“Apa maksudmu?” tanya Arlan yang begitu syok mendengar penjelasan istrinya.Annetha sudah menebak jika Arlan akan panik seperti ini. Dia sampai memberi isyarat agar Arlan tenang.“Ternyata Langit memiliki anak, Mas. Usianya sudah empat tahun, tapi tentunya Langit pun tidak tahu, sampai ibu dari anaknya meninggalkan anak itu di sini,” ujar Annetha menjelaskan dengan sangat cepat agar suaminya tidak memotong.Arlan terlihat gelagapan karena sesak napas, tentu saja dia sangat syok mendengar hal itu.Annetha buru-buru mengambil obat suaminya, meminta agar Arlan segera meminumnya. Dia tahu resiko yang didapat jika memberitahu masalah itu, tapi jika Arlan mendengar dari orang lain, bisa saja resikonya akan lebih besar.Arlan baru saja meminum obatnya. Dia mencoba mengatur napas yang begitu sesak karena mendengar fakta yang disampaikan istrinya.“Lalu bagaimana dengan Bintang? Dia tertekan? Apa dia sedih? Aku harus bicara dengan dia!” Arlan memikirkan kondisi putrinya, tidak ingin jika sang
Bintang gelagapan mendengar pertanyaan Langit, apalagi pria itu menatap penuh curiga kepadanya. Namun, meski begitu Bintang pun tidak akan dengan mudah mengaku.“Lalu suruh manggil apa? Dia rindu ibunya, sedangkan punya ayah tidak bertanggung jawab!” ketus Bintang, “aku membiarkannya memanggilku seperti itu karena terpaksa.”Langit ingin tidak percaya dengan ucapan Bintang, tapi istrinya itu bicara dengan sangat meyakinkan.“Kalau kamu punya hati, tidak mungkin tega mengabaikannya,” cibir Bintang.“Bukan tidak punya hati. Aku hanya mencoba menjaga hati yang seharusnya aku jaga dan utamakan,” balas Langit menolak tuduhan Bintang.Bintang terkejut mendengar ucapan Langit, bahkan menoleh Sashi yang duduk menatap mereka, lantas kembali memandang suaminya.“Sashi lapar, sana belikan makanan. Jika kamu tidak mau, aku yang akan pergi.” Bintang mengalihkan pembicaraan agar Langit tidak semakin membuat perasaannya kacau.“Biar aku belikan, kamu istirahatlah.” Langit memutar badan dan berjalan
Steven berangkat ke perusahaan seperti biasa. Dia berjalan di lobi, hingga resepsionis menghampirinya.“Pak, ada yang menunggu di ruangan Anda,” kata resepsionis.Steven mengerutkan alis mendengar perkataan resepsionis, hingga dia bertanya, “Siapa yang datang sepagi ini?”“Anda lihat saja sendiri,” jawab resepsionis.Steven mengerutkan alis, hingga kemudian memilih bergegas pergi ke ruang kerjanya untuk melihat siapa yang datang.Hingga saat baru saja membuka pintu, Steven terkejut melihat siapa yang sedang menunggunya. Namun, meski begitu berusaha untuk tenang, apalagi dia sudah memperkirakannya.“Aku tidak menyangka kalau kamu akan datang secepat ini,” ucap Steven sambil berjalan ke arah Langit.Langit, Bintang, dan Sashi datang ke perusahaan untuk menemui Steven di pagi hari, agar pria itu lebih muda didekati.Langit memberikan tatapan tajam ekspresi wajahnya menunjukkan rasa tidak senang dan kesal karena Steven selama ini merahasiakan fakta tentang Sashi darinya.Steven tahu jika
