rumah orang tuanya atas permintaan Annetha.Seperti hari itu. Bintang pergi ke rumah Arlan sebab sang papi bilang sedang ambil cuti karena kondisinya yang kurang sehat, sehingga Bintang tanpa pikir panjang memilih langsung datang untuk melihat kondisi Arlan.“Sudah diperiksa dan minum obat?” tanya Bintang begitu bertemu dengan Arlan yang sedang duduk di ruang keluarga bersama Annetha.Annetha dan Arlan pun terkejut karena Bintang tampak begitu panik.“Papi tidak kenapa-napa, hanya kecapean hingga membuat kondisi tubuh papi sedikit drop,” jawab Arlan sambil mengulas senyum.Tatapan pria itu tertuju ke Sashi yang berdiri di samping Bintang, lantas mengulurkan tangan sebagai isyarat agar gadis kecil itu mendekat.“Opa punya hadiah untukmu,” kata Arlan yang kemudian berdiri.Sashi mendongak menoleh Bintang, sedangkan Bintang langsung mengangguk melihat Sashi yang seolah meminta perse
Langit menarik napas dalam-dalam, lantas mengembuskan perlahan tanpa suara. Dia duduk sambil meremas kedua lutut, sedikit menunduk menurunkan pandangan agar tidak dikira sedang menantang.Arlan sendiri menatap Langit, mengajak pria itu bicara di ruang kerja tapi sudah duduk selama hampir lima belas menit belum berkata sepatah kata pun. Tatapan matanya pun membuat lawan bicaranya hanya diam menunduk.Arlan menghela napas kasar, hingga kemudian akhirnya bicara.“Aku memang memberi restu lagi, tapi bukan berarti akan menerima atau melupakan kejadian sebelumnya dengan mudah. Apa yang aku lakukan semata-mata hanya untuk Bintang. Bagiku dia yang akan jadi prioritas utamaku, memang aku ingin memisahkan kalian, tapi karena itu akan menyakiti hati putriku, membuatku memilih mengalah dengan keputusannya.”Arlan bicara dengan suara yang tidak terlalu lantang, tapi terkesan begitu menekan.Langit sendiri tidak membalas ucapan Arlan, hanya mengangkat wajah dan menatap pria itu yang sedang bicara a