“Apa benar Orion yang melakukannya?”Langit menoleh Bintang, sejak tadi mereka hanya diam karena Bintang mendeklarasikan kemarahannya ke Langit. Sebelumnya dia tidak bisa berkata-kata karena syok, tapi begitu mengetahui jika Langit tidak jadi menikahi Cheryl, entah kenapa ada kelegaan yang membuatnya bisa memarahi pria itu.“Menurutmu? Orion bukan pemuda sebejat itu.” Bintang menjawab dengan sedikit ketus.“Hm … benar juga. Tapi, kenapa dia mengaku jika melakukan itu ke Cheryl?” tanya Langit lagi.Bintang dan Langit sedang duduk di hamparan pasir, keduanya menatap ombak yang bergulung memecah pantai sambil bicara. Bintang pun menoleh mendengar pertanyaan Langit.“Menurutmu?” Bintang malah melempar pertanyaan, membuat Langit mengerutkan dahi.“Apa karenamu?” tanya Langit menebak.“Tentu saja karena aku. Kalau bukan karena aku, memangnya karenamu?” Bintang meraup pasir dan melempar ke depan, meski tatapan ke arah Langit.Langit terkejut melihat sikap Bintang, tampaknya kekasihnya itu su
Tidak ada malam tanpa siang, begitu juga dengan kehidupan. Tidak ada penderitaan tanpa kebahagiaan, semuanya beriringan dan memiliki pasangannya sendiri-sendiri.“Senangnya tahu kalian akhirnya akan menikah.” Laras menatap Bintang yang sedang memilih gaun untuk acara pernikahannya dengan Langit.Enam bulan setelah pernikahan Orion dan Cheryl, akhirnya Bintang pun akan menikah dengan Langit, setelah sebelumnya Langit melamar secara resmi dan menyampaikan keinginan menikah dengan Bintang, setelah semua hal yang mereka lalui.“Rasanya seperti mimpi, bukan?” Bintang menghela napas kasar, terlihat seolah sedang membayangkan sesuatu, sebelum kemudian menoleh Laras dan tersenyum ke sahabatnya itu.Melihat Bintang yang begitu bahagia seperti ini, membuat Laras merasa bersalah karena pernah mengambil kebahagiaan sahabatnya itu. Dia pun mendekat dengan kedua tangan terbuka ke arah Bintang, sebelum akhirnya memeluk sahabatnya itu.“Maaf ya, andai dulu aku tidak egois, mungkin kamu dan Langit tid
Hari di mana pernikahan Bintang dan Langit pun tiba. Sehari sebelum acara, rumah orangtua Bintang sudah ramai dengan keluarga yang hendak mempersiapkan segala sesuatu untuk acara nantinya.“Bintang di mana, Tan?” tanya Anta yang baru saja datang dan mengambil buah di meja. Dia bertanya ke Annetha yang sedang bicara dengan Kate—ibu Anta.“Dia di kamar, naik saja seperti biasa kalau mau ketemu,” jawab Annetha yang bicara tanpa menatap Anta karena sedang sibuk membahas acara resepsi besok.Anta mengangguk dan berjalan sambil menggigit apel yang diambilnya. Dia pun pergi ke kamar Bintang untuk melihat seberapa gugup sepupunya itu karena akan menikah. Saat berjalan menaiki anak tangga, Anta berpapasan dengan Cheryl yang tidak tampak hamil besar, padahal seharusnya dia sudah hampir melahirkan jika dihitung dari kejadian saat semua orang mengetahui Cheryl hamil.“Mau ketemu Bintang?” tanya Cheryl ketika berpapasan dengan Anta.“Ya,” jawab Anta, kemudian melirik perut Cheryl. “Bagaimana kabar
Langit menatap ponselnya. Dipandangi pesan chat yang tadi dikirimkan ke Bintang tapi belum dibalas. Dia sudah menghubungi Anta dan diminta menunggu, tapi sampai berjam-jam Anta juga belum memberinya kabar.“Apa terjadi sesuatu dengannya?” Langit bertanya-tanya sendiri karena cemas.Dia pun akhirnya memutuskan untuk mengirimkan pesan ke Bintang untuk menanyakan kabar calon istrinya. Terbiasa bertemu dan bersama, sekarang baik dia dan Bintang sedang dipingit, membuat Langit harus menahan rindu meski itu hanya dua hari.[Bin, sedang apa? Kenapa pesanku belum dibaca?]Langit menunggu balasan dari Bintang, tapi ternyata masih tidak dibaca. Dia pun menjadi gelisah, hingga akhirnya kembali mengirimkan pesan.[Apa kamu sedang istirahat? Baiklah jika memang istirahat, kalau sudah membaca pesanku, tolong segera balas.]Langit pun meletakkan ponsel di meja, lantas menyugar rambut depan ke belakang. Entah kenapa dia tiba-tiba begitu gelisah dan takut, bahkan jantungnya berdegup dengan cepat karen
