Laras sedang menunggu resepsionis menghubungi Bintang. Kini dia berdiri di depan meja resepsionis sambil menatap petugas di sana menghubungi Bintang.“Bagaimana?” tanya Laras ketika resepsionis kembali datang dan tersenyum kepadanya.“Bu Bintang akan segera turun menemui Anda. Anda bisa menunggu di ruangan sebelah sana.” Resepsionis menunjuk ke ruang tunggu dengan sopan.Laras menoleh ke ruang tunggu, lantas mengucapkan terima kasih dan berjalan menuju ke ruangan itu.Bintang keluar dari ruangannya dengan perasaan cemas, takut, juga penasaran. Delapan tahun lalu mereka sama-sama berpikiran labil dan saling mementingkan ego, apakah mungkin kejadian delapan tahun lalu akan terulang lagi, mengingat Laras dekat dengan Langit terlebih dahulu ketimbang dirinya.Namun, Bintang pun mencoba menepis pikiran itu. Meski Laras akan kembali bersikap egois, dia akan menghadapinya dan tidak akan lari seperti delapan tahun lalu.Begitu keluar dari lift, Bintang pun berjalan menuju ke bagian resepsioni
Langit memarkirkan mobil tepat di halaman kafe milik Anta. Dia lantas buru-buru keluar dan berjalan memutar mobil, sebelum kemudian membuka pintu sebelah samping kemudi sebelum terbuka, agar Bintang bisa turun.Bintang terkejut melihat apa yang dilakukan Langit, pria itu sungguh perhatian hingga mau turun dari mobil pun Langit yang membukakan untuknya.“Terima kasih,” ucap Bintang sambil melangkahkan kaki keluar dari mobil.“Terima kasih kembali.” Langit dengan sigap meraih tangan Bintang agar berpegangan padanya, membuat Bintang tertawa kecil karena tingkah Langit yang seolah sedang datang ke sebuah pesta, hingga menyambutnya dengan tindakan formal.“Ayo.” Langit menautkan jemari mereka, begitu Bintang sudah turun.Bintang mengangguk dan membiarkan Langit menggandeng tangannya, keduanya berjalan masuk kafe dan melihat Anta yang sedang membantu membersihkan meja. Sungguh kakak sepupu Bintang itu memang seorang bos yang sangat baik karena mau membantu pekerjaan anak buahnya.Anta menol
Pintu mobil terbuka, Laras pun bersiap turun setelah Anta mengantarnya sampai di depan rumah kontrakannya.“Terima kasih karena sudah mengantarku,” ucap Laras sambil menatap Anta, sebelum kemudian melangkahkan kaki turun dari mobil.Sikap Anta masih terasa begitu dingin, sehingga membuat Laras tidak berani bicara banyak hal karena takut menyinggung pria itu. Anta mau peduli saja sudah sangat membuat Laras sangat bersyukur, sehingga dia pun tidak menuntut banyak.Anta mencengkram stir kemudi, ketika Laras berpamitan rasanya masih memiliki gengsi untuk bersikap hangat ke gadis itu. Namun, Anta tidak memungkiri jika sebenarnya dia masih menaruh rasa ke gadis itu, hanya saja rasa kesal karena sikap Laras yang egois membuatnya memilih diam.Namun, bukankah sekarang Laras sudah berubah, bahkan sudah mengakui semua kesalahannya. Lantas, kenapa Anta masih belum bisa memaafkan. Benarkah sikap dinginnya hanya karena Laras membenci Bintang, ataukah sebenarnya dia kecewa karena Laras lebih tertar
