Bintang dan Langit masih saling menautkan bibir. Hingga Langit melangkah masuk dengan bibir yang masih saling bertautan. Mereka semakin terbakar gairah, bahkan Langit sudah membuka pakaiannya, sebelum kembali mengukung tubuh Bintang di bawahnya. Bintang memejamkan mata, dia tidak memprediksi jika Langit akan melakukan ini dengan cepat saat mereka baru saja sampai di resort. Keduanya masih saling memagut, hingga gairah tidak tertahan untuk melakukan penyatuan. “Sebentar.” Langit bangkit dari atas tubuh Bintang, tentu saja untuk mengambil alat kontrasepsi yang dibawanya. Bintang sedikit cemas, hingga kemudian menahan tangan Langit. “Apa kamu tidak bisa, sekali saja jangan memakai alat itu?” tanya Bintang dengan tatapan memohon. Langit menggelengkan kepala menolak permintaan Bintang. Dia berjalan ke arah koper tergeletak dan hendak mengambil alat itu. Bintang menggigit bibir bawahnya, Langit masih menolak permintaannya, kini pria itu pasti akan marah jika tahu alat itu dikeluarkan
Langit benar-benar panik. Dia mencari ke segala penjuru pantai, tapi tidak menemukan Bintang.“Ya Tuhan, Bin.”Langit mengguyar kasar rambut ke belakang, masih mencoba mencari meski belum juga menemukan. Dia akhirnya memutuskan kembali ke resort untuk meminta bantuan mencari Bintang.Hingga langkah Langit terhenti sebelum sampai di resort. Dia menoleh dan melihat Bintang berjongkok sambil menyembunyikan wajah di antara lutut yang dipeluk kedua tangan. Langit mencari Bintang ke sana-kemari, tapi ternyata istrinya berada di samping resort, berjongkok di sana entah sudah berapa lama.“Bin.” Langit memanggil lirih karena takut Bintang lari lagi. Dia mendekat dan ikut berjongkok di depan Bintang.Bintang merasakan ada seseorang yang berada di hadapannya. Dia mengangkat kepala, hingga terlihat wajahnya yang basah.Langit sedih melihat Bintang menangis, merasa bersalah karena setelah menikah masih belum bisa membahagiakan istrinya. Dia mengulurkan tangan untuk mengusap air mata yang membasah
“Bu.” Laras sangat cemas melihat Wulan tidak sadarkan diri, sedangkan Dodi masih terlihat kesal dan marah karena hal yang dialami putrinya.Anta sendiri hanya bisa diam dan tidak bicara sepatah kata pun. Meski Dodi mengenal siapa keluarga Anta, ternyata tidak menjamin pria itu untuk tidak marah kepadanya.“Bu.” Laras melihat Wulan yang mulai membuka mata.Dodi pun berpindah duduk di samping sang istri, lantas membantu Wulan yang hendak bangun.Wulan sendiri masih merasakan kepala yang terasa pusing, duduk sambil memegangi kepala dengan wajah pucat. Dia lantas menatap Anta yang diam dengan wajah cemas, sebelum akhirnya memandang anak dan suaminya.“Minum dulu, Bu.” Laras memberikan teh hangat yang tadi dibuat Wulan.Wulan belum bicara karena syok, memilih meminum teh untuk sekadar menyegarkan tubuhnya.“Sudah.” Wulan bicara dengan lemas dan menolak minum lagi.Laras kembali duduk di samping Anta, sedangkan Dodi masih memperhatikan sang istri yang pucat.Laras diam menunduk, sadar jika
“Kamu benar-benar mengizinkan?” tanya Bintang dengan bola mata berkaca-kaca. “Hm … asal kamu ingat janjimu,” jawab Langit dengan terpaksa. Bintang langsung melebarkan senyum, bahkan merangkulkan kedua tangan di leher suaminya, sampai duduk di pangkuan Langit. “Beneran izinin?” tanya Bintang lagi seolah tidak puas hanya dengan satu jawaban. “Mau aku berubah pikiran?” Langit kesal sendiri karena kalah dari istrinya. Bintang langsung menggeleng kepala cepat mendengar pertanyaan Langit. “Ya, jangan. Masa baru bikin istri senang, sudah mau bikin ngambek lagi. Apa aku perlu marah lagi, nih.” Bintang pura-pura hendak bangun dari pangkuan Langit, tapi langsung dicegah. “Dasar ngambekkan.” Langit merengkuh erat pinggang Bintang, lantas menyandarkan kepala di bahu istrinya itu. “Bin.” “Ya.” “Kamu bahagia?” tanya Langit sambil menyandarkan kepala, memejamkan mata dan menunggu jawaban Bintang. “Ya, aku bahagia,” jawab Bintang sambil mengusap rambut Langit. Langit membuka mata, menatap
