"Kirimkan uang sepuluh juta!"Sheila membanting ponselnya dengan kesal. Baru dua hari lalu ia mengirimkan uang pada bibinya itu, namun kini wanita itu sudah meminta jatahnya lagi. Entah untuk apa, gadis itupun tak tahu. Yang membuatnya bingung adalah, ke mana lagi harus mencari uang.Uang di rekeningnya sudah hampir habis. Uang saku dari Arnes memang banyak, tapi biasanya berupa uang tunai dan jarang sekali dalam sekali pemberian. Dan kali ini jumlah yang diminta terus bertambah seperti Sheila memiliki gudang uang."Ada apa?" tanya Arnes memandangi wajah masam gadisnya.Gadis itu buru-buru mengambil ponselnya di atas meja, tak ingin Arnes menyaksikan semua rahasia yang disembunyikan. Ya, sampai detik itu, sang kekasih belum tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Sheila memilih unutk menyembunyikan semuanya daripada membuat beban di pundak sang dokter semakin berat.Beberapa hari tak bisa bersama saja sudah membuat Arnes kalang kabut. Apalagi semenjak Mia mulai ribut dengan urusan p
"Kenapa kau baru bilang sekarang?" tanya Arnes penuh emosi.Rambut klimisnya langsung berantakan karena pikirannya kusut. Cerita dari Sheila bak petir di siang bolong baginya. Rusak sudah semua acara yang sudah terjadwal seharian ini. Kakinya ingin segera bergerak kembali pulang."A-aku takut," jawabnya terbata.Sheila menundukkan kepala, takut. Air matanya sudah tumpah, menangisi nasib yang kini di ujung tanduk. Ponsel yang ada di atas meja terus bergetar, menunjukkan kontak Nina yang meneleponnya sejak tadi."Astaga!" seru Arnes yang menahan semua makian di ujung lidah.Matanya tajam, memandangi kontak Nina yang terus merong-rong gadisnya untuk mengirimkan uang. Tangannya menggenggam erat, ingin memukuli wajah Reno yang muncul dalam kepala. Giginya ikut bergemeretak penuh amarah.Tapi semua itu terpecah begitu melihat wajah kusut Sheila yang semakin pekat. Arnes sudah bisa membacanya sejak tadi, walau diingkari oleh sang gadis. Tangannya mengelus lembut lengan gadisnya, berusaha unt
"Masih ada pesan dari Bibi kamu, enggak?" tanya Arnes melirik ke arah ponsel yang Sheila letakkan di pangkuannya.Gadis itu menggeleng dengan cepat. Sudah nyaris seminggu terakhir tak ada satupun pesan dari bibi atau pamannya yang bernada ancaman. Semua hilang setelah keduanya bertemu dengan pasangan suami istri itu. Sepertinya ultimatum sang dokter berhasil menghentikan semua permainan licik keluarga Sheila."Bagus, kabari aku jika mereka masih macam-macam!" katanya menegaskan.Belajar dari pengalaman, Arnes tak ingin lagi kecolongan. Selain karena ini menyusahkan, tentu ia sendiri tak mau gadisnya terlihat muram juga sedih. Walau bagaimanapun, janjinya untuk melindungin dan menjaga Sheila harus tetap diutamakan."Kalian lagi apa?" tanya Mia yang sudah cantik, pertanda akan segera berangkat kerja."Oh, ini sarapan!" jawab Arnes berusaha untuk meluapkan semua rasa gugup.Hubungan gelapnya dengan Sheila sampai detik itu belum sedikitpun tercium ke permukaan. Selain karena kesibukan san
"Jelaskan pada kami, kenapa kalian berdua bisa ada di rumah itu!"Sheila menunduk, menyembunyikan wajahnya yang merah padam karena malu dan takut yang menjadi satu. Sesekali diliriknya puluhan mata yang mengintip dari jendela di ruang Ketua RT-nya. Semua orang menghakimi, tanpa tahu apa yang sedang terjadi. Walau tentu saja, semua perkiraan mereka benar adanya."Sheila ini anak angkat saya. Dia kembali ke rumah untuk mengambil berkas untuk kuliah. Dan saya menemani dia, sekalian nanti kita pulang." Arnes menjelaskan dengan detail, seolah tak ingin ada kecurigaan di antara mereka.Namun Ketua RT yang sejak tadi menyimak dengan tatapan tajam, tak begitu saja percaya. Ia terus mencecar Arnes dengan pertanyaan terkait pengangkatan Sheila. Tapi sang dokter menjawab semuanya dengan sabar. Wajahnya terkesan tak bersalah.Padahal dalam hati, jantung Arnes sendiri sudah hampir copot dibuatnya. Namun usia yang matang membuktikan bahwa semua bisa dihadapi dengan kepala dingin dan hati yang tenan