“Kenapa kamu mengajakku ke sini, hm?”Bintang tidak percaya Langit malah mengajak ke apartemen. Dia kini menatap Langit yang baru saja selesai memarkirkan mobil mereka. Langit mengulum senyum, melirik Bintang kemudian melepas seat belt.“Tidak apa-apa sekali-kali. Lagi pula, tidak akan ada yang melarang kalau kamu ke tempatku, bukan?” Langit sedikit mencondongkan tubuh ke arah Bintang ketika bicara, sebelum kemudian membuka pintu dan keluar dari mobil.Bintang hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah Langit, lantas ikut keluar karena tahu jika tidak mungkin baginya untuk menolak ajakan pria itu.Langit mengulurkan tangan, kemudian menggandeng tangan Bintang dan mengajak kekasihnya itu berjalan menuju lift. Hubungan mereka semakin harmonis setiap harinya, seolah tidak ada lagi masalah yang menghampiri, setelah keduanya jujur akan perasaan masing-masing.Langit membuka lebar pintu apartemennya, kemudian mempersilakan Bintang masuk sebelum kembali menutup pintu. Dia pun menyusul B
“El, jujur saja. Bukankah malam itu Cheryl menginap di tempatmu. Kalian melakukannya? Cheryl hamil sekarang, apa itu anakmu?”Pertanyaan itu terlontar dari mulut Lusy—ibu kandung Cheryl, yang tentu saja membuat Langit dan orangtuanya sangat terkejut karena pertanyaan itu. Dia dan kedua orangtuanya diminta datang karena Cheryl hamil, tapi tidak mengerti kenapa dia yang dituduh menghamili.“Ada apa ini, Lusy?” tanya Joya yang benar-benar syok dengan tuduhan yang dilayangkan sahabatnya ke sang putra. Dia tahu jika Langit memang bersikap buruk sebelumnya sebab tidur dengan banyak wanita, tapi Joya yakin jika Langit tidak mungkin meniduri kakak angkatnya sendiri.Langit benar-benar syok, hingga ditatapnya Cheryl yang juga kebingungan karena tuduhan sang mommy ke adik angkatnya itu. Langit ingat hari di mana Cheryl memintanya berbohong jika sudah menginap di tempat Langit, mungkinkah kecurigaannya benar jika malam itu memang terjadi sesuatu dengan Cheryl.“Mom, bukan Langit. Aku mohon janga
Langit terdiam di dalam mobilnya. Dia menyandarkan kepala dengan sedikit menengadah menatap langit kabin mobil. Kedua tangan mencengkram erat stir kemudi, dia memikirkan tentang keputusan yang diambil setelah bicara dengan Cheryl dan orangtua mereka.Terdengar suara ketukan kaca jendela mobil, hal itu tentu saja membuat Langit tersadar dari lamunan dan menatap keluar, di mana ternyata Bintang sudah ada di luar dan tersenyum ke arahnya.Langit memang mendatangi perusahaan Bintang untuk menjemput gadis itu seperti biasanya. Dia pun berusaha tersenyum, sebelum kemudian membuka pintu untuk kekasihnya itu.“Sudah lama?” tanya Bintang begitu sudah masuk dan kini sedang memakai seat belt.“Belum,” jawab Langit dengan senyum yang dipaksakan. Melihat senyum Bintang membuat rasa bersalah merayap di dada.Bintang memperhatikan Langit yang mulai memacu mobil, dia merasa ada sesuatu yang berbeda dari ekspresi wajah kekasihnya itu. Bintang terus memperhatikan Langit yang tiba-tiba menjadi pendiam,
“Maaf, Bin. Aku benar-benar tidak ingin menyakitimu,” ucap Langit begitu menyesal. Dia masih memeluk Bintang dan hampir saja penyakit Bintang kambuh kalau Langit tidak buru-buru meminta sang kekasih untuk meminum obatnya.Bintang masih syok. Dia diam memejamkan mata sambil menyandarkan kepala di dada Langit, rasanya semua yang terjadi seperti sebuah mimpi. Dia berharap ketika membuka mata, semua yang baru saja dirasakan tidak pernah terjadi. Namun, semua hanya keinginan Bintang semata, pada kenyataannya itu bukan mimpi, itu sebuah kenyataannya yang seperti mimpi buruk baginya.Bintang menarik napas panjang dan menghela perlahan, setelah rasa sesak begitu menekan dadanya. Wanita mana yang bisa melihat kekasihnya menikahi wanita lain, meski tujuannya untuk membantu dan menyelamatkan nama baik, tapi tetap saja itu terasa begitu menyakitkan.“Hanya sampai bayi Cheryl lahir, Bin. Setelah itu aku akan menceraikannya dan melamarmu,” ucap Langit lagi karena sejak tadi Bintang hanya diam.Sang
