"Kamu yakin ini lokasinya?" tanya Mia pada seorang pria berkacamata hitam yang mengangguk cepat. Wanita itu terus memandangi sebuah pintu kamar yang disinyalir menjadi tempat persembunyian simpanan sang suami. Hatinya sudah terbakar amarah setelah pertemuan penuh emosi antara ia dan Arnes. Keduanya enggan mengalah dan hanya saling menyakiti satu sama lain. Apalagi kini sudah ada perlawanan yang diberikan."Yakin, Bu. Tadi pagi ada yang melihat anak itu keluar untuk beli makanan," katanya menegaskan semua perkiraan.Mia mengangguk senang. Diserahkannya amplop cokelat tebal yang berisi uang tunai kepada orang suruhannya. Baru setelah itu ia bergerak menuju ke rumah kecil berpagar putih yang letaknya tak jauh dari tempat mobilnya terparkir.Kakinya tak lagi seberat saat masuk ke ruangan Arnes. Namun api di hatinya belum juga temaram. Panasnya masih terus terasa, yang tergambar jelas melalui tatapan tajam."Siapa?" seru sebuah suara lembut dari dalam kamar.Ketukan yang baru saja Mia lak
"Sial!" seru Arnes sambil membanting ponselnya. Ia barus aja membaca sebuah berita yang didapat dari Mia. Seolah tak ingin menyerah, sang istri melakukan segala cara demi mendapatkan semua yang ia ingin. Dan kini Arnes-lah tujuan utamanya.Menyembunyikan Sheila sepertinya sebuah kesalahan besar yang pernah dilakukan oleh sang dokter. Karena ia tak hanya memantik api di hati istrinya. Tapi juga membakar seluruh cinta yang kini berubah jadi benci. Wanita itu, benar-benar ingin menghancurkannya sampai akhir."Kamu ke mana sih, Shei?" tanya Arnes yang sejak tadi sudah menghubungi nomor gadisnya.Sayang sekali, tak ada jawaban dari remaja cantik yang kini sudah menjelma sebagai wanita di matanya. Kekhawatirannya bertambah begitu telepon masuk dari Mia datang, tanpa harap. Ibu jarinya ingin sekali memilih tanda merah yang berarti menolak panggilan itu. Tapi entah mengapa ia begitu penasaran dengan semua rencana istrinya."Ada apa?" tanyanya tanpa basa-basi."Kosan Sheila bagus juga," jawab
"Murahan!" geram Mia begitu melihat sepasang kekasih yang tengah berpelukan di depan pintu. Tangannya terkepal, memukuli setir yang terus menjadi korban. Ia tak menyangka bahwa hal ini tak bisa memisahkan Arnes dan Sheila. Keduanay nampak baik-baik saja setelah nyaris seharian, suaminya berdiri di depan kamar gadis itu."Kalian berdua memang tak bisa diberi hati," bisiknya seraya menyalakan mobil dan pergi dari tempat itu.Mia sudah muak melihat kemesraan yang kini bisa ditebak ke mana arahnya. Keduanya masuk ke dalam kamar dan tak lagi keluar, membuat pikiran kotor bergerilya di otak istri sah Arnes."Tunggu pembalasanku!" katanya dengan air mata mengalir deras.Sementara di dalam kamar, Sheila masih terus memeluk sang paman dokter. Gadis itu akhirnya menyerah dengan semua ego dan kemarahan yang ada. Butuh waktu berjam-jam baginya untuk berpikir tentang semua yang terjadi padanya hingga detik itu.Kehilangan sang ayah, dibawa Arnes ke dalam rumah mewahnya, lalu jatuh cinta dan masuk
"Berita apa lagi ini?" tanya seorang pria tambun dengan setelan jas mahal yang dikenakannya.Arnes menunduk malu sekaligus bingung. Ia tak menyangka bahwa berita tentangnya akan datang silih berganti. Setelah beberapa hari lalu tentang malpraktik yang nyaris membuat hubungannya dengan Sheila berakhir, kini ada lagi berita sekaligus video dirinya dan sang gadis yang tengah memadu kasih.Tentu saja ia sudah tahu siapa tokoh utama di balik semua itu. Selain sang pemilik video, Nina dan Reno, tentu saja ada penggeraknya. Dan sang istri adalah tersangkanya. Arnes bahkan yakin seribu persen, tanpa cela."Mau sampai kapan kau membuat masalah, hah? Katanya mau klinik maju, tapi malah seperti ini caramu!" seru seorang pria lain yang kini menjabat sebagai komisaris di klinik tersebut.Sang direktur utama hanya bisa menunduk dalam. Ia tak bisa lagi berkata-kata. Semua ucapannya hanya akan dimentahkan, karena bukti lebih nyata dari pada kiasan belaka. "Lebih baik kau membuat pernyataan, sebelum
