“Maaf, Bin. Aku benar-benar tidak ingin menyakitimu,” ucap Langit begitu menyesal. Dia masih memeluk Bintang dan hampir saja penyakit Bintang kambuh kalau Langit tidak buru-buru meminta sang kekasih untuk meminum obatnya.Bintang masih syok. Dia diam memejamkan mata sambil menyandarkan kepala di dada Langit, rasanya semua yang terjadi seperti sebuah mimpi. Dia berharap ketika membuka mata, semua yang baru saja dirasakan tidak pernah terjadi. Namun, semua hanya keinginan Bintang semata, pada kenyataannya itu bukan mimpi, itu sebuah kenyataannya yang seperti mimpi buruk baginya.Bintang menarik napas panjang dan menghela perlahan, setelah rasa sesak begitu menekan dadanya. Wanita mana yang bisa melihat kekasihnya menikahi wanita lain, meski tujuannya untuk membantu dan menyelamatkan nama baik, tapi tetap saja itu terasa begitu menyakitkan.“Hanya sampai bayi Cheryl lahir, Bin. Setelah itu aku akan menceraikannya dan melamarmu,” ucap Langit lagi karena sejak tadi Bintang hanya diam.Sang
Bintang menatap Orion yang duduk semobil bersamanya, sedangkan kedua orangtua mereka duduk di mobil berbeda. Hari itu mereka sekeluarga akan pergi ke rumah Cheryl untuk melamar. Terlepas dari benar atau tidaknya Orion sudah melakukan hal itu, Arlan dan Annetha hanya mengikuti keinginan Orion, meski Arlan sebenarnya begitu menentang karena Orion masih kuliah dan harus menikah dengan wanita yang berumur lebih tua darinya.“Ion, apa kamu yakin dengan semua hal yang kamu lakukan?” tanya Bintang memastikan. Dia hanya tidak ingin adiknya menyesal di kemudian hari.Bintang menatap sendu ke sang adik, kenapa semua harus berakhir seperti ini. Dia sangat yakin jika semua itu bukanlah perbuatan Orion, meski adiknya itu terus meyakinkan.“Tentu saja yakin, Kak Bin. Bukankah seorang pria harus mempertanggung jawabkan apa yang sudah dilakukannya. Jika aku memilih diam, maka aku akan dianggap banci,” ujar Orion sambil menoleh ke sang kakak. Dia mengulas senyum manisnya, seolah apa yang akan dilakuk
“Apa benar Orion yang melakukannya?”Langit menoleh Bintang, sejak tadi mereka hanya diam karena Bintang mendeklarasikan kemarahannya ke Langit. Sebelumnya dia tidak bisa berkata-kata karena syok, tapi begitu mengetahui jika Langit tidak jadi menikahi Cheryl, entah kenapa ada kelegaan yang membuatnya bisa memarahi pria itu.“Menurutmu? Orion bukan pemuda sebejat itu.” Bintang menjawab dengan sedikit ketus.“Hm … benar juga. Tapi, kenapa dia mengaku jika melakukan itu ke Cheryl?” tanya Langit lagi.Bintang dan Langit sedang duduk di hamparan pasir, keduanya menatap ombak yang bergulung memecah pantai sambil bicara. Bintang pun menoleh mendengar pertanyaan Langit.“Menurutmu?” Bintang malah melempar pertanyaan, membuat Langit mengerutkan dahi.“Apa karenamu?” tanya Langit menebak.“Tentu saja karena aku. Kalau bukan karena aku, memangnya karenamu?” Bintang meraup pasir dan melempar ke depan, meski tatapan ke arah Langit.Langit terkejut melihat sikap Bintang, tampaknya kekasihnya itu su
