Sashi sejak Bintang pergi terus berada di ruang tamu. Langit sama sekali tidak memedulikannya, pria itu berada di kamar dan sama sekali tidak keluar.Pukul setengah dua malam, Sashi terbangun setelah tertidur di sofa sambil memeluk boneka kesayangan yang selalu menemaninya selama ini. Dia lapar karena sejak sore belum makan apa pun.Sashi membuka tasnya, hanya menemukan cokelat di sana dan memakannya. Tidak cukup membuat perutnya kenyang, Sashi mengeluarkan toples berisi susu bubuk yang biasa diminumnya. Dia berjalan ke dapur untuk membuat susu sendiri.Selama enam bulan terakhir ini, Sashi sering ditinggal Angelica sendirian di rumah. Dia sudah diajari mengambil makanan sendiri di meja juga membuat susu sendiri.“Tidak ada air panas,” gumam gadis kecil itu yang tidak menemukan teko air panas.Sashi tidak bisa menahan rasa laparnya. Dia mengambil ponsel untuk menghubungi sang mommy, tapi panggilannya terhubung dengan mesin penjawab pesan.“Mommy, Mommy di mana? Sashi tidak mau di sini
Bintang benar-benar tidak tega melihat Sashi menangis. Dia membenci kejadian yang menimpa dirinya, tapi tidak pernah membenci gadis kecil tanpa dosa itu.Bintang memeluk Sashi lagi, lantas mengusap lembut punggung gadis kecil itu.“Tidak apa, jangan menangis lagi.” Bintang mencoba menenangkan Sashi.Sashi masih menangis, meski sudah tidak sekencang tadi.Saat Bintang sedang memeluk gadis kecil itu. Langit ternyata keluar kamar dan memandang Bintang yang sedang memeluk gadis kecil itu. Hingga Bintang akhirnya melihat suaminya yang sedang menatap, tapi meski begitu Bintang memilih mengabaikan dengan memalingkan wajah dari pria itu.“Sekarang minum susu dulu, lalu tidur,” ucap Bintang sambil melepas pelukan.Sashi mengangguk, mengambil gelas di meja lantas meminum isinya sampai tandas.Bintang memperhatikan Sashi dengan ekspresi wajah datar karena ada Langit yang menatapnya. Pria itu sendiri masih berdiri di tempatnya sambil memperhatikan apa yang sedang dilakukan Bintang.“Sudah.” Sashi
Semalaman Langit memikirkan cara untuk menuruti permintaan Bintang. Dia merasa buntu, tidak bisa berpikir karena kecemasan berlebih akan semua ucapan yang dilontarkan Bintang.Hingga saat fajar menyapa, Langit masih terjaga dengan kantung mata yang menghitam sempurna. Hingga akhirnya dia mengingat satu nama yang diketahuinya dekat dengan Angelica.“Apa dia tahu soal Sashi? Apa jangan-jangan maksud ucapannya saat itu adalah ini.”Langit benar-benar bodoh jika harus memikirkan sesuatu yang menyangkut tentang Bintang. Dia buru-buru mengambil ponsel, lantas menghubungi Steven.“Halo. Jam berapa ini? Kenapa kamu menghubungiku di tengah malam?” Suara Steven terdengar parau dari seberang panggilan.“Stev, kamu tahu soal Angelica?” tanya Langit tidak peduli dengan amukan sahabatnya.Terdengar hening dari seberang panggilan, membuat Langit mengerutkan alis.“Dia sudah menemuimu?” tanya Steven setelah beberapa saat diam. Tampaknya dia sedang mengumpulkan kesadarannya, sehingga tidak langsung me
“Bin!” Annetha sangat terkejut dengan jawaban sang putri. Bahkan mengira jika putrinya hanya bercanda saja.Annetha sampai menatap Sashi, kemudian Bintang secara bergantian karena syok.“Bin, kamu jangan bercanda!” Annetha tentu saja tidak percaya mendengar ucapan Bintang.Bintang memijat kening, menunjukkan jika dia tidak bercanda sama sekali. Bahkan fakta ini membuatnya sangat lelah, energinya seolah dikuras hanya untuk mempertanyakan kenapa bisa seperti ini.“Bin.” Annetha sampai menarik lengan Bintang, agar putrinya itu mau bicara.“Dia memang anak Langit, Mi.” Bintang bicara sambil menatap serius ke sang mami.Anentha begitu syok mendengar ucapan Bintang. Dia sampai memegangi dada, berdiri seperti orang yang kebingungan, hingga menunjuk ke Sashi tapi tatapan ke Bintang.“Bin, ap-apa maksudnya?” Annetha masih tidak percaya jika Langit memiliki anak bahkan usianya kini sudah empat tahun.Bintang sudah menduga jika reaksi sang mami akan seperti ini. Dia menyadari jika orang tuanya p