Bintang menatap Orion yang duduk semobil bersamanya, sedangkan kedua orangtua mereka duduk di mobil berbeda. Hari itu mereka sekeluarga akan pergi ke rumah Cheryl untuk melamar. Terlepas dari benar atau tidaknya Orion sudah melakukan hal itu, Arlan dan Annetha hanya mengikuti keinginan Orion, meski Arlan sebenarnya begitu menentang karena Orion masih kuliah dan harus menikah dengan wanita yang berumur lebih tua darinya.“Ion, apa kamu yakin dengan semua hal yang kamu lakukan?” tanya Bintang memastikan. Dia hanya tidak ingin adiknya menyesal di kemudian hari.Bintang menatap sendu ke sang adik, kenapa semua harus berakhir seperti ini. Dia sangat yakin jika semua itu bukanlah perbuatan Orion, meski adiknya itu terus meyakinkan.“Tentu saja yakin, Kak Bin. Bukankah seorang pria harus mempertanggung jawabkan apa yang sudah dilakukannya. Jika aku memilih diam, maka aku akan dianggap banci,” ujar Orion sambil menoleh ke sang kakak. Dia mengulas senyum manisnya, seolah apa yang akan dilakuk
Langit dan yang lain hari itu menunggu cemas di depan ruang operasi. Hari ini Bintang menjalani operasi cesar sesuai dengan yang dijadwalkan dokter, setelah melakukan beberapa tes dan memastikan kondisi Bintang siap untuk melahirkan. “Duduklah, El. Operasinya pasti berjalan lancar,” kata Joya yang pusing melihat putranya mondar-mandir tidak jelas sejak tadi. Annetha, Arlan, Kenzo, juga Sashi juga menatap Langit yang tidak bisa tenang. “Mana bisa tenang, Mi.” Langit sangat mengkhawatirkan kondisi Bintang. Meski Bintang dalam kondisi sehat, tapi tetap saja Langit cemas. Joya membuang napas kasar, berdiri lantas menarik tangan Langit dan mengajaknya duduk bersaam. “Yang perlu kita lakukan sekarang itu doa, El. Bukan mondar-mandir yang bikin pusing!” sembur Joya sambil menahan Langit agar tidak mondar-mandir lagi. Langit menatap Joya sendu, kecemasan terlihat jelas dari tatapan mata pria itu. “Kita banyak doa saja, El. Semoga semuanya lancar. Kamu dengar sendiri kata dokter, selama
“Benarkah? Ya Tuhan, mami benar-benar bersyukur dan bahagia.”Annetha langsung memeluk Bintang mengetahui jika putrinya hamil. Dulu memang takut, tapi Annetha pun memilih pasrah seperti putrinya, agar mendapatkan jalan yang terbaik.Bintang dan Langit pergi ke rumah Annetha setelah dokter mengizinkan Bintang pulang, setelah memastikan kondisi Bintang membaik. Keduanya sengaja datang ke sana karena ingin menyampaikan kabar kehamilan Bintang, meski Bintang sendiri tidak yakin jika sang papi akan menerimanya. Namun, yang jelas Bintang tidak ingin kejadian dulu terulang.“Mami tidak marah?” tanya Bintang dengan ekspresi takut di wajah pucatnya.Annetha melepas pelukan, lantas menatap Bintang sambil menangkup kedua pipi putrinya itu.“Tentu saja tidak, kenapa mami harus marah? Mami malah sangat bahagia akhirnya keinginanmu terkabul,” ucap Annetha penuh rasa syukur.Sashi berada di pangkuan Langit, mendengarkan percakapan antara orang tua, apalagi Bintang menangis dalam pelukan Annetha.“Mo
