"Dok, ada pasien ibu hamil. Usia kandungan 32 minggu, mengalami pendarahan karena kecelakaan!" Sebuah laporan dari perawat membuat Sheila yang baru saja bersiap untuk tugasnya lari kalang-kabut. Wanita itu langsung mengetahui bahwa ada kegawat daruratan yang terjadi, utamanya karena melihat usia kandungan yang belum siap untuk lahir dan juga pendarahan yang terjadi.Langkah kakinya terhenti begitu mendapati darah berceceran di sepanjang pintu masuk hingga ke deretan bangkar yang sebagian tertutup tirai, karena adanya pasien. Sebagai dokter ia langsung msadar penuh, akan kondisi ibu hamil yang dimaksud. Tangannya bergetar hebat, berusaha untuk mengalungkan stetoskop yang ia letakkan di kantong jas putih khas dokternya. Bukan hal baru untuk Sheila melihat darah bercecer di mana-mana. Namun kali ini, ia merasa bebannya semakin bertambah karena ada dua nyawa yang harus segera ditolong."Dokter Sinta ke mana?" tanya Sheila melihat konter perawat yang kosong tanpa dokter jaga.Hari ini, s
"Kok kamu di sini?" tanya Andrew pada kekasihnya yang sudah duduk manis di kursi tamu ketika pria itu masuk ke dalam ruangan.Sebagai seorang dokter spesialis anak yang merangkap dewan komite medis, Andrew memang diberi fasilitas sebuah ruangan khusus. Selain anak dari salah satu pemegang saham, ia cukup aktif dalam beberapa acara di rumah sakit. Mulai dari turut andil dalam manajemen, sampai kegiatan di luar. Selain untuk menambah pengalaman, sang ayah sengaja membekalinya banyak ilmu untuk meneruskan perjuangan paman dokternya.Ya, sebagai salah satu keponakan Mia, ia terpilih dengan layak sebagai salah seorang calon ketua, suatu saat nanti. Menggantikan seorang Arnes tentu tak akan semudah itu. Makanya, Andrew diberikan banyak tanggung jawab yang membuatnya tak banyak keluar."Aku mau minta tolong," jawab Sheila tanpa basa-basi.Perasaannya campur aduk, antara senang karena kini ada seorang pria yang bisa ia jadikan sandarann hidup. Namun juga sedih, mengingat kejadian di ruang ope
"Kau belum pulang?"Dokter Irma keluar dari ruang operasi dengan wajah terkejut, karena kini melihat sosok wanita muda yang tadi siang mencari masalah dengannya. Matanya tetap saja tajam, seperti biasa. Tak sedikitpun ia melemah ketika menemui dokter baru itu."Saya menunggu Dokter," jawab Sheila tersenyum ramah.Wanita tua yang terkenal dengan mata kucingnya itu malah mengernyitkan kening. Pernyataan dari Sheila menunjukkan bahwa gadis itu menantikan dirinya, dan itu jarang sekali terjadi. Di mana-mana, anak muda yang habis kena tegurannya akan langsung menghindar setengah mati, bukan malah sebaliknya. "Ada apa?" tanyanya bingung. Dengan senyum penuh kemenangan, Sheila menyodorkan sebuah kursi agar keduanya bisa berbincang dengan santai. "Sepuluh menit!" katanya seolah memburu dengan waktu.Sheila menganggukkan kepalanya dan segera ikut duduk di samping Dokter Irma. Tangannya bertaut, penuh harap dengan percobaannya kali ini. Ia mengikuti saran dari Arnes yang cukup masuk diakal."S
"Kau yakin hanya ini barang-barang yang kau bawa?"Andrew kembali memperhatikan semua koper dan juga beberapa kardus yang baru saja mereka turunkan dari mobil sportnya. Ternyata hanya perlu satu kali perjalana untuk membawa semua barang pribadi milik Sheila. Wanita itu ternyata tak memiliki banyak barang, seperti gadis-gadis seusianya. "Tak ada yang tertinggal?" tanya Andrew kembali memastikan.Untuk kesekian kalinya, Sheila mengangguk, yakin. Ia tak pernah membelanjakan uangnya untuk hal tak berguna. Sepatu contohnya, ia sudah mengenakan barang yang sama selama hampir tiga tahun lamanya. Namun sekali beli, ia benar-benar akan memastikan kualitasnya baik dengan harga yang sesuai pula.Pekerjannya sebagai dokter yang mampu meraup keuntungan besar tak membuatnya senang berfoya-foya. Hidupnya penuh dengan perjuangan. Dan kesenangan sesaat itu hanya akan menjerumuskannya dalam kesulitan di akhir hidupnya."Kakak kan tahu aku jarang belanja," katanya tersenyum.Andrew sendiri mengangguk-a