“El!”Joya syok mendengar apa yang baru saja dijelaskan oleh putranya. Bahkan kepalanya mendadak pening mengetahui putranya memiliki anak berusia 4 tahun.“Bagaimana bisa kamu ceroboh seperti itu?” Kenzo pun tak kalah syok, tapi dia mencoba tenang untuk mencerna masalah yang terjadi.Langit mengacak-acak rambutnya frustasi. Dia harus bicara kepada orang tuanya untuk mendapatkan solusi terbaik, serta agar orang tuanya tidak terkejut di kemudian hari.“Aku juga tidak sadar, Pi.” Langit menunduk penuh penyesalan.Joya gelagapan sampai bingung harus bagaimana. Bahkan duduk saja tidak bisa nyaman.“Lalu bagaimana dengan Bintang, hah! Kamu tahu kalau kehadiran anak itu pasti akan membuat Bintang menderita!” Joya memikirkan nasib menantunya yang sakit.Emosi Joya lebih meluap dari Annetha. Dia sudah tidak setuju Langit tinggal di Paris, kini ketakutannya terbukti.“Lalu aku harus bagaimana, Mi? Aku tahu dia juga menderita, tapi aku tidak bisa melakukan apa pun.” Langit frustasi karena Bintan
Bintang mengusap kelopak mata yang hampir basah karena ada bulir kristal bening yang hampir menetes dari sana. Dia kembali menatap Sashi yang terlihat bahagia saat berurusan dengan gambar.Hingga terdengar suara bel dari depan. Bintang menatap pintu, tidak mungkin Langit pulang tapi membunyikan bel. Dia pun berjalan ke arah pintu untuk melihat siapa yang datang.“Mimi.” Bintang terkejut melihat Joya berdiri di depan pintu. Dia melihat dari monitor yang terpasang di dekat pintu.Bintang pun membuka pintu, hingga melihat mertuanya itu menatap sendu kepadanya.“Mimi sendirian?” tanya Bintang saat berhadapan dengan Joya.Bukannya menjawab pertanyaan Bintang, Joya langsung memeluk Bintang.Bintang pun terkejut dengan yang dilakukan mertuanya itu, tapi membiarkan wanita itu memeluknya terlebih dahulu.“Kamu baik-baik saja ‘kan, Bin?” Joya memeluk sambil mengusap punggung Bintang.Joya datang ke sana karena mencemaskan Bintang. Dia sengaja ke sana sebelum Langit pulang.“Aku baik-baik saja,
Hari itu, Bintang, Langit, dan Sashi akhirnya berangkat ke Paris. Mereka sudah berada di bandara dan bersiap masuk ke pesawat.“Tukar kursimu denganku!” perintah Bintang sambil menahan Langit yang siap duduk.“Kenapa?” tanya Langit sambil menatap Bintang yang memasang ekspresi wajah datar.Sungguh didiamkan oleh sang istri selama beberapa hari ini membuat dadanya sesak. Dia lebih suka Bintang mengamuk atau memukulnya, daripada diam seperti itu.“Kamu tidak akan bisa mengurus Sashi.” Bintang menjawab sambil menarik lengan suaminya agar menyingkir dari kursi itu.Padahal kursi Bintang ada di samping kursi Langit, hanya terhalang jalan saja.Langit mengalah dan memilih duduk di kursi yang seharusnya milik Bintang. Dia duduk dan menatap sang istri yang baru saja duduk di samping Sashi.Sashi melirik Langit yang sedang memperhatikan Bintang, hingga gadis kecil itu menyembunyikan diri di balik tubuh Bintang.“Ada apa?” tanya Bintang sedikit menunduk menatap Sashi.“Daddy terus memperhatikan
“Apa maksudmu?” tanya Arlan yang begitu syok mendengar penjelasan istrinya.Annetha sudah menebak jika Arlan akan panik seperti ini. Dia sampai memberi isyarat agar Arlan tenang.“Ternyata Langit memiliki anak, Mas. Usianya sudah empat tahun, tapi tentunya Langit pun tidak tahu, sampai ibu dari anaknya meninggalkan anak itu di sini,” ujar Annetha menjelaskan dengan sangat cepat agar suaminya tidak memotong.Arlan terlihat gelagapan karena sesak napas, tentu saja dia sangat syok mendengar hal itu.Annetha buru-buru mengambil obat suaminya, meminta agar Arlan segera meminumnya. Dia tahu resiko yang didapat jika memberitahu masalah itu, tapi jika Arlan mendengar dari orang lain, bisa saja resikonya akan lebih besar.Arlan baru saja meminum obatnya. Dia mencoba mengatur napas yang begitu sesak karena mendengar fakta yang disampaikan istrinya.“Lalu bagaimana dengan Bintang? Dia tertekan? Apa dia sedih? Aku harus bicara dengan dia!” Arlan memikirkan kondisi putrinya, tidak ingin jika sang