"Berita apa lagi ini?" tanya seorang pria tambun dengan setelan jas mahal yang dikenakannya.Arnes menunduk malu sekaligus bingung. Ia tak menyangka bahwa berita tentangnya akan datang silih berganti. Setelah beberapa hari lalu tentang malpraktik yang nyaris membuat hubungannya dengan Sheila berakhir, kini ada lagi berita sekaligus video dirinya dan sang gadis yang tengah memadu kasih.Tentu saja ia sudah tahu siapa tokoh utama di balik semua itu. Selain sang pemilik video, Nina dan Reno, tentu saja ada penggeraknya. Dan sang istri adalah tersangkanya. Arnes bahkan yakin seribu persen, tanpa cela."Mau sampai kapan kau membuat masalah, hah? Katanya mau klinik maju, tapi malah seperti ini caramu!" seru seorang pria lain yang kini menjabat sebagai komisaris di klinik tersebut.Sang direktur utama hanya bisa menunduk dalam. Ia tak bisa lagi berkata-kata. Semua ucapannya hanya akan dimentahkan, karena bukti lebih nyata dari pada kiasan belaka. "Lebih baik kau membuat pernyataan, sebelum
"Paman dari mana saja?" tanya Sheila yang masih duduk manis di ruang tamu kediaman rumah Arnes.Kedatangan sang paman dokter nampak sudah dinanti sejak siang tadi. Rumah kosong melompong tanpa penghuni lain. Mia yang mampir sebentar sudah pergi lagi entah ke mana. Sheila seorang diri, bersama semua kesedihan karena beasiswanya dicabut."Pekerjaanku sedang banyak!" jawab Arnes yang langsung naik ke lantai dua.Pria itu nampak lelah, terlihat jelas dari kantung mata yang menggantung. Wajahnya kusut, dibarengi dengan pakaian yang berantakan. Padahal tadi pagi ia pergi dengan kondisi segar bugar, bahkan masih bisa tersenyum menyemangati Sheila yang berniat untuk belajar.Keadaan di klinik yang tengah genting membuatnya harus pulang larut. Semua unit kerja tengah membicarakan mitigasi yang harus dilakukan guna mempertahankan kondisi saat ini. Karena berita miring tentang sang direktur ternyata berdampak cukup besar tak hanya pada kepercayaan pasien tapi juga pendapatan rumah sakit.Tak han
"Kamu dari mana?" tanya Arnes yang baru saja keluar dari ruang kerja.Gadis yang sebentar lagi berusia 20 tahun itu cukup terkejut melihat wajah pria yang dicintai. Bibirnya tergagap, tak tahu harus menjawab apa. Namun tangannya menunjuk keluar, tanpa bisa berkata-kata."Keluar?" tanya Arnes lagi.Sheila mengangguk cepat. "Aku butuh udara segar!" dustanya.Pria itu mengernyitkan kening, seperti tak percaya dengan ucapan sang gadis. Pakaian yang kini dikenakan oleh Sheila tak seperti baju di rumah. Ia jelas berdandan sedikit, yang berarti arah tujuannya cukup jauh dari rumah.Baru saja akan membuka mulut, Sheila langsung mendekat dan bergelayut manja di lengannya. Sontak hal itu membuat Arnes langsung melupakan jawaban sang gadis. Bibirnya ikut terangkat, membalas wajah cantik yang sempat ia marahi tadi."Maafkan aku karena tadi bersikap terlalu keras padamu," katanya menyesal.Sheila tersenyum sembari menggelengkan kepala. Gadis itu nampaknya sudah memaafkan Arnes setelah keluar dari
Sinar mentari mulai masuk ke dalam kamar melalui celah jendela yang sedikit terbuka. Cahayanya mengajak pria yang tengah tertidur pulas itu untuk segera bangun. Namun belum sempat kelopaknya terbuka, jari-jarinya bergerak seolah mencari sesuatu."Pagi!" sapanya entah pada siapa. Tangannya masih terus mencari, hingga matanya terbuka lebar dan sadar tak ada orang di sana. "Shei!" serunya berusaha memanggil gadis yang semalam masih berada di sana.Arnes beranjak dengan cepat. Ia melirik ke arah jam dinding yang masih menunjukkan pukul enam pagi. Tubuhnya mudah beradaptasi dengan baik, hingga membuatnya bisa berdiri tegak dan berjalan menuju kamar mandi."Sheila!" panggilnya lagi.Kamar mandi nampak kosong dan juga kering, pertanda tak ada seseorang yang menggunakannya. Arnes bergegas balik kanan dan mengubah haluan menuju ke dapur. Ia yakin gadisnya ada di sana menyiapkan sarapan untuk mereka.Senyumnya masih nampak sumringah, setelah semalam habis-habisan saling serang dengan gadisnya.
