“Ada masalah genting seperti ini, kenapa malah telepon aku?” Bintang terlihat bingung sampai tidak tahu harus bangun atau apa. Langit ikut bingung melihat Bintang panik. “Aku bingung harus bagaimana. Cepat kamu ke sini!” Suara Anta terdengar dari seberang panggilan. “El, cepat pakai pakaianmu!” perintah Bintang sambil turun. Bukannya membalas ucapan Anta, Bintang malah bicara dengan suaminya. “Ada apa, Bin?” tanya Langit kebingungan. “Anta mau melahirkan,” jawab Bintang sambil panik mencari alas kakinya. Dia mau ke lemari mengambil pakaian karena saat ini Bintang hanya memakai lingerie. “Hah! Bagaimana ceritanya Anta mau melahirkan?” Langit terkejut bukan main mendengar jawaban istrinya yang panik. Bintang mendesis pelan sambil menepuk jidat karena salah bicara, hingga kemudian menjelaskan. “Laras mau lahiran, ketubannya pecah, tapi si bodoh ini malah panik tidak buru-buru membawa istrinya ke rumah sakit.” Bintang mengomel masih dengan panggilan yang terhubung. Langit bergega
“Bin, kamu tidak ingin menggendong bayi kami?” tanya Laras karena sejak tadi Bintang hanya diam memandang.Laras sudah dipindah ke ruang inap karena melahirkan normal. Keluarga pun sudah dikabari dan kini hanya tinggal menunggu datang ke sana.Bintang terkejut mendengar pertanyaan Laras. Dia menatap sahabatnya yang sedang menggendong bayi sambil memandangnya.Bintang sampai menoleh Langit seolah meminta persetujuan dari suaminya itu.Langit tentu saja mengangguk mengizinkan. Dia juga berpikir jika istrinya pun pasti ingin menggendong bayi.Bintang mendekat, mengulurkan tangan untuk mengambil alih bayi Laras ke dalam gendongannya. Bayi dengan berat dua koma tujuh kilo itu sangat tampan dan menggemaskan.Bintang menatap lekat bayi itu saat sudah ada di dalam gendongan, seolah tersihir dengan ketampanan bayi menggemaskan itu.“Kalian akan beri nama dia siapa?” tanya Bintang sambil menimang bayi Anta dan Laras.Anta dan Laras saling tatap, hingga Anta menjawab pertanyaan Bintang.“Bumi An
Bintang pergi ke toko perlengkapan bayi sebelum ke rumah sakit. Menjadi seorang ibu, meski bukan kandung, membuat Bintang sangat senang dan bahagia. Dia membeli beberapa perlengkapan bayi, seperti pakaian, popok, bahkan sepatu mungil entah kapan bisa dipakai. “Totalnya satu juta dua ratus tiga puluh dua ribu.” Kasir baru saja menghitung semua belanjaan Bintang. Bintang mengeluarkan kartu debitnya, tentu saja menggunakan uangnya sendiri, bukan uang suaminya. Kasir menggesek kartu di alat pembayaran lantas Bintang memasukkan pin. Hingga saat sedang menunggu proses pembayaran selesai, Bintang merasa jika ada yang sedang memperhatikan dirinya. Dia menoleh ke belakang, tapi tidak ada siapapun di sana. Saat menoleh ke luar toko, juga tidak ada siapapun. “Sepertinya hanya perasaanku saja,” gumam Bintang sambil mengusap tengkuk. “Kartu Anda, terima kasih sudah berbelanja di sini,” kata kasir sambil memberikan kartu milik Bintang. Bintang mengambil kembali kartunya, kemudian membawa bara
“Bin, katakan sesuatu!” Langit panik karena Bintang tidak bicara. Dia sampai menekan tombol agar pintu lift segera terbuka.“Ya, El. Aku di sini. Aku akan menghubungimu nanti,” ucap Bintang dari seberang panggilan, lantas mengakhiri panggilan itu.Langit begitu terkejut panggilan itu terputus, tepat saat pintu lift terbuka. Dia pun buru-buru masuk dan menekan tombol agar lift turun ke basemen.Dia benar-benar panik, lantas kembali membaca pesan yang diterimanya.[El, aku Angelica, mungkin kamu lupa denganku tapi aku tidak lupa denganmu. Mendengar suaramu, aku yakin jika itu benar kamu. Namun, aku tidak memiliki keberanian untuk membuka suaraku. Aku memiliki sesuatu yang harus aku berikan kepadamu, kuharap kamu bisa menerimanya, El. Karena aku tidak tahu lagi harus memberikannya kepada siapa. Istrimu sangat cantik, kalian pun tampak bahagia. Semoga istrimu tidak terganggu dengan pemberianku.]Langit mencoba menghubungi nomor yang menghubunginya, tapi nomor itu sudah tidak aktif.“Sial!
