"Sheila!" Wanita cantik yang kini telah mengenakan jas dokternya itu menyalami seorang perawat secara bergantian. Tatapannya cerah ceria, menggambarkan bagaimana semangatnya kali ini. Sejak pagi tadi ia sudah tak sabar merasakan bekerja langsung di rumah sakit milik mantan kekasihnya.Bayang-bayang bangunan klinik masih terasa nyata. Ada beberapa bagian yang sengaja tak dipugar, seolah ingin dipertahankan untuk menjadi kenangan. Namun bagian lainnya habis direnovasi sesuai dengan standar rumah sakit berkualitas. Karena beberapa pasien yang masuk datang dari banyak penjuru Indonesia. Tentu saja bukan karena kualitas rumah sakit, tapi juga dokter-dokter yang ada di sana.Maka dari itu, Sheila tak menolak sedikitpun ketika Andrew menawarinya bekerja di sana. Ia bahkan tak pernah membayangkan akan kembali dan bertemu dengan Arnes. Semua hanya keinginan kecil yang nyatanya tak akan pernah terjadi lagi.Kekecewaan membuat Sheila akhirnya lebih memilih untuk menjalani hidupnya dengan baik.
"Bagaimana?" tanya Arnes begitu ia melewati pintu otomatis yang menjadi penghubung antara ruang operasi dengan ruang steril.Senyum pria itu terlihat sumringah, begitu masker medisnya terbuka. Matanya bersinar cerah, seperti harinya kali ini. Ada pancaran kebahagiaan yang tercipta setiap kali ia memandang ke arah gadis yang kini sudah beranjak dewasa itu.Sheila membalikkan tubuh, membuat posisinya dan Arnes menjadi berhadapan. Keduanya saling memandang cukup lama, seolah mentransfer energi yang baru saja terkuras karena sebuah operasi besar yang dilakukan bersama-sama. Tak lama mereka saling melempar senyum, menunjukkan kepuasan atas kinerja masing-masing."Rasanya..."Sheila tak lagi bisa berkata-kata. Mimik wajah dan sinar yang tercipta sudah menunjukkan bagaimana perasaannya kini. Wanita itu sampai kehabisan kata, dan bingung harus berucap. Semua pikirannya masih terus mengulang kejadian penting yang baru terjadi pertama kali dalam hidupnya. Air matanya nyaris tumpah, saking terha
"Apa yang Paman lakukan di sini?" tanya Sheila yang langsung melompat dari tempat duduk, saking terkejutnya. "K-kau, maksudku Paman tak boleh ada di sini!" larangnya terbata.Wanita itu masih bingung dengan panggilan yang tepat untuk Arnes. Di satu sisi, keduanya memiliki jarak usia yang cukup jauh sehingga tak masalah jika Sheila menyebutnya paman. Tapi akan menjadi masalah ketika orang lain mendengar panggila tersebut, karena tak ada yang tahu bahwa keduanya memiliki hubungan darah.Saat pertama kali menginjakkan kaki ke rumah sakit itu, Sheila melihat bahwa beberapa orang yang dulu hadir di klinik, tak lagi nampak. Dan informasi dari Andrew, setelah menjadi rumah sakit, manajemen melakukan perombakan habis-habisan sehingga beberapa karyawan lama tak lagi dipakai, tanpa alasan yang jelas, hanya karena keinginan Mia yang tentu saja ada hubungannya dengan perselingkuhan sang suami.Tapi tetap saja, tatapan Sheila nyalang, berkeliling ke seluruh ruang. Ada sedikit kelegaan karena kini
