“Bin, aku sedang dalam perjalanan pulang. Kamu mau titip sesuatu?”Suara Langit terdengar dari seberang panggilan. Bintang mengapit ponsel dengan telinga dan pundak, kedua tangan sedang sibuk mengeluarkan kue dari oven. Semenjak di rumah dan tidak bekerja, Bintang lebih suka menghabiskan waktu belajar memasak agar bisa membuatkan makanan yang bervariasi untuk suaminya.“Tidak usah, pulanglah segera, aku sudah memasak beberapa menu masakan,” jawab Bintang.Dua bulan berlalu semenjak Steven berkunjung ke apartemen. Ucapan pria itu yang aneh sebelum pergi, dianggap sebagai keisengan saja. Apalagi Langit berkata jika Steven memang suka bercanda.“Baiklah, aku akan segera sampai di apartemen,” ucap Langit dari seberang panggilan.Bintang mengakhiri panggilan. Dia meletakkan loyang berisi kue yang masih panas di atas meja pantry. Sore itu Bintang begitu bersemangat menyiapkan makanan untuk makan malam. Rumah tangganya dengan Langit beberapa bulan ini terasa manis, setelah semua masalah yang
Bintang bangun dari posisi duduk, lantas berdiri berhadapan dengan Langit.Langit menatap Bintang, menunggu istrinya memberikan hadiah yang dijanjikan.“Mana hadiahku?” tanya Langit karena penasaran.Bukannya menjawab pertanyaan Langit, Bintang malah mengalungkan kedua lengan ke leher suaminya. Dia menahan senyum, menatap Langit penuh arti.“Apa, hm?” tanya Langit sambil merengkuh pinggang istrinya.“Hadiahnya aku,” jawab Bintang kemudian menyentuhkan bibir mereka.Langit terkejut mendengar apa yang diucapkan Bintang, tapi memilih membalas pagutan bibir istrinya itu. Keduanya saling melumat, sebelum akhirnya melepas dan saling tatap.“Sudah selesai?” tanya Langit memastikan.Selama dua bulan ini Langit menahan diri karena kondisi Bintang pasca kuret yang memang tidak boleh berhubungan intim. Sabar berpuasa untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.“Ya, sudah bersih. Aku sudah memastikannya sejak tiga hari lalu,” jawab Bintang dengan senyum penuh bahagia, tidak sabar ingin melay
“Ada masalah genting seperti ini, kenapa malah telepon aku?” Bintang terlihat bingung sampai tidak tahu harus bangun atau apa. Langit ikut bingung melihat Bintang panik. “Aku bingung harus bagaimana. Cepat kamu ke sini!” Suara Anta terdengar dari seberang panggilan. “El, cepat pakai pakaianmu!” perintah Bintang sambil turun. Bukannya membalas ucapan Anta, Bintang malah bicara dengan suaminya. “Ada apa, Bin?” tanya Langit kebingungan. “Anta mau melahirkan,” jawab Bintang sambil panik mencari alas kakinya. Dia mau ke lemari mengambil pakaian karena saat ini Bintang hanya memakai lingerie. “Hah! Bagaimana ceritanya Anta mau melahirkan?” Langit terkejut bukan main mendengar jawaban istrinya yang panik. Bintang mendesis pelan sambil menepuk jidat karena salah bicara, hingga kemudian menjelaskan. “Laras mau lahiran, ketubannya pecah, tapi si bodoh ini malah panik tidak buru-buru membawa istrinya ke rumah sakit.” Bintang mengomel masih dengan panggilan yang terhubung. Langit bergega
“Bin, kamu tidak ingin menggendong bayi kami?” tanya Laras karena sejak tadi Bintang hanya diam memandang.Laras sudah dipindah ke ruang inap karena melahirkan normal. Keluarga pun sudah dikabari dan kini hanya tinggal menunggu datang ke sana.Bintang terkejut mendengar pertanyaan Laras. Dia menatap sahabatnya yang sedang menggendong bayi sambil memandangnya.Bintang sampai menoleh Langit seolah meminta persetujuan dari suaminya itu.Langit tentu saja mengangguk mengizinkan. Dia juga berpikir jika istrinya pun pasti ingin menggendong bayi.Bintang mendekat, mengulurkan tangan untuk mengambil alih bayi Laras ke dalam gendongannya. Bayi dengan berat dua koma tujuh kilo itu sangat tampan dan menggemaskan.Bintang menatap lekat bayi itu saat sudah ada di dalam gendongan, seolah tersihir dengan ketampanan bayi menggemaskan itu.“Kalian akan beri nama dia siapa?” tanya Bintang sambil menimang bayi Anta dan Laras.Anta dan Laras saling tatap, hingga Anta menjawab pertanyaan Bintang.“Bumi An
