"Kamu dari mana?" tanya Arnes yang baru saja keluar dari ruang kerja.Gadis yang sebentar lagi berusia 20 tahun itu cukup terkejut melihat wajah pria yang dicintai. Bibirnya tergagap, tak tahu harus menjawab apa. Namun tangannya menunjuk keluar, tanpa bisa berkata-kata."Keluar?" tanya Arnes lagi.Sheila mengangguk cepat. "Aku butuh udara segar!" dustanya.Pria itu mengernyitkan kening, seperti tak percaya dengan ucapan sang gadis. Pakaian yang kini dikenakan oleh Sheila tak seperti baju di rumah. Ia jelas berdandan sedikit, yang berarti arah tujuannya cukup jauh dari rumah.Baru saja akan membuka mulut, Sheila langsung mendekat dan bergelayut manja di lengannya. Sontak hal itu membuat Arnes langsung melupakan jawaban sang gadis. Bibirnya ikut terangkat, membalas wajah cantik yang sempat ia marahi tadi."Maafkan aku karena tadi bersikap terlalu keras padamu," katanya menyesal.Sheila tersenyum sembari menggelengkan kepala. Gadis itu nampaknya sudah memaafkan Arnes setelah keluar dari
Sinar mentari mulai masuk ke dalam kamar melalui celah jendela yang sedikit terbuka. Cahayanya mengajak pria yang tengah tertidur pulas itu untuk segera bangun. Namun belum sempat kelopaknya terbuka, jari-jarinya bergerak seolah mencari sesuatu."Pagi!" sapanya entah pada siapa. Tangannya masih terus mencari, hingga matanya terbuka lebar dan sadar tak ada orang di sana. "Shei!" serunya berusaha memanggil gadis yang semalam masih berada di sana.Arnes beranjak dengan cepat. Ia melirik ke arah jam dinding yang masih menunjukkan pukul enam pagi. Tubuhnya mudah beradaptasi dengan baik, hingga membuatnya bisa berdiri tegak dan berjalan menuju kamar mandi."Sheila!" panggilnya lagi.Kamar mandi nampak kosong dan juga kering, pertanda tak ada seseorang yang menggunakannya. Arnes bergegas balik kanan dan mengubah haluan menuju ke dapur. Ia yakin gadisnya ada di sana menyiapkan sarapan untuk mereka.Senyumnya masih nampak sumringah, setelah semalam habis-habisan saling serang dengan gadisnya.
"Apa? Bahagia bersamamu?" tanya Arnes mengulang kalimat istrinya yang terdengar lucu. "Jangan mimpi!" tegasnya dengan tatapan tajam penuh ancaman. Dihempaskannya tangan Mia yang semakin memberatkan tubuh.Namun hal itu sama sekali tak membuat Mia gentar. Dengan tenang ia menegakkan tubuh dan wajah. Senyum manis masih tersungging di sana, tanpa sedikitpun merasa sedih dengan perbuatan Arnes. Semua diterimanya dengan lapang dada.Entah apa yang ada dalam kepala Mia. Wanita itu tak gentar setelah menerima penolakan yang tak sekali itu datang. Hatinya terus saja meminta dan menyebut nama Arnes sebagai pria yang ia cinta, tanpa pernah sekalipun berpaling."Aku akan menemukan Sheila, dan meninggalkanmu!" katanya penuh ancaman.Usai mengucapkan kalimat perpisahannya itu, Arnes pergi meninggalkan Mia di kamar. Langkah kaki besar itu terdengar menuruni tangga, lalu menghilang entah ke mana. Sementara Mia masih diam di tempat, memandangi pintu yang sudah tertutup kembali.Tubuhnya roboh seketik
"I'm back!" bisik Sheila memandangi gedung bertingkat yang kini ada di hadapannya.Plang Rumah Sakit Khusus Bedah Jakarta, berdiri megah mewarnai kokohnya bangunan tersebut. Matanya tak henti berkedip, seolah ada bayang-bayang orang lain di sana. Senyum sumringahnya perlahan memudar, teringat semua kenangan yang pernah hadir tatkala gedung itu masih berbentuk klinik."Mau ke mana, Kak?" tanya seorang petugas keamanan mengejutkannya."Oh, saya... saya...""Sheila!" Seseorang memanggilnya sambil melambaikan tangan. Langkah kakinya bergerak cepat, menyusul wanita 30 tahun yang mengenakan satu set pakaian kantor berwarna biru muda. "Kamu sudah ditunggu di dalam!" katanya menarik tangan kecilnya."Loh, Dokter Andrew kenal?" tanya sang petugas.Andrew, nama dokter spesialis anak itu, mengangguk tegas. "Dia dokter baru di UGD," jawabnya.Sheila tersenyum sambil menunduk tanda permisi. Ia memang belum sempat memperkenalkan diri, tapi rasanya penjelasan dari Andrew sudah cukup mewakili. Ia kin
