Hari itu, Bintang, Langit, dan Sashi akhirnya berangkat ke Paris. Mereka sudah berada di bandara dan bersiap masuk ke pesawat.“Tukar kursimu denganku!” perintah Bintang sambil menahan Langit yang siap duduk.“Kenapa?” tanya Langit sambil menatap Bintang yang memasang ekspresi wajah datar.Sungguh didiamkan oleh sang istri selama beberapa hari ini membuat dadanya sesak. Dia lebih suka Bintang mengamuk atau memukulnya, daripada diam seperti itu.“Kamu tidak akan bisa mengurus Sashi.” Bintang menjawab sambil menarik lengan suaminya agar menyingkir dari kursi itu.Padahal kursi Bintang ada di samping kursi Langit, hanya terhalang jalan saja.Langit mengalah dan memilih duduk di kursi yang seharusnya milik Bintang. Dia duduk dan menatap sang istri yang baru saja duduk di samping Sashi.Sashi melirik Langit yang sedang memperhatikan Bintang, hingga gadis kecil itu menyembunyikan diri di balik tubuh Bintang.“Ada apa?” tanya Bintang sedikit menunduk menatap Sashi.“Daddy terus memperhatikan
“Apa maksudmu?” tanya Arlan yang begitu syok mendengar penjelasan istrinya.Annetha sudah menebak jika Arlan akan panik seperti ini. Dia sampai memberi isyarat agar Arlan tenang.“Ternyata Langit memiliki anak, Mas. Usianya sudah empat tahun, tapi tentunya Langit pun tidak tahu, sampai ibu dari anaknya meninggalkan anak itu di sini,” ujar Annetha menjelaskan dengan sangat cepat agar suaminya tidak memotong.Arlan terlihat gelagapan karena sesak napas, tentu saja dia sangat syok mendengar hal itu.Annetha buru-buru mengambil obat suaminya, meminta agar Arlan segera meminumnya. Dia tahu resiko yang didapat jika memberitahu masalah itu, tapi jika Arlan mendengar dari orang lain, bisa saja resikonya akan lebih besar.Arlan baru saja meminum obatnya. Dia mencoba mengatur napas yang begitu sesak karena mendengar fakta yang disampaikan istrinya.“Lalu bagaimana dengan Bintang? Dia tertekan? Apa dia sedih? Aku harus bicara dengan dia!” Arlan memikirkan kondisi putrinya, tidak ingin jika sang
Bintang gelagapan mendengar pertanyaan Langit, apalagi pria itu menatap penuh curiga kepadanya. Namun, meski begitu Bintang pun tidak akan dengan mudah mengaku.“Lalu suruh manggil apa? Dia rindu ibunya, sedangkan punya ayah tidak bertanggung jawab!” ketus Bintang, “aku membiarkannya memanggilku seperti itu karena terpaksa.”Langit ingin tidak percaya dengan ucapan Bintang, tapi istrinya itu bicara dengan sangat meyakinkan.“Kalau kamu punya hati, tidak mungkin tega mengabaikannya,” cibir Bintang.“Bukan tidak punya hati. Aku hanya mencoba menjaga hati yang seharusnya aku jaga dan utamakan,” balas Langit menolak tuduhan Bintang.Bintang terkejut mendengar ucapan Langit, bahkan menoleh Sashi yang duduk menatap mereka, lantas kembali memandang suaminya.“Sashi lapar, sana belikan makanan. Jika kamu tidak mau, aku yang akan pergi.” Bintang mengalihkan pembicaraan agar Langit tidak semakin membuat perasaannya kacau.“Biar aku belikan, kamu istirahatlah.” Langit memutar badan dan berjalan
Steven berangkat ke perusahaan seperti biasa. Dia berjalan di lobi, hingga resepsionis menghampirinya.“Pak, ada yang menunggu di ruangan Anda,” kata resepsionis.Steven mengerutkan alis mendengar perkataan resepsionis, hingga dia bertanya, “Siapa yang datang sepagi ini?”“Anda lihat saja sendiri,” jawab resepsionis.Steven mengerutkan alis, hingga kemudian memilih bergegas pergi ke ruang kerjanya untuk melihat siapa yang datang.Hingga saat baru saja membuka pintu, Steven terkejut melihat siapa yang sedang menunggunya. Namun, meski begitu berusaha untuk tenang, apalagi dia sudah memperkirakannya.“Aku tidak menyangka kalau kamu akan datang secepat ini,” ucap Steven sambil berjalan ke arah Langit.Langit, Bintang, dan Sashi datang ke perusahaan untuk menemui Steven di pagi hari, agar pria itu lebih muda didekati.Langit memberikan tatapan tajam ekspresi wajahnya menunjukkan rasa tidak senang dan kesal karena Steven selama ini merahasiakan fakta tentang Sashi darinya.Steven tahu jika