Sheila berlari dengan setengah mengendap-endap. Ia tak ingin langkahnya diikuti oleh siapapun. Apalagi anak baru ini pergi menuju ke tempat parkir dokter, di mana semua orang tahu bahwa ia tak memiliki sebuah mobil."Mau pulang, Dok?"Wanita itu memekik terkejut. Tangannya di dada, berusaha untuk mengatur napas yang sempat tersengal sebentar. Tatapan tak suka ia hadirkan untuk seorang petugas keamanan yang coba menyapanya. Sadar bahwa sang dokter tak suka, pria berseragam itu langsung menunduk malu. Senyumnya kecut sembari mempersilakan Sheila untuk lewat. Dan tanpa banyak basa-basi, wanita itu pergi sesegera mungkin.Manik cokelatnya mencari-cari posisi mobil Arnes yang tak pernah ia tahu di mana. Pria itu tak pernah menyebutkan letak spesifik. Namun masih jelas dalam ingatan, warna bahkan jenis mobil sang dokter bedah. "Akhirnya!" bisik Sheila setelah menemukan sebuah sedan hitam terparkir di paling depan. Letaknya strategis, bisa keluar kapanpun tanpa perlu terhalangi oleh mobil
"Ini apa?" tanya Sheila dengan wajah pucat.Dokter umum yang baru saja datang itu terkejut mendapat sepucuk surat cinta dari bagian SDM. Ia dan beberapa orang lainnya ditugaskan untuk melakukan bakti sosial ke sebuah daerah terpencil di ujung Pulau Jawa. Ia sendiri masih tak habis pikir, mengapa anak baru sepertinya yang harus mendapat kewajiban itu, sementara seniornya yang lain tidak."Why me?" tanyanya kebingungan."Biasanya memang begitu, Dok. Anak baru suka diospek dengan cara begini. Jadi, ini semacam salam kenal dari rumah sakit," tutur salah seorang perawat yang sudah lama bekerja di sana.Sheila terpaku tak percaya. Ia tahu bahwa akan ada masa orientasi oleh seniornya. Namun tak menyangka itu akan langsung diterima dan juga dilaksanakan oleh bagian SDM, yang seharusnya membina selayaknya karyawan biasa, tanpa perlu ada orientasi seperti ini."Dari SDM langsung?" tanyanya masih belum mau mempercayai apa yang diterima."Iya!" jawab Dokter Shinta yang muncul secara tiba-tiba. "D
Sheila membanting pintu ruang kerja Arnes dengan kencang. Kesabarannya yang setipis tisu langsung lenyap begitu mengetahui semua akal bulus paman dokternya itu. Segala cara terasa halal ketika pria itu melakukannya, persis seperti sepuluh tahun lalu."Hei, kau dari mana?" Suara Andrew membuat Sheila terperangah. Ia tak sadar bahwa langkah kakinya kini membawa bertemu dengan sang kekasih. Entah karena sejak awal ia memang akan menemui pria itu, atau hanya Andrew-lah yang bisa membantunya kali ini bebas dari Arnes.Jika dulu ia tak punya cara lain untuk bisa menghindari sang paman dokter, kini ada banyak jalan menuju Romanya. Apalagi Sheila yang saat ini sudah berubah menjadi wanita mandiri, tak lagi banyak menggantungkan hidup pada siapapun."Sayang, aku mencarimu ke mana-mana. Kata anak-anak UGD kamu pergi. Memang, kamu dari mana?" tanyanya lagi.Senyum sang dokter umum terangkat. Ia menggeleng dengan cepat, karena merasa belum siap untuk menceritakan tentang pertemuannya dengan Arne
Sheila membanting pintu ruang kerja Arnes dengan kencang. Kesabarannya yang setipis tisu langsung lenyap begitu mengetahui semua akal bulus paman dokternya itu. Segala cara terasa halal ketika pria itu melakukannya, persis seperti sepuluh tahun lalu."Hei, kau dari mana?" Suara Andrew membuat Sheila terperangah. Ia tak sadar bahwa langkah kakinya kini membawa bertemu dengan sang kekasih. Entah karena sejak awal ia memang akan menemui pria itu, atau hanya Andrew-lah yang bisa membantunya kali ini bebas dari Arnes.Jika dulu ia tak punya cara lain untuk bisa menghindari sang paman dokter, kini ada banyak jalan menuju Romanya. Apalagi Sheila yang saat ini sudah berubah menjadi wanita mandiri, tak lagi banyak menggantungkan hidup pada siapapun."Sayang, aku mencarimu ke mana-mana. Kata anak-anak UGD kamu pergi. Memang, kamu dari mana?" tanyanya lagi.Senyum sang dokter umum terangkat. Ia menggeleng dengan cepat, karena merasa belum siap untuk menceritakan tentang pertemuannya dengan Arne
