“Bin!” Annetha sangat terkejut dengan jawaban sang putri. Bahkan mengira jika putrinya hanya bercanda saja.Annetha sampai menatap Sashi, kemudian Bintang secara bergantian karena syok.“Bin, kamu jangan bercanda!” Annetha tentu saja tidak percaya mendengar ucapan Bintang.Bintang memijat kening, menunjukkan jika dia tidak bercanda sama sekali. Bahkan fakta ini membuatnya sangat lelah, energinya seolah dikuras hanya untuk mempertanyakan kenapa bisa seperti ini.“Bin.” Annetha sampai menarik lengan Bintang, agar putrinya itu mau bicara.“Dia memang anak Langit, Mi.” Bintang bicara sambil menatap serius ke sang mami.Anentha begitu syok mendengar ucapan Bintang. Dia sampai memegangi dada, berdiri seperti orang yang kebingungan, hingga menunjuk ke Sashi tapi tatapan ke Bintang.“Bin, ap-apa maksudnya?” Annetha masih tidak percaya jika Langit memiliki anak bahkan usianya kini sudah empat tahun.Bintang sudah menduga jika reaksi sang mami akan seperti ini. Dia menyadari jika orang tuanya p
“El!”Joya syok mendengar apa yang baru saja dijelaskan oleh putranya. Bahkan kepalanya mendadak pening mengetahui putranya memiliki anak berusia 4 tahun.“Bagaimana bisa kamu ceroboh seperti itu?” Kenzo pun tak kalah syok, tapi dia mencoba tenang untuk mencerna masalah yang terjadi.Langit mengacak-acak rambutnya frustasi. Dia harus bicara kepada orang tuanya untuk mendapatkan solusi terbaik, serta agar orang tuanya tidak terkejut di kemudian hari.“Aku juga tidak sadar, Pi.” Langit menunduk penuh penyesalan.Joya gelagapan sampai bingung harus bagaimana. Bahkan duduk saja tidak bisa nyaman.“Lalu bagaimana dengan Bintang, hah! Kamu tahu kalau kehadiran anak itu pasti akan membuat Bintang menderita!” Joya memikirkan nasib menantunya yang sakit.Emosi Joya lebih meluap dari Annetha. Dia sudah tidak setuju Langit tinggal di Paris, kini ketakutannya terbukti.“Lalu aku harus bagaimana, Mi? Aku tahu dia juga menderita, tapi aku tidak bisa melakukan apa pun.” Langit frustasi karena Bintan
Bintang mengusap kelopak mata yang hampir basah karena ada bulir kristal bening yang hampir menetes dari sana. Dia kembali menatap Sashi yang terlihat bahagia saat berurusan dengan gambar.Hingga terdengar suara bel dari depan. Bintang menatap pintu, tidak mungkin Langit pulang tapi membunyikan bel. Dia pun berjalan ke arah pintu untuk melihat siapa yang datang.“Mimi.” Bintang terkejut melihat Joya berdiri di depan pintu. Dia melihat dari monitor yang terpasang di dekat pintu.Bintang pun membuka pintu, hingga melihat mertuanya itu menatap sendu kepadanya.“Mimi sendirian?” tanya Bintang saat berhadapan dengan Joya.Bukannya menjawab pertanyaan Bintang, Joya langsung memeluk Bintang.Bintang pun terkejut dengan yang dilakukan mertuanya itu, tapi membiarkan wanita itu memeluknya terlebih dahulu.“Kamu baik-baik saja ‘kan, Bin?” Joya memeluk sambil mengusap punggung Bintang.Joya datang ke sana karena mencemaskan Bintang. Dia sengaja ke sana sebelum Langit pulang.“Aku baik-baik saja,
Hari itu, Bintang, Langit, dan Sashi akhirnya berangkat ke Paris. Mereka sudah berada di bandara dan bersiap masuk ke pesawat.“Tukar kursimu denganku!” perintah Bintang sambil menahan Langit yang siap duduk.“Kenapa?” tanya Langit sambil menatap Bintang yang memasang ekspresi wajah datar.Sungguh didiamkan oleh sang istri selama beberapa hari ini membuat dadanya sesak. Dia lebih suka Bintang mengamuk atau memukulnya, daripada diam seperti itu.“Kamu tidak akan bisa mengurus Sashi.” Bintang menjawab sambil menarik lengan suaminya agar menyingkir dari kursi itu.Padahal kursi Bintang ada di samping kursi Langit, hanya terhalang jalan saja.Langit mengalah dan memilih duduk di kursi yang seharusnya milik Bintang. Dia duduk dan menatap sang istri yang baru saja duduk di samping Sashi.Sashi melirik Langit yang sedang memperhatikan Bintang, hingga gadis kecil itu menyembunyikan diri di balik tubuh Bintang.“Ada apa?” tanya Bintang sedikit menunduk menatap Sashi.“Daddy terus memperhatikan
