Bintang dan Langit menginap di rumah Arlan malam itu. Mereka berada di kamar setelah makan malam, Langit mengeksplore kamar Bintang karena sebelumnya belum pernah masuk ke kamar istrinya itu, biasanya hanya sampai depan kamar, atau dia akan diseret paksa Arlan keluar kamar jika memaksa masuk, karena sebelumnya belum sah.“Kamu lihat apa? Tidak ada yang bisa dilihat dari kamarku,” kata Bintang saat baru saja keluar dari kamar mandi.“Banyak, aku lihat meja rias, lemari, sofa, gorden,” jawab Langit dengan nada candaan.Bintang tertawa mendengar candaan Langit. Dia mendekat dan langsung melingkarkan kedua lengan di leher Langit dari belakang, bergelayut manja sambil memandang Langit dari samping.“Mau lihat sesuatu? Tapi janji jangan nangis,” kata Bintang.“Apa?” tanya Langit.Bintang melepas kedua tangan dari leher Langit, lantas berjalan ke lemari pakaiannya, membuka salah satu pintu dan mengambil sesuatu dari sana.Langit mengerutkan alis, melihat Bintang kini mengeluarkan sebuah kota
Langit duduk berhadapan dengan Arlan, rasanya duduk dengan mertuanya itu lebih menakutkan daripada akan sidang skripsi.“Ada apa, Pi?” tanya Langit karena Arlan tidak kunjung bicara.Arlan melirik tapi tidak langsung menjawab. Dia malah mengambil cangkir kopi yang ada di meja, kemudian menyesapnya perlahan.Langit semakin salah tingkah, tidak paham kenapa Arlan mengajaknya bicara, tapi malah hanya diam.“Hanya duduk dan menikmati kopi saja apa tidak boleh?” Arlan bicara begitu selesai minum. Dia meletakkan cangkir di meja, lantas menatap Langit.Langit terkejut dan bingung mendengar ucapan Arlan, tapi dia memilih diam dan menunggu Arlan kembali bicara.“Bintang baru cerita soal hubungan kalian waktu SMA hari ini, meski sebenarnya aku sudah tahu sejak kalian berpisah, tapi aku memilih diam untuk menjaga hatinya,” ujar Arlan kemudian menatap Langit.Tubuh Langit mendadak beku mendengar ucapan Arlan, dari ucapan Arlan, Langit berpikir Arlan akan menyalahkan dirinya karena kondisi Bintang
Langit benar-benar pergi ke kafe Anta. Saat masuk melihat kafe itu masih sepi pengunjung dan Anta berada di belakang meja barista.“Ta.” Langit memanggil Anta yang sedang melamun.Anta terkejut karena ada yang memanggil, saat menoleh melihat Langit berjalan ke arahnya.“Kamu datang sendiri?” tanya Anta karena tidak melihat Bintang.“Ya, Bintang berada di rumah Laras,” jawab Langit.Mendengar nama Laras, membuat raut wajah Anta berubah. Tentu saja Langit menyadari hal itu.“Ada apa? Apa ada masalah?”Anta menatap Langit bingung, sampai akhirnya memilih membuatkan minum untuk Langit dan mengajak duduk bersama selagi kafe sepi.“Laras ingin bertemu dan bicara dengan Bintang sendiri. Apa kalian sedang ada masalah?” Langit langsung menembak Anta dengan pertanyaan.Anta mengembuskan napas kasar, bahkan menyugar rambut ke belakang dengan kedua tangan, seolah dia sedang benar-benar frustasi.“Entahlah, beberapa minggu ini sebenarnya Laras sedikit berubah,” jawab Anta.Langit mengerutkan alis,