Langit mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi. Tidak memedulikan keselamatannya karena yang dipikirkan sekarang adalah Bintang.Langit menghubungi Anta yang berkata Bintang sudah pulang, membuatnya berpikir untuk langsung ke apartemen. Dia keluar dari mobil terburu-buru saat sudah sampai basemen, lantas naik ke lantai tempat unit apartemennya berada.Saat baru saja keluar dari lift, Langit melihat koper berwarna merah muda di depan unit apartemennya. Dia pun bergegas masuk, hingga melihat Bintang yang tampak kesakitan sambil meremas dada, juga ada anak kecil menatap istrinya.Bintang benar-benar syok, lantas berdiri untuk pergi ke kamar mengambil obatnya.“Bin.” Langit mengejar Bintang yang masuk kamar, sejenak berhenti melangkah menoleh gadis kecil yang ada di sana, lantas kembali mengejar Bintang.Bintang mencari obatnya di tas dengan panik, bahkan tanpa sengaja menjatuhkan beberapa butir obat karena tangannya gemetar. Dia meminum obatnya tanpa air untuk segera meredakan gejala
“Hubungi ibumu, minta dia ke sini!” Langit tidak ingin hubungannya dengan Bintang renggang karena kedatangan Sashi. “Kenapa tidak Daddy saja yang menghubungi?” tanya Sashi sambil menatap Langit. Langit sangat terkejut mendengar ucapan Sashi, kenapa gadis kecil berumur empat tahun itu sangat pandai bicara. “Nomor ibumu tidak aktif,” jawab Langit yang benar-benar pusing menghadapi masalah yang terjadi. “Berarti sama, mungkin Mommy di pesawat,” ujar Sashi. Langit terkejut mendengar ucapan Sashi, jika memang benar demikian, itu berarti Angelica memang sengaja meninggalkan Sashi di sana. Langit hendak menghubungi Angelica, hingga mendengar suara pintu terbuka. Dia menoleh dan melihat Bintang keluar dari kamar. “Bin.” Langit langsung berdiri melihat Bintang. Bintang mengalihkan pandangan, lantas berjalan mengabaikan suaminya. Langit menghampiri Bintang, hendak mencegah istrinya yang ingin pergi. “Kamu mau ke mana?” tanya Langit sambil menahan tangan Bintang. “Aku butuh berpikir s
Sashi sejak Bintang pergi terus berada di ruang tamu. Langit sama sekali tidak memedulikannya, pria itu berada di kamar dan sama sekali tidak keluar.Pukul setengah dua malam, Sashi terbangun setelah tertidur di sofa sambil memeluk boneka kesayangan yang selalu menemaninya selama ini. Dia lapar karena sejak sore belum makan apa pun.Sashi membuka tasnya, hanya menemukan cokelat di sana dan memakannya. Tidak cukup membuat perutnya kenyang, Sashi mengeluarkan toples berisi susu bubuk yang biasa diminumnya. Dia berjalan ke dapur untuk membuat susu sendiri.Selama enam bulan terakhir ini, Sashi sering ditinggal Angelica sendirian di rumah. Dia sudah diajari mengambil makanan sendiri di meja juga membuat susu sendiri.“Tidak ada air panas,” gumam gadis kecil itu yang tidak menemukan teko air panas.Sashi tidak bisa menahan rasa laparnya. Dia mengambil ponsel untuk menghubungi sang mommy, tapi panggilannya terhubung dengan mesin penjawab pesan.“Mommy, Mommy di mana? Sashi tidak mau di sini