"A-aku menebak saja!" kata Arnes gugup. "Tadinya aku belanja untuk di rumah, tapi saat lewat ke sini, ada mobilmu. Jadi aku pikir tak ada salahnya mampir, kan!" tambahnya semakin mereka-reka alasan yang sebenarnya tak masuk akal.Namun entah mengapa, Andrew begitu mempercayai laki-laki 50 tahun itu. Sheila yang mendengarnya saja langsung menahan gelak tawa karena kebohongan Arnes yang sungguh di luar nalar. Mustahil seseorang bisa setepat itu."Kalian sedang apa?" tanya Arnes mengalihkan pembicaraan.Dengan senyum sumringah, Andrew membawa pamannya ke dapur. Keponakan dari Mia itu dengan semangat menjelaskan masakan yang tengah dibuat oleh kekasihnya. Mulutnya juga tak henti mengoceh tentang perasaan Sheila yang begitu senang ketika memasuki rumah ini.Wanita yang sejak tadi disebut namanya itu menghindar sejauh mungkin. Ketika Arnes dan Andrew ada di meja makan, ia terus berkutat di bagian dapur. Pekerjaan yang tak penting pun ia kerjakan, hanya demi menjauhi mantan kekasihnya itu. I
"Dan kau merahasiakan ini semua dariku?" Arnes bertanya dengan tatapan tajam ke arah manik cokelat kekasihnya. Sesekali diliriknya perut Sheila yang mulai membesar. Tanda-tanda kehamilan tak keduanya rasakan saat bersama terakhir kali. Sehingga pria itu masih tak percaya jika wanita di hadapannya benar tengah mengandung."Aku hanya tak ingin merepotkan Paman!" jawab Sheila dengan penuh penekanan.Semua yang ia lakukan tiada lain karena ingin membantu kekasihnya itu. Semakin Arnes fokus, semakin masalah mereka akan selesai, dan pada akhirnya akan bertemu tanpa ada masa lalu yang perlu diurus. Dengan begitu keduanya akan hidup damai sejahtera, seperti mimpi yang pernah dirajut bersama."Kau boleh menyimpan semuanya, tapi tidak dengan informasi sepenting ini! Apa kau pikir aku tega meninggalkanmu berdua saja menjalani hari dengan kondisi begini? Laki-laki macam apa yang tega membiarkan wanita yang dicintainya menderita, Sheila?" cecar Arnes yang diakhiri dengan adegan menjambak rambutn
"Aku akan kirimkan uang untuk kebutuhanmu sebulan ini. Kau tak perlu khawatir tak ada pasien."Sheila mendengarkan celoteh dan juga nasihat-nasihat Arnes yang tak bisa ia rasakan kehadirannya. Sudah berbulan-bulan lamanya dan ia mulai merasa jengah. Ucapan yang sama selalu ia dengar, mulai dari jaga diri, jangan telat makan dan bergembira.Kata terakhir sungguh menyiksanya. Ia harus hidup tanpa pria yang sudah menghamilinya. Dan yang paling menyebalkan adalah, Arnes belum tahu jika Sheila mengandung. Semua disembunyikan sedemikian rupa hanya untuk membuat fokus sang dokter tertuju pada rumah sakit. Harapannya tentu saja penyelesaian masalah menjadi cepat dan keduanya segera bertemu."Tapi sampai kapan aku harus menunggu di sini?" tanya Sheila dengan nada yang begitu rendah, nyaris tak terdengar.Wanita yang tengah mengelus-elus perutnya yang mulai membesar itu hanya bisa meratapi nasib ditinggal berdua dengan sang bibi, tanpa kejelasan dari sang kekasih. Jangankan mengajak ke pernikah