Angelica menatap nanar ke Bintang, hingga wanita itu menangis.Tentu saja Bintang sangat terkejut melihat Angelica menangis, tapi dia bingung harus bagaimana karena tidak mengenal wanita itu, juga dia masih tidak terima karena Angelica melahirkan anak dari suaminya.“Maaf, maaf jika apa yang aku lakukan sudah mengusik kebahagiaan kalian,” ucap Angelica dengan suara tergugu.Langit diam memperhatikan tanpa ekspresi, sedangkan Bintang tentu saja tidak bisa untuk tak merasa iba.“Kamu sakit apa?” tanya Bintang penasaran.Angelica menatap Bintang, lantas tersenyum seolah begitu lega karena Bintang mau menanyakan kondisinya.“Leukimia, stadium akhir,” jawab Angelica masih dengan seulas senyum, meski wajah basah karena air mata.Bintang tentu saja terkejut hingga menutup mulut. Langit masih menatap Angelica, dia pun tidak tahu harus bagaimana.“Jadi, kamu meninggalkan Sashi di tempatku, karena penyakitmu ini serta merasa umurmu tidak akan lama?” tanya Langit akhirnya membuka suara setelah b
“Andai kamu tidak menyembunyikan semua fakta ini, sekarang ini aku tidak mungkin menyakiti banyak orang.” Langit bicara seolah sudah putus asa.Dia tahu kesalahannya fatal, tapi yang paling membuatnya menderita karena banyak hati yang dikorbankan.“Salahkan dirimu sendiri yang terlalu gila mencintai wanita. Siapa yang menyakitimu, tapi siapa pula yang kamu sakiti. Meski kamu melakukannya tanpa perasaan, tapi tetap ada akibatnya, kan.” Steven to the point menyalahkan Langit.“Jika kamu diposisiku, apa kamu bisa menyakiti wanita yang kamu cintai? Meski aku banyak tidur dengan wanita, tapi aku tidak merusak. Mereka datang dalam kondisi sudah tidak utuh,” balas Langit yang tidak mau disalahkan karena Steven seolah ingin memojokkannya.Steven tidak bisa membalas ucapan Langit. Keduanya pun sejenak diam dan menatap Sashi yang sedang bermain di taman. Gadis kecil itu sedang bermain ayunan yang tersedia di taman rumah sakit.“Lupakan masa lalu. Aku memang salah karena menyembunykan semua itu,
“Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya Steven yang malam itu menemani Angelica. Dia memang setiap malam di sana, memastikan Angelica bisa tidur nyenyak serta memastikan wanita itu tidak perlu cemas jika terbangun tak ada siapapun yang menemani.“Buruk,” jawab Angelica dengan senyum getir di wajah pucatnya.Steven menggenggam telapak tangan Angelica begitu erat, merasakan kulit tangan wanita itu yang sangat dingin.“Kamu sudah jujur sekarang, seharusnya kamu merasa sedikit lega karena tidak terus menyimpan rahasia ini,” ujar Steven bicara dengan sangat lembut.“Aku memang jujur. Perasaanku memang tenang. Tapi aku memiliki beban baru, Stev. Aku merasa jadi benalu dengan membawa Sashi kepada mereka. Aku merasa jika sudah menghancurkan kebahagiaan mereka. Kamu tidak lihat tatapan Bintang, aku melihat kesedihan, Stev. Aku bersalah, aku merasa begitu jahat.”Angelica bicara sambil menitikkan air mata. Semua keputusan yang disangka terbaik, ternyata malah membawa masalah lain.“Angel. Apa ya
Langit duduk di bangku yang terdapat di taman apartemen. Untung saja di Paris sedang musim semi, sehingga udara tidak sedingin saat musim dingin.Dia menghela napas berulang kali, mencoba mengontrol emosi yang benar-benar menumpuk tapi tidak bisa diluapkan. Langit mendongak, melihat langit yang bertabur bintang. Dulu dia selalu takut menatap ke atas ketika malam, takut melihat bintang yang akan mengingatkannya pada gadis pujaan hati.“Saat aku bisa menjangkaumu, kenapa masih ada rasa takut yang menumpuk di hati?”Embusan angin menerpa begitu cepat, dinginnya begitu menusuk menembus kulit hingga ke tulang. Langit tidak berani masuk ke apartemen, takut jika keberadaannya di sana memicu pertengkaran yang akan membuat penyakit Bintang kambuh.Langit memejamkan mata. Hingga tangan merogoh ke saku celana saat terdengar suara ponselnya berdering. Dia menatap nama yang terpampang di sana, lantas menjawab panggilan itu.“Halo.” Langit menjawab dengan suara lesu. Hingga dia menegakkan badan.“A