Hari pernikahan Bintang dan Langit pun tiba. Ballroom hotel tempat diadakannya akad dan resepsi pun sudah terlihat ramai dengan para tamu yang hadir. Akad dan resepsi memang dilakukan bersamaan, karena mereka tidak mau memakan hari, sebab mengingat kondisi Bintang yang sewaktu-waktu tidak stabil.“Bagaimana penampilanku?” tanya Bintang setelah selesai dirias. Ditatanya Laras yang kini menemaninya di kamar khusus.“Sangat sempurna,” jawab Laras dengan tatapan penuh pengaguman.“Serius, Ras. Aku merasa begitu jelek, apalagi tadi kantong mataku benar-benar terlihat,” kata Bintang yang merasa tidak percaya diri. Apalagi kemarin dia kolaps dan baru membaik saat malam hari.Bintang semalam menghubungi Langit dan meminta maaf tidak membalas pesan Langit karena sibuk. Dia benar-benar tidak jujur jika kambuh karena tidak mau membuat Langit cemas, meski Langit sudah tahu yang terjadi.“Serius Bin, kamu terlihat sangat cantik, bahkan kantong matamu pun tidak terlihat. Aku saja sangat iri, apalag
Bintang duduk di tepian ranjang, berulang kali menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan. Dia menoleh ke pintu kamar mandi, menunggu pintu di sana terbuka karena Langit masih membersihkan diri.Dia dan Langit pergi ke kamar yang disediakan di hotel sebelum pesta usai. Langit mengajaknya masuk terlebih dahulu karena takut Bintang kelelahan, apalagi tamu yang hadir cukup banyak. Namun, sekarang pesta sudah usai karena Annetha mengirim pesan jika akan pulang dulu dan tidak akan mengganggu Bintang istirahat.Pintu kamar mandi terbuka, Bintang terkejut dan menoleh ke arah kamar mandi, entah kenapa jantungnya mendadak berdegup dengan cepat, padahal sejak tadi beristirahat di kamar bersama Langit pun biasa saja.Namun, langit yang mulai menggelap, serta suasana yang terkesan mendukung, membuat Bintang mendadak gugup. Ditatapnya Langit yang keluar dari kamar mandi dan menutup pintu, tampak wajah pria itu begitu segar, bahkan aroma maskulin dari sabun yang digunakan pun tercium menyeruak
“Kamu tahu, Bintang apa yang bersinar saat malam juga siang hari?” Langit menatap Bintang, telunjuknya menyusuri setiap lekuk wajah wanita yang kini sudah seutuhnya menjadi miliknya. “Bintang apa?” Bintang menatap Langit dengan binar kebahagiaan yang terpancar di wajah. “Kamu.” Setelah menjawab itu, Langit memeluk erat tubuh Bintang, bahkan sesekali mencium pipi istrinya itu. Bintang tergelak mendengar ucapan Langit, apalagi suaminya itu menciumi wajahnya berulang kali. Ini hari kedua mereka sah menjadi pasangan suami-istri. Bintang dan Langit pulang ke apartemen, setelah check out dari hotel. Mereka juga belum mengunjungi orangtua mereka, karena masih ingin menghabiskan waktu bersama. “Jangan merayuku, tidak akan mempan.” Bintang menatap Langit yang ada di atasnya. “Benarkah tidak mempan? Nyatanya kamu kembali jatuh cinta kepadaku, hm ….” Langit begitu gemas, hingga menggelitik perut Bintang. Bintang tertawa terpingkal, mencoba menghindar tapi tubuhnya sudah dikurung oleh sua
“Kalian akan pergi bulan madu?” Arlan mengikuti putrinya yang masuk kamar, setelah datang dan berbincang sebentar. Bintang hendak mengemasi beberapa barang yang akan dibawa ke apartemen Langit. “Sepertinya tidak, Pi. Langit cemas kalau aku kelelahan dan kambuh saat liburan,” jawab Bintang sambil membuka lemari. Arlan mencebik mendengar jawaban Bintang, seolah tidak percaya jika Langit tidak mengajak putrinya bulan madu hanya karena alasan itu. “Alasan saja dia. Kelelahan, memangnya fisikmu selemah itu.” Arlan memasang wajah tidak senang. Bukan tidak senang ke Langit, hanya saja masih tidak terima sebab Langit membawa pergi Bintang. Bintang menoleh sang papi, melihat papinya itu terlihat kesal. Tentunya Bintang tahu alasan sang papi bersikap demikian. Dia pun mendekat, menggandeng tangan Arlan dan mengajak duduk. “Papi masih ga ikhlas Bintang nikah?” tanya Bintang hati-hati dan lembut. Arlan terkejut mendengar pertanyaan Bintang, sampai gelagapan menjawab pertanyaan putrinya itu