Langit dan Bintang sudah berlibur selama tiga hari. Malam itu mereka duduk di pantai, saling menyandarkan kepala sambil menikmati deburan ombak yang menggulung dan pecah di bibir pantai.“Kamu tahu apa yang sangat membuatku senang, El.” Bintang bicara sambil menatap tautan jemari mereka.“Karena keinginanmu terpenuhi,” jawab Langit.Langit benar-benar menahan diri setelah pergulatan panasnya dengan Bintang tanpa alat pengaman hari itu. Bukannya tidak bisa atau tidak ada yang menjual alat pengaman, hanya saja Langit seperti takut jika sampai Bintang hamil, meski setelahnya memakai pengaman.“Itu salah satunya. Tapi yang lebih membuatku senang, aku bisa bersamamu. Duduk menikmati pantai, tanpa perdebatan,” ucap Bintang sambil mempererat genggaman tangan mereka.“Bukan aku yang memulai perdebatan,” elak Langit karena istrinya yang bersikukuh dengan keinginannya.Bintang langsung melebarkan senyum hingga menunjukkan deretan gigi putihnya mendengar ucapan Langit. Dia meletakkan dagu di pun
Langit mendekat ke Bintang, menatap sang istri yang terlihat cemas dan ragu. “Ada apa, hm? Apa aku mengatakan sesuatu yang salah, hingga kamu bertanya seperti itu?” tanya Langit cemas jika sampai salah bicara kemudian membuat Bintang banyak berpikir. Bintang menggeleng kepala dengan sedikit menunduk. Dia lantas menatap sendu ke Langit. “Ada apa?” tanya Langit sambil menangkup kedua pipi Bintang. Bintang mengulas senyum dengan sedikit dipaksakan, sebelum kemudian memeluk Langit, membuat suaminya itu terkejut. Bohong jika Bintang tidak memikirkan ucapan Annetha. Dia merasa jika baik Langit, Annetha, mungkin juga Arlan, sama-sama tidak menginginkan dia hamil. “Tidak ada, aku hanya takut kamu masih tidak setuju kemudian membenciku,” ujar Bintang sambil memejamkan mata. Langit sangat terkejut mendengar ucapan Bintang, tidak mengerti kenapa sang istri sampai berpikiran seperti itu. “Bagaimana bisa kamu merasa aku akan seperti itu, hm? Jangan banyak berpikiran berlebih, Bin. Ingat, kam
“Kakak mau aku ambilkan minum?”Liandra tiba-tiba mendekati Langit yang sedang duduk sendiri karena Bintang bersama Laras di kamar.Langit tentu saja terkejut. Dia menggelengkan kepala dengan seulas senyum agar sopan, karena tahu Liandra adik Laras.“Tidak usah, aku baru saja minum,” ucap Langit menolak permintaan Liandra.“Apa mau makan? Biar aku ambilkan.” Liandra kembali menawari. Berbasa-basi untuk bisa mendekati Langit.“Tidak usah.” Langit kembali menolak.Liandra sedikit kesal karena Langit terus menolak. Hingga dia tiba-tiba duduk di samping Langit, membuat pria itu terkejut dibuatnya.“Oh ya, kata Kak Laras, Kak Langit kerja di perusahaan majalah, ‘kan? Jika nanti aku lulus kuliah, apa bisa dibantu masuk kerja di sana?” tanya Liandra yang bicara sambil tersenyum manis.“Jika kamu memang kuliah dibidangnya, atau cocok bekerja di perusahaan kami, kamu bisa mengajukan lamaran kerjanya. Semua tetap harus melalui interview,” ujar Langit menjelaskan.Liandra mengangguk-angguk, hing
Ini sudah sebulan semenjak Bintang dan Langit liburan. Hari itu Langit sedang memakai dasi untuk bersiap ke perusahaan seperti biasa.“Bin, kamu belum selesai di kamar mandi? Kita kesiangan, jangan sampai kamu telat sarapan.”Langit meneriaki Bintang karena masih di kamar mandi cukup lama.“Ya, aku sudah selesai. Pergilah ke ruang makan dulu, aku akan menyusul!” Suara Bintang terdengar dari kamar mandi.Langit menoleh ke kamar mandi, lantas memilih pergi ke ruang makan sambil menunggu sang istri menyusul untuk sarapan.Langit duduk sambil menikmati kopi, belum makan karena terbiasa makan bersamaan dengan Bintang.“Tumben kamu lama sekali di kamar mandi?” tanya Langit ketika melihat Bintang yang baru saja datang.“Perutku tba-tiba mulas, entah apa aku salah makan,” jawab Bintang. Dia menarik kursi samping Langit, lantas mengambil gelas berisi susu yang biasa diminumnya.Langit sedang menyesap kopi ketika mendengar jawaban Bintang, hingga menatap sang istri yang memang terlihat kurang s