Bintang pergi ke toko perlengkapan bayi sebelum ke rumah sakit. Menjadi seorang ibu, meski bukan kandung, membuat Bintang sangat senang dan bahagia. Dia membeli beberapa perlengkapan bayi, seperti pakaian, popok, bahkan sepatu mungil entah kapan bisa dipakai. “Totalnya satu juta dua ratus tiga puluh dua ribu.” Kasir baru saja menghitung semua belanjaan Bintang. Bintang mengeluarkan kartu debitnya, tentu saja menggunakan uangnya sendiri, bukan uang suaminya. Kasir menggesek kartu di alat pembayaran lantas Bintang memasukkan pin. Hingga saat sedang menunggu proses pembayaran selesai, Bintang merasa jika ada yang sedang memperhatikan dirinya. Dia menoleh ke belakang, tapi tidak ada siapapun di sana. Saat menoleh ke luar toko, juga tidak ada siapapun. “Sepertinya hanya perasaanku saja,” gumam Bintang sambil mengusap tengkuk. “Kartu Anda, terima kasih sudah berbelanja di sini,” kata kasir sambil memberikan kartu milik Bintang. Bintang mengambil kembali kartunya, kemudian membawa bara
“Bin, katakan sesuatu!” Langit panik karena Bintang tidak bicara. Dia sampai menekan tombol agar pintu lift segera terbuka.“Ya, El. Aku di sini. Aku akan menghubungimu nanti,” ucap Bintang dari seberang panggilan, lantas mengakhiri panggilan itu.Langit begitu terkejut panggilan itu terputus, tepat saat pintu lift terbuka. Dia pun buru-buru masuk dan menekan tombol agar lift turun ke basemen.Dia benar-benar panik, lantas kembali membaca pesan yang diterimanya.[El, aku Angelica, mungkin kamu lupa denganku tapi aku tidak lupa denganmu. Mendengar suaramu, aku yakin jika itu benar kamu. Namun, aku tidak memiliki keberanian untuk membuka suaraku. Aku memiliki sesuatu yang harus aku berikan kepadamu, kuharap kamu bisa menerimanya, El. Karena aku tidak tahu lagi harus memberikannya kepada siapa. Istrimu sangat cantik, kalian pun tampak bahagia. Semoga istrimu tidak terganggu dengan pemberianku.]Langit mencoba menghubungi nomor yang menghubunginya, tapi nomor itu sudah tidak aktif.“Sial!
Langit mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi. Tidak memedulikan keselamatannya karena yang dipikirkan sekarang adalah Bintang.Langit menghubungi Anta yang berkata Bintang sudah pulang, membuatnya berpikir untuk langsung ke apartemen. Dia keluar dari mobil terburu-buru saat sudah sampai basemen, lantas naik ke lantai tempat unit apartemennya berada.Saat baru saja keluar dari lift, Langit melihat koper berwarna merah muda di depan unit apartemennya. Dia pun bergegas masuk, hingga melihat Bintang yang tampak kesakitan sambil meremas dada, juga ada anak kecil menatap istrinya.Bintang benar-benar syok, lantas berdiri untuk pergi ke kamar mengambil obatnya.“Bin.” Langit mengejar Bintang yang masuk kamar, sejenak berhenti melangkah menoleh gadis kecil yang ada di sana, lantas kembali mengejar Bintang.Bintang mencari obatnya di tas dengan panik, bahkan tanpa sengaja menjatuhkan beberapa butir obat karena tangannya gemetar. Dia meminum obatnya tanpa air untuk segera meredakan gejala
“Hubungi ibumu, minta dia ke sini!” Langit tidak ingin hubungannya dengan Bintang renggang karena kedatangan Sashi. “Kenapa tidak Daddy saja yang menghubungi?” tanya Sashi sambil menatap Langit. Langit sangat terkejut mendengar ucapan Sashi, kenapa gadis kecil berumur empat tahun itu sangat pandai bicara. “Nomor ibumu tidak aktif,” jawab Langit yang benar-benar pusing menghadapi masalah yang terjadi. “Berarti sama, mungkin Mommy di pesawat,” ujar Sashi. Langit terkejut mendengar ucapan Sashi, jika memang benar demikian, itu berarti Angelica memang sengaja meninggalkan Sashi di sana. Langit hendak menghubungi Angelica, hingga mendengar suara pintu terbuka. Dia menoleh dan melihat Bintang keluar dari kamar. “Bin.” Langit langsung berdiri melihat Bintang. Bintang mengalihkan pandangan, lantas berjalan mengabaikan suaminya. Langit menghampiri Bintang, hendak mencegah istrinya yang ingin pergi. “Kamu mau ke mana?” tanya Langit sambil menahan tangan Bintang. “Aku butuh berpikir s