“Kamu tahu, Bintang apa yang bersinar saat malam juga siang hari?” Langit menatap Bintang, telunjuknya menyusuri setiap lekuk wajah wanita yang kini sudah seutuhnya menjadi miliknya. “Bintang apa?” Bintang menatap Langit dengan binar kebahagiaan yang terpancar di wajah. “Kamu.” Setelah menjawab itu, Langit memeluk erat tubuh Bintang, bahkan sesekali mencium pipi istrinya itu. Bintang tergelak mendengar ucapan Langit, apalagi suaminya itu menciumi wajahnya berulang kali. Ini hari kedua mereka sah menjadi pasangan suami-istri. Bintang dan Langit pulang ke apartemen, setelah check out dari hotel. Mereka juga belum mengunjungi orangtua mereka, karena masih ingin menghabiskan waktu bersama. “Jangan merayuku, tidak akan mempan.” Bintang menatap Langit yang ada di atasnya. “Benarkah tidak mempan? Nyatanya kamu kembali jatuh cinta kepadaku, hm ….” Langit begitu gemas, hingga menggelitik perut Bintang. Bintang tertawa terpingkal, mencoba menghindar tapi tubuhnya sudah dikurung oleh sua
“Kalian akan pergi bulan madu?” Arlan mengikuti putrinya yang masuk kamar, setelah datang dan berbincang sebentar. Bintang hendak mengemasi beberapa barang yang akan dibawa ke apartemen Langit. “Sepertinya tidak, Pi. Langit cemas kalau aku kelelahan dan kambuh saat liburan,” jawab Bintang sambil membuka lemari. Arlan mencebik mendengar jawaban Bintang, seolah tidak percaya jika Langit tidak mengajak putrinya bulan madu hanya karena alasan itu. “Alasan saja dia. Kelelahan, memangnya fisikmu selemah itu.” Arlan memasang wajah tidak senang. Bukan tidak senang ke Langit, hanya saja masih tidak terima sebab Langit membawa pergi Bintang. Bintang menoleh sang papi, melihat papinya itu terlihat kesal. Tentunya Bintang tahu alasan sang papi bersikap demikian. Dia pun mendekat, menggandeng tangan Arlan dan mengajak duduk. “Papi masih ga ikhlas Bintang nikah?” tanya Bintang hati-hati dan lembut. Arlan terkejut mendengar pertanyaan Bintang, sampai gelagapan menjawab pertanyaan putrinya itu
Bintang dan Langit menginap di rumah Arlan malam itu. Mereka berada di kamar setelah makan malam, Langit mengeksplore kamar Bintang karena sebelumnya belum pernah masuk ke kamar istrinya itu, biasanya hanya sampai depan kamar, atau dia akan diseret paksa Arlan keluar kamar jika memaksa masuk, karena sebelumnya belum sah.“Kamu lihat apa? Tidak ada yang bisa dilihat dari kamarku,” kata Bintang saat baru saja keluar dari kamar mandi.“Banyak, aku lihat meja rias, lemari, sofa, gorden,” jawab Langit dengan nada candaan.Bintang tertawa mendengar candaan Langit. Dia mendekat dan langsung melingkarkan kedua lengan di leher Langit dari belakang, bergelayut manja sambil memandang Langit dari samping.“Mau lihat sesuatu? Tapi janji jangan nangis,” kata Bintang.“Apa?” tanya Langit.Bintang melepas kedua tangan dari leher Langit, lantas berjalan ke lemari pakaiannya, membuka salah satu pintu dan mengambil sesuatu dari sana.Langit mengerutkan alis, melihat Bintang kini mengeluarkan sebuah kota
Langit duduk berhadapan dengan Arlan, rasanya duduk dengan mertuanya itu lebih menakutkan daripada akan sidang skripsi.“Ada apa, Pi?” tanya Langit karena Arlan tidak kunjung bicara.Arlan melirik tapi tidak langsung menjawab. Dia malah mengambil cangkir kopi yang ada di meja, kemudian menyesapnya perlahan.Langit semakin salah tingkah, tidak paham kenapa Arlan mengajaknya bicara, tapi malah hanya diam.“Hanya duduk dan menikmati kopi saja apa tidak boleh?” Arlan bicara begitu selesai minum. Dia meletakkan cangkir di meja, lantas menatap Langit.Langit terkejut dan bingung mendengar ucapan Arlan, tapi dia memilih diam dan menunggu Arlan kembali bicara.“Bintang baru cerita soal hubungan kalian waktu SMA hari ini, meski sebenarnya aku sudah tahu sejak kalian berpisah, tapi aku memilih diam untuk menjaga hatinya,” ujar Arlan kemudian menatap Langit.Tubuh Langit mendadak beku mendengar ucapan Arlan, dari ucapan Arlan, Langit berpikir Arlan akan menyalahkan dirinya karena kondisi Bintang