Langit, Bintang, dan Sashi sampai di Indonesia saat sore hari. Baik Langit maupun Bintang tidak ada yang bicara sama sekali, mereka sama-sama diam dengan ego masing-masing.“Aku akan mengantarmu ke rumah Papi,” kata Langit saat mereka sudah sampai di bandara.“Tidak usah, aku bisa pulang sendiri.” Bintang mengambil kopernya, lantas berjalan meninggalkan Langit begitu saja.Langit diam menatap punggung Bintang, sedangkan Sashi masih menggandeng tangan Langit dengan ekspresi wajah bingung.“Daddy, apa Mommy tidak pulang sama kita?” tanya Sashi.Langit menoleh Sashi, lantas berlutut dan tersenyum sambil mengusap rambut Sashi.“Mommy ada urusan, nanti kalau sudah selesai dia akan pulang,” jawab Langit menjelaskan dengan perlahan.Sashi hanya mengangguk karena tidak paham, ikut Langit karena tidak tahu apa yang terjadi dengan para orang tua itu.Langit sampai di rumah Joya. Dia menggendong Sashi yang tertidur. Tentu saja kedatangan pria itu bersama Sashi membuat Joya dan Kenzo terkejut.“E
Langit dan yang lain hari itu menunggu cemas di depan ruang operasi. Hari ini Bintang menjalani operasi cesar sesuai dengan yang dijadwalkan dokter, setelah melakukan beberapa tes dan memastikan kondisi Bintang siap untuk melahirkan. “Duduklah, El. Operasinya pasti berjalan lancar,” kata Joya yang pusing melihat putranya mondar-mandir tidak jelas sejak tadi. Annetha, Arlan, Kenzo, juga Sashi juga menatap Langit yang tidak bisa tenang. “Mana bisa tenang, Mi.” Langit sangat mengkhawatirkan kondisi Bintang. Meski Bintang dalam kondisi sehat, tapi tetap saja Langit cemas. Joya membuang napas kasar, berdiri lantas menarik tangan Langit dan mengajaknya duduk bersaam. “Yang perlu kita lakukan sekarang itu doa, El. Bukan mondar-mandir yang bikin pusing!” sembur Joya sambil menahan Langit agar tidak mondar-mandir lagi. Langit menatap Joya sendu, kecemasan terlihat jelas dari tatapan mata pria itu. “Kita banyak doa saja, El. Semoga semuanya lancar. Kamu dengar sendiri kata dokter, selama
“Benarkah? Ya Tuhan, mami benar-benar bersyukur dan bahagia.”Annetha langsung memeluk Bintang mengetahui jika putrinya hamil. Dulu memang takut, tapi Annetha pun memilih pasrah seperti putrinya, agar mendapatkan jalan yang terbaik.Bintang dan Langit pergi ke rumah Annetha setelah dokter mengizinkan Bintang pulang, setelah memastikan kondisi Bintang membaik. Keduanya sengaja datang ke sana karena ingin menyampaikan kabar kehamilan Bintang, meski Bintang sendiri tidak yakin jika sang papi akan menerimanya. Namun, yang jelas Bintang tidak ingin kejadian dulu terulang.“Mami tidak marah?” tanya Bintang dengan ekspresi takut di wajah pucatnya.Annetha melepas pelukan, lantas menatap Bintang sambil menangkup kedua pipi putrinya itu.“Tentu saja tidak, kenapa mami harus marah? Mami malah sangat bahagia akhirnya keinginanmu terkabul,” ucap Annetha penuh rasa syukur.Sashi berada di pangkuan Langit, mendengarkan percakapan antara orang tua, apalagi Bintang menangis dalam pelukan Annetha.“Mo