Bintang begitu syok mendengar pengakuan Laras, belum lagi sahabatnya itu kembali menangis sesenggukan hingga membuat Bintang kembali bingung. “Ras, jangan bilang yang membuatmu hamil adalah Anta.” Meski sudah yakin, tetap saja Bintang menebak dan bicara dengan hati-hati. Laras masih menangis tapi sudah tidak terlalu keras seperti tadi. Dia pun mencoba menghentikan tangisnya agar bisa bicara ke Bintang. “Apa Anta tahu?” tanya Bintang kemudian. Dia sudah bisa menebak jika jawabannya memang Anta, dari sikap Laras yang diam. Laras menggelengkan kepala. Dia masih sesenggukan dan mengatur napasnya. “Kenapa tidak beritahu dia?” tanya Bintang lagi. “Aku takut, Bin. Saat itu Anta bilang masih belum siap menikah dalam waktu dekat, dia masih berkeinginan mengembangkan usahanya. Aku takut, jika aku memberitahunya, dia tidak akan terima dan malah mengakhiri hubunganku dengannya,” jawab Laras yang sedih dan begitu frustasi. Bintang lagi-lagi syok mendengar jawaban Laras, hingga kemudian marah
Beberapa saat setelah kepergian Langit. Anta terlihat cemas karena pikiran negatif memenuhi kepala. Semua karena ucapan Langit yang meracuni pikiran Anta. Anta meninggalkan kafe untuk pergi ke rumah kontrakan Laras. Sudah sehari mereka saling diam dan tidak berbalas pesan, membuat Anta gelisah dan ingin mencari kepastian. Dia juga tidak mau diberi harapan palsu oleh Laras, karena Anta benar-benar menyukai cinta pertamanya itu. Mobil Anta sudah sampai di halaman rumah kontrakan Laras. Anta buru-buru turun dari mobil dan berjalan cepat menuju rumah, sebelum kemudian mengetuk pintu dengan kuat. “Ras, kita perlu bicara!” teriak Anta, kemudian kembali mengetuk pintu. Di dalam rumah.Laras sangat terkejut mendengar Anta memanggil dirinya. Dia panik dan berpikir jika Bintang menceritakan kehamilannya kepada Anta. “Apa Bintang cerita? Kenapa dia berbohong? Dia sudah janji akan nunggu aku siap,” gumam Laras dengan ekspresi wajah panik. Dia sampai takut mendekat ke pintu. Laras benar-benar
Bintang dan Langit baru saja sampai di rumah Laras, mereka melihat mobil Anta yang terparkir sembarangan di bahu jalan, bahkan mesin mobil masih menyala.Bintang langsung keluar dari mobil, saat akan berlari masuk rumah, dia melihat Anta yang keluar menggendong Laras.“Apa yang terjadi kepadanya?” tanya Bintang panik.“Pingsan, kita bawa ke rumah sakit,” jawab Anta sambil berjalan tergesa-gesa.“Kamu duduk belakang, aku yang nyetir,” perintah Bintang.Langit malah bingung karena Bintang masuk ke mobil Anta. Dia pun akhirnya bersiap dan mengikuti mobil Anta.Anta terlihat sangat cemas, tidak menyangka jika Laras hamil dan kondisinya sampai seperti itu.“Dia cerita kepadamu kalau hamil, kenapa tidak bilang kepadaku?” tanya Anta dengan wajah cemas, merasa bersalah karena sudah memarahi dan menuduh Laras yang tidak-tidak.“Dia butuh waktu berpikir dan menenangkan diri sebelum bicara kepadamu!” balas Bintang dengan emosi. “Salah kamu juga, kenapa bilang masih ingin mengembangkan usaha dan
“Ras.” Laras sangat terkejut ketika melihat Anta di ruang inap itu. Dia sampai memalingkan muka karena marah, bingung, juga sedih. Anta menemui Laras setelah dipindah ke ruang inap karena Laras harus mendapatkan perawatan sebab mengalami dehidrasi, juga tubuhnya sangat lemah yang beresiko untuk kandungannya. Bintang memang belum memberitahu Laras jika Anta di sana dan sudah tahu soal kehamilan Laras, karena takut jika Laras semakin syok. “Kalian bicara dulu, aku akan keluar,” kata Bintang. Laras tidak ingin ditinggal karena takut berdebat dengan Anta, tapi Bintang meninggalkannya begitu saja. Bintang menatap Anta, sebelum keluar dia berbisik, “Pelan-pelan menghadapinya, jangan membuatnya syok atau aku akan benar-benar memusuhimu jika sampai terjadi sesuatu dengan kandungan Laras.” “Iya, aku tahu.” Anta benar-benar tidak menyangka Bintang akan segalak itu kepadanya. Bintang pun meninggalkan Laras bersama Anta, memilih keluar bersama Langit dan menunggu di depan kamar. Anta menat