Bintang benar-benar tidak tega melihat Sashi menangis. Dia membenci kejadian yang menimpa dirinya, tapi tidak pernah membenci gadis kecil tanpa dosa itu.Bintang memeluk Sashi lagi, lantas mengusap lembut punggung gadis kecil itu.“Tidak apa, jangan menangis lagi.” Bintang mencoba menenangkan Sashi.Sashi masih menangis, meski sudah tidak sekencang tadi.Saat Bintang sedang memeluk gadis kecil itu. Langit ternyata keluar kamar dan memandang Bintang yang sedang memeluk gadis kecil itu. Hingga Bintang akhirnya melihat suaminya yang sedang menatap, tapi meski begitu Bintang memilih mengabaikan dengan memalingkan wajah dari pria itu.“Sekarang minum susu dulu, lalu tidur,” ucap Bintang sambil melepas pelukan.Sashi mengangguk, mengambil gelas di meja lantas meminum isinya sampai tandas.Bintang memperhatikan Sashi dengan ekspresi wajah datar karena ada Langit yang menatapnya. Pria itu sendiri masih berdiri di tempatnya sambil memperhatikan apa yang sedang dilakukan Bintang.“Sudah.” Sashi
Langit dan yang lain hari itu menunggu cemas di depan ruang operasi. Hari ini Bintang menjalani operasi cesar sesuai dengan yang dijadwalkan dokter, setelah melakukan beberapa tes dan memastikan kondisi Bintang siap untuk melahirkan. “Duduklah, El. Operasinya pasti berjalan lancar,” kata Joya yang pusing melihat putranya mondar-mandir tidak jelas sejak tadi. Annetha, Arlan, Kenzo, juga Sashi juga menatap Langit yang tidak bisa tenang. “Mana bisa tenang, Mi.” Langit sangat mengkhawatirkan kondisi Bintang. Meski Bintang dalam kondisi sehat, tapi tetap saja Langit cemas. Joya membuang napas kasar, berdiri lantas menarik tangan Langit dan mengajaknya duduk bersaam. “Yang perlu kita lakukan sekarang itu doa, El. Bukan mondar-mandir yang bikin pusing!” sembur Joya sambil menahan Langit agar tidak mondar-mandir lagi. Langit menatap Joya sendu, kecemasan terlihat jelas dari tatapan mata pria itu. “Kita banyak doa saja, El. Semoga semuanya lancar. Kamu dengar sendiri kata dokter, selama
“Benarkah? Ya Tuhan, mami benar-benar bersyukur dan bahagia.”Annetha langsung memeluk Bintang mengetahui jika putrinya hamil. Dulu memang takut, tapi Annetha pun memilih pasrah seperti putrinya, agar mendapatkan jalan yang terbaik.Bintang dan Langit pergi ke rumah Annetha setelah dokter mengizinkan Bintang pulang, setelah memastikan kondisi Bintang membaik. Keduanya sengaja datang ke sana karena ingin menyampaikan kabar kehamilan Bintang, meski Bintang sendiri tidak yakin jika sang papi akan menerimanya. Namun, yang jelas Bintang tidak ingin kejadian dulu terulang.“Mami tidak marah?” tanya Bintang dengan ekspresi takut di wajah pucatnya.Annetha melepas pelukan, lantas menatap Bintang sambil menangkup kedua pipi putrinya itu.“Tentu saja tidak, kenapa mami harus marah? Mami malah sangat bahagia akhirnya keinginanmu terkabul,” ucap Annetha penuh rasa syukur.Sashi berada di pangkuan Langit, mendengarkan percakapan antara orang tua, apalagi Bintang menangis dalam pelukan Annetha.“Mo
Sashi duduk di bangku depan gedung sekolah, menunggu Bintang yang tidak kunjung datang. “Apa Mommy lupa?” Sashi menghela napas kasar sampai kedua pundak naik-turun. Guru Sashi sudah menghubungi Bintang, tapi tidak ada jawaban karena tas Bintang tertinggal di klinik beserta ponselnya, membuat Sashi akhirnya menunggu karena yakin jika Bintang akan menjemputnya. Sashi masih setia di sana. Duduk sambil mengayunkan kedua kaki maju mundur. Hingga seorang anak laki-laki menghampirinya. “Kamu belum dijemput?” Sashi mendongak, menatap anak laki-laki kakak kelasnya yang duduk di kelas enam. “Iya, Mommy belum jemput,” jawab Sashi masih memandang anak laki-laki itu. Anak laki-laki itu mengedarkan pandangan, kemudian ikut duduk di samping Sashi. “Mamaku juga belum jemput, sepertinya jemput kedua adikku yang les lebih dulu,” ucap anak laki-laki itu sambil mengedarkan pandangannya. Sashi mengangguk-angguk mendengar ucapan anak laki-laki itu, tidak buruk duduk bersama menunggu jemputan masing