"Apa? Bahagia bersamamu?" tanya Arnes mengulang kalimat istrinya yang terdengar lucu. "Jangan mimpi!" tegasnya dengan tatapan tajam penuh ancaman. Dihempaskannya tangan Mia yang semakin memberatkan tubuh.Namun hal itu sama sekali tak membuat Mia gentar. Dengan tenang ia menegakkan tubuh dan wajah. Senyum manis masih tersungging di sana, tanpa sedikitpun merasa sedih dengan perbuatan Arnes. Semua diterimanya dengan lapang dada.Entah apa yang ada dalam kepala Mia. Wanita itu tak gentar setelah menerima penolakan yang tak sekali itu datang. Hatinya terus saja meminta dan menyebut nama Arnes sebagai pria yang ia cinta, tanpa pernah sekalipun berpaling."Aku akan menemukan Sheila, dan meninggalkanmu!" katanya penuh ancaman.Usai mengucapkan kalimat perpisahannya itu, Arnes pergi meninggalkan Mia di kamar. Langkah kaki besar itu terdengar menuruni tangga, lalu menghilang entah ke mana. Sementara Mia masih diam di tempat, memandangi pintu yang sudah tertutup kembali.Tubuhnya roboh seketik
"I'm back!" bisik Sheila memandangi gedung bertingkat yang kini ada di hadapannya.Plang Rumah Sakit Khusus Bedah Jakarta, berdiri megah mewarnai kokohnya bangunan tersebut. Matanya tak henti berkedip, seolah ada bayang-bayang orang lain di sana. Senyum sumringahnya perlahan memudar, teringat semua kenangan yang pernah hadir tatkala gedung itu masih berbentuk klinik."Mau ke mana, Kak?" tanya seorang petugas keamanan mengejutkannya."Oh, saya... saya...""Sheila!" Seseorang memanggilnya sambil melambaikan tangan. Langkah kakinya bergerak cepat, menyusul wanita 30 tahun yang mengenakan satu set pakaian kantor berwarna biru muda. "Kamu sudah ditunggu di dalam!" katanya menarik tangan kecilnya."Loh, Dokter Andrew kenal?" tanya sang petugas.Andrew, nama dokter spesialis anak itu, mengangguk tegas. "Dia dokter baru di UGD," jawabnya.Sheila tersenyum sambil menunduk tanda permisi. Ia memang belum sempat memperkenalkan diri, tapi rasanya penjelasan dari Andrew sudah cukup mewakili. Ia kin
Dua pasang manik saling menatap satu sama lain. Getar kerinduan itu nyata adanya, terlihat jelas dari mata yang berkaca-kaca siap untuk meluncur. Namun kedua bibir itu maish terkatup rapat, berusaha menyelami mimpi yang akhirnya jadi nyata.Pertemuan tak terduga itu membuat tubuh Sheila dan Arnes menagang. Makanan yang terhidang tak lagi menarik perhatian. Rasa lapar hilang entah ke mana. Degup jantung di dada menunjukkan campur aduknya perasaan karena rindu, sedih dan bahagia berbaur jadi satu."Apa kabar?" tanya Sheila berusaha menahan getar suaranya.Gadis remaja yang kini sudah menjelma menjadi wanita cantik itu berusaha mengangkat bibir, tersenyum. Ia tahu Arnes tak bisa dibodohi semudah itu. Air mukanya tak bisa berdusta, meski bibir ingin menunjukkan kondisi yang baik-baik saja."Seperti yang kau lihat," jawab Arnes dingin. Tatapannya tajam, berusaha memperhatikan setiap inci kulit gadisnya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Pria berkepala lima itu bahkan tak habis pikir bahw
"Pacar?" tanya Arnes bingung.Namun tak hanya manik gelap pria 50 tahun itu yang menatap tajam. Andrew pun melakukan hal yang sama. Dokter spesialis anak itu memandangi wajah cantik yang kini terlihat tegang, karena ada dua pria yang menuntut jawaban."Ya... ya pacar. Kita berdua...""Dokter Arnes, cito di UGD!"Seorang perawat nampak berteriak tepat di ambang pintu kantin. Wajahnya campur aduk, antara panik dan takut. Begitu pula Arnes yang kini mendesah tak suka, namun berlari mengikuti seorang pria berseragam serba putih yang menuntunnya.Cito, adalah istilah yang biasa digunakan untuk kondisi darurat. Dalam bahasa latin, artinya cepat. Ketika seseorang menyebut kata cito di rumah sakit, itu artinya ada sesuatu yang penting nan mendesak dan membutuhkan penanganan cepat dan tepat. Maka dari itu wajah Arnes langsung berubah. Gerakannya pun tak seperti biasa. Ia berlari, berkejaran dengan waktu yang mungkin tak banyak. Sementara Sheila menarik napas lega karena tak jadi memberikan pe