"Ini apa?" tanya Sheila dengan wajah pucat.Dokter umum yang baru saja datang itu terkejut mendapat sepucuk surat cinta dari bagian SDM. Ia dan beberapa orang lainnya ditugaskan untuk melakukan bakti sosial ke sebuah daerah terpencil di ujung Pulau Jawa. Ia sendiri masih tak habis pikir, mengapa anak baru sepertinya yang harus mendapat kewajiban itu, sementara seniornya yang lain tidak."Why me?" tanyanya kebingungan."Biasanya memang begitu, Dok. Anak baru suka diospek dengan cara begini. Jadi, ini semacam salam kenal dari rumah sakit," tutur salah seorang perawat yang sudah lama bekerja di sana.Sheila terpaku tak percaya. Ia tahu bahwa akan ada masa orientasi oleh seniornya. Namun tak menyangka itu akan langsung diterima dan juga dilaksanakan oleh bagian SDM, yang seharusnya membina selayaknya karyawan biasa, tanpa perlu ada orientasi seperti ini."Dari SDM langsung?" tanyanya masih belum mau mempercayai apa yang diterima."Iya!" jawab Dokter Shinta yang muncul secara tiba-tiba. "D
Sheila membanting pintu ruang kerja Arnes dengan kencang. Kesabarannya yang setipis tisu langsung lenyap begitu mengetahui semua akal bulus paman dokternya itu. Segala cara terasa halal ketika pria itu melakukannya, persis seperti sepuluh tahun lalu."Hei, kau dari mana?" Suara Andrew membuat Sheila terperangah. Ia tak sadar bahwa langkah kakinya kini membawa bertemu dengan sang kekasih. Entah karena sejak awal ia memang akan menemui pria itu, atau hanya Andrew-lah yang bisa membantunya kali ini bebas dari Arnes.Jika dulu ia tak punya cara lain untuk bisa menghindari sang paman dokter, kini ada banyak jalan menuju Romanya. Apalagi Sheila yang saat ini sudah berubah menjadi wanita mandiri, tak lagi banyak menggantungkan hidup pada siapapun."Sayang, aku mencarimu ke mana-mana. Kata anak-anak UGD kamu pergi. Memang, kamu dari mana?" tanyanya lagi.Senyum sang dokter umum terangkat. Ia menggeleng dengan cepat, karena merasa belum siap untuk menceritakan tentang pertemuannya dengan Arne
Sheila membanting pintu ruang kerja Arnes dengan kencang. Kesabarannya yang setipis tisu langsung lenyap begitu mengetahui semua akal bulus paman dokternya itu. Segala cara terasa halal ketika pria itu melakukannya, persis seperti sepuluh tahun lalu."Hei, kau dari mana?" Suara Andrew membuat Sheila terperangah. Ia tak sadar bahwa langkah kakinya kini membawa bertemu dengan sang kekasih. Entah karena sejak awal ia memang akan menemui pria itu, atau hanya Andrew-lah yang bisa membantunya kali ini bebas dari Arnes.Jika dulu ia tak punya cara lain untuk bisa menghindari sang paman dokter, kini ada banyak jalan menuju Romanya. Apalagi Sheila yang saat ini sudah berubah menjadi wanita mandiri, tak lagi banyak menggantungkan hidup pada siapapun."Sayang, aku mencarimu ke mana-mana. Kata anak-anak UGD kamu pergi. Memang, kamu dari mana?" tanyanya lagi.Senyum sang dokter umum terangkat. Ia menggeleng dengan cepat, karena merasa belum siap untuk menceritakan tentang pertemuannya dengan Arne
"A-aku menebak saja!" kata Arnes gugup. "Tadinya aku belanja untuk di rumah, tapi saat lewat ke sini, ada mobilmu. Jadi aku pikir tak ada salahnya mampir, kan!" tambahnya semakin mereka-reka alasan yang sebenarnya tak masuk akal.Namun entah mengapa, Andrew begitu mempercayai laki-laki 50 tahun itu. Sheila yang mendengarnya saja langsung menahan gelak tawa karena kebohongan Arnes yang sungguh di luar nalar. Mustahil seseorang bisa setepat itu."Kalian sedang apa?" tanya Arnes mengalihkan pembicaraan.Dengan senyum sumringah, Andrew membawa pamannya ke dapur. Keponakan dari Mia itu dengan semangat menjelaskan masakan yang tengah dibuat oleh kekasihnya. Mulutnya juga tak henti mengoceh tentang perasaan Sheila yang begitu senang ketika memasuki rumah ini.Wanita yang sejak tadi disebut namanya itu menghindar sejauh mungkin. Ketika Arnes dan Andrew ada di meja makan, ia terus berkutat di bagian dapur. Pekerjaan yang tak penting pun ia kerjakan, hanya demi menjauhi mantan kekasihnya itu. I