Langit berlarian menuju ke klinik untuk melihat kondisi Bintang, sesampainya di klinik melihat Bintang yang terbaring dengan wajah pucat dan lemas meski sudah sadar.“Bin.” Langit mendekat dan langsung membelai wajah istrinya itu.“Bagaimana kondisinya?” tanya Langit ke dokter jaga di klinik karena Bintang terlihat masih meringis menahan sakit.“Tekanan darahnya sangat rendah, kemungkinan kelelahan. Tapi untuk mengetahui kondisi pasti penyebabnya, mungkin bisa dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan pemeriksaan lepngkap, Pak.” Dokter klinik hanya mengecek kondisi Bintang berdasarkan keluhan saja.Langit tidak banyak bicara. Dia pun meraup tubuh Bintang ke gendongan dan membawa keluar dari klinik. Kondisi Bintang yang tidak biasa, tentu saja membuat Langit cemas. Dia harus membawa Bintang ke rumah sakit untuk pemeriksaan menyeluruh.“El, ada apa?” Joya dan Kenzo yang kebetulan baru saja keluar lift di lobi, terkejut melihat Langit menggendong Bintang.“Kondisi Bintang buruk, Mi. Aku mau
Dua tahun kemudian. “Mommy! Daddy! Sashi telat sekolah!” Suara melengking dari luar kamar terdengar sampai dalam. Bintang dan Langit yang masih tidur pulas pun terkejut karena suara Sashi juga ketukan pintu beberapa kali. Bintang terduduk dengan mata masih tertutup. Dia pun mengucek mata, mencoba membuka kelopak mata lebar agar bisa melihat jarum jam di dinding. “Ya Tuhan!” Bintang sangat terkejut karena waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi. “El, bangun! Kita kesiangan!” Bintang memukul lengan suaminya, meminta agar Langit segera bangun. Biasanya jam segini Bintang sudah bangun memasak dan menyiapkan perlengkapan sekolah Sashi, tapi pagi ini dia malah kesiangan bangun. Ini semua gara-gara suaminya yang mengajak begadang semalaman. Meminta jatah tidak ada habisnya, membuat Bintang kelelahan luar biasa, lantas terbangun kesiangan. “Bentar, Bin. Lima menit lagi.” Langit malah menarik selimut masih sambil memejamkan mata. Enggan bangun karena masih sangat mengantuk. “El, Sashi
Bintang melipat kedua tangan di depan dada, menatap suaminya yang baru saja selesai menjalani operasi kecil dan menatap dengan ekspresi wajah kesal. Langit melirik Aldo, dalam tatapan matanya seolah ingin melempar kalimat ‘Aku akan memotong gajimu, lihat saja dasar pengkhianat!’, sungguh Langit tidak menyangka saat keluar dari ruang operasi langsung melihat Bintang. “Tidak usah melirik Aldo, urusanmu denganku, El!” Bintang tahu ke mana arah pandangan suaminya, hingga langsung menegur pria itu. Langit menatap Bintang, terlihat bersalah dan takut melihat tatapan istrinya itu. “Keluarlah, Al. Tenang saja, aku yang akan menjamin karirmu,” ucap Bintang memberikan jaminan ke sekretaris suaminya, sebab dia memaksa Aldo untuk bicara jujur. “Baik, Bu.” Aldo pun secepat kilat kabur dari ruangan itu, tidak ingin terlibat masalah antar suami-istri yang sudah menciptakan ketegangan sejak beberapa menit lalu. Langit benar-benar tak berkutik, diam karena merasa salah. Dia melihat Bintang menar
