Bintang begitu syok mendengar pengakuan Laras, belum lagi sahabatnya itu kembali menangis sesenggukan hingga membuat Bintang kembali bingung. “Ras, jangan bilang yang membuatmu hamil adalah Anta.” Meski sudah yakin, tetap saja Bintang menebak dan bicara dengan hati-hati. Laras masih menangis tapi sudah tidak terlalu keras seperti tadi. Dia pun mencoba menghentikan tangisnya agar bisa bicara ke Bintang. “Apa Anta tahu?” tanya Bintang kemudian. Dia sudah bisa menebak jika jawabannya memang Anta, dari sikap Laras yang diam. Laras menggelengkan kepala. Dia masih sesenggukan dan mengatur napasnya. “Kenapa tidak beritahu dia?” tanya Bintang lagi. “Aku takut, Bin. Saat itu Anta bilang masih belum siap menikah dalam waktu dekat, dia masih berkeinginan mengembangkan usahanya. Aku takut, jika aku memberitahunya, dia tidak akan terima dan malah mengakhiri hubunganku dengannya,” jawab Laras yang sedih dan begitu frustasi. Bintang lagi-lagi syok mendengar jawaban Laras, hingga kemudian marah
Beberapa saat setelah kepergian Langit. Anta terlihat cemas karena pikiran negatif memenuhi kepala. Semua karena ucapan Langit yang meracuni pikiran Anta. Anta meninggalkan kafe untuk pergi ke rumah kontrakan Laras. Sudah sehari mereka saling diam dan tidak berbalas pesan, membuat Anta gelisah dan ingin mencari kepastian. Dia juga tidak mau diberi harapan palsu oleh Laras, karena Anta benar-benar menyukai cinta pertamanya itu. Mobil Anta sudah sampai di halaman rumah kontrakan Laras. Anta buru-buru turun dari mobil dan berjalan cepat menuju rumah, sebelum kemudian mengetuk pintu dengan kuat. “Ras, kita perlu bicara!” teriak Anta, kemudian kembali mengetuk pintu. Di dalam rumah.Laras sangat terkejut mendengar Anta memanggil dirinya. Dia panik dan berpikir jika Bintang menceritakan kehamilannya kepada Anta. “Apa Bintang cerita? Kenapa dia berbohong? Dia sudah janji akan nunggu aku siap,” gumam Laras dengan ekspresi wajah panik. Dia sampai takut mendekat ke pintu. Laras benar-benar
Bintang dan Langit baru saja sampai di rumah Laras, mereka melihat mobil Anta yang terparkir sembarangan di bahu jalan, bahkan mesin mobil masih menyala.Bintang langsung keluar dari mobil, saat akan berlari masuk rumah, dia melihat Anta yang keluar menggendong Laras.“Apa yang terjadi kepadanya?” tanya Bintang panik.“Pingsan, kita bawa ke rumah sakit,” jawab Anta sambil berjalan tergesa-gesa.“Kamu duduk belakang, aku yang nyetir,” perintah Bintang.Langit malah bingung karena Bintang masuk ke mobil Anta. Dia pun akhirnya bersiap dan mengikuti mobil Anta.Anta terlihat sangat cemas, tidak menyangka jika Laras hamil dan kondisinya sampai seperti itu.“Dia cerita kepadamu kalau hamil, kenapa tidak bilang kepadaku?” tanya Anta dengan wajah cemas, merasa bersalah karena sudah memarahi dan menuduh Laras yang tidak-tidak.“Dia butuh waktu berpikir dan menenangkan diri sebelum bicara kepadamu!” balas Bintang dengan emosi. “Salah kamu juga, kenapa bilang masih ingin mengembangkan usaha dan
“Ras.” Laras sangat terkejut ketika melihat Anta di ruang inap itu. Dia sampai memalingkan muka karena marah, bingung, juga sedih. Anta menemui Laras setelah dipindah ke ruang inap karena Laras harus mendapatkan perawatan sebab mengalami dehidrasi, juga tubuhnya sangat lemah yang beresiko untuk kandungannya. Bintang memang belum memberitahu Laras jika Anta di sana dan sudah tahu soal kehamilan Laras, karena takut jika Laras semakin syok. “Kalian bicara dulu, aku akan keluar,” kata Bintang. Laras tidak ingin ditinggal karena takut berdebat dengan Anta, tapi Bintang meninggalkannya begitu saja. Bintang menatap Anta, sebelum keluar dia berbisik, “Pelan-pelan menghadapinya, jangan membuatnya syok atau aku akan benar-benar memusuhimu jika sampai terjadi sesuatu dengan kandungan Laras.” “Iya, aku tahu.” Anta benar-benar tidak menyangka Bintang akan segalak itu kepadanya. Bintang pun meninggalkan Laras bersama Anta, memilih keluar bersama Langit dan menunggu di depan kamar. Anta menat