"Maksud ibu tadi itu apa, Shei?" tanya Andrew yang dengan penuh paksa ditarik keras ke dalam rumah.Sementara wanita yang kini berdiri di hadapannya hanya bisa diam mematung tanpa jawab. Pikirannya maish terus berputar mengingat dengan jelas bagaimana sepuluh tahun lalu ia meninggalkan rumah ini. Satu-satunya harta peninggalan sang ayah yang terpaksa ditelantarkan demi menyongsong hidup yang lebih baik.Selama itu pula, Sheila tak pernah berkunjung, apalagi menanyakan kabar gedung yang penuh dengan kenangan masa kecilnya itu. Ia benar-benar menahan semua kerinduan itu sekuat mungkin, agar masa depannya berubah total. Dan terbukti, semua hasil jerih payahnya sama sekali tak mengkhianati proses berat penuh cobaan yang telah dilalui. Tatapan manik cokelatnya masih sayu, berharap sang kekasih bisa memberikan waktu sejenak untuk bisa menceritakan semuanya. Mungkin inilah waktu yang tepat untuk membuka semua aib masa lalu itu dan membuat hubungan mereka semakin jelas. "Bagaimana bisa kamu
"Semua nama-nama di daftar sudah hadir? Kita siap berangkat lima menit lagi!"Sebuah aba-aba membuat jantung Sheila berdetak kencang. Matanya terus berputar mencari seorang pria di antara kerumunan para petugas medis dan non-medis yang akan berangkat dalam kegiatan bakti sosial. Sebuah bus pariwisata sudah disewa untuk membawa sekitar 20 orang karyawan, termasuk dokter dan perangkat manajemen yang menemani."Cari siapa?" Sebuah suara mengejutkan gadis itu. Matanya mendapati tubuh tinggi besar yang terlalu dikenalnya. Sheila bahkan merasakan wangi tubuh pria yang sudah lama tak ia jamah. Otaknya bernostalgia, menutup semua ingatan buruk tentang pria itu."Andrew memutuskan untuk tidak ikut!" kata Arnes penuh penekanan.Namun satu kalimat itu langsung membuat Sheila menoleh ke arahnya. Gadis itu tak tahu bagaimana pasti mimik wajah yang sedang ditunjukkan. Karena hatinya pun bingung, harus bersorak gembira atau menangis, karena baru saja kehilangan pria yang dengan tulus mencintainya.
"Malam ini kita tidak ada agenda. Untuk yang mau istirahat, silakan. Tapi kalau mau jalan-jalan juga boleh. Asal, jangan terlalu larut, karena besok kita mulai pagi hari!" Semua orang bertepuk tangan dan membubarkan diri ke kamar masing-masing. Lobi hotel tempat menginap berangsur sepi, karena sebagian besar tamu mereka hari itu adalah karyawan rumah sakit yang tengah melakukan bakti sosial. Rencana awal pergi ke desa terpencil diurungkan, mengingat direktur mereka ikut serta di dalamnya. Sehingga sebuah kota kecil yang menjadi tujuan mereka, dengan fasilitas yang cukup mumpuni, walau tak selengkap Ibu Kota. Setidaknya, panitia tak akan terlalu kesulitan untuk mencari akomodasi yang layak bagi pimpinannya."Apa yang Paman lakukan?" tanya Sheila melihat langkah Arnes terus mengikutinya."Apa? Memangnya aku melakukan apa?" Arnes balik bertany dengan mimik muka kebingungan."Kenapa Paman mengikutiku?" tanyanya dengan nada ketus.Arnes tergelak, melihat bagaimana sikap dingin yang berus
"Gempa, ini beneran gempa!" seru Sheila yang meyakinkan Arnes untuk kedua kalinya.BRAK!Dua kaleng bir jatuh ke lantai, mengeluarkan sisa cairan yang masih penuh. Dua pasang mata yang tadi enggan saling menatap, kini malah beradu pandang. Seperti diberi aba-aba, mereka beranjak dari tempat duduk dan berusaha untuk menapak lantai, tanpa terjatuh.Tubuh Arnes terhuyung, dengan dua tangan terentang lebar. Pria itu berusaha menyeimbangkan tubuh, sambil sesekali membantu Sheila yang masih tak sadar dengan kejadian yang terjadi. Tapi gadis itu malah sibuk mengemasi barang-barangnya."Apa yang kau lakukan?" teriak Arnes marah. "Kita tak punya banyak waktu! Aku pergi!" katanya seraya menarik tangan Sheila keluar ruangan.Baru saja pintu terbuka, keduanya sudah menyaksikan lalu-lalang orang-orang yang berlari ketakutan. Semuanya sibuk mencari selamat, diiringi bunyi sirine hotel yang baru saja berdering nyaring, memekakkan telinga. Lampu di atas pintu darurat menyala, memberi tanda bahwa semu