Dua pasang manik saling menatap satu sama lain. Getar kerinduan itu nyata adanya, terlihat jelas dari mata yang berkaca-kaca siap untuk meluncur. Namun kedua bibir itu maish terkatup rapat, berusaha menyelami mimpi yang akhirnya jadi nyata.Pertemuan tak terduga itu membuat tubuh Sheila dan Arnes menagang. Makanan yang terhidang tak lagi menarik perhatian. Rasa lapar hilang entah ke mana. Degup jantung di dada menunjukkan campur aduknya perasaan karena rindu, sedih dan bahagia berbaur jadi satu."Apa kabar?" tanya Sheila berusaha menahan getar suaranya.Gadis remaja yang kini sudah menjelma menjadi wanita cantik itu berusaha mengangkat bibir, tersenyum. Ia tahu Arnes tak bisa dibodohi semudah itu. Air mukanya tak bisa berdusta, meski bibir ingin menunjukkan kondisi yang baik-baik saja."Seperti yang kau lihat," jawab Arnes dingin. Tatapannya tajam, berusaha memperhatikan setiap inci kulit gadisnya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Pria berkepala lima itu bahkan tak habis pikir bahw
"Pacar?" tanya Arnes bingung.Namun tak hanya manik gelap pria 50 tahun itu yang menatap tajam. Andrew pun melakukan hal yang sama. Dokter spesialis anak itu memandangi wajah cantik yang kini terlihat tegang, karena ada dua pria yang menuntut jawaban."Ya... ya pacar. Kita berdua...""Dokter Arnes, cito di UGD!"Seorang perawat nampak berteriak tepat di ambang pintu kantin. Wajahnya campur aduk, antara panik dan takut. Begitu pula Arnes yang kini mendesah tak suka, namun berlari mengikuti seorang pria berseragam serba putih yang menuntunnya.Cito, adalah istilah yang biasa digunakan untuk kondisi darurat. Dalam bahasa latin, artinya cepat. Ketika seseorang menyebut kata cito di rumah sakit, itu artinya ada sesuatu yang penting nan mendesak dan membutuhkan penanganan cepat dan tepat. Maka dari itu wajah Arnes langsung berubah. Gerakannya pun tak seperti biasa. Ia berlari, berkejaran dengan waktu yang mungkin tak banyak. Sementara Sheila menarik napas lega karena tak jadi memberikan pe
"Sheila!" Wanita cantik yang kini telah mengenakan jas dokternya itu menyalami seorang perawat secara bergantian. Tatapannya cerah ceria, menggambarkan bagaimana semangatnya kali ini. Sejak pagi tadi ia sudah tak sabar merasakan bekerja langsung di rumah sakit milik mantan kekasihnya.Bayang-bayang bangunan klinik masih terasa nyata. Ada beberapa bagian yang sengaja tak dipugar, seolah ingin dipertahankan untuk menjadi kenangan. Namun bagian lainnya habis direnovasi sesuai dengan standar rumah sakit berkualitas. Karena beberapa pasien yang masuk datang dari banyak penjuru Indonesia. Tentu saja bukan karena kualitas rumah sakit, tapi juga dokter-dokter yang ada di sana.Maka dari itu, Sheila tak menolak sedikitpun ketika Andrew menawarinya bekerja di sana. Ia bahkan tak pernah membayangkan akan kembali dan bertemu dengan Arnes. Semua hanya keinginan kecil yang nyatanya tak akan pernah terjadi lagi.Kekecewaan membuat Sheila akhirnya lebih memilih untuk menjalani hidupnya dengan baik.
"Bagaimana?" tanya Arnes begitu ia melewati pintu otomatis yang menjadi penghubung antara ruang operasi dengan ruang steril.Senyum pria itu terlihat sumringah, begitu masker medisnya terbuka. Matanya bersinar cerah, seperti harinya kali ini. Ada pancaran kebahagiaan yang tercipta setiap kali ia memandang ke arah gadis yang kini sudah beranjak dewasa itu.Sheila membalikkan tubuh, membuat posisinya dan Arnes menjadi berhadapan. Keduanya saling memandang cukup lama, seolah mentransfer energi yang baru saja terkuras karena sebuah operasi besar yang dilakukan bersama-sama. Tak lama mereka saling melempar senyum, menunjukkan kepuasan atas kinerja masing-masing."Rasanya..."Sheila tak lagi bisa berkata-kata. Mimik wajah dan sinar yang tercipta sudah menunjukkan bagaimana perasaannya kini. Wanita itu sampai kehabisan kata, dan bingung harus berucap. Semua pikirannya masih terus mengulang kejadian penting yang baru terjadi pertama kali dalam hidupnya. Air matanya nyaris tumpah, saking terha