"Hari ini enggak ada pasien?" tanya Sheila sembari keluar dari ruang praktinya dengan wajah penasaran.Wanita paruh baya yang duduk manis di meja pendaftaran menggelengkan kepalanya, menjawab pertanyaan dari sang keponakan. Nina menoleh ke arah teras klinik kecil yang biasanya ramai. Tapi entah mengapa sudah beberapa hari terakhir nampak sepi pengunjung.Sudah beberapa bulan terakhir masyarakat Desa Waduk menghampiri klinik sekaligus tempat tinggal Sheila dan Nina untuk berobat. Hal ini dikarenakan Puskesmas yang letaknya cukup jauh. Jika menggunakan motor saja bisa satu jam lamanya. Itupun belum tentu mendapatkan antrean, karena keterbatasan tenaga kesehatan dan membludaknya pasien yang meliputi beberapa Desa."Tumben ya, Bi?" tanya Sheila sembari mengelus perutnya yang mulai membesar.Nina tersenyum kecut. Wanita berbedan besar itu sebenarnya tahu betul apa yang membuat masyarakat enggan pergi ke tempat mereka. Tapi bibirnya kelu, tak sanggup menjelaskan alasan itu pada Sheila. Ia t
Sheila menatap bayangannya di cermin. Pakaian dan tangannya masih penuh darah, bersama air mata yang mengalir penuh sesal. Tangisnya pecah, menunduk dalam. Tubuhnya bergetar hebat setelah mengalami sekaligus menjadi saksi sebuah kejadian yang tak akan pernah ia lupakan seummur hidup."Sheila!"Suara bariton yang cukup ia kenal memanggil dari balik pintu kamar mandi. Tubuhnya begitu berat untuk bergerak. Tapi ia tetap melakukannya, sembari memutar kenop pintu pelan."Polisi bilang kita sudha boleh pulang," katanya sembari melepaskan jas putih dokter miliknya dan meletakkannya di bahu Sheila. "Aku akan mengantarmu pulang, setelah itu...""Aku ingin ke rumah sakit!" katanya setengah merengek. "Aku ingin tahu kondisi Paman Reno dan Andrew," tambahnya melemah.Entah apakah Sheila masih pantas menyebut dua nama itu ketika semua masalahnya malah membawa kedua orang itu ke dalam derita. Tapi ia hanya ingin melihat dua orang yang kini menjadi korban dari tembakan brutal Mia."Kau tak perlu ke
"Kenapa Paman baru angkat teleponku?" tanya Sheila dengan kesal.Sudah sejak 30 menit yang lalu ia menghubungi pria paruh baya itu. Namun baru kali ini teleponnya dijawab. Rasa khawatir dan panik muncul setelah muncul beberapa video Arnes yang muncul di beranda sosial medianya."Apa yang kau lakukan? Kau ingin hancur sendirian, hah? Apa begini caramu memulai hidup denganku?" cecarnya berapi-api.Sheila belum melihat secara utuh hasil konferensi pers yang baru saja dilakukan paman dokternya itu. Tapi dari potongan-potongan yang beredar saja, ia sudah bisa memastikan bahwa Arnes berniat mengarahkan semua amarah padanya. Padahal kenyataannya tak demikian."Temui aku sekarang atau kau tak akan pernah bertemu denganku lagi!" ancamnya seraya menutup telepon.Emosinya meletup-letup, tak terima dengan semua pernyataan yang tentu akan menghancurkan nama baik Arnes. Padahal selama puluhan tahun ia memupuk rasa percaya pada pasiennya, memberikan pelayanan terbaik, berusaha untuk mengembangkan il
"Jadi kau akan memilih perempuan itu, hah?" Mia memandang ke luar jendela, di mana langit biru dengan terik sinar mentari yang mulai tinggi. Panasnya menjalar ke hati yang kini membara setelah mendengar keputusan sang suami. Sementara jari-jarinuya sudah sejak tadi mencengkeram tas tangan yang sejak tadi ia bawa."Kau benar-benar akan membuang semua yang kau miliki saat ini? Demi dia?" cecarnya memaksa Arnes untuk menjawab pertanyaan itu di depan wajahnya langsung.Pria paruh baya itu memandang wanita cantik yang sampai saat ini tak pernah berubah sejak pertama kali ia temui. Tanda-tanda penuaan mungkin nampak, tapi tak terlalu jelas bagi seorang Mia yang memiliki banyak waktu dan uang untuk mengalokasikan kecantikannya sebagai tujuan utama. Kakinya melangkah maju, mendekati istri yang sudah lebih dari dua puluh tahun menemaninya."Aku tak bisa menjadi Arnes yang terus berada di belakangmu untuk mendapat apa yang dia inginkan. Aku harus berusaha dan sedikit berkorban untuk tahu rasan