Bintang melihat suaminya yang terus mondar-mandir, seolah bingung mau ke mana dan mau apa. Sejak berdebat di rumah sakit tadi, Langit tidak mau bicara dengan Bintang, tentu saja hal itu membuat Bintang sedih. “El.” Bintang mencoba mengajak bicara. “Hm ….” Langit hanya menanggapi panggilan Bintang hanya dengan sebuah dehaman. Langit tidak mau menatap Bintang. Dia berdiri di depan rak buku yang ada di kamar itu, menatap deretan buku di sana, tapi tidak kunjung mengambil. Bintang tahu Langit marah karena dia bersikeras ingin hamil. Meski alasan Langit masuk akal, tapi wajar jika Bintang menginginkan hal itu. Dia turun dari ranjang, mendekat ke arah Langit, lantas memeluknya dari belakang. Langit terkejut hingga bergeming di tempatnya, tanpa menoleh tanpa bersuara. “El, kamu masih marah?” tanya Bintang sambil memeluk erat dan menyandarkan kepala di punggung Langit. “Tidak,” jawab Langit dengan suara datar. “Lalu, kenapa kamu mengabaikanku?” tanya Bintang lagi, bersabar karena Langi
Langit dan yang lain hari itu menunggu cemas di depan ruang operasi. Hari ini Bintang menjalani operasi cesar sesuai dengan yang dijadwalkan dokter, setelah melakukan beberapa tes dan memastikan kondisi Bintang siap untuk melahirkan. “Duduklah, El. Operasinya pasti berjalan lancar,” kata Joya yang pusing melihat putranya mondar-mandir tidak jelas sejak tadi. Annetha, Arlan, Kenzo, juga Sashi juga menatap Langit yang tidak bisa tenang. “Mana bisa tenang, Mi.” Langit sangat mengkhawatirkan kondisi Bintang. Meski Bintang dalam kondisi sehat, tapi tetap saja Langit cemas. Joya membuang napas kasar, berdiri lantas menarik tangan Langit dan mengajaknya duduk bersaam. “Yang perlu kita lakukan sekarang itu doa, El. Bukan mondar-mandir yang bikin pusing!” sembur Joya sambil menahan Langit agar tidak mondar-mandir lagi. Langit menatap Joya sendu, kecemasan terlihat jelas dari tatapan mata pria itu. “Kita banyak doa saja, El. Semoga semuanya lancar. Kamu dengar sendiri kata dokter, selama
“Benarkah? Ya Tuhan, mami benar-benar bersyukur dan bahagia.”Annetha langsung memeluk Bintang mengetahui jika putrinya hamil. Dulu memang takut, tapi Annetha pun memilih pasrah seperti putrinya, agar mendapatkan jalan yang terbaik.Bintang dan Langit pergi ke rumah Annetha setelah dokter mengizinkan Bintang pulang, setelah memastikan kondisi Bintang membaik. Keduanya sengaja datang ke sana karena ingin menyampaikan kabar kehamilan Bintang, meski Bintang sendiri tidak yakin jika sang papi akan menerimanya. Namun, yang jelas Bintang tidak ingin kejadian dulu terulang.“Mami tidak marah?” tanya Bintang dengan ekspresi takut di wajah pucatnya.Annetha melepas pelukan, lantas menatap Bintang sambil menangkup kedua pipi putrinya itu.“Tentu saja tidak, kenapa mami harus marah? Mami malah sangat bahagia akhirnya keinginanmu terkabul,” ucap Annetha penuh rasa syukur.Sashi berada di pangkuan Langit, mendengarkan percakapan antara orang tua, apalagi Bintang menangis dalam pelukan Annetha.“Mo
