Bintang pergi ke toko perlengkapan bayi sebelum ke rumah sakit. Menjadi seorang ibu, meski bukan kandung, membuat Bintang sangat senang dan bahagia. Dia membeli beberapa perlengkapan bayi, seperti pakaian, popok, bahkan sepatu mungil entah kapan bisa dipakai. “Totalnya satu juta dua ratus tiga puluh dua ribu.” Kasir baru saja menghitung semua belanjaan Bintang. Bintang mengeluarkan kartu debitnya, tentu saja menggunakan uangnya sendiri, bukan uang suaminya. Kasir menggesek kartu di alat pembayaran lantas Bintang memasukkan pin. Hingga saat sedang menunggu proses pembayaran selesai, Bintang merasa jika ada yang sedang memperhatikan dirinya. Dia menoleh ke belakang, tapi tidak ada siapapun di sana. Saat menoleh ke luar toko, juga tidak ada siapapun. “Sepertinya hanya perasaanku saja,” gumam Bintang sambil mengusap tengkuk. “Kartu Anda, terima kasih sudah berbelanja di sini,” kata kasir sambil memberikan kartu milik Bintang. Bintang mengambil kembali kartunya, kemudian membawa bara
“Bin, katakan sesuatu!” Langit panik karena Bintang tidak bicara. Dia sampai menekan tombol agar pintu lift segera terbuka.“Ya, El. Aku di sini. Aku akan menghubungimu nanti,” ucap Bintang dari seberang panggilan, lantas mengakhiri panggilan itu.Langit begitu terkejut panggilan itu terputus, tepat saat pintu lift terbuka. Dia pun buru-buru masuk dan menekan tombol agar lift turun ke basemen.Dia benar-benar panik, lantas kembali membaca pesan yang diterimanya.[El, aku Angelica, mungkin kamu lupa denganku tapi aku tidak lupa denganmu. Mendengar suaramu, aku yakin jika itu benar kamu. Namun, aku tidak memiliki keberanian untuk membuka suaraku. Aku memiliki sesuatu yang harus aku berikan kepadamu, kuharap kamu bisa menerimanya, El. Karena aku tidak tahu lagi harus memberikannya kepada siapa. Istrimu sangat cantik, kalian pun tampak bahagia. Semoga istrimu tidak terganggu dengan pemberianku.]Langit mencoba menghubungi nomor yang menghubunginya, tapi nomor itu sudah tidak aktif.“Sial!
Langit mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi. Tidak memedulikan keselamatannya karena yang dipikirkan sekarang adalah Bintang.Langit menghubungi Anta yang berkata Bintang sudah pulang, membuatnya berpikir untuk langsung ke apartemen. Dia keluar dari mobil terburu-buru saat sudah sampai basemen, lantas naik ke lantai tempat unit apartemennya berada.Saat baru saja keluar dari lift, Langit melihat koper berwarna merah muda di depan unit apartemennya. Dia pun bergegas masuk, hingga melihat Bintang yang tampak kesakitan sambil meremas dada, juga ada anak kecil menatap istrinya.Bintang benar-benar syok, lantas berdiri untuk pergi ke kamar mengambil obatnya.“Bin.” Langit mengejar Bintang yang masuk kamar, sejenak berhenti melangkah menoleh gadis kecil yang ada di sana, lantas kembali mengejar Bintang.Bintang mencari obatnya di tas dengan panik, bahkan tanpa sengaja menjatuhkan beberapa butir obat karena tangannya gemetar. Dia meminum obatnya tanpa air untuk segera meredakan gejala
“Hubungi ibumu, minta dia ke sini!” Langit tidak ingin hubungannya dengan Bintang renggang karena kedatangan Sashi. “Kenapa tidak Daddy saja yang menghubungi?” tanya Sashi sambil menatap Langit. Langit sangat terkejut mendengar ucapan Sashi, kenapa gadis kecil berumur empat tahun itu sangat pandai bicara. “Nomor ibumu tidak aktif,” jawab Langit yang benar-benar pusing menghadapi masalah yang terjadi. “Berarti sama, mungkin Mommy di pesawat,” ujar Sashi. Langit terkejut mendengar ucapan Sashi, jika memang benar demikian, itu berarti Angelica memang sengaja meninggalkan Sashi di sana. Langit hendak menghubungi Angelica, hingga mendengar suara pintu terbuka. Dia menoleh dan melihat Bintang keluar dari kamar. “Bin.” Langit langsung berdiri melihat Bintang. Bintang mengalihkan pandangan, lantas berjalan mengabaikan suaminya. Langit menghampiri Bintang, hendak mencegah istrinya yang ingin pergi. “Kamu mau ke mana?” tanya Langit sambil menahan tangan Bintang. “Aku butuh berpikir s