Angelica menatap nanar ke Bintang, hingga wanita itu menangis.Tentu saja Bintang sangat terkejut melihat Angelica menangis, tapi dia bingung harus bagaimana karena tidak mengenal wanita itu, juga dia masih tidak terima karena Angelica melahirkan anak dari suaminya.“Maaf, maaf jika apa yang aku lakukan sudah mengusik kebahagiaan kalian,” ucap Angelica dengan suara tergugu.Langit diam memperhatikan tanpa ekspresi, sedangkan Bintang tentu saja tidak bisa untuk tak merasa iba.“Kamu sakit apa?” tanya Bintang penasaran.Angelica menatap Bintang, lantas tersenyum seolah begitu lega karena Bintang mau menanyakan kondisinya.“Leukimia, stadium akhir,” jawab Angelica masih dengan seulas senyum, meski wajah basah karena air mata.Bintang tentu saja terkejut hingga menutup mulut. Langit masih menatap Angelica, dia pun tidak tahu harus bagaimana.“Jadi, kamu meninggalkan Sashi di tempatku, karena penyakitmu ini serta merasa umurmu tidak akan lama?” tanya Langit akhirnya membuka suara setelah b
“Andai kamu tidak menyembunyikan semua fakta ini, sekarang ini aku tidak mungkin menyakiti banyak orang.” Langit bicara seolah sudah putus asa.Dia tahu kesalahannya fatal, tapi yang paling membuatnya menderita karena banyak hati yang dikorbankan.“Salahkan dirimu sendiri yang terlalu gila mencintai wanita. Siapa yang menyakitimu, tapi siapa pula yang kamu sakiti. Meski kamu melakukannya tanpa perasaan, tapi tetap ada akibatnya, kan.” Steven to the point menyalahkan Langit.“Jika kamu diposisiku, apa kamu bisa menyakiti wanita yang kamu cintai? Meski aku banyak tidur dengan wanita, tapi aku tidak merusak. Mereka datang dalam kondisi sudah tidak utuh,” balas Langit yang tidak mau disalahkan karena Steven seolah ingin memojokkannya.Steven tidak bisa membalas ucapan Langit. Keduanya pun sejenak diam dan menatap Sashi yang sedang bermain di taman. Gadis kecil itu sedang bermain ayunan yang tersedia di taman rumah sakit.“Lupakan masa lalu. Aku memang salah karena menyembunykan semua itu,
“Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya Steven yang malam itu menemani Angelica. Dia memang setiap malam di sana, memastikan Angelica bisa tidur nyenyak serta memastikan wanita itu tidak perlu cemas jika terbangun tak ada siapapun yang menemani.“Buruk,” jawab Angelica dengan senyum getir di wajah pucatnya.Steven menggenggam telapak tangan Angelica begitu erat, merasakan kulit tangan wanita itu yang sangat dingin.“Kamu sudah jujur sekarang, seharusnya kamu merasa sedikit lega karena tidak terus menyimpan rahasia ini,” ujar Steven bicara dengan sangat lembut.“Aku memang jujur. Perasaanku memang tenang. Tapi aku memiliki beban baru, Stev. Aku merasa jadi benalu dengan membawa Sashi kepada mereka. Aku merasa jika sudah menghancurkan kebahagiaan mereka. Kamu tidak lihat tatapan Bintang, aku melihat kesedihan, Stev. Aku bersalah, aku merasa begitu jahat.”Angelica bicara sambil menitikkan air mata. Semua keputusan yang disangka terbaik, ternyata malah membawa masalah lain.“Angel. Apa ya
Langit duduk di bangku yang terdapat di taman apartemen. Untung saja di Paris sedang musim semi, sehingga udara tidak sedingin saat musim dingin.Dia menghela napas berulang kali, mencoba mengontrol emosi yang benar-benar menumpuk tapi tidak bisa diluapkan. Langit mendongak, melihat langit yang bertabur bintang. Dulu dia selalu takut menatap ke atas ketika malam, takut melihat bintang yang akan mengingatkannya pada gadis pujaan hati.“Saat aku bisa menjangkaumu, kenapa masih ada rasa takut yang menumpuk di hati?”Embusan angin menerpa begitu cepat, dinginnya begitu menusuk menembus kulit hingga ke tulang. Langit tidak berani masuk ke apartemen, takut jika keberadaannya di sana memicu pertengkaran yang akan membuat penyakit Bintang kambuh.Langit memejamkan mata. Hingga tangan merogoh ke saku celana saat terdengar suara ponselnya berdering. Dia menatap nama yang terpampang di sana, lantas menjawab panggilan itu.“Halo.” Langit menjawab dengan suara lesu. Hingga dia menegakkan badan.“A