Tidak ada malam tanpa siang, begitu juga dengan kehidupan. Tidak ada penderitaan tanpa kebahagiaan, semuanya beriringan dan memiliki pasangannya sendiri-sendiri.“Senangnya tahu kalian akhirnya akan menikah.” Laras menatap Bintang yang sedang memilih gaun untuk acara pernikahannya dengan Langit.Enam bulan setelah pernikahan Orion dan Cheryl, akhirnya Bintang pun akan menikah dengan Langit, setelah sebelumnya Langit melamar secara resmi dan menyampaikan keinginan menikah dengan Bintang, setelah semua hal yang mereka lalui.“Rasanya seperti mimpi, bukan?” Bintang menghela napas kasar, terlihat seolah sedang membayangkan sesuatu, sebelum kemudian menoleh Laras dan tersenyum ke sahabatnya itu.Melihat Bintang yang begitu bahagia seperti ini, membuat Laras merasa bersalah karena pernah mengambil kebahagiaan sahabatnya itu. Dia pun mendekat dengan kedua tangan terbuka ke arah Bintang, sebelum akhirnya memeluk sahabatnya itu.“Maaf ya, andai dulu aku tidak egois, mungkin kamu dan Langit tid
Hari di mana pernikahan Bintang dan Langit pun tiba. Sehari sebelum acara, rumah orangtua Bintang sudah ramai dengan keluarga yang hendak mempersiapkan segala sesuatu untuk acara nantinya.“Bintang di mana, Tan?” tanya Anta yang baru saja datang dan mengambil buah di meja. Dia bertanya ke Annetha yang sedang bicara dengan Kate—ibu Anta.“Dia di kamar, naik saja seperti biasa kalau mau ketemu,” jawab Annetha yang bicara tanpa menatap Anta karena sedang sibuk membahas acara resepsi besok.Anta mengangguk dan berjalan sambil menggigit apel yang diambilnya. Dia pun pergi ke kamar Bintang untuk melihat seberapa gugup sepupunya itu karena akan menikah. Saat berjalan menaiki anak tangga, Anta berpapasan dengan Cheryl yang tidak tampak hamil besar, padahal seharusnya dia sudah hampir melahirkan jika dihitung dari kejadian saat semua orang mengetahui Cheryl hamil.“Mau ketemu Bintang?” tanya Cheryl ketika berpapasan dengan Anta.“Ya,” jawab Anta, kemudian melirik perut Cheryl. “Bagaimana kabar
Langit menatap ponselnya. Dipandangi pesan chat yang tadi dikirimkan ke Bintang tapi belum dibalas. Dia sudah menghubungi Anta dan diminta menunggu, tapi sampai berjam-jam Anta juga belum memberinya kabar.“Apa terjadi sesuatu dengannya?” Langit bertanya-tanya sendiri karena cemas.Dia pun akhirnya memutuskan untuk mengirimkan pesan ke Bintang untuk menanyakan kabar calon istrinya. Terbiasa bertemu dan bersama, sekarang baik dia dan Bintang sedang dipingit, membuat Langit harus menahan rindu meski itu hanya dua hari.[Bin, sedang apa? Kenapa pesanku belum dibaca?]Langit menunggu balasan dari Bintang, tapi ternyata masih tidak dibaca. Dia pun menjadi gelisah, hingga akhirnya kembali mengirimkan pesan.[Apa kamu sedang istirahat? Baiklah jika memang istirahat, kalau sudah membaca pesanku, tolong segera balas.]Langit pun meletakkan ponsel di meja, lantas menyugar rambut depan ke belakang. Entah kenapa dia tiba-tiba begitu gelisah dan takut, bahkan jantungnya berdegup dengan cepat karen
Hari pernikahan Bintang dan Langit pun tiba. Ballroom hotel tempat diadakannya akad dan resepsi pun sudah terlihat ramai dengan para tamu yang hadir. Akad dan resepsi memang dilakukan bersamaan, karena mereka tidak mau memakan hari, sebab mengingat kondisi Bintang yang sewaktu-waktu tidak stabil.“Bagaimana penampilanku?” tanya Bintang setelah selesai dirias. Ditatanya Laras yang kini menemaninya di kamar khusus.“Sangat sempurna,” jawab Laras dengan tatapan penuh pengaguman.“Serius, Ras. Aku merasa begitu jelek, apalagi tadi kantong mataku benar-benar terlihat,” kata Bintang yang merasa tidak percaya diri. Apalagi kemarin dia kolaps dan baru membaik saat malam hari.Bintang semalam menghubungi Langit dan meminta maaf tidak membalas pesan Langit karena sibuk. Dia benar-benar tidak jujur jika kambuh karena tidak mau membuat Langit cemas, meski Langit sudah tahu yang terjadi.“Serius Bin, kamu terlihat sangat cantik, bahkan kantong matamu pun tidak terlihat. Aku saja sangat iri, apalag
