Bintang dan Langit baru saja sampai di rumah Laras, mereka melihat mobil Anta yang terparkir sembarangan di bahu jalan, bahkan mesin mobil masih menyala.Bintang langsung keluar dari mobil, saat akan berlari masuk rumah, dia melihat Anta yang keluar menggendong Laras.“Apa yang terjadi kepadanya?” tanya Bintang panik.“Pingsan, kita bawa ke rumah sakit,” jawab Anta sambil berjalan tergesa-gesa.“Kamu duduk belakang, aku yang nyetir,” perintah Bintang.Langit malah bingung karena Bintang masuk ke mobil Anta. Dia pun akhirnya bersiap dan mengikuti mobil Anta.Anta terlihat sangat cemas, tidak menyangka jika Laras hamil dan kondisinya sampai seperti itu.“Dia cerita kepadamu kalau hamil, kenapa tidak bilang kepadaku?” tanya Anta dengan wajah cemas, merasa bersalah karena sudah memarahi dan menuduh Laras yang tidak-tidak.“Dia butuh waktu berpikir dan menenangkan diri sebelum bicara kepadamu!” balas Bintang dengan emosi. “Salah kamu juga, kenapa bilang masih ingin mengembangkan usaha dan
“Ras.” Laras sangat terkejut ketika melihat Anta di ruang inap itu. Dia sampai memalingkan muka karena marah, bingung, juga sedih. Anta menemui Laras setelah dipindah ke ruang inap karena Laras harus mendapatkan perawatan sebab mengalami dehidrasi, juga tubuhnya sangat lemah yang beresiko untuk kandungannya. Bintang memang belum memberitahu Laras jika Anta di sana dan sudah tahu soal kehamilan Laras, karena takut jika Laras semakin syok. “Kalian bicara dulu, aku akan keluar,” kata Bintang. Laras tidak ingin ditinggal karena takut berdebat dengan Anta, tapi Bintang meninggalkannya begitu saja. Bintang menatap Anta, sebelum keluar dia berbisik, “Pelan-pelan menghadapinya, jangan membuatnya syok atau aku akan benar-benar memusuhimu jika sampai terjadi sesuatu dengan kandungan Laras.” “Iya, aku tahu.” Anta benar-benar tidak menyangka Bintang akan segalak itu kepadanya. Bintang pun meninggalkan Laras bersama Anta, memilih keluar bersama Langit dan menunggu di depan kamar. Anta menat
Bintang melihat suaminya yang terus mondar-mandir, seolah bingung mau ke mana dan mau apa. Sejak berdebat di rumah sakit tadi, Langit tidak mau bicara dengan Bintang, tentu saja hal itu membuat Bintang sedih. “El.” Bintang mencoba mengajak bicara. “Hm ….” Langit hanya menanggapi panggilan Bintang hanya dengan sebuah dehaman. Langit tidak mau menatap Bintang. Dia berdiri di depan rak buku yang ada di kamar itu, menatap deretan buku di sana, tapi tidak kunjung mengambil. Bintang tahu Langit marah karena dia bersikeras ingin hamil. Meski alasan Langit masuk akal, tapi wajar jika Bintang menginginkan hal itu. Dia turun dari ranjang, mendekat ke arah Langit, lantas memeluknya dari belakang. Langit terkejut hingga bergeming di tempatnya, tanpa menoleh tanpa bersuara. “El, kamu masih marah?” tanya Bintang sambil memeluk erat dan menyandarkan kepala di punggung Langit. “Tidak,” jawab Langit dengan suara datar. “Lalu, kenapa kamu mengabaikanku?” tanya Bintang lagi, bersabar karena Langi
Bintang berdiri di depan meja pantry, mengaduk kopi tanpa akhir dan tatapannya begitu kosong. Dia masih memikirkan perdebatan dengan suaminya semalam.Langit baru saja bangun, hingga melihat Bintang yang berdiri di depan meja pantry begitu lama. Dia pun mendekat untuk melihat apa yang sedang dilakukan istrinya, hingga mendapati istrinya sedang melamun.“Bin.” Langit mencoba menyadarkan sang istri dari lamunan.Bintang terkejut dan menoleh, melihat suaminya yang kini sedang menatap dirinya.“Kamu baru bangun, aku membuatkan kopi untukmu,” ucap Bintang dengan seulas senyum, mungkin senyum terpaksa.Bintang membawa cangkir kopi itu ke meja makan dan hendak bersiap membuat sarapan. Langit tahu jika Bintang masih marah atau sedih, dilihat dari cara Bintang bicara saja terlihat tidak seperti biasanya. Langit menahan lengan Bintang, membuat langkah istrinya itu terhenti. Bintang memandang Langit tanpa senyum, terlihat tatapan sendu terpancar dari matanya.“Masih marah?” tanya Langit.“Tidak