"Pernikahan yang kami jalani, berbeda dari pernikahan kebanyakan," kata Arnes membuka ceritanya dengan sebuah kalimat yang membuat semua mata tertuju kepadanya.Beberapa media semakin mengarahkan kamera ke arahnya. Mulai dari tampak depan, samping kanan dan kiri, semuanya tak lepas dari sorot yang menunjukkan ekspresi wajahnya kini. Kejujuran itu nyata, tanpa ada lagi sandiwara seperti biasa.Para pewarta sibuk menuliskan keterangan penuh kontroversi yang disebutkan oleh direktur sekaligus suami dari pemilik rumah sakit tersebut. Berbagai macam pasang mata menyaksikannya dengan tatapan yang berbeda-beda. Mulai dari mencemooh, sedih, kecewa bahkan marah, hadir di sana.Aula yan dipenuhi dengan banyak orang itu mulai riuh. Ada beberapa pertanyaan yang mereka bisikkan satu sama lain. Namun tak ada satupun dari mereka yang mengangkat tangan untuk bertanya secara langsung kepada Arnes yang mash berdiri tegak di atas panggung. Mereka semua menunggu penjelasan lanjutan yang disampaikan penuh
"Paman!"Sheila bangun dalam keadaan tak ada orang di sisinya. Sinar mentari masuk dari balik jendela yang sudah terbuka. Tapi matanya langsung berkeliling mencari seseorang yang harusnya sejak semalam ada di sana, bersamanya. "Paman!" serunya lagi, berharap pria itu bisa mendengar suaranya yang mulai kencang.Tapi beberapa menit berselang, tak ada tanda-tanda bahwa Arnes ada di sana. Hingga akhirnya Sheila memutuskan untuk bangkit dan bergerak menuju keluar dari kamar. Tujuan utamanya langsung ke arah dapur yang nyatanya kosong melompong."Kok enggak ada?" tanyanya pada diri sendiri.Kakinya mulai menjelajahi setiap sudut di rumah sederhana yang dibangun sang ayah dengan penuh cinta. Mulai dari kamar mandi, kamar tamu sampai halaman depan. Namun tak ada tanda-tanda kehadiran Arnes di sana. Bahkan mobil pria itupun tak nampak.Sheila mulai mengerutkan kening. Tangannya memutar-mutar ponsel yang sejak tadi diam tanpa suara. Tak ada tanda-tanda akan ada pesan atau telepon masuk dari sa
"Jangan bergerak!" seru Sheila yang masih sibuk dengan kegiatannya mengobati seorang pasien yang nyatanya begitu menyebalkan.Sudah hampir setengah jam Sheila berkutat dengan obat-obatan dan tak ada tanda-tanda akan segera selesai. Kali ini pasiennya terlalu banyak mengeluh, menolak dan mengelak setiap kali ia mendekatkan kapas ke arah lukanya."Kapan aku bisa selesai kalau Paman terus begini?" gerutunya kesal.Arnes memanyunkan bibir, tak suka ketika gadisnya mulai memarahi dirinya yang tentu lebih tua banyak tahun dari Sheila. Sementara tak ada tatap mengalah dari manik cokelat yang terus melotot tajam. "Kalau enggak cepat diobati nanti jadi berbekas, belum lagi kalau infeksi, terus..."CUP!Arnes memberikan sebuah kecupan yang akhirnya mampu membuat Sheila berhenti mengoceh. Itu adalah satu-satunya cara yang ada dalam kepalanya. "Kau tak lupa kalau aku juga seorang dokter, kan?" tanyanya merasa dipermainkan.Namun dengan wajah galak, Sheila melipat kedua tangannya di depan dada. I