"Paman dari mana saja?" tanya Sheila yang masih duduk manis di ruang tamu kediaman rumah Arnes.Kedatangan sang paman dokter nampak sudah dinanti sejak siang tadi. Rumah kosong melompong tanpa penghuni lain. Mia yang mampir sebentar sudah pergi lagi entah ke mana. Sheila seorang diri, bersama semua kesedihan karena beasiswanya dicabut."Pekerjaanku sedang banyak!" jawab Arnes yang langsung naik ke lantai dua.Pria itu nampak lelah, terlihat jelas dari kantung mata yang menggantung. Wajahnya kusut, dibarengi dengan pakaian yang berantakan. Padahal tadi pagi ia pergi dengan kondisi segar bugar, bahkan masih bisa tersenyum menyemangati Sheila yang berniat untuk belajar.Keadaan di klinik yang tengah genting membuatnya harus pulang larut. Semua unit kerja tengah membicarakan mitigasi yang harus dilakukan guna mempertahankan kondisi saat ini. Karena berita miring tentang sang direktur ternyata berdampak cukup besar tak hanya pada kepercayaan pasien tapi juga pendapatan rumah sakit.Tak han
"Kamu dari mana?" tanya Arnes yang baru saja keluar dari ruang kerja.Gadis yang sebentar lagi berusia 20 tahun itu cukup terkejut melihat wajah pria yang dicintai. Bibirnya tergagap, tak tahu harus menjawab apa. Namun tangannya menunjuk keluar, tanpa bisa berkata-kata."Keluar?" tanya Arnes lagi.Sheila mengangguk cepat. "Aku butuh udara segar!" dustanya.Pria itu mengernyitkan kening, seperti tak percaya dengan ucapan sang gadis. Pakaian yang kini dikenakan oleh Sheila tak seperti baju di rumah. Ia jelas berdandan sedikit, yang berarti arah tujuannya cukup jauh dari rumah.Baru saja akan membuka mulut, Sheila langsung mendekat dan bergelayut manja di lengannya. Sontak hal itu membuat Arnes langsung melupakan jawaban sang gadis. Bibirnya ikut terangkat, membalas wajah cantik yang sempat ia marahi tadi."Maafkan aku karena tadi bersikap terlalu keras padamu," katanya menyesal.Sheila tersenyum sembari menggelengkan kepala. Gadis itu nampaknya sudah memaafkan Arnes setelah keluar dari
Sinar mentari mulai masuk ke dalam kamar melalui celah jendela yang sedikit terbuka. Cahayanya mengajak pria yang tengah tertidur pulas itu untuk segera bangun. Namun belum sempat kelopaknya terbuka, jari-jarinya bergerak seolah mencari sesuatu."Pagi!" sapanya entah pada siapa. Tangannya masih terus mencari, hingga matanya terbuka lebar dan sadar tak ada orang di sana. "Shei!" serunya berusaha memanggil gadis yang semalam masih berada di sana.Arnes beranjak dengan cepat. Ia melirik ke arah jam dinding yang masih menunjukkan pukul enam pagi. Tubuhnya mudah beradaptasi dengan baik, hingga membuatnya bisa berdiri tegak dan berjalan menuju kamar mandi."Sheila!" panggilnya lagi.Kamar mandi nampak kosong dan juga kering, pertanda tak ada seseorang yang menggunakannya. Arnes bergegas balik kanan dan mengubah haluan menuju ke dapur. Ia yakin gadisnya ada di sana menyiapkan sarapan untuk mereka.Senyumnya masih nampak sumringah, setelah semalam habis-habisan saling serang dengan gadisnya.
"Apa? Bahagia bersamamu?" tanya Arnes mengulang kalimat istrinya yang terdengar lucu. "Jangan mimpi!" tegasnya dengan tatapan tajam penuh ancaman. Dihempaskannya tangan Mia yang semakin memberatkan tubuh.Namun hal itu sama sekali tak membuat Mia gentar. Dengan tenang ia menegakkan tubuh dan wajah. Senyum manis masih tersungging di sana, tanpa sedikitpun merasa sedih dengan perbuatan Arnes. Semua diterimanya dengan lapang dada.Entah apa yang ada dalam kepala Mia. Wanita itu tak gentar setelah menerima penolakan yang tak sekali itu datang. Hatinya terus saja meminta dan menyebut nama Arnes sebagai pria yang ia cinta, tanpa pernah sekalipun berpaling."Aku akan menemukan Sheila, dan meninggalkanmu!" katanya penuh ancaman.Usai mengucapkan kalimat perpisahannya itu, Arnes pergi meninggalkan Mia di kamar. Langkah kaki besar itu terdengar menuruni tangga, lalu menghilang entah ke mana. Sementara Mia masih diam di tempat, memandangi pintu yang sudah tertutup kembali.Tubuhnya roboh seketik