“Bin.” Bintang sangat terkejut mendengar suara memanggil dirinya. Dia menoleh dan melihat siapa yang berdiri memandangnya. Bintang buru-buru menghapus air mata yang sempat menetes dari pelupuk mata. Langit berdiri menatap Bintang yang baru saja melihat bayi. Dia datang untuk menyusul Bintang, hingga melihat istrinya yang berjalan sambil melamun dan mengarah ke ruang perawatan bayi. Langit berdiri sedikit jauh, memandang sang istri yang sedang melihat bayi di sana. “Kamu sudah datang, kupikir kamu akan lama, tadi aku berniat pulang naik taksi.” Bintang mencoba menutupi kesedihannya. Dia berjalan menghampiri Langit. Langit masih berdiri di tempatnya, memandang Bintang yang berjalan ke arahnya. “Ayo pulang, kamu mau makan apa, aku akan masak,” kata Bintang sambil berjalan melewati Langit. Langit membalikkan badan, lantas menatap punggung istrinya yang sudah berjalan terlebih dahulu. Dia pun kemudian menyusul Bintang, berjalan di belakangnya, seperti mereka tidak saling mengenal. **
Anta begitu cemas, apalagi saat melihat kedua orangtuanya yang diam karena terkejut, hingga dia melihat sang mama yang memijat kening.Surya menoleh Kate, lantas menatap Anta yang sedang menunggu respon mereka.“Apa wanita itu Laras?” tanya Surya.Tentu saja Surya menebak Laras karena melihat Anta dekat dengan anak dari mantan asisten Arlan itu. Juga bahkan saat di pesta pernikahan Bintang dan Langit, sang putra terus bersama Laras.“Ya,” jawab Anta sambil mengusap tengkuk karena canggung.Kate menatap sang putra. Dia memang terkejut tapi tidak begitu syok apalagi sampai marah-marah karena perbuatan sang putra. Kate sendiri menyadari jika dia dulu juga hamil duluan, meski bukan dengan Surya, tapi pria itu yang mau menikahi dan memberikan nama di akta kelahiran anaknya.“Kamu mencintainya?” tanya Kate membuka suara setelah beberapa saat terkejut.“Tentu saja,” jawab Anta.“Kamu mau menikahinya karena benar-benar ingin menikahinya, bukan karena terpaksa atau takut dilaporkan ke kantor p
“Aku sudah memberitahu mama dan papa soal Laras.” Bintang langsung menegakkan badan mendengar ucapan Anta. Bintang datang ke rumah sakit di hari berikutnya untuk melihat kondisi Laras yang sudah membaik sekarang. “Lalu, bagaimana reaksi mereka?” tanya Bintang penasaran. “Tidak bagaimana-bagaimana,” jawab Anta. Bintang mengerutkan alis mendengar jawaban Anta, rasanya aneh mendengar orangtua Anta tidak marah atau syok. “Yakin ga marah atau bagaimana?” tanya Bintang penasaran. Laras pun penasarang, tapi memilih mendengarkan percakapan Bintang dan Anta. “Iya. Mereka hanya tanya apa aku serius ingin menikahi Laras. Jika ya, mereka akan melamar Laras untukku,” jawab Anta meyakinkan. Bintang menggaruk kepala tidak gatal, lantas menoleh Laras yang juga terbengong. Laras sendiri sudah tahu jika orangtua Anta akan melamarnya, hanya saja tidak bertanya sedetail Bintang, kenapa orangtua Anta terdengar biasa saja ketika Anta cerita. “Ya sudahlah, terpenting kamu tidak digantung di tiang la
Bintang membuka pintu kamar resort tempat dia akan menginap dengan Langit. Dia terlihat senang dan mengagumi kamar itu. “Kamarnya luas dan indah,” kata Bintang. “Masuklah, lihat yang ada di luar pintu itu,” balas Langit sambil menunjuk dengan dagu. Bintang menoleh Langit dengan rasa penasaran, hingga kemudian buru-buru berjalan ke arah pintu kaca yang ada di kamar itu. Bintang membuka gorden, hingga begitu takjub saat melihat pemandangan dari sana. “Sangat indah.” Bintang menggeser pintu kaca itu, lantas keluar di balkon, memandang ke arah laut yang begitu indah saat di pandang dari tempatnya berdiri sekarang. Langit masuk membawa koper mereka, meletakkan di sudut lemari, lantas menghampiri Bintang yang berdiri di luar. “Kita jalan-jalan saat sudah tidak terlalu terik,” kata Langit sambil memeluk Bintang dari belakang. Langit senang karena Bintang begitu bahagia dan menyukai tempat itu. Dia memeluk erat sambil menyandarkan kepala di pundak Bintang. “Iya, aku tidak sabar,” balas