Sashi duduk di bangku depan gedung sekolah, menunggu Bintang yang tidak kunjung datang. “Apa Mommy lupa?” Sashi menghela napas kasar sampai kedua pundak naik-turun. Guru Sashi sudah menghubungi Bintang, tapi tidak ada jawaban karena tas Bintang tertinggal di klinik beserta ponselnya, membuat Sashi akhirnya menunggu karena yakin jika Bintang akan menjemputnya. Sashi masih setia di sana. Duduk sambil mengayunkan kedua kaki maju mundur. Hingga seorang anak laki-laki menghampirinya. “Kamu belum dijemput?” Sashi mendongak, menatap anak laki-laki kakak kelasnya yang duduk di kelas enam. “Iya, Mommy belum jemput,” jawab Sashi masih memandang anak laki-laki itu. Anak laki-laki itu mengedarkan pandangan, kemudian ikut duduk di samping Sashi. “Mamaku juga belum jemput, sepertinya jemput kedua adikku yang les lebih dulu,” ucap anak laki-laki itu sambil mengedarkan pandangannya. Sashi mengangguk-angguk mendengar ucapan anak laki-laki itu, tidak buruk duduk bersama menunggu jemputan masing
Langit berlarian menuju ke klinik untuk melihat kondisi Bintang, sesampainya di klinik melihat Bintang yang terbaring dengan wajah pucat dan lemas meski sudah sadar.“Bin.” Langit mendekat dan langsung membelai wajah istrinya itu.“Bagaimana kondisinya?” tanya Langit ke dokter jaga di klinik karena Bintang terlihat masih meringis menahan sakit.“Tekanan darahnya sangat rendah, kemungkinan kelelahan. Tapi untuk mengetahui kondisi pasti penyebabnya, mungkin bisa dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan pemeriksaan lepngkap, Pak.” Dokter klinik hanya mengecek kondisi Bintang berdasarkan keluhan saja.Langit tidak banyak bicara. Dia pun meraup tubuh Bintang ke gendongan dan membawa keluar dari klinik. Kondisi Bintang yang tidak biasa, tentu saja membuat Langit cemas. Dia harus membawa Bintang ke rumah sakit untuk pemeriksaan menyeluruh.“El, ada apa?” Joya dan Kenzo yang kebetulan baru saja keluar lift di lobi, terkejut melihat Langit menggendong Bintang.“Kondisi Bintang buruk, Mi. Aku mau
Dua tahun kemudian. “Mommy! Daddy! Sashi telat sekolah!” Suara melengking dari luar kamar terdengar sampai dalam. Bintang dan Langit yang masih tidur pulas pun terkejut karena suara Sashi juga ketukan pintu beberapa kali. Bintang terduduk dengan mata masih tertutup. Dia pun mengucek mata, mencoba membuka kelopak mata lebar agar bisa melihat jarum jam di dinding. “Ya Tuhan!” Bintang sangat terkejut karena waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi. “El, bangun! Kita kesiangan!” Bintang memukul lengan suaminya, meminta agar Langit segera bangun. Biasanya jam segini Bintang sudah bangun memasak dan menyiapkan perlengkapan sekolah Sashi, tapi pagi ini dia malah kesiangan bangun. Ini semua gara-gara suaminya yang mengajak begadang semalaman. Meminta jatah tidak ada habisnya, membuat Bintang kelelahan luar biasa, lantas terbangun kesiangan. “Bentar, Bin. Lima menit lagi.” Langit malah menarik selimut masih sambil memejamkan mata. Enggan bangun karena masih sangat mengantuk. “El, Sashi
Bintang melipat kedua tangan di depan dada, menatap suaminya yang baru saja selesai menjalani operasi kecil dan menatap dengan ekspresi wajah kesal. Langit melirik Aldo, dalam tatapan matanya seolah ingin melempar kalimat ‘Aku akan memotong gajimu, lihat saja dasar pengkhianat!’, sungguh Langit tidak menyangka saat keluar dari ruang operasi langsung melihat Bintang. “Tidak usah melirik Aldo, urusanmu denganku, El!” Bintang tahu ke mana arah pandangan suaminya, hingga langsung menegur pria itu. Langit menatap Bintang, terlihat bersalah dan takut melihat tatapan istrinya itu. “Keluarlah, Al. Tenang saja, aku yang akan menjamin karirmu,” ucap Bintang memberikan jaminan ke sekretaris suaminya, sebab dia memaksa Aldo untuk bicara jujur. “Baik, Bu.” Aldo pun secepat kilat kabur dari ruangan itu, tidak ingin terlibat masalah antar suami-istri yang sudah menciptakan ketegangan sejak beberapa menit lalu. Langit benar-benar tak berkutik, diam karena merasa salah. Dia melihat Bintang menar
