"Ke mana Sheila?" tanya Mia yang masuk ke dalam ruang praktik suaminya tanpa ijin.Wajah terkejut sang suami nampak jelas, setelah tadi keduanya berpisah. Namun wanita itu memilih untuk duduk manis di kursi pasien, memandangi ketampanan yang tak pernah ia miliki secara utuh. Hatinya begitu sakit, mengingat lembar adegan dalam video dari Nina. Tapi semua tertutupi dengan senyum cantik di wajahnya."Di rumah," jawabnya berusaha setenang mungkin.Melawan Sheila, mungkin adalah hal mudah bagi Arnes. Gadis lugu itu masih gampang diberi nasihat. Walau sedikit keras kepala, namun ia selalu mempercayakan semua hal padanya. Tak seperti sang istri yang selalu memiliki pemahaman sendiri.Menikah tanpa cinta dan kepercayaan, seolah membuat keduanya hidup dengan saling mencurigai. Bukan tentang perselingkuhan, karena sudah jelas Arnes tak akan pernah cemburu dengan siapapun Mia berhubungan. Masalahnya ada pada kekuasaan yang sering membuat sang istri gelap mata hingga membabi-buta. Hal ini yang se
"Sedang apa?" tanya Mia yang membuka pintu kamar anak angkatnya tiba-tiba.Sheila langsung beranjak dari tempat tidurnya. Tubuh mungil itu sudah berdiri tegak di samping ranjang. Senyumnya nampak kaku, seperti tubuh yang ikut menegang."Boleh aku masuk?" tanyanya masih di ambang pintu."S-silakan!" Wanita itu melangkah masuk bersama sepatu hak tinggi yang senada dengan gaun pendek merahnya. Tanpa permisi, ia duduk di kursi belajar Sheila. Sementara sang gadis masih berdiri tegap sambil memandanginya."Duduk!" perintahnya yang langsung dipatuhi sang gadis.Tangan lentik itu menyentuh buku-buku kedokteran yang baru dibeli oleh Sheila. Senyumnya terangkat begitu melihat ada tanda tangan Arnes dan juga sebuah kalimat penyemangat dari sang dokter. Rasanya begitu hangat, seolah kata-kata itu keluar langsung dari hati suaminya."I-itu pemberian Paman Arnes, agar aku lebih semangat belajar dan...""I know!" potong Mia seraya menutup buku itu kasar.Tatapan tajam langsung terarah pada sang ga
"Kenapa semua diam? Apa masakanku tidak enak?" tanya Mia dengan senyum manis yang dibuat begitu menggoda.Siapapun yang melihat keluarga kecil mereka malam itu tak akan menyangka bahwa telah terjadi peperangan dalam diam. Ya, tak ada suara yang muncul di meja makan, kecuali peraduan antara sendok dan piring. Semua mulut terkunci, hanya wanita cantik bergincu merah terang yang berani bersuara."Astaga... kalau kalian diam terus, rumah ini jadi membosankan!" serunya setengah kesal.Tapi baik Arnes ataupun Sheila tetap menutup mulut. Keduanya tak bisa lagi berkata-kata. Makan malam yang harusnya enak, terasa hambar di lidah. Suasana yang hangat, berubah dingin dengan semua sikap Mia."Baiklah, kalau begitu... aku akan pergi dari sini! Ku beri kalian waktu untuk menikmati suasana," katanya seraya mengambil tas mewahnya dan pergi meninggalkan rumah.Suara deru mobilnya kembali terdengar. Sayup-sayup menghilang, lalu disusul bunyi gerbang yang kembali ditutup oleh petugas keamanan. Namun su
"Kenapa rumah sepi?" tanya Mia yang baru saja kembali ke rumah mewahnya.Wanita cantik itu melenggang anggun ke setiap ruangan yang kosong melompong. Tatapannya tajam ke arah seorang pengurus rumah yang hanya bertugas membersihkan hunian mereka. Gelengan kepala sebagai jawabannya membuat Mia naik pitam."Brengsek!" serunya membantung sebuah vas hingga pecahannya tersebar nyaris di seluruh lantai dua. Wajahnya kesal bukan main karena mendapati kamar Sheila yang sudah kosong tanpa barang. Lemarinya pun sudah tak terisi. Buku-buku yang sebelumnya tertata rapi di meja belajar juga raib entah ke mana. Tangannya dengan cepat merogoh ponsel di dalam tas jinjing. Ada rasa sesal yang singgah karena sudah meninggalkan suaminya bersama gadis itu. Namun pikirannya bergerak lebih cepat."Cari anak itu sampai dapat!" perintahnya seraya pergi meninggalkan rumah.Tak perlu waktu lama hingga roda mobilnya bergerak menuju klinik tempat suaminya bekerja. Ia sudah mendapatkan informasi bahwa pria itu s