"Kenapa kalian ada di sini?"Andrew bertanya dengan penuh tanya. Matanya nanar, menyaksikan pamannya bersama sang kekasih tengah berpelukan. Walau bisa terlihat dengan jelas, hanya Arnes yang memeluk gadisnya. Sementara Sheila sendiri masih dalam posisi meringkuk di lantai."Ada apa ini?" tanya Andrew semakin penasaran dengan wajah penuh air mata. "Kau kenapa?" Pria itu mendekati kekasihnya.Wajah Sheila kebingungan dengan bibir terkatup rapat. Ia tak tahu harus berkata apa. Namun tak sanggup jika harus menoleh ke arah Arnes yang juga tengah memutar otak. "Sayang, kamu ke...""Sheila tiba-tiba sakit perut," potong Arnes cepat.Andrew mengernyitkan kening dengan manik keheranan. Saat meninggalkan sang kekasih, semua nampak baik-baik saja. Tak ada tanda-tanda kesakitan dari wanita itu. Wajahnya pun segar bugar, menunjukkan kebahagiaan saat memasuki rumah."Tapi tadi...""Sakit...!" rintih Sheila bersandiwara. Mendengarnya, Andrew sontak merangkul Sheila. "Aku tadi mau naik ke ranjang,
"Dok, ada pasien ibu hamil. Usia kandungan 32 minggu, mengalami pendarahan karena kecelakaan!" Sebuah laporan dari perawat membuat Sheila yang baru saja bersiap untuk tugasnya lari kalang-kabut. Wanita itu langsung mengetahui bahwa ada kegawat daruratan yang terjadi, utamanya karena melihat usia kandungan yang belum siap untuk lahir dan juga pendarahan yang terjadi.Langkah kakinya terhenti begitu mendapati darah berceceran di sepanjang pintu masuk hingga ke deretan bangkar yang sebagian tertutup tirai, karena adanya pasien. Sebagai dokter ia langsung msadar penuh, akan kondisi ibu hamil yang dimaksud. Tangannya bergetar hebat, berusaha untuk mengalungkan stetoskop yang ia letakkan di kantong jas putih khas dokternya. Bukan hal baru untuk Sheila melihat darah bercecer di mana-mana. Namun kali ini, ia merasa bebannya semakin bertambah karena ada dua nyawa yang harus segera ditolong."Dokter Sinta ke mana?" tanya Sheila melihat konter perawat yang kosong tanpa dokter jaga.Hari ini, s
"Kok kamu di sini?" tanya Andrew pada kekasihnya yang sudah duduk manis di kursi tamu ketika pria itu masuk ke dalam ruangan.Sebagai seorang dokter spesialis anak yang merangkap dewan komite medis, Andrew memang diberi fasilitas sebuah ruangan khusus. Selain anak dari salah satu pemegang saham, ia cukup aktif dalam beberapa acara di rumah sakit. Mulai dari turut andil dalam manajemen, sampai kegiatan di luar. Selain untuk menambah pengalaman, sang ayah sengaja membekalinya banyak ilmu untuk meneruskan perjuangan paman dokternya.Ya, sebagai salah satu keponakan Mia, ia terpilih dengan layak sebagai salah seorang calon ketua, suatu saat nanti. Menggantikan seorang Arnes tentu tak akan semudah itu. Makanya, Andrew diberikan banyak tanggung jawab yang membuatnya tak banyak keluar."Aku mau minta tolong," jawab Sheila tanpa basa-basi.Perasaannya campur aduk, antara senang karena kini ada seorang pria yang bisa ia jadikan sandarann hidup. Namun juga sedih, mengingat kejadian di ruang ope
"Kau belum pulang?"Dokter Irma keluar dari ruang operasi dengan wajah terkejut, karena kini melihat sosok wanita muda yang tadi siang mencari masalah dengannya. Matanya tetap saja tajam, seperti biasa. Tak sedikitpun ia melemah ketika menemui dokter baru itu."Saya menunggu Dokter," jawab Sheila tersenyum ramah.Wanita tua yang terkenal dengan mata kucingnya itu malah mengernyitkan kening. Pernyataan dari Sheila menunjukkan bahwa gadis itu menantikan dirinya, dan itu jarang sekali terjadi. Di mana-mana, anak muda yang habis kena tegurannya akan langsung menghindar setengah mati, bukan malah sebaliknya. "Ada apa?" tanyanya bingung. Dengan senyum penuh kemenangan, Sheila menyodorkan sebuah kursi agar keduanya bisa berbincang dengan santai. "Sepuluh menit!" katanya seolah memburu dengan waktu.Sheila menganggukkan kepalanya dan segera ikut duduk di samping Dokter Irma. Tangannya bertaut, penuh harap dengan percobaannya kali ini. Ia mengikuti saran dari Arnes yang cukup masuk diakal."S