Sashi sejak Bintang pergi terus berada di ruang tamu. Langit sama sekali tidak memedulikannya, pria itu berada di kamar dan sama sekali tidak keluar.Pukul setengah dua malam, Sashi terbangun setelah tertidur di sofa sambil memeluk boneka kesayangan yang selalu menemaninya selama ini. Dia lapar karena sejak sore belum makan apa pun.Sashi membuka tasnya, hanya menemukan cokelat di sana dan memakannya. Tidak cukup membuat perutnya kenyang, Sashi mengeluarkan toples berisi susu bubuk yang biasa diminumnya. Dia berjalan ke dapur untuk membuat susu sendiri.Selama enam bulan terakhir ini, Sashi sering ditinggal Angelica sendirian di rumah. Dia sudah diajari mengambil makanan sendiri di meja juga membuat susu sendiri.“Tidak ada air panas,” gumam gadis kecil itu yang tidak menemukan teko air panas.Sashi tidak bisa menahan rasa laparnya. Dia mengambil ponsel untuk menghubungi sang mommy, tapi panggilannya terhubung dengan mesin penjawab pesan.“Mommy, Mommy di mana? Sashi tidak mau di sini
Bintang benar-benar tidak tega melihat Sashi menangis. Dia membenci kejadian yang menimpa dirinya, tapi tidak pernah membenci gadis kecil tanpa dosa itu.Bintang memeluk Sashi lagi, lantas mengusap lembut punggung gadis kecil itu.“Tidak apa, jangan menangis lagi.” Bintang mencoba menenangkan Sashi.Sashi masih menangis, meski sudah tidak sekencang tadi.Saat Bintang sedang memeluk gadis kecil itu. Langit ternyata keluar kamar dan memandang Bintang yang sedang memeluk gadis kecil itu. Hingga Bintang akhirnya melihat suaminya yang sedang menatap, tapi meski begitu Bintang memilih mengabaikan dengan memalingkan wajah dari pria itu.“Sekarang minum susu dulu, lalu tidur,” ucap Bintang sambil melepas pelukan.Sashi mengangguk, mengambil gelas di meja lantas meminum isinya sampai tandas.Bintang memperhatikan Sashi dengan ekspresi wajah datar karena ada Langit yang menatapnya. Pria itu sendiri masih berdiri di tempatnya sambil memperhatikan apa yang sedang dilakukan Bintang.“Sudah.” Sashi
Semalaman Langit memikirkan cara untuk menuruti permintaan Bintang. Dia merasa buntu, tidak bisa berpikir karena kecemasan berlebih akan semua ucapan yang dilontarkan Bintang.Hingga saat fajar menyapa, Langit masih terjaga dengan kantung mata yang menghitam sempurna. Hingga akhirnya dia mengingat satu nama yang diketahuinya dekat dengan Angelica.“Apa dia tahu soal Sashi? Apa jangan-jangan maksud ucapannya saat itu adalah ini.”Langit benar-benar bodoh jika harus memikirkan sesuatu yang menyangkut tentang Bintang. Dia buru-buru mengambil ponsel, lantas menghubungi Steven.“Halo. Jam berapa ini? Kenapa kamu menghubungiku di tengah malam?” Suara Steven terdengar parau dari seberang panggilan.“Stev, kamu tahu soal Angelica?” tanya Langit tidak peduli dengan amukan sahabatnya.Terdengar hening dari seberang panggilan, membuat Langit mengerutkan alis.“Dia sudah menemuimu?” tanya Steven setelah beberapa saat diam. Tampaknya dia sedang mengumpulkan kesadarannya, sehingga tidak langsung me
“Bin!” Annetha sangat terkejut dengan jawaban sang putri. Bahkan mengira jika putrinya hanya bercanda saja.Annetha sampai menatap Sashi, kemudian Bintang secara bergantian karena syok.“Bin, kamu jangan bercanda!” Annetha tentu saja tidak percaya mendengar ucapan Bintang.Bintang memijat kening, menunjukkan jika dia tidak bercanda sama sekali. Bahkan fakta ini membuatnya sangat lelah, energinya seolah dikuras hanya untuk mempertanyakan kenapa bisa seperti ini.“Bin.” Annetha sampai menarik lengan Bintang, agar putrinya itu mau bicara.“Dia memang anak Langit, Mi.” Bintang bicara sambil menatap serius ke sang mami.Anentha begitu syok mendengar ucapan Bintang. Dia sampai memegangi dada, berdiri seperti orang yang kebingungan, hingga menunjuk ke Sashi tapi tatapan ke Bintang.“Bin, ap-apa maksudnya?” Annetha masih tidak percaya jika Langit memiliki anak bahkan usianya kini sudah empat tahun.Bintang sudah menduga jika reaksi sang mami akan seperti ini. Dia menyadari jika orang tuanya p