“Saya masih tidak habis pikir dengan Anda, Pak.”Aldo menatap Langit dengan rasa heran. Otak cerdasnya mendadak tidak bisa menangkap maksud dari apa yang sedang dilakukan bosnya.“Kamu tidak perlu berpikir apa pun,” balas Langit santai.Aldo ingin membalas ucapan Langit, tapi atasannya kembali bicara.“Pokoknya kalau istriku menghubungi, jangan dijawab!” titah Langit yang memang baru saja berganti pakaian.Tepat saat mengatakan itu, ponsel Langit yang dibawa Aldo bergetar karena memang dibuat mode silent, hanya bergetar saat ada panggilan atau pesan.Aldo melirik dan melihat nama Bintang terpampang di layar. Langit tidak menyadari kalau ponselnya berdering. Dia sedang mengikat tali baju khusus yang diberikan perawat, sebelum perawat memasang infus.“Bagaimana kalau terus menghubungi?” tanya Aldo sambil menggeser tombol hijau di ponsel Langit. Dia memegang ponsel Langit di samping tubuh, posisi layar menghadap ke belakang, sehingga Langit tidak menyadari jika ada panggilan masuk.“Ya,
Sudah dua minggu semenjak Bintang berbaikan dengan Arlan. Bahkan Bintang sekarang sering mengajak Sashi ke rumah orang tuanya atas permintaan Annetha.Seperti hari itu. Bintang pergi ke rumah Arlan sebab sang papi bilang sedang ambil cuti karena kondisinya yang kurang sehat, sehingga Bintang tanpa pikir panjang memilih langsung datang untuk melihat kondisi Arlan.“Sudah diperiksa dan minum obat?” tanya Bintang begitu bertemu dengan Arlan yang sedang duduk di ruang keluarga bersama Annetha.Annetha dan Arlan pun terkejut karena Bintang tampak begitu panik.“Papi tidak kenapa-napa, hanya kecapean hingga membuat kondisi tubuh papi sedikit drop,” jawab Arlan sambil mengulas senyum.Tatapan pria itu tertuju ke Sashi yang berdiri di samping Bintang, lantas mengulurkan tangan sebagai isyarat agar gadis kecil itu mendekat.“Opa punya hadiah untukmu,” kata Arlan yang kemudian berdiri.Sashi mendongak menoleh Bintang, sedangkan Bintang langsung mengangguk melihat Sashi yang seolah meminta perse
Langit menarik napas dalam-dalam, lantas mengembuskan perlahan tanpa suara. Dia duduk sambil meremas kedua lutut, sedikit menunduk menurunkan pandangan agar tidak dikira sedang menantang.Arlan sendiri menatap Langit, mengajak pria itu bicara di ruang kerja tapi sudah duduk selama hampir lima belas menit belum berkata sepatah kata pun. Tatapan matanya pun membuat lawan bicaranya hanya diam menunduk.Arlan menghela napas kasar, hingga kemudian akhirnya bicara.“Aku memang memberi restu lagi, tapi bukan berarti akan menerima atau melupakan kejadian sebelumnya dengan mudah. Apa yang aku lakukan semata-mata hanya untuk Bintang. Bagiku dia yang akan jadi prioritas utamaku, memang aku ingin memisahkan kalian, tapi karena itu akan menyakiti hati putriku, membuatku memilih mengalah dengan keputusannya.”Arlan bicara dengan suara yang tidak terlalu lantang, tapi terkesan begitu menekan.Langit sendiri tidak membalas ucapan Arlan, hanya mengangkat wajah dan menatap pria itu yang sedang bicara a