Hari pernikahan Bintang dan Langit pun tiba. Ballroom hotel tempat diadakannya akad dan resepsi pun sudah terlihat ramai dengan para tamu yang hadir. Akad dan resepsi memang dilakukan bersamaan, karena mereka tidak mau memakan hari, sebab mengingat kondisi Bintang yang sewaktu-waktu tidak stabil.“Bagaimana penampilanku?” tanya Bintang setelah selesai dirias. Ditatanya Laras yang kini menemaninya di kamar khusus.“Sangat sempurna,” jawab Laras dengan tatapan penuh pengaguman.“Serius, Ras. Aku merasa begitu jelek, apalagi tadi kantong mataku benar-benar terlihat,” kata Bintang yang merasa tidak percaya diri. Apalagi kemarin dia kolaps dan baru membaik saat malam hari.Bintang semalam menghubungi Langit dan meminta maaf tidak membalas pesan Langit karena sibuk. Dia benar-benar tidak jujur jika kambuh karena tidak mau membuat Langit cemas, meski Langit sudah tahu yang terjadi.“Serius Bin, kamu terlihat sangat cantik, bahkan kantong matamu pun tidak terlihat. Aku saja sangat iri, apalag
Bintang duduk di tepian ranjang, berulang kali menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan. Dia menoleh ke pintu kamar mandi, menunggu pintu di sana terbuka karena Langit masih membersihkan diri.Dia dan Langit pergi ke kamar yang disediakan di hotel sebelum pesta usai. Langit mengajaknya masuk terlebih dahulu karena takut Bintang kelelahan, apalagi tamu yang hadir cukup banyak. Namun, sekarang pesta sudah usai karena Annetha mengirim pesan jika akan pulang dulu dan tidak akan mengganggu Bintang istirahat.Pintu kamar mandi terbuka, Bintang terkejut dan menoleh ke arah kamar mandi, entah kenapa jantungnya mendadak berdegup dengan cepat, padahal sejak tadi beristirahat di kamar bersama Langit pun biasa saja.Namun, langit yang mulai menggelap, serta suasana yang terkesan mendukung, membuat Bintang mendadak gugup. Ditatapnya Langit yang keluar dari kamar mandi dan menutup pintu, tampak wajah pria itu begitu segar, bahkan aroma maskulin dari sabun yang digunakan pun tercium menyeruak
“Kamu tahu, Bintang apa yang bersinar saat malam juga siang hari?” Langit menatap Bintang, telunjuknya menyusuri setiap lekuk wajah wanita yang kini sudah seutuhnya menjadi miliknya. “Bintang apa?” Bintang menatap Langit dengan binar kebahagiaan yang terpancar di wajah. “Kamu.” Setelah menjawab itu, Langit memeluk erat tubuh Bintang, bahkan sesekali mencium pipi istrinya itu. Bintang tergelak mendengar ucapan Langit, apalagi suaminya itu menciumi wajahnya berulang kali. Ini hari kedua mereka sah menjadi pasangan suami-istri. Bintang dan Langit pulang ke apartemen, setelah check out dari hotel. Mereka juga belum mengunjungi orangtua mereka, karena masih ingin menghabiskan waktu bersama. “Jangan merayuku, tidak akan mempan.” Bintang menatap Langit yang ada di atasnya. “Benarkah tidak mempan? Nyatanya kamu kembali jatuh cinta kepadaku, hm ….” Langit begitu gemas, hingga menggelitik perut Bintang. Bintang tertawa terpingkal, mencoba menghindar tapi tubuhnya sudah dikurung oleh sua
“Kalian akan pergi bulan madu?” Arlan mengikuti putrinya yang masuk kamar, setelah datang dan berbincang sebentar. Bintang hendak mengemasi beberapa barang yang akan dibawa ke apartemen Langit. “Sepertinya tidak, Pi. Langit cemas kalau aku kelelahan dan kambuh saat liburan,” jawab Bintang sambil membuka lemari. Arlan mencebik mendengar jawaban Bintang, seolah tidak percaya jika Langit tidak mengajak putrinya bulan madu hanya karena alasan itu. “Alasan saja dia. Kelelahan, memangnya fisikmu selemah itu.” Arlan memasang wajah tidak senang. Bukan tidak senang ke Langit, hanya saja masih tidak terima sebab Langit membawa pergi Bintang. Bintang menoleh sang papi, melihat papinya itu terlihat kesal. Tentunya Bintang tahu alasan sang papi bersikap demikian. Dia pun mendekat, menggandeng tangan Arlan dan mengajak duduk. “Papi masih ga ikhlas Bintang nikah?” tanya Bintang hati-hati dan lembut. Arlan terkejut mendengar pertanyaan Bintang, sampai gelagapan menjawab pertanyaan putrinya itu
