"Pacar?" tanya Arnes bingung.Namun tak hanya manik gelap pria 50 tahun itu yang menatap tajam. Andrew pun melakukan hal yang sama. Dokter spesialis anak itu memandangi wajah cantik yang kini terlihat tegang, karena ada dua pria yang menuntut jawaban."Ya... ya pacar. Kita berdua...""Dokter Arnes, cito di UGD!"Seorang perawat nampak berteriak tepat di ambang pintu kantin. Wajahnya campur aduk, antara panik dan takut. Begitu pula Arnes yang kini mendesah tak suka, namun berlari mengikuti seorang pria berseragam serba putih yang menuntunnya.Cito, adalah istilah yang biasa digunakan untuk kondisi darurat. Dalam bahasa latin, artinya cepat. Ketika seseorang menyebut kata cito di rumah sakit, itu artinya ada sesuatu yang penting nan mendesak dan membutuhkan penanganan cepat dan tepat. Maka dari itu wajah Arnes langsung berubah. Gerakannya pun tak seperti biasa. Ia berlari, berkejaran dengan waktu yang mungkin tak banyak. Sementara Sheila menarik napas lega karena tak jadi memberikan pe
"Sheila!" Wanita cantik yang kini telah mengenakan jas dokternya itu menyalami seorang perawat secara bergantian. Tatapannya cerah ceria, menggambarkan bagaimana semangatnya kali ini. Sejak pagi tadi ia sudah tak sabar merasakan bekerja langsung di rumah sakit milik mantan kekasihnya.Bayang-bayang bangunan klinik masih terasa nyata. Ada beberapa bagian yang sengaja tak dipugar, seolah ingin dipertahankan untuk menjadi kenangan. Namun bagian lainnya habis direnovasi sesuai dengan standar rumah sakit berkualitas. Karena beberapa pasien yang masuk datang dari banyak penjuru Indonesia. Tentu saja bukan karena kualitas rumah sakit, tapi juga dokter-dokter yang ada di sana.Maka dari itu, Sheila tak menolak sedikitpun ketika Andrew menawarinya bekerja di sana. Ia bahkan tak pernah membayangkan akan kembali dan bertemu dengan Arnes. Semua hanya keinginan kecil yang nyatanya tak akan pernah terjadi lagi.Kekecewaan membuat Sheila akhirnya lebih memilih untuk menjalani hidupnya dengan baik.
"Bagaimana?" tanya Arnes begitu ia melewati pintu otomatis yang menjadi penghubung antara ruang operasi dengan ruang steril.Senyum pria itu terlihat sumringah, begitu masker medisnya terbuka. Matanya bersinar cerah, seperti harinya kali ini. Ada pancaran kebahagiaan yang tercipta setiap kali ia memandang ke arah gadis yang kini sudah beranjak dewasa itu.Sheila membalikkan tubuh, membuat posisinya dan Arnes menjadi berhadapan. Keduanya saling memandang cukup lama, seolah mentransfer energi yang baru saja terkuras karena sebuah operasi besar yang dilakukan bersama-sama. Tak lama mereka saling melempar senyum, menunjukkan kepuasan atas kinerja masing-masing."Rasanya..."Sheila tak lagi bisa berkata-kata. Mimik wajah dan sinar yang tercipta sudah menunjukkan bagaimana perasaannya kini. Wanita itu sampai kehabisan kata, dan bingung harus berucap. Semua pikirannya masih terus mengulang kejadian penting yang baru terjadi pertama kali dalam hidupnya. Air matanya nyaris tumpah, saking terha
"Apa yang Paman lakukan di sini?" tanya Sheila yang langsung melompat dari tempat duduk, saking terkejutnya. "K-kau, maksudku Paman tak boleh ada di sini!" larangnya terbata.Wanita itu masih bingung dengan panggilan yang tepat untuk Arnes. Di satu sisi, keduanya memiliki jarak usia yang cukup jauh sehingga tak masalah jika Sheila menyebutnya paman. Tapi akan menjadi masalah ketika orang lain mendengar panggila tersebut, karena tak ada yang tahu bahwa keduanya memiliki hubungan darah.Saat pertama kali menginjakkan kaki ke rumah sakit itu, Sheila melihat bahwa beberapa orang yang dulu hadir di klinik, tak lagi nampak. Dan informasi dari Andrew, setelah menjadi rumah sakit, manajemen melakukan perombakan habis-habisan sehingga beberapa karyawan lama tak lagi dipakai, tanpa alasan yang jelas, hanya karena keinginan Mia yang tentu saja ada hubungannya dengan perselingkuhan sang suami.Tapi tetap saja, tatapan Sheila nyalang, berkeliling ke seluruh ruang. Ada sedikit kelegaan karena kini
