"Masih ada pesan dari Bibi kamu, enggak?" tanya Arnes melirik ke arah ponsel yang Sheila letakkan di pangkuannya.Gadis itu menggeleng dengan cepat. Sudah nyaris seminggu terakhir tak ada satupun pesan dari bibi atau pamannya yang bernada ancaman. Semua hilang setelah keduanya bertemu dengan pasangan suami istri itu. Sepertinya ultimatum sang dokter berhasil menghentikan semua permainan licik keluarga Sheila."Bagus, kabari aku jika mereka masih macam-macam!" katanya menegaskan.Belajar dari pengalaman, Arnes tak ingin lagi kecolongan. Selain karena ini menyusahkan, tentu ia sendiri tak mau gadisnya terlihat muram juga sedih. Walau bagaimanapun, janjinya untuk melindungin dan menjaga Sheila harus tetap diutamakan."Kalian lagi apa?" tanya Mia yang sudah cantik, pertanda akan segera berangkat kerja."Oh, ini sarapan!" jawab Arnes berusaha untuk meluapkan semua rasa gugup.Hubungan gelapnya dengan Sheila sampai detik itu belum sedikitpun tercium ke permukaan. Selain karena kesibukan san
"Jelaskan pada kami, kenapa kalian berdua bisa ada di rumah itu!"Sheila menunduk, menyembunyikan wajahnya yang merah padam karena malu dan takut yang menjadi satu. Sesekali diliriknya puluhan mata yang mengintip dari jendela di ruang Ketua RT-nya. Semua orang menghakimi, tanpa tahu apa yang sedang terjadi. Walau tentu saja, semua perkiraan mereka benar adanya."Sheila ini anak angkat saya. Dia kembali ke rumah untuk mengambil berkas untuk kuliah. Dan saya menemani dia, sekalian nanti kita pulang." Arnes menjelaskan dengan detail, seolah tak ingin ada kecurigaan di antara mereka.Namun Ketua RT yang sejak tadi menyimak dengan tatapan tajam, tak begitu saja percaya. Ia terus mencecar Arnes dengan pertanyaan terkait pengangkatan Sheila. Tapi sang dokter menjawab semuanya dengan sabar. Wajahnya terkesan tak bersalah.Padahal dalam hati, jantung Arnes sendiri sudah hampir copot dibuatnya. Namun usia yang matang membuktikan bahwa semua bisa dihadapi dengan kepala dingin dan hati yang tenan
"Di sini!" Nina melambaikan tangan pada seorang wanita cantik nan modis yang baru saja masuk ke dalam restoran. Senyumnya mengembang, seolah baru saja dihujani beribu keping emas di kepala. Melihat tamu itu, membuatnya semakin yakin bahwa semua kesakitan yang diderita beberapa bulan terakhir akan musnah, tanpa jejak."Jadi ini dari kamu?" tanya Mia menunjukkan sebuah amplop cokelat yang beberapa hari lalu sampai ke tangannya.Ya, tanpa sepengetahuan Arnes dan Sheila, pasangan suami istri licik itu telah mengirimkan sepucuk surat untuk Mia. Tahu bahwa tak akan semudah itu bertemu sang nyonya besar, Nina memilih menitipkan suratnya pada satpam. Hingga sampailah amplop cokelat itu pada tujuan utama.Isinya? Tentu segala rahasia tentang hubungan ayah dan anak angkat yang harusnya tak pernah terjadi. Namun tak segamblang itu, Nina hanya menuliskan bahwa ia memiliki bukti yang akan membuat Mia terkejut, beserta nomor ponselnya.Tanpa pikir panjang, Mia yang langsung percaya menghubungi Nin
"Ke mana Sheila?" tanya Mia yang masuk ke dalam ruang praktik suaminya tanpa ijin.Wajah terkejut sang suami nampak jelas, setelah tadi keduanya berpisah. Namun wanita itu memilih untuk duduk manis di kursi pasien, memandangi ketampanan yang tak pernah ia miliki secara utuh. Hatinya begitu sakit, mengingat lembar adegan dalam video dari Nina. Tapi semua tertutupi dengan senyum cantik di wajahnya."Di rumah," jawabnya berusaha setenang mungkin.Melawan Sheila, mungkin adalah hal mudah bagi Arnes. Gadis lugu itu masih gampang diberi nasihat. Walau sedikit keras kepala, namun ia selalu mempercayakan semua hal padanya. Tak seperti sang istri yang selalu memiliki pemahaman sendiri.Menikah tanpa cinta dan kepercayaan, seolah membuat keduanya hidup dengan saling mencurigai. Bukan tentang perselingkuhan, karena sudah jelas Arnes tak akan pernah cemburu dengan siapapun Mia berhubungan. Masalahnya ada pada kekuasaan yang sering membuat sang istri gelap mata hingga membabi-buta. Hal ini yang se