Bintang melihat suaminya yang terus mondar-mandir, seolah bingung mau ke mana dan mau apa. Sejak berdebat di rumah sakit tadi, Langit tidak mau bicara dengan Bintang, tentu saja hal itu membuat Bintang sedih. “El.” Bintang mencoba mengajak bicara. “Hm ….” Langit hanya menanggapi panggilan Bintang hanya dengan sebuah dehaman. Langit tidak mau menatap Bintang. Dia berdiri di depan rak buku yang ada di kamar itu, menatap deretan buku di sana, tapi tidak kunjung mengambil. Bintang tahu Langit marah karena dia bersikeras ingin hamil. Meski alasan Langit masuk akal, tapi wajar jika Bintang menginginkan hal itu. Dia turun dari ranjang, mendekat ke arah Langit, lantas memeluknya dari belakang. Langit terkejut hingga bergeming di tempatnya, tanpa menoleh tanpa bersuara. “El, kamu masih marah?” tanya Bintang sambil memeluk erat dan menyandarkan kepala di punggung Langit. “Tidak,” jawab Langit dengan suara datar. “Lalu, kenapa kamu mengabaikanku?” tanya Bintang lagi, bersabar karena Langi
Bintang berdiri di depan meja pantry, mengaduk kopi tanpa akhir dan tatapannya begitu kosong. Dia masih memikirkan perdebatan dengan suaminya semalam.Langit baru saja bangun, hingga melihat Bintang yang berdiri di depan meja pantry begitu lama. Dia pun mendekat untuk melihat apa yang sedang dilakukan istrinya, hingga mendapati istrinya sedang melamun.“Bin.” Langit mencoba menyadarkan sang istri dari lamunan.Bintang terkejut dan menoleh, melihat suaminya yang kini sedang menatap dirinya.“Kamu baru bangun, aku membuatkan kopi untukmu,” ucap Bintang dengan seulas senyum, mungkin senyum terpaksa.Bintang membawa cangkir kopi itu ke meja makan dan hendak bersiap membuat sarapan. Langit tahu jika Bintang masih marah atau sedih, dilihat dari cara Bintang bicara saja terlihat tidak seperti biasanya. Langit menahan lengan Bintang, membuat langkah istrinya itu terhenti. Bintang memandang Langit tanpa senyum, terlihat tatapan sendu terpancar dari matanya.“Masih marah?” tanya Langit.“Tidak
“Bin.” Bintang sangat terkejut mendengar suara memanggil dirinya. Dia menoleh dan melihat siapa yang berdiri memandangnya. Bintang buru-buru menghapus air mata yang sempat menetes dari pelupuk mata. Langit berdiri menatap Bintang yang baru saja melihat bayi. Dia datang untuk menyusul Bintang, hingga melihat istrinya yang berjalan sambil melamun dan mengarah ke ruang perawatan bayi. Langit berdiri sedikit jauh, memandang sang istri yang sedang melihat bayi di sana. “Kamu sudah datang, kupikir kamu akan lama, tadi aku berniat pulang naik taksi.” Bintang mencoba menutupi kesedihannya. Dia berjalan menghampiri Langit. Langit masih berdiri di tempatnya, memandang Bintang yang berjalan ke arahnya. “Ayo pulang, kamu mau makan apa, aku akan masak,” kata Bintang sambil berjalan melewati Langit. Langit membalikkan badan, lantas menatap punggung istrinya yang sudah berjalan terlebih dahulu. Dia pun kemudian menyusul Bintang, berjalan di belakangnya, seperti mereka tidak saling mengenal. **
Anta begitu cemas, apalagi saat melihat kedua orangtuanya yang diam karena terkejut, hingga dia melihat sang mama yang memijat kening.Surya menoleh Kate, lantas menatap Anta yang sedang menunggu respon mereka.“Apa wanita itu Laras?” tanya Surya.Tentu saja Surya menebak Laras karena melihat Anta dekat dengan anak dari mantan asisten Arlan itu. Juga bahkan saat di pesta pernikahan Bintang dan Langit, sang putra terus bersama Laras.“Ya,” jawab Anta sambil mengusap tengkuk karena canggung.Kate menatap sang putra. Dia memang terkejut tapi tidak begitu syok apalagi sampai marah-marah karena perbuatan sang putra. Kate sendiri menyadari jika dia dulu juga hamil duluan, meski bukan dengan Surya, tapi pria itu yang mau menikahi dan memberikan nama di akta kelahiran anaknya.“Kamu mencintainya?” tanya Kate membuka suara setelah beberapa saat terkejut.“Tentu saja,” jawab Anta.“Kamu mau menikahinya karena benar-benar ingin menikahinya, bukan karena terpaksa atau takut dilaporkan ke kantor p