Bintang berdiri di depan meja pantry, mengaduk kopi tanpa akhir dan tatapannya begitu kosong. Dia masih memikirkan perdebatan dengan suaminya semalam.Langit baru saja bangun, hingga melihat Bintang yang berdiri di depan meja pantry begitu lama. Dia pun mendekat untuk melihat apa yang sedang dilakukan istrinya, hingga mendapati istrinya sedang melamun.“Bin.” Langit mencoba menyadarkan sang istri dari lamunan.Bintang terkejut dan menoleh, melihat suaminya yang kini sedang menatap dirinya.“Kamu baru bangun, aku membuatkan kopi untukmu,” ucap Bintang dengan seulas senyum, mungkin senyum terpaksa.Bintang membawa cangkir kopi itu ke meja makan dan hendak bersiap membuat sarapan. Langit tahu jika Bintang masih marah atau sedih, dilihat dari cara Bintang bicara saja terlihat tidak seperti biasanya. Langit menahan lengan Bintang, membuat langkah istrinya itu terhenti. Bintang memandang Langit tanpa senyum, terlihat tatapan sendu terpancar dari matanya.“Masih marah?” tanya Langit.“Tidak
“Bin.” Bintang sangat terkejut mendengar suara memanggil dirinya. Dia menoleh dan melihat siapa yang berdiri memandangnya. Bintang buru-buru menghapus air mata yang sempat menetes dari pelupuk mata. Langit berdiri menatap Bintang yang baru saja melihat bayi. Dia datang untuk menyusul Bintang, hingga melihat istrinya yang berjalan sambil melamun dan mengarah ke ruang perawatan bayi. Langit berdiri sedikit jauh, memandang sang istri yang sedang melihat bayi di sana. “Kamu sudah datang, kupikir kamu akan lama, tadi aku berniat pulang naik taksi.” Bintang mencoba menutupi kesedihannya. Dia berjalan menghampiri Langit. Langit masih berdiri di tempatnya, memandang Bintang yang berjalan ke arahnya. “Ayo pulang, kamu mau makan apa, aku akan masak,” kata Bintang sambil berjalan melewati Langit. Langit membalikkan badan, lantas menatap punggung istrinya yang sudah berjalan terlebih dahulu. Dia pun kemudian menyusul Bintang, berjalan di belakangnya, seperti mereka tidak saling mengenal. **
Anta begitu cemas, apalagi saat melihat kedua orangtuanya yang diam karena terkejut, hingga dia melihat sang mama yang memijat kening.Surya menoleh Kate, lantas menatap Anta yang sedang menunggu respon mereka.“Apa wanita itu Laras?” tanya Surya.Tentu saja Surya menebak Laras karena melihat Anta dekat dengan anak dari mantan asisten Arlan itu. Juga bahkan saat di pesta pernikahan Bintang dan Langit, sang putra terus bersama Laras.“Ya,” jawab Anta sambil mengusap tengkuk karena canggung.Kate menatap sang putra. Dia memang terkejut tapi tidak begitu syok apalagi sampai marah-marah karena perbuatan sang putra. Kate sendiri menyadari jika dia dulu juga hamil duluan, meski bukan dengan Surya, tapi pria itu yang mau menikahi dan memberikan nama di akta kelahiran anaknya.“Kamu mencintainya?” tanya Kate membuka suara setelah beberapa saat terkejut.“Tentu saja,” jawab Anta.“Kamu mau menikahinya karena benar-benar ingin menikahinya, bukan karena terpaksa atau takut dilaporkan ke kantor p
“Aku sudah memberitahu mama dan papa soal Laras.” Bintang langsung menegakkan badan mendengar ucapan Anta. Bintang datang ke rumah sakit di hari berikutnya untuk melihat kondisi Laras yang sudah membaik sekarang. “Lalu, bagaimana reaksi mereka?” tanya Bintang penasaran. “Tidak bagaimana-bagaimana,” jawab Anta. Bintang mengerutkan alis mendengar jawaban Anta, rasanya aneh mendengar orangtua Anta tidak marah atau syok. “Yakin ga marah atau bagaimana?” tanya Bintang penasaran. Laras pun penasarang, tapi memilih mendengarkan percakapan Bintang dan Anta. “Iya. Mereka hanya tanya apa aku serius ingin menikahi Laras. Jika ya, mereka akan melamar Laras untukku,” jawab Anta meyakinkan. Bintang menggaruk kepala tidak gatal, lantas menoleh Laras yang juga terbengong. Laras sendiri sudah tahu jika orangtua Anta akan melamarnya, hanya saja tidak bertanya sedetail Bintang, kenapa orangtua Anta terdengar biasa saja ketika Anta cerita. “Ya sudahlah, terpenting kamu tidak digantung di tiang la