"Sedang apa?" tanya Mia yang membuka pintu kamar anak angkatnya tiba-tiba.Sheila langsung beranjak dari tempat tidurnya. Tubuh mungil itu sudah berdiri tegak di samping ranjang. Senyumnya nampak kaku, seperti tubuh yang ikut menegang."Boleh aku masuk?" tanyanya masih di ambang pintu."S-silakan!" Wanita itu melangkah masuk bersama sepatu hak tinggi yang senada dengan gaun pendek merahnya. Tanpa permisi, ia duduk di kursi belajar Sheila. Sementara sang gadis masih berdiri tegap sambil memandanginya."Duduk!" perintahnya yang langsung dipatuhi sang gadis.Tangan lentik itu menyentuh buku-buku kedokteran yang baru dibeli oleh Sheila. Senyumnya terangkat begitu melihat ada tanda tangan Arnes dan juga sebuah kalimat penyemangat dari sang dokter. Rasanya begitu hangat, seolah kata-kata itu keluar langsung dari hati suaminya."I-itu pemberian Paman Arnes, agar aku lebih semangat belajar dan...""I know!" potong Mia seraya menutup buku itu kasar.Tatapan tajam langsung terarah pada sang ga
"Kenapa semua diam? Apa masakanku tidak enak?" tanya Mia dengan senyum manis yang dibuat begitu menggoda.Siapapun yang melihat keluarga kecil mereka malam itu tak akan menyangka bahwa telah terjadi peperangan dalam diam. Ya, tak ada suara yang muncul di meja makan, kecuali peraduan antara sendok dan piring. Semua mulut terkunci, hanya wanita cantik bergincu merah terang yang berani bersuara."Astaga... kalau kalian diam terus, rumah ini jadi membosankan!" serunya setengah kesal.Tapi baik Arnes ataupun Sheila tetap menutup mulut. Keduanya tak bisa lagi berkata-kata. Makan malam yang harusnya enak, terasa hambar di lidah. Suasana yang hangat, berubah dingin dengan semua sikap Mia."Baiklah, kalau begitu... aku akan pergi dari sini! Ku beri kalian waktu untuk menikmati suasana," katanya seraya mengambil tas mewahnya dan pergi meninggalkan rumah.Suara deru mobilnya kembali terdengar. Sayup-sayup menghilang, lalu disusul bunyi gerbang yang kembali ditutup oleh petugas keamanan. Namun su
"Kenapa rumah sepi?" tanya Mia yang baru saja kembali ke rumah mewahnya.Wanita cantik itu melenggang anggun ke setiap ruangan yang kosong melompong. Tatapannya tajam ke arah seorang pengurus rumah yang hanya bertugas membersihkan hunian mereka. Gelengan kepala sebagai jawabannya membuat Mia naik pitam."Brengsek!" serunya membantung sebuah vas hingga pecahannya tersebar nyaris di seluruh lantai dua. Wajahnya kesal bukan main karena mendapati kamar Sheila yang sudah kosong tanpa barang. Lemarinya pun sudah tak terisi. Buku-buku yang sebelumnya tertata rapi di meja belajar juga raib entah ke mana. Tangannya dengan cepat merogoh ponsel di dalam tas jinjing. Ada rasa sesal yang singgah karena sudah meninggalkan suaminya bersama gadis itu. Namun pikirannya bergerak lebih cepat."Cari anak itu sampai dapat!" perintahnya seraya pergi meninggalkan rumah.Tak perlu waktu lama hingga roda mobilnya bergerak menuju klinik tempat suaminya bekerja. Ia sudah mendapatkan informasi bahwa pria itu s
"Kamu yakin ini lokasinya?" tanya Mia pada seorang pria berkacamata hitam yang mengangguk cepat. Wanita itu terus memandangi sebuah pintu kamar yang disinyalir menjadi tempat persembunyian simpanan sang suami. Hatinya sudah terbakar amarah setelah pertemuan penuh emosi antara ia dan Arnes. Keduanya enggan mengalah dan hanya saling menyakiti satu sama lain. Apalagi kini sudah ada perlawanan yang diberikan."Yakin, Bu. Tadi pagi ada yang melihat anak itu keluar untuk beli makanan," katanya menegaskan semua perkiraan.Mia mengangguk senang. Diserahkannya amplop cokelat tebal yang berisi uang tunai kepada orang suruhannya. Baru setelah itu ia bergerak menuju ke rumah kecil berpagar putih yang letaknya tak jauh dari tempat mobilnya terparkir.Kakinya tak lagi seberat saat masuk ke ruangan Arnes. Namun api di hatinya belum juga temaram. Panasnya masih terus terasa, yang tergambar jelas melalui tatapan tajam."Siapa?" seru sebuah suara lembut dari dalam kamar.Ketukan yang baru saja Mia lak