Langit benar-benar pergi ke kafe Anta. Saat masuk melihat kafe itu masih sepi pengunjung dan Anta berada di belakang meja barista.“Ta.” Langit memanggil Anta yang sedang melamun.Anta terkejut karena ada yang memanggil, saat menoleh melihat Langit berjalan ke arahnya.“Kamu datang sendiri?” tanya Anta karena tidak melihat Bintang.“Ya, Bintang berada di rumah Laras,” jawab Langit.Mendengar nama Laras, membuat raut wajah Anta berubah. Tentu saja Langit menyadari hal itu.“Ada apa? Apa ada masalah?”Anta menatap Langit bingung, sampai akhirnya memilih membuatkan minum untuk Langit dan mengajak duduk bersama selagi kafe sepi.“Laras ingin bertemu dan bicara dengan Bintang sendiri. Apa kalian sedang ada masalah?” Langit langsung menembak Anta dengan pertanyaan.Anta mengembuskan napas kasar, bahkan menyugar rambut ke belakang dengan kedua tangan, seolah dia sedang benar-benar frustasi.“Entahlah, beberapa minggu ini sebenarnya Laras sedikit berubah,” jawab Anta.Langit mengerutkan alis,
Bintang begitu syok mendengar pengakuan Laras, belum lagi sahabatnya itu kembali menangis sesenggukan hingga membuat Bintang kembali bingung. “Ras, jangan bilang yang membuatmu hamil adalah Anta.” Meski sudah yakin, tetap saja Bintang menebak dan bicara dengan hati-hati. Laras masih menangis tapi sudah tidak terlalu keras seperti tadi. Dia pun mencoba menghentikan tangisnya agar bisa bicara ke Bintang. “Apa Anta tahu?” tanya Bintang kemudian. Dia sudah bisa menebak jika jawabannya memang Anta, dari sikap Laras yang diam. Laras menggelengkan kepala. Dia masih sesenggukan dan mengatur napasnya. “Kenapa tidak beritahu dia?” tanya Bintang lagi. “Aku takut, Bin. Saat itu Anta bilang masih belum siap menikah dalam waktu dekat, dia masih berkeinginan mengembangkan usahanya. Aku takut, jika aku memberitahunya, dia tidak akan terima dan malah mengakhiri hubunganku dengannya,” jawab Laras yang sedih dan begitu frustasi. Bintang lagi-lagi syok mendengar jawaban Laras, hingga kemudian marah
Beberapa saat setelah kepergian Langit. Anta terlihat cemas karena pikiran negatif memenuhi kepala. Semua karena ucapan Langit yang meracuni pikiran Anta. Anta meninggalkan kafe untuk pergi ke rumah kontrakan Laras. Sudah sehari mereka saling diam dan tidak berbalas pesan, membuat Anta gelisah dan ingin mencari kepastian. Dia juga tidak mau diberi harapan palsu oleh Laras, karena Anta benar-benar menyukai cinta pertamanya itu. Mobil Anta sudah sampai di halaman rumah kontrakan Laras. Anta buru-buru turun dari mobil dan berjalan cepat menuju rumah, sebelum kemudian mengetuk pintu dengan kuat. “Ras, kita perlu bicara!” teriak Anta, kemudian kembali mengetuk pintu. Di dalam rumah.Laras sangat terkejut mendengar Anta memanggil dirinya. Dia panik dan berpikir jika Bintang menceritakan kehamilannya kepada Anta. “Apa Bintang cerita? Kenapa dia berbohong? Dia sudah janji akan nunggu aku siap,” gumam Laras dengan ekspresi wajah panik. Dia sampai takut mendekat ke pintu. Laras benar-benar
Bintang dan Langit baru saja sampai di rumah Laras, mereka melihat mobil Anta yang terparkir sembarangan di bahu jalan, bahkan mesin mobil masih menyala.Bintang langsung keluar dari mobil, saat akan berlari masuk rumah, dia melihat Anta yang keluar menggendong Laras.“Apa yang terjadi kepadanya?” tanya Bintang panik.“Pingsan, kita bawa ke rumah sakit,” jawab Anta sambil berjalan tergesa-gesa.“Kamu duduk belakang, aku yang nyetir,” perintah Bintang.Langit malah bingung karena Bintang masuk ke mobil Anta. Dia pun akhirnya bersiap dan mengikuti mobil Anta.Anta terlihat sangat cemas, tidak menyangka jika Laras hamil dan kondisinya sampai seperti itu.“Dia cerita kepadamu kalau hamil, kenapa tidak bilang kepadaku?” tanya Anta dengan wajah cemas, merasa bersalah karena sudah memarahi dan menuduh Laras yang tidak-tidak.“Dia butuh waktu berpikir dan menenangkan diri sebelum bicara kepadamu!” balas Bintang dengan emosi. “Salah kamu juga, kenapa bilang masih ingin mengembangkan usaha dan