Sashi duduk di bangku depan gedung sekolah, menunggu Bintang yang tidak kunjung datang. “Apa Mommy lupa?” Sashi menghela napas kasar sampai kedua pundak naik-turun. Guru Sashi sudah menghubungi Bintang, tapi tidak ada jawaban karena tas Bintang tertinggal di klinik beserta ponselnya, membuat Sashi akhirnya menunggu karena yakin jika Bintang akan menjemputnya. Sashi masih setia di sana. Duduk sambil mengayunkan kedua kaki maju mundur. Hingga seorang anak laki-laki menghampirinya. “Kamu belum dijemput?” Sashi mendongak, menatap anak laki-laki kakak kelasnya yang duduk di kelas enam. “Iya, Mommy belum jemput,” jawab Sashi masih memandang anak laki-laki itu. Anak laki-laki itu mengedarkan pandangan, kemudian ikut duduk di samping Sashi. “Mamaku juga belum jemput, sepertinya jemput kedua adikku yang les lebih dulu,” ucap anak laki-laki itu sambil mengedarkan pandangannya. Sashi mengangguk-angguk mendengar ucapan anak laki-laki itu, tidak buruk duduk bersama menunggu jemputan masing
Langit berlarian menuju ke klinik untuk melihat kondisi Bintang, sesampainya di klinik melihat Bintang yang terbaring dengan wajah pucat dan lemas meski sudah sadar.“Bin.” Langit mendekat dan langsung membelai wajah istrinya itu.“Bagaimana kondisinya?” tanya Langit ke dokter jaga di klinik karena Bintang terlihat masih meringis menahan sakit.“Tekanan darahnya sangat rendah, kemungkinan kelelahan. Tapi untuk mengetahui kondisi pasti penyebabnya, mungkin bisa dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan pemeriksaan lepngkap, Pak.” Dokter klinik hanya mengecek kondisi Bintang berdasarkan keluhan saja.Langit tidak banyak bicara. Dia pun meraup tubuh Bintang ke gendongan dan membawa keluar dari klinik. Kondisi Bintang yang tidak biasa, tentu saja membuat Langit cemas. Dia harus membawa Bintang ke rumah sakit untuk pemeriksaan menyeluruh.“El, ada apa?” Joya dan Kenzo yang kebetulan baru saja keluar lift di lobi, terkejut melihat Langit menggendong Bintang.“Kondisi Bintang buruk, Mi. Aku mau
Dua tahun kemudian. “Mommy! Daddy! Sashi telat sekolah!” Suara melengking dari luar kamar terdengar sampai dalam. Bintang dan Langit yang masih tidur pulas pun terkejut karena suara Sashi juga ketukan pintu beberapa kali. Bintang terduduk dengan mata masih tertutup. Dia pun mengucek mata, mencoba membuka kelopak mata lebar agar bisa melihat jarum jam di dinding. “Ya Tuhan!” Bintang sangat terkejut karena waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi. “El, bangun! Kita kesiangan!” Bintang memukul lengan suaminya, meminta agar Langit segera bangun. Biasanya jam segini Bintang sudah bangun memasak dan menyiapkan perlengkapan sekolah Sashi, tapi pagi ini dia malah kesiangan bangun. Ini semua gara-gara suaminya yang mengajak begadang semalaman. Meminta jatah tidak ada habisnya, membuat Bintang kelelahan luar biasa, lantas terbangun kesiangan. “Bentar, Bin. Lima menit lagi.” Langit malah menarik selimut masih sambil memejamkan mata. Enggan bangun karena masih sangat mengantuk. “El, Sashi
Bintang melipat kedua tangan di depan dada, menatap suaminya yang baru saja selesai menjalani operasi kecil dan menatap dengan ekspresi wajah kesal. Langit melirik Aldo, dalam tatapan matanya seolah ingin melempar kalimat ‘Aku akan memotong gajimu, lihat saja dasar pengkhianat!’, sungguh Langit tidak menyangka saat keluar dari ruang operasi langsung melihat Bintang. “Tidak usah melirik Aldo, urusanmu denganku, El!” Bintang tahu ke mana arah pandangan suaminya, hingga langsung menegur pria itu. Langit menatap Bintang, terlihat bersalah dan takut melihat tatapan istrinya itu. “Keluarlah, Al. Tenang saja, aku yang akan menjamin karirmu,” ucap Bintang memberikan jaminan ke sekretaris suaminya, sebab dia memaksa Aldo untuk bicara jujur. “Baik, Bu.” Aldo pun secepat kilat kabur dari ruangan itu, tidak ingin terlibat masalah antar suami-istri yang sudah menciptakan ketegangan sejak beberapa menit lalu. Langit benar-benar tak berkutik, diam karena merasa salah. Dia melihat Bintang menar