Bintang membuka pintu kamar resort tempat dia akan menginap dengan Langit. Dia terlihat senang dan mengagumi kamar itu. “Kamarnya luas dan indah,” kata Bintang. “Masuklah, lihat yang ada di luar pintu itu,” balas Langit sambil menunjuk dengan dagu. Bintang menoleh Langit dengan rasa penasaran, hingga kemudian buru-buru berjalan ke arah pintu kaca yang ada di kamar itu. Bintang membuka gorden, hingga begitu takjub saat melihat pemandangan dari sana. “Sangat indah.” Bintang menggeser pintu kaca itu, lantas keluar di balkon, memandang ke arah laut yang begitu indah saat di pandang dari tempatnya berdiri sekarang. Langit masuk membawa koper mereka, meletakkan di sudut lemari, lantas menghampiri Bintang yang berdiri di luar. “Kita jalan-jalan saat sudah tidak terlalu terik,” kata Langit sambil memeluk Bintang dari belakang. Langit senang karena Bintang begitu bahagia dan menyukai tempat itu. Dia memeluk erat sambil menyandarkan kepala di pundak Bintang. “Iya, aku tidak sabar,” balas
Bintang dan Langit masih saling menautkan bibir. Hingga Langit melangkah masuk dengan bibir yang masih saling bertautan. Mereka semakin terbakar gairah, bahkan Langit sudah membuka pakaiannya, sebelum kembali mengukung tubuh Bintang di bawahnya. Bintang memejamkan mata, dia tidak memprediksi jika Langit akan melakukan ini dengan cepat saat mereka baru saja sampai di resort. Keduanya masih saling memagut, hingga gairah tidak tertahan untuk melakukan penyatuan. “Sebentar.” Langit bangkit dari atas tubuh Bintang, tentu saja untuk mengambil alat kontrasepsi yang dibawanya. Bintang sedikit cemas, hingga kemudian menahan tangan Langit. “Apa kamu tidak bisa, sekali saja jangan memakai alat itu?” tanya Bintang dengan tatapan memohon. Langit menggelengkan kepala menolak permintaan Bintang. Dia berjalan ke arah koper tergeletak dan hendak mengambil alat itu. Bintang menggigit bibir bawahnya, Langit masih menolak permintaannya, kini pria itu pasti akan marah jika tahu alat itu dikeluarkan
Langit benar-benar panik. Dia mencari ke segala penjuru pantai, tapi tidak menemukan Bintang.“Ya Tuhan, Bin.”Langit mengguyar kasar rambut ke belakang, masih mencoba mencari meski belum juga menemukan. Dia akhirnya memutuskan kembali ke resort untuk meminta bantuan mencari Bintang.Hingga langkah Langit terhenti sebelum sampai di resort. Dia menoleh dan melihat Bintang berjongkok sambil menyembunyikan wajah di antara lutut yang dipeluk kedua tangan. Langit mencari Bintang ke sana-kemari, tapi ternyata istrinya berada di samping resort, berjongkok di sana entah sudah berapa lama.“Bin.” Langit memanggil lirih karena takut Bintang lari lagi. Dia mendekat dan ikut berjongkok di depan Bintang.Bintang merasakan ada seseorang yang berada di hadapannya. Dia mengangkat kepala, hingga terlihat wajahnya yang basah.Langit sedih melihat Bintang menangis, merasa bersalah karena setelah menikah masih belum bisa membahagiakan istrinya. Dia mengulurkan tangan untuk mengusap air mata yang membasah
“Bu.” Laras sangat cemas melihat Wulan tidak sadarkan diri, sedangkan Dodi masih terlihat kesal dan marah karena hal yang dialami putrinya.Anta sendiri hanya bisa diam dan tidak bicara sepatah kata pun. Meski Dodi mengenal siapa keluarga Anta, ternyata tidak menjamin pria itu untuk tidak marah kepadanya.“Bu.” Laras melihat Wulan yang mulai membuka mata.Dodi pun berpindah duduk di samping sang istri, lantas membantu Wulan yang hendak bangun.Wulan sendiri masih merasakan kepala yang terasa pusing, duduk sambil memegangi kepala dengan wajah pucat. Dia lantas menatap Anta yang diam dengan wajah cemas, sebelum akhirnya memandang anak dan suaminya.“Minum dulu, Bu.” Laras memberikan teh hangat yang tadi dibuat Wulan.Wulan belum bicara karena syok, memilih meminum teh untuk sekadar menyegarkan tubuhnya.“Sudah.” Wulan bicara dengan lemas dan menolak minum lagi.Laras kembali duduk di samping Anta, sedangkan Dodi masih memperhatikan sang istri yang pucat.Laras diam menunduk, sadar jika