Bintang duduk di tepian ranjang, berulang kali menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan. Dia menoleh ke pintu kamar mandi, menunggu pintu di sana terbuka karena Langit masih membersihkan diri.Dia dan Langit pergi ke kamar yang disediakan di hotel sebelum pesta usai. Langit mengajaknya masuk terlebih dahulu karena takut Bintang kelelahan, apalagi tamu yang hadir cukup banyak. Namun, sekarang pesta sudah usai karena Annetha mengirim pesan jika akan pulang dulu dan tidak akan mengganggu Bintang istirahat.Pintu kamar mandi terbuka, Bintang terkejut dan menoleh ke arah kamar mandi, entah kenapa jantungnya mendadak berdegup dengan cepat, padahal sejak tadi beristirahat di kamar bersama Langit pun biasa saja.Namun, langit yang mulai menggelap, serta suasana yang terkesan mendukung, membuat Bintang mendadak gugup. Ditatapnya Langit yang keluar dari kamar mandi dan menutup pintu, tampak wajah pria itu begitu segar, bahkan aroma maskulin dari sabun yang digunakan pun tercium menyeruak
Langit dan yang lain hari itu menunggu cemas di depan ruang operasi. Hari ini Bintang menjalani operasi cesar sesuai dengan yang dijadwalkan dokter, setelah melakukan beberapa tes dan memastikan kondisi Bintang siap untuk melahirkan. “Duduklah, El. Operasinya pasti berjalan lancar,” kata Joya yang pusing melihat putranya mondar-mandir tidak jelas sejak tadi. Annetha, Arlan, Kenzo, juga Sashi juga menatap Langit yang tidak bisa tenang. “Mana bisa tenang, Mi.” Langit sangat mengkhawatirkan kondisi Bintang. Meski Bintang dalam kondisi sehat, tapi tetap saja Langit cemas. Joya membuang napas kasar, berdiri lantas menarik tangan Langit dan mengajaknya duduk bersaam. “Yang perlu kita lakukan sekarang itu doa, El. Bukan mondar-mandir yang bikin pusing!” sembur Joya sambil menahan Langit agar tidak mondar-mandir lagi. Langit menatap Joya sendu, kecemasan terlihat jelas dari tatapan mata pria itu. “Kita banyak doa saja, El. Semoga semuanya lancar. Kamu dengar sendiri kata dokter, selama
“Benarkah? Ya Tuhan, mami benar-benar bersyukur dan bahagia.”Annetha langsung memeluk Bintang mengetahui jika putrinya hamil. Dulu memang takut, tapi Annetha pun memilih pasrah seperti putrinya, agar mendapatkan jalan yang terbaik.Bintang dan Langit pergi ke rumah Annetha setelah dokter mengizinkan Bintang pulang, setelah memastikan kondisi Bintang membaik. Keduanya sengaja datang ke sana karena ingin menyampaikan kabar kehamilan Bintang, meski Bintang sendiri tidak yakin jika sang papi akan menerimanya. Namun, yang jelas Bintang tidak ingin kejadian dulu terulang.“Mami tidak marah?” tanya Bintang dengan ekspresi takut di wajah pucatnya.Annetha melepas pelukan, lantas menatap Bintang sambil menangkup kedua pipi putrinya itu.“Tentu saja tidak, kenapa mami harus marah? Mami malah sangat bahagia akhirnya keinginanmu terkabul,” ucap Annetha penuh rasa syukur.Sashi berada di pangkuan Langit, mendengarkan percakapan antara orang tua, apalagi Bintang menangis dalam pelukan Annetha.“Mo