"Kamu yakin ini lokasinya?" tanya Mia pada seorang pria berkacamata hitam yang mengangguk cepat. Wanita itu terus memandangi sebuah pintu kamar yang disinyalir menjadi tempat persembunyian simpanan sang suami. Hatinya sudah terbakar amarah setelah pertemuan penuh emosi antara ia dan Arnes. Keduanya enggan mengalah dan hanya saling menyakiti satu sama lain. Apalagi kini sudah ada perlawanan yang diberikan."Yakin, Bu. Tadi pagi ada yang melihat anak itu keluar untuk beli makanan," katanya menegaskan semua perkiraan.Mia mengangguk senang. Diserahkannya amplop cokelat tebal yang berisi uang tunai kepada orang suruhannya. Baru setelah itu ia bergerak menuju ke rumah kecil berpagar putih yang letaknya tak jauh dari tempat mobilnya terparkir.Kakinya tak lagi seberat saat masuk ke ruangan Arnes. Namun api di hatinya belum juga temaram. Panasnya masih terus terasa, yang tergambar jelas melalui tatapan tajam."Siapa?" seru sebuah suara lembut dari dalam kamar.Ketukan yang baru saja Mia lak
"Sial!" seru Arnes sambil membanting ponselnya. Ia barus aja membaca sebuah berita yang didapat dari Mia. Seolah tak ingin menyerah, sang istri melakukan segala cara demi mendapatkan semua yang ia ingin. Dan kini Arnes-lah tujuan utamanya.Menyembunyikan Sheila sepertinya sebuah kesalahan besar yang pernah dilakukan oleh sang dokter. Karena ia tak hanya memantik api di hati istrinya. Tapi juga membakar seluruh cinta yang kini berubah jadi benci. Wanita itu, benar-benar ingin menghancurkannya sampai akhir."Kamu ke mana sih, Shei?" tanya Arnes yang sejak tadi sudah menghubungi nomor gadisnya.Sayang sekali, tak ada jawaban dari remaja cantik yang kini sudah menjelma sebagai wanita di matanya. Kekhawatirannya bertambah begitu telepon masuk dari Mia datang, tanpa harap. Ibu jarinya ingin sekali memilih tanda merah yang berarti menolak panggilan itu. Tapi entah mengapa ia begitu penasaran dengan semua rencana istrinya."Ada apa?" tanyanya tanpa basa-basi."Kosan Sheila bagus juga," jawab
"Murahan!" geram Mia begitu melihat sepasang kekasih yang tengah berpelukan di depan pintu. Tangannya terkepal, memukuli setir yang terus menjadi korban. Ia tak menyangka bahwa hal ini tak bisa memisahkan Arnes dan Sheila. Keduanay nampak baik-baik saja setelah nyaris seharian, suaminya berdiri di depan kamar gadis itu."Kalian berdua memang tak bisa diberi hati," bisiknya seraya menyalakan mobil dan pergi dari tempat itu.Mia sudah muak melihat kemesraan yang kini bisa ditebak ke mana arahnya. Keduanya masuk ke dalam kamar dan tak lagi keluar, membuat pikiran kotor bergerilya di otak istri sah Arnes."Tunggu pembalasanku!" katanya dengan air mata mengalir deras.Sementara di dalam kamar, Sheila masih terus memeluk sang paman dokter. Gadis itu akhirnya menyerah dengan semua ego dan kemarahan yang ada. Butuh waktu berjam-jam baginya untuk berpikir tentang semua yang terjadi padanya hingga detik itu.Kehilangan sang ayah, dibawa Arnes ke dalam rumah mewahnya, lalu jatuh cinta dan masuk
"Berita apa lagi ini?" tanya seorang pria tambun dengan setelan jas mahal yang dikenakannya.Arnes menunduk malu sekaligus bingung. Ia tak menyangka bahwa berita tentangnya akan datang silih berganti. Setelah beberapa hari lalu tentang malpraktik yang nyaris membuat hubungannya dengan Sheila berakhir, kini ada lagi berita sekaligus video dirinya dan sang gadis yang tengah memadu kasih.Tentu saja ia sudah tahu siapa tokoh utama di balik semua itu. Selain sang pemilik video, Nina dan Reno, tentu saja ada penggeraknya. Dan sang istri adalah tersangkanya. Arnes bahkan yakin seribu persen, tanpa cela."Mau sampai kapan kau membuat masalah, hah? Katanya mau klinik maju, tapi malah seperti ini caramu!" seru seorang pria lain yang kini menjabat sebagai komisaris di klinik tersebut.Sang direktur utama hanya bisa menunduk dalam. Ia tak bisa lagi berkata-kata. Semua ucapannya hanya akan dimentahkan, karena bukti lebih nyata dari pada kiasan belaka. "Lebih baik kau membuat pernyataan, sebelum