"Di sini!" Nina melambaikan tangan pada seorang wanita cantik nan modis yang baru saja masuk ke dalam restoran. Senyumnya mengembang, seolah baru saja dihujani beribu keping emas di kepala. Melihat tamu itu, membuatnya semakin yakin bahwa semua kesakitan yang diderita beberapa bulan terakhir akan musnah, tanpa jejak."Jadi ini dari kamu?" tanya Mia menunjukkan sebuah amplop cokelat yang beberapa hari lalu sampai ke tangannya.Ya, tanpa sepengetahuan Arnes dan Sheila, pasangan suami istri licik itu telah mengirimkan sepucuk surat untuk Mia. Tahu bahwa tak akan semudah itu bertemu sang nyonya besar, Nina memilih menitipkan suratnya pada satpam. Hingga sampailah amplop cokelat itu pada tujuan utama.Isinya? Tentu segala rahasia tentang hubungan ayah dan anak angkat yang harusnya tak pernah terjadi. Namun tak segamblang itu, Nina hanya menuliskan bahwa ia memiliki bukti yang akan membuat Mia terkejut, beserta nomor ponselnya.Tanpa pikir panjang, Mia yang langsung percaya menghubungi Nin
"Ke mana Sheila?" tanya Mia yang masuk ke dalam ruang praktik suaminya tanpa ijin.Wajah terkejut sang suami nampak jelas, setelah tadi keduanya berpisah. Namun wanita itu memilih untuk duduk manis di kursi pasien, memandangi ketampanan yang tak pernah ia miliki secara utuh. Hatinya begitu sakit, mengingat lembar adegan dalam video dari Nina. Tapi semua tertutupi dengan senyum cantik di wajahnya."Di rumah," jawabnya berusaha setenang mungkin.Melawan Sheila, mungkin adalah hal mudah bagi Arnes. Gadis lugu itu masih gampang diberi nasihat. Walau sedikit keras kepala, namun ia selalu mempercayakan semua hal padanya. Tak seperti sang istri yang selalu memiliki pemahaman sendiri.Menikah tanpa cinta dan kepercayaan, seolah membuat keduanya hidup dengan saling mencurigai. Bukan tentang perselingkuhan, karena sudah jelas Arnes tak akan pernah cemburu dengan siapapun Mia berhubungan. Masalahnya ada pada kekuasaan yang sering membuat sang istri gelap mata hingga membabi-buta. Hal ini yang se
"Sedang apa?" tanya Mia yang membuka pintu kamar anak angkatnya tiba-tiba.Sheila langsung beranjak dari tempat tidurnya. Tubuh mungil itu sudah berdiri tegak di samping ranjang. Senyumnya nampak kaku, seperti tubuh yang ikut menegang."Boleh aku masuk?" tanyanya masih di ambang pintu."S-silakan!" Wanita itu melangkah masuk bersama sepatu hak tinggi yang senada dengan gaun pendek merahnya. Tanpa permisi, ia duduk di kursi belajar Sheila. Sementara sang gadis masih berdiri tegap sambil memandanginya."Duduk!" perintahnya yang langsung dipatuhi sang gadis.Tangan lentik itu menyentuh buku-buku kedokteran yang baru dibeli oleh Sheila. Senyumnya terangkat begitu melihat ada tanda tangan Arnes dan juga sebuah kalimat penyemangat dari sang dokter. Rasanya begitu hangat, seolah kata-kata itu keluar langsung dari hati suaminya."I-itu pemberian Paman Arnes, agar aku lebih semangat belajar dan...""I know!" potong Mia seraya menutup buku itu kasar.Tatapan tajam langsung terarah pada sang ga
"Kenapa semua diam? Apa masakanku tidak enak?" tanya Mia dengan senyum manis yang dibuat begitu menggoda.Siapapun yang melihat keluarga kecil mereka malam itu tak akan menyangka bahwa telah terjadi peperangan dalam diam. Ya, tak ada suara yang muncul di meja makan, kecuali peraduan antara sendok dan piring. Semua mulut terkunci, hanya wanita cantik bergincu merah terang yang berani bersuara."Astaga... kalau kalian diam terus, rumah ini jadi membosankan!" serunya setengah kesal.Tapi baik Arnes ataupun Sheila tetap menutup mulut. Keduanya tak bisa lagi berkata-kata. Makan malam yang harusnya enak, terasa hambar di lidah. Suasana yang hangat, berubah dingin dengan semua sikap Mia."Baiklah, kalau begitu... aku akan pergi dari sini! Ku beri kalian waktu untuk menikmati suasana," katanya seraya mengambil tas mewahnya dan pergi meninggalkan rumah.Suara deru mobilnya kembali terdengar. Sayup-sayup menghilang, lalu disusul bunyi gerbang yang kembali ditutup oleh petugas keamanan. Namun su