“Saya masih tidak habis pikir dengan Anda, Pak.”Aldo menatap Langit dengan rasa heran. Otak cerdasnya mendadak tidak bisa menangkap maksud dari apa yang sedang dilakukan bosnya.“Kamu tidak perlu berpikir apa pun,” balas Langit santai.Aldo ingin membalas ucapan Langit, tapi atasannya kembali bicara.“Pokoknya kalau istriku menghubungi, jangan dijawab!” titah Langit yang memang baru saja berganti pakaian.Tepat saat mengatakan itu, ponsel Langit yang dibawa Aldo bergetar karena memang dibuat mode silent, hanya bergetar saat ada panggilan atau pesan.Aldo melirik dan melihat nama Bintang terpampang di layar. Langit tidak menyadari kalau ponselnya berdering. Dia sedang mengikat tali baju khusus yang diberikan perawat, sebelum perawat memasang infus.“Bagaimana kalau terus menghubungi?” tanya Aldo sambil menggeser tombol hijau di ponsel Langit. Dia memegang ponsel Langit di samping tubuh, posisi layar menghadap ke belakang, sehingga Langit tidak menyadari jika ada panggilan masuk.“Ya,
Sudah dua minggu semenjak Bintang berbaikan dengan Arlan. Bahkan Bintang sekarang sering mengajak Sashi ke rumah orang tuanya atas permintaan Annetha.Seperti hari itu. Bintang pergi ke rumah Arlan sebab sang papi bilang sedang ambil cuti karena kondisinya yang kurang sehat, sehingga Bintang tanpa pikir panjang memilih langsung datang untuk melihat kondisi Arlan.“Sudah diperiksa dan minum obat?” tanya Bintang begitu bertemu dengan Arlan yang sedang duduk di ruang keluarga bersama Annetha.Annetha dan Arlan pun terkejut karena Bintang tampak begitu panik.“Papi tidak kenapa-napa, hanya kecapean hingga membuat kondisi tubuh papi sedikit drop,” jawab Arlan sambil mengulas senyum.Tatapan pria itu tertuju ke Sashi yang berdiri di samping Bintang, lantas mengulurkan tangan sebagai isyarat agar gadis kecil itu mendekat.“Opa punya hadiah untukmu,” kata Arlan yang kemudian berdiri.Sashi mendongak menoleh Bintang, sedangkan Bintang langsung mengangguk melihat Sashi yang seolah meminta perse
Langit menarik napas dalam-dalam, lantas mengembuskan perlahan tanpa suara. Dia duduk sambil meremas kedua lutut, sedikit menunduk menurunkan pandangan agar tidak dikira sedang menantang.Arlan sendiri menatap Langit, mengajak pria itu bicara di ruang kerja tapi sudah duduk selama hampir lima belas menit belum berkata sepatah kata pun. Tatapan matanya pun membuat lawan bicaranya hanya diam menunduk.Arlan menghela napas kasar, hingga kemudian akhirnya bicara.“Aku memang memberi restu lagi, tapi bukan berarti akan menerima atau melupakan kejadian sebelumnya dengan mudah. Apa yang aku lakukan semata-mata hanya untuk Bintang. Bagiku dia yang akan jadi prioritas utamaku, memang aku ingin memisahkan kalian, tapi karena itu akan menyakiti hati putriku, membuatku memilih mengalah dengan keputusannya.”Arlan bicara dengan suara yang tidak terlalu lantang, tapi terkesan begitu menekan.Langit sendiri tidak membalas ucapan Arlan, hanya mengangkat wajah dan menatap pria itu yang sedang bicara a