Sashi duduk di bangku depan gedung sekolah, menunggu Bintang yang tidak kunjung datang. “Apa Mommy lupa?” Sashi menghela napas kasar sampai kedua pundak naik-turun. Guru Sashi sudah menghubungi Bintang, tapi tidak ada jawaban karena tas Bintang tertinggal di klinik beserta ponselnya, membuat Sashi akhirnya menunggu karena yakin jika Bintang akan menjemputnya. Sashi masih setia di sana. Duduk sambil mengayunkan kedua kaki maju mundur. Hingga seorang anak laki-laki menghampirinya. “Kamu belum dijemput?” Sashi mendongak, menatap anak laki-laki kakak kelasnya yang duduk di kelas enam. “Iya, Mommy belum jemput,” jawab Sashi masih memandang anak laki-laki itu. Anak laki-laki itu mengedarkan pandangan, kemudian ikut duduk di samping Sashi. “Mamaku juga belum jemput, sepertinya jemput kedua adikku yang les lebih dulu,” ucap anak laki-laki itu sambil mengedarkan pandangannya. Sashi mengangguk-angguk mendengar ucapan anak laki-laki itu, tidak buruk duduk bersama menunggu jemputan masing
Langit berlarian menuju ke klinik untuk melihat kondisi Bintang, sesampainya di klinik melihat Bintang yang terbaring dengan wajah pucat dan lemas meski sudah sadar.“Bin.” Langit mendekat dan langsung membelai wajah istrinya itu.“Bagaimana kondisinya?” tanya Langit ke dokter jaga di klinik karena Bintang terlihat masih meringis menahan sakit.“Tekanan darahnya sangat rendah, kemungkinan kelelahan. Tapi untuk mengetahui kondisi pasti penyebabnya, mungkin bisa dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan pemeriksaan lepngkap, Pak.” Dokter klinik hanya mengecek kondisi Bintang berdasarkan keluhan saja.Langit tidak banyak bicara. Dia pun meraup tubuh Bintang ke gendongan dan membawa keluar dari klinik. Kondisi Bintang yang tidak biasa, tentu saja membuat Langit cemas. Dia harus membawa Bintang ke rumah sakit untuk pemeriksaan menyeluruh.“El, ada apa?” Joya dan Kenzo yang kebetulan baru saja keluar lift di lobi, terkejut melihat Langit menggendong Bintang.“Kondisi Bintang buruk, Mi. Aku mau
Dua tahun kemudian. “Mommy! Daddy! Sashi telat sekolah!” Suara melengking dari luar kamar terdengar sampai dalam. Bintang dan Langit yang masih tidur pulas pun terkejut karena suara Sashi juga ketukan pintu beberapa kali. Bintang terduduk dengan mata masih tertutup. Dia pun mengucek mata, mencoba membuka kelopak mata lebar agar bisa melihat jarum jam di dinding. “Ya Tuhan!” Bintang sangat terkejut karena waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi. “El, bangun! Kita kesiangan!” Bintang memukul lengan suaminya, meminta agar Langit segera bangun. Biasanya jam segini Bintang sudah bangun memasak dan menyiapkan perlengkapan sekolah Sashi, tapi pagi ini dia malah kesiangan bangun. Ini semua gara-gara suaminya yang mengajak begadang semalaman. Meminta jatah tidak ada habisnya, membuat Bintang kelelahan luar biasa, lantas terbangun kesiangan. “Bentar, Bin. Lima menit lagi.” Langit malah menarik selimut masih sambil memejamkan mata. Enggan bangun karena masih sangat mengantuk. “El, Sashi
Bintang melipat kedua tangan di depan dada, menatap suaminya yang baru saja selesai menjalani operasi kecil dan menatap dengan ekspresi wajah kesal. Langit melirik Aldo, dalam tatapan matanya seolah ingin melempar kalimat ‘Aku akan memotong gajimu, lihat saja dasar pengkhianat!’, sungguh Langit tidak menyangka saat keluar dari ruang operasi langsung melihat Bintang. “Tidak usah melirik Aldo, urusanmu denganku, El!” Bintang tahu ke mana arah pandangan suaminya, hingga langsung menegur pria itu. Langit menatap Bintang, terlihat bersalah dan takut melihat tatapan istrinya itu. “Keluarlah, Al. Tenang saja, aku yang akan menjamin karirmu,” ucap Bintang memberikan jaminan ke sekretaris suaminya, sebab dia memaksa Aldo untuk bicara jujur. “Baik, Bu.” Aldo pun secepat kilat kabur dari ruangan itu, tidak ingin terlibat masalah antar suami-istri yang sudah menciptakan ketegangan sejak beberapa menit lalu. Langit benar-benar tak berkutik, diam karena merasa salah. Dia melihat Bintang menar