“Saya masih tidak habis pikir dengan Anda, Pak.”Aldo menatap Langit dengan rasa heran. Otak cerdasnya mendadak tidak bisa menangkap maksud dari apa yang sedang dilakukan bosnya.“Kamu tidak perlu berpikir apa pun,” balas Langit santai.Aldo ingin membalas ucapan Langit, tapi atasannya kembali bicara.“Pokoknya kalau istriku menghubungi, jangan dijawab!” titah Langit yang memang baru saja berganti pakaian.Tepat saat mengatakan itu, ponsel Langit yang dibawa Aldo bergetar karena memang dibuat mode silent, hanya bergetar saat ada panggilan atau pesan.Aldo melirik dan melihat nama Bintang terpampang di layar. Langit tidak menyadari kalau ponselnya berdering. Dia sedang mengikat tali baju khusus yang diberikan perawat, sebelum perawat memasang infus.“Bagaimana kalau terus menghubungi?” tanya Aldo sambil menggeser tombol hijau di ponsel Langit. Dia memegang ponsel Langit di samping tubuh, posisi layar menghadap ke belakang, sehingga Langit tidak menyadari jika ada panggilan masuk.“Ya,
Sudah dua minggu semenjak Bintang berbaikan dengan Arlan. Bahkan Bintang sekarang sering mengajak Sashi ke rumah orang tuanya atas permintaan Annetha.Seperti hari itu. Bintang pergi ke rumah Arlan sebab sang papi bilang sedang ambil cuti karena kondisinya yang kurang sehat, sehingga Bintang tanpa pikir panjang memilih langsung datang untuk melihat kondisi Arlan.“Sudah diperiksa dan minum obat?” tanya Bintang begitu bertemu dengan Arlan yang sedang duduk di ruang keluarga bersama Annetha.Annetha dan Arlan pun terkejut karena Bintang tampak begitu panik.“Papi tidak kenapa-napa, hanya kecapean hingga membuat kondisi tubuh papi sedikit drop,” jawab Arlan sambil mengulas senyum.Tatapan pria itu tertuju ke Sashi yang berdiri di samping Bintang, lantas mengulurkan tangan sebagai isyarat agar gadis kecil itu mendekat.“Opa punya hadiah untukmu,” kata Arlan yang kemudian berdiri.Sashi mendongak menoleh Bintang, sedangkan Bintang langsung mengangguk melihat Sashi yang seolah meminta perse
Langit menarik napas dalam-dalam, lantas mengembuskan perlahan tanpa suara. Dia duduk sambil meremas kedua lutut, sedikit menunduk menurunkan pandangan agar tidak dikira sedang menantang.Arlan sendiri menatap Langit, mengajak pria itu bicara di ruang kerja tapi sudah duduk selama hampir lima belas menit belum berkata sepatah kata pun. Tatapan matanya pun membuat lawan bicaranya hanya diam menunduk.Arlan menghela napas kasar, hingga kemudian akhirnya bicara.“Aku memang memberi restu lagi, tapi bukan berarti akan menerima atau melupakan kejadian sebelumnya dengan mudah. Apa yang aku lakukan semata-mata hanya untuk Bintang. Bagiku dia yang akan jadi prioritas utamaku, memang aku ingin memisahkan kalian, tapi karena itu akan menyakiti hati putriku, membuatku memilih mengalah dengan keputusannya.”Arlan bicara dengan suara yang tidak terlalu lantang, tapi terkesan begitu menekan.Langit sendiri tidak membalas ucapan Arlan, hanya mengangkat wajah dan menatap pria itu yang sedang bicara a