“Apa maksudmu?” tanya Arlan yang begitu syok mendengar penjelasan istrinya.Annetha sudah menebak jika Arlan akan panik seperti ini. Dia sampai memberi isyarat agar Arlan tenang.“Ternyata Langit memiliki anak, Mas. Usianya sudah empat tahun, tapi tentunya Langit pun tidak tahu, sampai ibu dari anaknya meninggalkan anak itu di sini,” ujar Annetha menjelaskan dengan sangat cepat agar suaminya tidak memotong.Arlan terlihat gelagapan karena sesak napas, tentu saja dia sangat syok mendengar hal itu.Annetha buru-buru mengambil obat suaminya, meminta agar Arlan segera meminumnya. Dia tahu resiko yang didapat jika memberitahu masalah itu, tapi jika Arlan mendengar dari orang lain, bisa saja resikonya akan lebih besar.Arlan baru saja meminum obatnya. Dia mencoba mengatur napas yang begitu sesak karena mendengar fakta yang disampaikan istrinya.“Lalu bagaimana dengan Bintang? Dia tertekan? Apa dia sedih? Aku harus bicara dengan dia!” Arlan memikirkan kondisi putrinya, tidak ingin jika sang
Bintang gelagapan mendengar pertanyaan Langit, apalagi pria itu menatap penuh curiga kepadanya. Namun, meski begitu Bintang pun tidak akan dengan mudah mengaku.“Lalu suruh manggil apa? Dia rindu ibunya, sedangkan punya ayah tidak bertanggung jawab!” ketus Bintang, “aku membiarkannya memanggilku seperti itu karena terpaksa.”Langit ingin tidak percaya dengan ucapan Bintang, tapi istrinya itu bicara dengan sangat meyakinkan.“Kalau kamu punya hati, tidak mungkin tega mengabaikannya,” cibir Bintang.“Bukan tidak punya hati. Aku hanya mencoba menjaga hati yang seharusnya aku jaga dan utamakan,” balas Langit menolak tuduhan Bintang.Bintang terkejut mendengar ucapan Langit, bahkan menoleh Sashi yang duduk menatap mereka, lantas kembali memandang suaminya.“Sashi lapar, sana belikan makanan. Jika kamu tidak mau, aku yang akan pergi.” Bintang mengalihkan pembicaraan agar Langit tidak semakin membuat perasaannya kacau.“Biar aku belikan, kamu istirahatlah.” Langit memutar badan dan berjalan
Steven berangkat ke perusahaan seperti biasa. Dia berjalan di lobi, hingga resepsionis menghampirinya.“Pak, ada yang menunggu di ruangan Anda,” kata resepsionis.Steven mengerutkan alis mendengar perkataan resepsionis, hingga dia bertanya, “Siapa yang datang sepagi ini?”“Anda lihat saja sendiri,” jawab resepsionis.Steven mengerutkan alis, hingga kemudian memilih bergegas pergi ke ruang kerjanya untuk melihat siapa yang datang.Hingga saat baru saja membuka pintu, Steven terkejut melihat siapa yang sedang menunggunya. Namun, meski begitu berusaha untuk tenang, apalagi dia sudah memperkirakannya.“Aku tidak menyangka kalau kamu akan datang secepat ini,” ucap Steven sambil berjalan ke arah Langit.Langit, Bintang, dan Sashi datang ke perusahaan untuk menemui Steven di pagi hari, agar pria itu lebih muda didekati.Langit memberikan tatapan tajam ekspresi wajahnya menunjukkan rasa tidak senang dan kesal karena Steven selama ini merahasiakan fakta tentang Sashi darinya.Steven tahu jika
Angelica menatap nanar ke Bintang, hingga wanita itu menangis.Tentu saja Bintang sangat terkejut melihat Angelica menangis, tapi dia bingung harus bagaimana karena tidak mengenal wanita itu, juga dia masih tidak terima karena Angelica melahirkan anak dari suaminya.“Maaf, maaf jika apa yang aku lakukan sudah mengusik kebahagiaan kalian,” ucap Angelica dengan suara tergugu.Langit diam memperhatikan tanpa ekspresi, sedangkan Bintang tentu saja tidak bisa untuk tak merasa iba.“Kamu sakit apa?” tanya Bintang penasaran.Angelica menatap Bintang, lantas tersenyum seolah begitu lega karena Bintang mau menanyakan kondisinya.“Leukimia, stadium akhir,” jawab Angelica masih dengan seulas senyum, meski wajah basah karena air mata.Bintang tentu saja terkejut hingga menutup mulut. Langit masih menatap Angelica, dia pun tidak tahu harus bagaimana.“Jadi, kamu meninggalkan Sashi di tempatku, karena penyakitmu ini serta merasa umurmu tidak akan lama?” tanya Langit akhirnya membuka suara setelah b