Sheila berlari dengan setengah mengendap-endap. Ia tak ingin langkahnya diikuti oleh siapapun. Apalagi anak baru ini pergi menuju ke tempat parkir dokter, di mana semua orang tahu bahwa ia tak memiliki sebuah mobil."Mau pulang, Dok?"Wanita itu memekik terkejut. Tangannya di dada, berusaha untuk mengatur napas yang sempat tersengal sebentar. Tatapan tak suka ia hadirkan untuk seorang petugas keamanan yang coba menyapanya. Sadar bahwa sang dokter tak suka, pria berseragam itu langsung menunduk malu. Senyumnya kecut sembari mempersilakan Sheila untuk lewat. Dan tanpa banyak basa-basi, wanita itu pergi sesegera mungkin.Manik cokelatnya mencari-cari posisi mobil Arnes yang tak pernah ia tahu di mana. Pria itu tak pernah menyebutkan letak spesifik. Namun masih jelas dalam ingatan, warna bahkan jenis mobil sang dokter bedah. "Akhirnya!" bisik Sheila setelah menemukan sebuah sedan hitam terparkir di paling depan. Letaknya strategis, bisa keluar kapanpun tanpa perlu terhalangi oleh mobil
"Ini apa?" tanya Sheila dengan wajah pucat.Dokter umum yang baru saja datang itu terkejut mendapat sepucuk surat cinta dari bagian SDM. Ia dan beberapa orang lainnya ditugaskan untuk melakukan bakti sosial ke sebuah daerah terpencil di ujung Pulau Jawa. Ia sendiri masih tak habis pikir, mengapa anak baru sepertinya yang harus mendapat kewajiban itu, sementara seniornya yang lain tidak."Why me?" tanyanya kebingungan."Biasanya memang begitu, Dok. Anak baru suka diospek dengan cara begini. Jadi, ini semacam salam kenal dari rumah sakit," tutur salah seorang perawat yang sudah lama bekerja di sana.Sheila terpaku tak percaya. Ia tahu bahwa akan ada masa orientasi oleh seniornya. Namun tak menyangka itu akan langsung diterima dan juga dilaksanakan oleh bagian SDM, yang seharusnya membina selayaknya karyawan biasa, tanpa perlu ada orientasi seperti ini."Dari SDM langsung?" tanyanya masih belum mau mempercayai apa yang diterima."Iya!" jawab Dokter Shinta yang muncul secara tiba-tiba. "D
Sheila membanting pintu ruang kerja Arnes dengan kencang. Kesabarannya yang setipis tisu langsung lenyap begitu mengetahui semua akal bulus paman dokternya itu. Segala cara terasa halal ketika pria itu melakukannya, persis seperti sepuluh tahun lalu."Hei, kau dari mana?" Suara Andrew membuat Sheila terperangah. Ia tak sadar bahwa langkah kakinya kini membawa bertemu dengan sang kekasih. Entah karena sejak awal ia memang akan menemui pria itu, atau hanya Andrew-lah yang bisa membantunya kali ini bebas dari Arnes.Jika dulu ia tak punya cara lain untuk bisa menghindari sang paman dokter, kini ada banyak jalan menuju Romanya. Apalagi Sheila yang saat ini sudah berubah menjadi wanita mandiri, tak lagi banyak menggantungkan hidup pada siapapun."Sayang, aku mencarimu ke mana-mana. Kata anak-anak UGD kamu pergi. Memang, kamu dari mana?" tanyanya lagi.Senyum sang dokter umum terangkat. Ia menggeleng dengan cepat, karena merasa belum siap untuk menceritakan tentang pertemuannya dengan Arne
Sheila membanting pintu ruang kerja Arnes dengan kencang. Kesabarannya yang setipis tisu langsung lenyap begitu mengetahui semua akal bulus paman dokternya itu. Segala cara terasa halal ketika pria itu melakukannya, persis seperti sepuluh tahun lalu."Hei, kau dari mana?" Suara Andrew membuat Sheila terperangah. Ia tak sadar bahwa langkah kakinya kini membawa bertemu dengan sang kekasih. Entah karena sejak awal ia memang akan menemui pria itu, atau hanya Andrew-lah yang bisa membantunya kali ini bebas dari Arnes.Jika dulu ia tak punya cara lain untuk bisa menghindari sang paman dokter, kini ada banyak jalan menuju Romanya. Apalagi Sheila yang saat ini sudah berubah menjadi wanita mandiri, tak lagi banyak menggantungkan hidup pada siapapun."Sayang, aku mencarimu ke mana-mana. Kata anak-anak UGD kamu pergi. Memang, kamu dari mana?" tanyanya lagi.Senyum sang dokter umum terangkat. Ia menggeleng dengan cepat, karena merasa belum siap untuk menceritakan tentang pertemuannya dengan Arne