Sashi duduk di bangku depan gedung sekolah, menunggu Bintang yang tidak kunjung datang. “Apa Mommy lupa?” Sashi menghela napas kasar sampai kedua pundak naik-turun. Guru Sashi sudah menghubungi Bintang, tapi tidak ada jawaban karena tas Bintang tertinggal di klinik beserta ponselnya, membuat Sashi akhirnya menunggu karena yakin jika Bintang akan menjemputnya. Sashi masih setia di sana. Duduk sambil mengayunkan kedua kaki maju mundur. Hingga seorang anak laki-laki menghampirinya. “Kamu belum dijemput?” Sashi mendongak, menatap anak laki-laki kakak kelasnya yang duduk di kelas enam. “Iya, Mommy belum jemput,” jawab Sashi masih memandang anak laki-laki itu. Anak laki-laki itu mengedarkan pandangan, kemudian ikut duduk di samping Sashi. “Mamaku juga belum jemput, sepertinya jemput kedua adikku yang les lebih dulu,” ucap anak laki-laki itu sambil mengedarkan pandangannya. Sashi mengangguk-angguk mendengar ucapan anak laki-laki itu, tidak buruk duduk bersama menunggu jemputan masing
Langit berlarian menuju ke klinik untuk melihat kondisi Bintang, sesampainya di klinik melihat Bintang yang terbaring dengan wajah pucat dan lemas meski sudah sadar.“Bin.” Langit mendekat dan langsung membelai wajah istrinya itu.“Bagaimana kondisinya?” tanya Langit ke dokter jaga di klinik karena Bintang terlihat masih meringis menahan sakit.“Tekanan darahnya sangat rendah, kemungkinan kelelahan. Tapi untuk mengetahui kondisi pasti penyebabnya, mungkin bisa dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan pemeriksaan lepngkap, Pak.” Dokter klinik hanya mengecek kondisi Bintang berdasarkan keluhan saja.Langit tidak banyak bicara. Dia pun meraup tubuh Bintang ke gendongan dan membawa keluar dari klinik. Kondisi Bintang yang tidak biasa, tentu saja membuat Langit cemas. Dia harus membawa Bintang ke rumah sakit untuk pemeriksaan menyeluruh.“El, ada apa?” Joya dan Kenzo yang kebetulan baru saja keluar lift di lobi, terkejut melihat Langit menggendong Bintang.“Kondisi Bintang buruk, Mi. Aku mau
Dua tahun kemudian. “Mommy! Daddy! Sashi telat sekolah!” Suara melengking dari luar kamar terdengar sampai dalam. Bintang dan Langit yang masih tidur pulas pun terkejut karena suara Sashi juga ketukan pintu beberapa kali. Bintang terduduk dengan mata masih tertutup. Dia pun mengucek mata, mencoba membuka kelopak mata lebar agar bisa melihat jarum jam di dinding. “Ya Tuhan!” Bintang sangat terkejut karena waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi. “El, bangun! Kita kesiangan!” Bintang memukul lengan suaminya, meminta agar Langit segera bangun. Biasanya jam segini Bintang sudah bangun memasak dan menyiapkan perlengkapan sekolah Sashi, tapi pagi ini dia malah kesiangan bangun. Ini semua gara-gara suaminya yang mengajak begadang semalaman. Meminta jatah tidak ada habisnya, membuat Bintang kelelahan luar biasa, lantas terbangun kesiangan. “Bentar, Bin. Lima menit lagi.” Langit malah menarik selimut masih sambil memejamkan mata. Enggan bangun karena masih sangat mengantuk. “El, Sashi
Bintang melipat kedua tangan di depan dada, menatap suaminya yang baru saja selesai menjalani operasi kecil dan menatap dengan ekspresi wajah kesal. Langit melirik Aldo, dalam tatapan matanya seolah ingin melempar kalimat ‘Aku akan memotong gajimu, lihat saja dasar pengkhianat!’, sungguh Langit tidak menyangka saat keluar dari ruang operasi langsung melihat Bintang. “Tidak usah melirik Aldo, urusanmu denganku, El!” Bintang tahu ke mana arah pandangan suaminya, hingga langsung menegur pria itu. Langit menatap Bintang, terlihat bersalah dan takut melihat tatapan istrinya itu. “Keluarlah, Al. Tenang saja, aku yang akan menjamin karirmu,” ucap Bintang memberikan jaminan ke sekretaris suaminya, sebab dia memaksa Aldo untuk bicara jujur. “Baik, Bu.” Aldo pun secepat kilat kabur dari ruangan itu, tidak ingin terlibat masalah antar suami-istri yang sudah menciptakan ketegangan sejak beberapa menit lalu. Langit benar-benar tak berkutik, diam karena merasa salah. Dia melihat Bintang menar