“Saya masih tidak habis pikir dengan Anda, Pak.”Aldo menatap Langit dengan rasa heran. Otak cerdasnya mendadak tidak bisa menangkap maksud dari apa yang sedang dilakukan bosnya.“Kamu tidak perlu berpikir apa pun,” balas Langit santai.Aldo ingin membalas ucapan Langit, tapi atasannya kembali bicara.“Pokoknya kalau istriku menghubungi, jangan dijawab!” titah Langit yang memang baru saja berganti pakaian.Tepat saat mengatakan itu, ponsel Langit yang dibawa Aldo bergetar karena memang dibuat mode silent, hanya bergetar saat ada panggilan atau pesan.Aldo melirik dan melihat nama Bintang terpampang di layar. Langit tidak menyadari kalau ponselnya berdering. Dia sedang mengikat tali baju khusus yang diberikan perawat, sebelum perawat memasang infus.“Bagaimana kalau terus menghubungi?” tanya Aldo sambil menggeser tombol hijau di ponsel Langit. Dia memegang ponsel Langit di samping tubuh, posisi layar menghadap ke belakang, sehingga Langit tidak menyadari jika ada panggilan masuk.“Ya,
Sudah dua minggu semenjak Bintang berbaikan dengan Arlan. Bahkan Bintang sekarang sering mengajak Sashi ke rumah orang tuanya atas permintaan Annetha.Seperti hari itu. Bintang pergi ke rumah Arlan sebab sang papi bilang sedang ambil cuti karena kondisinya yang kurang sehat, sehingga Bintang tanpa pikir panjang memilih langsung datang untuk melihat kondisi Arlan.“Sudah diperiksa dan minum obat?” tanya Bintang begitu bertemu dengan Arlan yang sedang duduk di ruang keluarga bersama Annetha.Annetha dan Arlan pun terkejut karena Bintang tampak begitu panik.“Papi tidak kenapa-napa, hanya kecapean hingga membuat kondisi tubuh papi sedikit drop,” jawab Arlan sambil mengulas senyum.Tatapan pria itu tertuju ke Sashi yang berdiri di samping Bintang, lantas mengulurkan tangan sebagai isyarat agar gadis kecil itu mendekat.“Opa punya hadiah untukmu,” kata Arlan yang kemudian berdiri.Sashi mendongak menoleh Bintang, sedangkan Bintang langsung mengangguk melihat Sashi yang seolah meminta perse
Langit menarik napas dalam-dalam, lantas mengembuskan perlahan tanpa suara. Dia duduk sambil meremas kedua lutut, sedikit menunduk menurunkan pandangan agar tidak dikira sedang menantang.Arlan sendiri menatap Langit, mengajak pria itu bicara di ruang kerja tapi sudah duduk selama hampir lima belas menit belum berkata sepatah kata pun. Tatapan matanya pun membuat lawan bicaranya hanya diam menunduk.Arlan menghela napas kasar, hingga kemudian akhirnya bicara.“Aku memang memberi restu lagi, tapi bukan berarti akan menerima atau melupakan kejadian sebelumnya dengan mudah. Apa yang aku lakukan semata-mata hanya untuk Bintang. Bagiku dia yang akan jadi prioritas utamaku, memang aku ingin memisahkan kalian, tapi karena itu akan menyakiti hati putriku, membuatku memilih mengalah dengan keputusannya.”Arlan bicara dengan suara yang tidak terlalu lantang, tapi terkesan begitu menekan.Langit sendiri tidak membalas ucapan Arlan, hanya mengangkat wajah dan menatap pria itu yang sedang bicara a