Bintang dan Langit menginap di rumah Arlan malam itu. Mereka berada di kamar setelah makan malam, Langit mengeksplore kamar Bintang karena sebelumnya belum pernah masuk ke kamar istrinya itu, biasanya hanya sampai depan kamar, atau dia akan diseret paksa Arlan keluar kamar jika memaksa masuk, karena sebelumnya belum sah.“Kamu lihat apa? Tidak ada yang bisa dilihat dari kamarku,” kata Bintang saat baru saja keluar dari kamar mandi.“Banyak, aku lihat meja rias, lemari, sofa, gorden,” jawab Langit dengan nada candaan.Bintang tertawa mendengar candaan Langit. Dia mendekat dan langsung melingkarkan kedua lengan di leher Langit dari belakang, bergelayut manja sambil memandang Langit dari samping.“Mau lihat sesuatu? Tapi janji jangan nangis,” kata Bintang.“Apa?” tanya Langit.Bintang melepas kedua tangan dari leher Langit, lantas berjalan ke lemari pakaiannya, membuka salah satu pintu dan mengambil sesuatu dari sana.Langit mengerutkan alis, melihat Bintang kini mengeluarkan sebuah kota
Langit duduk berhadapan dengan Arlan, rasanya duduk dengan mertuanya itu lebih menakutkan daripada akan sidang skripsi.“Ada apa, Pi?” tanya Langit karena Arlan tidak kunjung bicara.Arlan melirik tapi tidak langsung menjawab. Dia malah mengambil cangkir kopi yang ada di meja, kemudian menyesapnya perlahan.Langit semakin salah tingkah, tidak paham kenapa Arlan mengajaknya bicara, tapi malah hanya diam.“Hanya duduk dan menikmati kopi saja apa tidak boleh?” Arlan bicara begitu selesai minum. Dia meletakkan cangkir di meja, lantas menatap Langit.Langit terkejut dan bingung mendengar ucapan Arlan, tapi dia memilih diam dan menunggu Arlan kembali bicara.“Bintang baru cerita soal hubungan kalian waktu SMA hari ini, meski sebenarnya aku sudah tahu sejak kalian berpisah, tapi aku memilih diam untuk menjaga hatinya,” ujar Arlan kemudian menatap Langit.Tubuh Langit mendadak beku mendengar ucapan Arlan, dari ucapan Arlan, Langit berpikir Arlan akan menyalahkan dirinya karena kondisi Bintang
Langit benar-benar pergi ke kafe Anta. Saat masuk melihat kafe itu masih sepi pengunjung dan Anta berada di belakang meja barista.“Ta.” Langit memanggil Anta yang sedang melamun.Anta terkejut karena ada yang memanggil, saat menoleh melihat Langit berjalan ke arahnya.“Kamu datang sendiri?” tanya Anta karena tidak melihat Bintang.“Ya, Bintang berada di rumah Laras,” jawab Langit.Mendengar nama Laras, membuat raut wajah Anta berubah. Tentu saja Langit menyadari hal itu.“Ada apa? Apa ada masalah?”Anta menatap Langit bingung, sampai akhirnya memilih membuatkan minum untuk Langit dan mengajak duduk bersama selagi kafe sepi.“Laras ingin bertemu dan bicara dengan Bintang sendiri. Apa kalian sedang ada masalah?” Langit langsung menembak Anta dengan pertanyaan.Anta mengembuskan napas kasar, bahkan menyugar rambut ke belakang dengan kedua tangan, seolah dia sedang benar-benar frustasi.“Entahlah, beberapa minggu ini sebenarnya Laras sedikit berubah,” jawab Anta.Langit mengerutkan alis,
Bintang begitu syok mendengar pengakuan Laras, belum lagi sahabatnya itu kembali menangis sesenggukan hingga membuat Bintang kembali bingung. “Ras, jangan bilang yang membuatmu hamil adalah Anta.” Meski sudah yakin, tetap saja Bintang menebak dan bicara dengan hati-hati. Laras masih menangis tapi sudah tidak terlalu keras seperti tadi. Dia pun mencoba menghentikan tangisnya agar bisa bicara ke Bintang. “Apa Anta tahu?” tanya Bintang kemudian. Dia sudah bisa menebak jika jawabannya memang Anta, dari sikap Laras yang diam. Laras menggelengkan kepala. Dia masih sesenggukan dan mengatur napasnya. “Kenapa tidak beritahu dia?” tanya Bintang lagi. “Aku takut, Bin. Saat itu Anta bilang masih belum siap menikah dalam waktu dekat, dia masih berkeinginan mengembangkan usahanya. Aku takut, jika aku memberitahunya, dia tidak akan terima dan malah mengakhiri hubunganku dengannya,” jawab Laras yang sedih dan begitu frustasi. Bintang lagi-lagi syok mendengar jawaban Laras, hingga kemudian marah