“Saya masih tidak habis pikir dengan Anda, Pak.”Aldo menatap Langit dengan rasa heran. Otak cerdasnya mendadak tidak bisa menangkap maksud dari apa yang sedang dilakukan bosnya.“Kamu tidak perlu berpikir apa pun,” balas Langit santai.Aldo ingin membalas ucapan Langit, tapi atasannya kembali bicara.“Pokoknya kalau istriku menghubungi, jangan dijawab!” titah Langit yang memang baru saja berganti pakaian.Tepat saat mengatakan itu, ponsel Langit yang dibawa Aldo bergetar karena memang dibuat mode silent, hanya bergetar saat ada panggilan atau pesan.Aldo melirik dan melihat nama Bintang terpampang di layar. Langit tidak menyadari kalau ponselnya berdering. Dia sedang mengikat tali baju khusus yang diberikan perawat, sebelum perawat memasang infus.“Bagaimana kalau terus menghubungi?” tanya Aldo sambil menggeser tombol hijau di ponsel Langit. Dia memegang ponsel Langit di samping tubuh, posisi layar menghadap ke belakang, sehingga Langit tidak menyadari jika ada panggilan masuk.“Ya,
Sudah dua minggu semenjak Bintang berbaikan dengan Arlan. Bahkan Bintang sekarang sering mengajak Sashi ke rumah orang tuanya atas permintaan Annetha.Seperti hari itu. Bintang pergi ke rumah Arlan sebab sang papi bilang sedang ambil cuti karena kondisinya yang kurang sehat, sehingga Bintang tanpa pikir panjang memilih langsung datang untuk melihat kondisi Arlan.“Sudah diperiksa dan minum obat?” tanya Bintang begitu bertemu dengan Arlan yang sedang duduk di ruang keluarga bersama Annetha.Annetha dan Arlan pun terkejut karena Bintang tampak begitu panik.“Papi tidak kenapa-napa, hanya kecapean hingga membuat kondisi tubuh papi sedikit drop,” jawab Arlan sambil mengulas senyum.Tatapan pria itu tertuju ke Sashi yang berdiri di samping Bintang, lantas mengulurkan tangan sebagai isyarat agar gadis kecil itu mendekat.“Opa punya hadiah untukmu,” kata Arlan yang kemudian berdiri.Sashi mendongak menoleh Bintang, sedangkan Bintang langsung mengangguk melihat Sashi yang seolah meminta perse
Langit menarik napas dalam-dalam, lantas mengembuskan perlahan tanpa suara. Dia duduk sambil meremas kedua lutut, sedikit menunduk menurunkan pandangan agar tidak dikira sedang menantang.Arlan sendiri menatap Langit, mengajak pria itu bicara di ruang kerja tapi sudah duduk selama hampir lima belas menit belum berkata sepatah kata pun. Tatapan matanya pun membuat lawan bicaranya hanya diam menunduk.Arlan menghela napas kasar, hingga kemudian akhirnya bicara.“Aku memang memberi restu lagi, tapi bukan berarti akan menerima atau melupakan kejadian sebelumnya dengan mudah. Apa yang aku lakukan semata-mata hanya untuk Bintang. Bagiku dia yang akan jadi prioritas utamaku, memang aku ingin memisahkan kalian, tapi karena itu akan menyakiti hati putriku, membuatku memilih mengalah dengan keputusannya.”Arlan bicara dengan suara yang tidak terlalu lantang, tapi terkesan begitu menekan.Langit sendiri tidak membalas ucapan Arlan, hanya mengangkat wajah dan menatap pria itu yang sedang bicara a